OLEH : LA ODE IDA
Gerakan premanisme (gang star) kerap meresahkan masyarakat.
Soalnya aksi kekerasan yang dilakukan kerap menimbulkan pertumpahan
darah dengan korban jiwa manusia, baik di antara sesama anggota mereka
maupun pihak lain yang terkait. Catat saja, misalnya, puluhan putra
bangsa mengalami luka dan tewas dalam pertempuran antar geng saat (yang
dikenal sebagai Geng Flores/NTT dengan Geng Ambon) di Jalan Ampera
(29/9/2010), saat digelar persidangan (kasus pembunuhan di diskotek Blow Fish) di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dan, kasus mutahir adalah
terbunuhnya Bos PT Sanex Steel di sebuah hotel di Jakarta yang diduga
pelakunya adalah geng preman di bawah pimpinan John Kei, sehingga oleh
karena itu pula putra Maluku tersebut ditangkap dengan tembakan di kaki
yang sekarang sedang dirawat di RS POLRI.
Memprihatinkan? Betul. Karena merupakan bagian dari kondisi
masyarakat yang patologis, produk dari sebuah sistem hukum dan
pembangunan yang tak berkeadilan. Para putra bangsa itu, kalau mau
jujur, sebenarnya juga tak ingin jadi preman kalau saja ada pekerjaan
atau jalan hidup lain yang lebih baik. Terlebih lagi, sebagai manusia
yang punya perasaan, memiliki nilai budaya dan agama, niscayalah tak
ingin menyakiti orang lain, apalagi sampai tega menghabisi nyawa
sesamanya. Lantaran keadaan atau keterpaksaanlah mereka kemudian
menerjuni, masuk atau bergabung dalam geng premanisme dengan perilakunya
yang terkadang, seperti yang terjadi dalam kasus John Kei ini,
berakibat fatal bagi dirinya dan atau pihak lain.
Setidaknya terdapat empat faktor yang saling mendukung sehingga preman bisa eksis dalam suatu masyarakat. Pertama,
adanya potensi diri dari sebagian anak-anak muda (laki-laki), berupa
kemampuan dan keterampilan fisik (terutama permainan bela diri) ditambah
dengan sikap berani atau nekat. Ini bagian dari produk (‘pendidikan’)
lingkungan, di mana sejak masa remaja sudah terbiasa dengan latihan
keterampilan bela diri (fisik), kehidupan yang terbiasa dengan
kekerasan, sehingga sudah terbiasa dan bahkan berani mengambil risiko
fisik dalam cara-cara kekerasan. Tepatnya, preman akan sangat sulit
berada dalam lingkungan sosial yang ramah dan lembut.
Untuk jadi pimpinan preman, sungguh sangat tidak mudah. Ia harus
melalui proses pengakuan di antara figur-figur yang memiliki
keterampilan fisik dengan keranian atau derajat kenekatan yang tinggi.
Pada tingkat tertentu, bahkan harus melalui ‘pertempuran fisik’. Bagi
figur-figur yang saling menyegani, mereka kemudian membentuk barisan
sendiri, sehingga tak heran kalau di dalam suatu kota seperti Jakarta
ini muncul beberapa kelompok preman dengan pimpinanannya sendiri-sendiri
seperti John Kei, Hercules, dan lain-lain. Di antara mereka bisa
saling pengertian namun pada saat-saat tertentu juga terjadi salah paham
dan lalu bentrok dengan korban jiwanya.
Kedua, survavilitas ekonomi. Pekerjaan atau
beraktifitas sebagai preman merupakan bagian tuntutan untuk memenuhi
kebutuhan hidup, apalagi di kota-kota besar seperti Jakarta ini.
Persaingan hidup untuk mencari lapangan kerja yang begitu sulit dan
ketat, apalagi ditambah dengan tiadanya keterampilan yang memungkinkan,
menjadikan sebagian anak-anak muda terkadang frustrasi dan akhirnya
mencari alternatif pekerjaan yang mudah hanya memerlukan keberanian atau
modal nekat. Hal itu dimulai dengan aksi-aksi sederhana seperti halnya
sebagai “polisi cepe” jasa pengatur lalu lintas di jalan raya, tukang
parkir liar, lalu dikoordinasikan menjadi suatu kekuatan jaringan dengan
patronase informal. “Sang koordinator” kemudian memperoleh pendapatan
dari bagian jasa sektor informal itu.
Para anggota gengster yang sekarang ini banyak eksis di Jakarta,
misalnya, sebagian besar merupakan pendatang atau perantau. Mereka
datang di Jakarta sebenarnya bermimpi mencari nafkah secara baik-baik,
namun menemukan kenyataan yang sulit; tapi di sisi lain harus survive.
Memang ada juga yang secara khusus direkrut dari daerah asal pimpinan
atau anggota gengster , sehingga datang di Jakarta sudah langsung
bergabung. Dan, yang terpenting di sini, bahwa kenyataan mereka harus ke
kota besar untuk cari nafkah adalah akibat dari ‘ketiadaan atau
kekurangan lapangan kerja di daerah asal’ – buah dari kegagalan
pemerintah dalam membangun daerah.
Ketiga, adanya kebutuhan masyarakat. Organisasi preman
sebenarnya bagian dari kebutuhan atau permintaan masyarakat yang
memerlukan jasa informal khususnya di bidang pengamanan dan atau
keperluan-keperluan lain yang memerlukan kekuatan penekan dengan kesan
agak “mengerikan”. Berkembangnya bisnis liburan, misalnya, niscaya
membutuhkan jasa preman, karena selalu potensi untuk terjadinya ketak
nyamanan dalam pengelolaannya. Sehingga para figur yang sudah terbiasa
dengan kekerasan diperlukan untuk mencegah dan atau mengatasinya bila
terjadi sesuatu.
Secara umumnya, memang, dinamika bisnis dengan kecenderungan karakter
pelakunya yang cenderung menyimpang atau tak patuh terhadap sistem
nilai kejujuran dan hukum, memberi ruang besar muncul dan berkembangnya
sektor jasa preman. Catatlah, misalnya – dan ingin sangat menggiurkan,
sebagai penagih utang (debt collector), terlibat dalam kasus
pembebasan lahan dan sejenisnya. Dan parahnya, kalau pihak-pihak yang
terkait masing-masing menggunakan jasa preman, maka kekerasan fisik dan
korbannya tak bisa dihindari. Atau sebaliknya, kalau Sang Preman tidak
puas dengan perlakuan atau imbalan yang diberikan oleh pemesan jasa,
maka preman pun tak akan segan-segan balik “menyerang” atau bahkan
“menghabisi”-nya.
Keempat, adanya back up oknum berwenang. Penegakkan
hukum yang lemah, jelas berkontribusi besar terhadap munculnya jasa
informal untuk terlibat dalam menyelesaikan suatu masalah. Dan ini
secara cerdik pula dimanfaatkan oleh para oknum pejabat berwenang (dari
unsur kepolisian dan atau angkatan darat), sebagai benteng perlindungan
dan kekuatan loby informal di intern lembaga dan aktor-aktor penegak
hukum. Bahkan dari kalangan politisi, dunia politik dan koruptor pun
turut memainkan kekuatan preman untuk eksistensinya dan atau melindungi
dirinya.
Pada tingkat tertentu, tak jarang oknum pejabat berwenang itu di luar
tugas resminya juga memiliki barisan kekuatan preman yang secara
langsung maupun tak langsung dikomandoinya. Ya, sudah pasti sebagai
tambahan pendapatan pribadi dan keluarga. Sehingga tak perlu heran kalau
upaya pemberantasan preman sangat sulit dilakukan, karena kecuali
memiliki sistem internalnya yang solid, juga secara diam-diam dipelihara
oleh sebagian oknum pejabat-pejabat penting dari instansi terkait.
Yang perlu dicatat adalah bahwa sesama preman memiliki derajat
solidaritas yang tinggi. Jika salah seorang diantaranya ada yang
menjadi korban dari suatu peristiwa, maka “semangat perang” (fighting spirit)
semua anggota jaringannya akan bangkit, untuk kemudian melakukan aksi
balas dendam. Apalagi terhadap pimpinan mereka seperti yang terjadi
terhadap John Kei sekarang ini. Soalnya, kecuali sudah terbangun sikap
emosional yang sama, juga Sang Komandan merupakan ‘pemberi nafkah’ bagi
diri dan keluarga. Disinilah perlunya kehati-hatian kita dalam
mengelola atau mengatasi masalah preman di tanah air.