Oleh : Ethaholic
A. LATAR BELAKANG
Pengertian Money Politics,
ada beberapa alternatif pengertian. Diantaranya, suatu upaya mempengaruhi orang
lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual beli
suara pada proses politik dan kekuasaan dan tindakan membagi-bagikan uang baik
milik pribadi atau partai unatuk mempengaruhi suara pemilih (vooters).
Pengertian ini secara umum ada kesamaan dengan pemberian uang atau barang
kepada seseorang karena memiliki maksud politik yang tersembunyi dibalik
pemberian itu. Jika maksud tersebut tidak ada, maka pemberian tidak akan
dilakukan juga. Praktik semacam itu jelas bersifat ilegal dan merupakan kejahatan.
Konsekwensinya para pelaku apabila ditemukan bukti-bukti terjadinya praktek
politik uang akan terjerat undang-undang anti suap.
Perpolitikan lokal selalu
melahirkan dinamika. Hal ini menuntut partai politik (parpol) sebagai instrumen
demokrasi harus menyelaraskan platform politiknya terhadap perubahan yang
terjadi di masyarakat. Tak sedikit, perubahan tersebut menjadi tantangan bagi
parpol. Sebut saja masalah golongan putih (golput) yang muncul akibat
ketidakpercayaan kelompok ini kepada parpol. Kini, di masyarakat juga muncul
kecenderungan menginginkan figur-figur baru sebagai pemimpin. Tentunya, figur
yang bisa membawa perubahan.
Hal ini membuktikan bahwa
masyarakat sudah letih menanti perbaikan dan bosan dengan janji-janji politik.
Keberadaan golput di sejumlah pemilu maupun pemilihan kepala daerah makin
mengukuhkan ketidakpuasan rakyat terhadap parpol. Secara global jajak pendapat
Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun lalu, memprediksikan tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap parpol turun drastis. Ini akibat, masyarakat memandang
komitmen pertanggungjawaban parpol terhadap konstituennya masih sangat minim.
Sehingga membuat para pemilih menjadi tidak respek terhadap parpol.
Dengan adanya ketidakpercayaan
masyarakat terhadap para calon pemimpin memberikan efek negatif bagi para
elit-elit dengan menghambur-hamburkan uang dalam waktu sekejap, demi kekuasaan
semata. Dan sebaliknya adalah sangat menggiurkan juga bagi masyarakat meskipun
sesaat, karena itu juga masyarakat merasa “berhutang budi” pada calon walikota
yang memberikan uang tersebut.
Dengan cara Money Politics
hanya calon yang memiliki dana besar yang dapat melakukan kampanye dan
sosialisasi ke seluruh Indonesia. Ini memperkecil kesempatan bagi kandidat
perorangan yang memiliki dana terbatas, walaupun memiliki integritas tinggi
sehingga mereka tidak akan dikenal masyarakat. Saat ini, Indonesia membutuhkan
pergantian elite politik karena kalangan atas yang ada saat ini luar biasa
korup. Penegakan hukum saat ini bisa dikatakan terhenti. Namun, format pemilu
yang ada saat ini tidak memungkinkan partai kecil dan kandidat perorangan untuk
tampil dalam kepemimpinan nasional.
Panwas secara bertingkat dari
pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga kecamatan juga saling mengawasi. Panwas
pusat dapat menegur dan menghentikan Panwas provinsi. Demikian pula dari
tingkat provinsi kepada kabupaten/kota atau Panwas kabupaten/kota kepada Panwas
tingkat kecamatan.
Singkatnya, penyelenggara pemilu
harus siap karena pemilihan presiden mendatang menampilkan perubahan kultur
politik dari partai oriented ke kandidat oriented. Sementara dengan kondisi
yang ada, kandidat presiden harus mampu mendanai partai sebagai imbal balik
pencalonan. Akibatnya yang muncul adalah perlombaan untuk mengumpulkan uang
dari pelbagai sumber dan tidak mendorong pemberantasan korupsi yang dibutuhkan
masyarakat.
B. RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan latar belakang di
atas, dapat dirumuskan bahwa makalah ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan
berikut:
- Bagaimana Money politics dalam Pemilu?
- Apakah Money Politics mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilihan Umum?
- c. Apa dampak dari Praktik Money politics?
- Kenapa Money Politics masih menjadi ancaman?
- Bagaimana cara melawan Praktik Money Politics?
C. KAJIAN
TEORITIS
Peraturan yang bersifat yuridis
mengenai politik uang (Money Politics)
- BAB XX Penyelesaian Pelanggaran Pemilu Dan Perselisihan Hasil Pemilu Undang-undang No. 10 Tahun 2008 Pasal 247 Ayat 1 sampai Ayat 10.
- Undang-undang No. 10 Tahun 2008 mengenai PELANGGARAN PIDANA PEMILU Pasal 252, Pasal 253 Ayat 1 sampai Ayat 4, Pasal 254 Ayat 1 sampai Ayat 3, Pasal 255 Ayat 1 sampai Ayat 5, Pasal 256 Ayat 1 sampai Ayat 2, Pasal 257 Ayat 1 sampai Ayat 3.
- Undang-undang No. 10 Tahun 2008 mengenai PERSELISIHAN PEMILU Pasal 258 Ayat 1 sampai Ayat 2, Pasal 259 Ayat 1 sampai Ayat 3.
- Undang-undang No. 32 Tahun 2008 mengenai Pemberhentian Kepala Daerah (yang sudah dilantik atau yang akan dilantik) Pasal 29 Ayat 1 sampai 4, Pasal 30 Ayat 1 smapai 2, Pasal 31 Ayat 1 sampai Ayat 2, Pasal 32 Ayat 1 sampai Ayat 7, Pasal 33 Ayat 1 sampai Ayat 3, Pasal 34 Ayat 1 sampai Ayat 4, Pasal 35 Ayat 1 sampai Ayat 5, Pasal 36 Ayat 1 sampai Ayat 5.
PEMBAHASAN
A. Money Politics dalam
Pemilu
Praktek dari Money Politics
dalam pemilu sangat beragam. Diantara bentuk-bentuk kegiatan yang dianggap
politik uang antara lain: a) distribusi sumbangan baik berupa barang atau uang
kepada para kader partai, penggembira, golongan atau kelompok tertentu, b)
pemberian sumbangan dari konglomerat atau pengusaha bagi kepentingan partai
politik tertentu, dengan konsesi-konsesi yang ilegal, c) penyalahgunaan
wewenang dan fasilitas negara untuk kepentingan dan atau mengundang simpati
bagi partai poltik tertentu, misalnya penyalahgunaan dana JPS atau
penyalahgunaan kredit murah KUT dan lain-lain.
Dari sisi waktunya, praktik Money
Politics di negara ini dapat dikelompokkan menjadi dua tahapan yakni pra
pemungutan. Pada pra pemungutan suara mulai dari seleksi administrasi, masa
kampanye, masa tenang dan menjelang pemungutan. Sasarannya adalah para pemilih,
terutama mereka yang masih mudah untuk dipengaruhi. Untuk tahap kedua adalah
setelah pemungutan, yakni menjelang Sidang Umum DPR atau pada masa sidang
tersebut. Sasarannya adalah kalangan elit politik. Di tangan mereka kedaulatan
rakyat berada. Mereka memiliki wewenang untuk mengambil keputusan-keputusan
strategis.
Kalau kita mau menganalisa dari
kedua tahapan praktik tersebut, bahwa praktik politik uang dengan sasaran the
voters, pemilih atau rakyat secara umum akan sangat sulit diukur
keberhasilannya. Karena disamping medannya sangat luas juga banyaknya jumlah
pemilih. Apakah rakyat yang mencicipi uang benar-benar mau mencontreng tanda
gambar parpol yang telah memberikan uang atau mereka ’berkhiatan’. Karena dalam
masyarakat telah berkembang pemahaman bahwa pemilu bukan saja pesta demokrasi,
tapi juga pesta bagi-bagi uang.
Adapun keberhasilan praktik Money
Politics pada tahapan yang kedua lebih dapat diprediksi ketimbang pada
tahap yang pertama. Sebab sasaran yang kedua adalah elit politik yang akan
mengambil keputusan penting bagi perjalanan pemerintahan. Namun kalau pemilihan
dilakukan dengan voting tertutup, keberhasilan rekayasa tersebut semakin sulit,
terutama jika pelaku Money Politics tersebut dinyatakan kalah dalam
pemilihan. Dengan demikian para ’pengkhianat’ sulit dilacak.
Demikian eratnya hubungan uang
dengan politik, sehingga jika Money Politics tetap merajalela niscaya
parpol yang potensial melakukan praktik tersebut hanya partai yang memiliki
dana besar. Berapapun besarnya jumlah dana yang dikeluarkan, keuntungan yang
diperoleh tetap akan jauh lebih besar. Sebab pihak yang diuntungkan dalam
praktik Money Politics adalah pihak pemberi, karena dia akan memperoleh
dukungan dan kekuasaan politik yang harganya tidak ternilai. Adapun yang
dirugikan adalah rakyat. Karena ketika parpol tersebut berkesempatan untuk
memerintah, maka ia akan mengambil suatu kebijakan yang lebih menguntungkan
pihak penyumbangnya, kelompoknya daripada interest public.
Bagaimanapun juga Money
Politics merupakan masalah yang membahayakan moralitas bangsa, walaupun
secara ekonomis—dalam jangka pendek—dapat sedikit memberikan bantuan kepada
rakyat kecil yang turut mencicipi. Namun apakah tujuan jangka pendek yang
bersifat ekonomis harus mengorbankan tujuan jangka panjang yang berupa upaya
demokratisasi dan pembentukan moralitas bangsa?
Demoralisasi yang diakibatkan oleh
Money Politics akan sangat berbahaya baik dipandang dari sisi
deontologis (maksud) maupun teologis (konsekwensi). Karena sifatnya yang
destruktif, yakni bermaksud mempengaruhi pilihan politik seseorang dengan
imbalan tertentu, atau mempengaruhi visi dan misi suatu partai sehingga pilihan
politik kebijakannya tidak lagi dapat dipertanggungjawabkan untuk kepentingan
rakyat.
B. Money
Politics mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam Pemilihan Kepala
Daerah dan Pemilihan Umum
Dalam pemilihan kepala daerah
maupun pemilihan umum secara umum, banyak terjadinya perbuatan politik uang (Money
Politics) yang ikut mewarnai acara pesta dan peta demokrasi yang
berlangsung di negara ini. Money Politics banyak membawa pengaruh akan
peta perpolitikan Nasional serta juga dalam proses yang terjadi dalam pesta
politik. Dalam norma standar demokrasi, dukungan politik yang diberikan oleh
satu aktor terhadap aktor politik lainnya didasarkan pada persamaan preferensi
politik dalam rangka memperjuangkan kepentingan publik. Dan juga setiap warga
negara mempunyai hak dan nilai suara yang sama (satu orang, satu suara, satu
nilai). Namun, melalui Money Politics dukungan politik diberikan atas
pertimbangan uang dan sumber daya ekonomi lainnya yang diterima oleh aktor
politik tertentu.
Dalam politik uang (Money
Politics) pemilihan kepala daerah baik untuk mengisi jabatan Gubernur atau
Wakil Gubernur, jabatan Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota
terdapat beberapa hal yang mungkin tidak di ketahui oleh umum. Praktek politik
ini sangat tertutup yang hanya di ketahui oleh para calon atau orang-orang yang
berada pada “Ring Dalam” para calon saja. Besarnya uang yang diperlukan
untuk membeli suara juga berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Besarnya harga suara sangat tergantung pada pola hidup dan tingkat ekonomi
masyarakat daerah tersebut. Bagi daerah yang relatif kurang maju mungkin harga
satu suara berkisar antara Rp 20 juta hingga Rp 100 juta saja. Namun, untuk
daerah yang sudah maju dan memiliki pendapatan perkapita tinggi di duga satu
suara sangat variatif berkiasar antara Rp 50 juta hingga Rp 500 juta
Persoalannya seorang calon harus
tahu benar kapan dana yang dibutuhkan harus dikeluarkan. Dalam permainan
politik uang (Money Politics), seorang calon kepala daerah berserta tim
suksesnya (TIMSES) harus menguasai benar kondisi di lapangan.
Pertimbangan hati-hati ini dilakuakan oleh para calon agar uang yang tersedia
diberikan kepada orang yang tepat sasarannya. Kalau penggunaan uang tidak
hati-hati bukan hanya salah sasaran berakibat uang hilang percuma saja, tetapi
sangat beresiko apabila informasi jatuh kepada mereka yang tidak dapat
dipercaya, dalam pemberian uang kepada pemilih dalam membeli suara calon
pemilih. Apabila uang jatuh kepada kelompok yang tidak dapat dipecaya, maka
boleh jadi akan menjadi bumerang apabila kelak terpilih dengan suara terbanyak
akan mendapat perlawanan dari kelompok yang kalah. Terutama banyaknya
pengungkitan dari pihak lawan akan pekerjaan yang dilakukan oleh pihak
kandidat yang menang dalam pemilihan kepala daerah. Pada semua tingkatan yang
ada. Biasanya kelompok yang kalah akan berusaha mendapatkan bukti-bukti tentang
adanya bukti praktek uang (Money Politics) tersebut guna mereka untuk
mencari keuntungan bagi pihak-pihak kandidat yang kalah dalam acara pesta
demokrasi tersebut.
Maka dapat dijadikan bahan untuk
membatalkan pelantikan kepala daerah terpilih, bukankah peraturan pemerintah
Nomor 151 tentang tata cara pemilihan kepala daerah terpilih harus menghadapi
masa uji publik selama 3 hari. Dalam masa uji public ini senjata paling ampuh
untuk menjatuhkan kandidat yang menang adalah apabila terdapat bukti adanya
praktek politik uang (Money Politics). Bukankah politik uang (Money
Politics) dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana suap.
Di samping mempelajari secara
hati-hati dan seksama, calon kepala daerah tidak pula sembarangan mengeluarkan
uang untuk sesuatu yang tidak jelas guna dalam memperoleh suara dalam pemilihan
nanti. Dalam praktek politik uang (Money Politics) dikenal beberapa
tahapan dana yang dibutuhkan, dimulai dari proses uang perkenalan, uang pangkal,
uang untuk fraksi hingga uang yang ditujukan untuk membeli suara orang per
orang pemilih. Pada proses pemilihan, masing-masin bakal calon melakukan
pendekatan kepada para anggota dewan, guna mencari dukungan bagi mereka untuk
mencalon diri dalam ajang pemilihan kepala daerah (PILKADA). Bagi mereka yang
terlibat dalam praktek politik uang (Money Politics) mereka juga
menyediakan dana khusus dalam masa perkenalan ini. Bagi bakal calon yang “paham
betul” dengan situasi lapangan dan disertai dana yang mencakupi bagi masa
perkenalan telah menyediakan dana pada masa perkenalan ini. Ada lagi istilah
uang pangkal. Bagi sebagian kandidat memberikan uang dalam jumlah besar untuk
suatu pertarungan yang belum pasti mereka menangkan merupakan suatu hal yang
wajar memang merupakan suatu hal yang terlalu besar resikonya. Oleh karena itu,
untuk mengurangi resiko tersebut, maka apabila terjadi kesepakatan untuk
memberikan dana dalam jumlah tertentu, tidak semua dana yang disepakati
dibayarkan. Strateginya dengan memberikan uang pangkal disertai janji apabila
kelak terpilih akan melunasi sisa uang yang dijanjikan.
Memang pola menggunakan uang
pangkal ini juga riskan apabila ditinjau dari sisi kepastian bahwa suara
akan dijaminkan diberikan kepada “si pemberi uang pangkal”. **Dalam
salah satu kasus yang saya ketahui dilapangan, uang pangkal diberikan sejumlah
Rp 10 juta disertai dengan janji akan diberikan sekitar Rp 100 juta lagi
apabila kelak terpilih. Oleh anggota DPRD bersangkutan ternyata uang pangkal
ini dianggap tidak pernah ada ketika kandidat lain memberikan dana secara
kontan tiga kali lebih besar daripada dana yang dijanjikan oleh “si pemberi
uang pangkal pertama” berjumlah Rp 10 juta terdahulu. Akibatnya, uang
pangkal yang diberikan oleh salah seorang calon kepala daerah ini hilang
percuma karena dana yang lebih besar bukan hanya dijanjikan tetapi dibayar
lunas dalam bentuk uang tunai, oleh calon kepala daerah yang lain. Dalam pemilhan tersebut, maka hal tersebut
adalah sebuah hal yang tidak sesuai dengan aturan yang ada. Yaitu adanya sebuah
asas yang disebut JURDIL (Jujur dan Adil). Dalam masalah ini ada beberapa
perdebatan mengenai asas ini pada awal akan dimasukkan asas ini dalam asas
Pemilu pada awal Pemilu di Indonesia, antara lain:
- Perlunya atau tidak asas jurdil ini dimasukan dalam perundang-undangan sebagai asas resmi disamping asas LUBER.
- Dalam pelaksanaan Pemilu perlu ditampakan bahwa asas jurdil ini merupakan sesuatu yang benar-benar diterapkan.
Melihat pengertian asas Jurdil ini
disatu pihak dan asas Luber pihak lain, keduanya memiliki pengertian yang
berbeda, namun sangat erat kaitannya. Dalam pembahasan ini maka sewajarnyalah
sebuah Pemilu harus menggunakan asas JURDIL dan LUBER, guna terciptanya sebuah
demokrasi serta pesta demokrasi yang sehat dan sesuai dengan amanat UUD 1945
dan juga sesuai dengan amanat rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan yang
bersih dari praktek KKN.
Dalam pilkada yang ada maupun
pemilu secara umum maka asas ini (JURDIL serta LUBER) hanyalah sebuah slogan
belaka, karena pada dasarnya Money Politics merupakan sebuah sistem yang
tidak akan pernah hilang dalam proses demokrasi Indonesia dan hal ini akan
terus menerus terjadi dan dilakukan oleh para calon dan Jurkam serta Timses
masing-masing calon dalam pilkada dan pemilu guna mencari perhatian serta suara
dari para calon pemilih untuk memenangkan mereka dalam PILKADA (Pemilihan
Kepala Daerah) dan PEMILU (Pemilihan Umum). Walaupun adanya partai politik yang
berasaskan Islam akan tetapi praktek Money Politics ini tetap ada walau
dikemas dalam agenda yang sangat rapi. Akan tetapi juga ada juga partai politik
yang memang benar-benar mereka tidak melakukan politik uang (Money Politics).
Serta merebaknya Money Politics membawa implikasi yang sangat berbahaya
bagi demokrasi dan penguatan negara bangsa. Melalui Money Politics
kedaulatan bukan ada pada tangan rakyat akan tetapi kedaulatan berada ditangan
“uang”.
Oleh karena itu, pemegang
kedaulatan adalah “pemilik uang”, baik dari dalam negeri maupun luar negeri dan
bukan lagi rakyat mayoritas. Di tengah gelombang demokratisasi yang gencar
belakangan ini, maraknya Money Politics bisa mempermudah masuknya
penetrasi politik melalui uang. Maka dengan demikian, Pilkada dengan sistem Money
Politics akan terus terjadi kejadian yang paling umum dalam praktek politik
uang (Money Politics) adalah pembelian suara menjelang hari pemilihan.
Artinya, masing-masing calon mengadakan pendekatan kepada para anggota DPRD.
Pendekatan dilakukan baik secara
langsung maupun dengan melalui perantara orang ketiga. Pada saat inilah
transaksi dilakukan baik dengan memberikan uang kontan ataupun dengan suatu
janji atau pemberian atas pemberian. Ada hal yang menarik bahwa umumnya para
anggota DPRD lebih menginginkan uang kontan dari pada cheque. Akibatnya,
jangan heran kalau uang kontan berdampak lebih ampuh dibandingkan dengan
penggunaan selembar cheque. Karena itu harga suara itu sangat mahal
apabila seorang bakal calon kepala daerah berasal dari anggota TNI/ POLRI
artinya, anggota fraksi ini mempunyai posisi tawar yang tinggi. Mereka dapat
mengajukan argument bahwa”terikat rantai komando” dan terikat pemerintah
komandan dan seterunya. Padahal, tidak ada lagi perintah komando untuk memilih
atau tidak memilih salah satu bakal calon. Akibatnya, calon pembeli suara
dihadapkan pada situasi sulit. Dalam kondisi inilah dibutuhkan dana yang cukup
besar. Biasanya strategi yang dilakukan dengan mendapatkan informasi berupa
dana yang dikeluarkan oleh pihak lawan bagi suara mahal ini. Setelah mengetahui
harga suara maka kemudian diberikan dana jauh lebih besar lagi.
Dalam sistem politik yang lain ada
yang namanya “Serangan Fajar” bagi para bakal calon kepala daerah
beserta tim suksesnya pada calon pemilih, adapun masa yang paling rawan adalah
H-2 dan H-1 pemilihan. Dalam masa inilah masing-masing calon saling melakukan
pengintaian guna semaksimal mungkin dan seakurat mungkin mendapatkan informasi
tentang berapa besar dan yang beredar bagi satu suara anggota DPRD. Informasi
ini menjadi sangat penting karena pada H-1 merupakan kesempatan terakhir dalam
perebutkan suara tersebut. Namun, dalam praktek juga terjadi Serangan Fajar yang
dimaksud sebenarnya adalah dengan Serangan Fajar ialah pada hari Fajar
hari H (Hari Pemilihan), kandidat kepala daerah atau tim suksesnya memanfaatkan
informasi paling mutakhir tentang berapa harga satu suara dari para calon
pemilih yang akan melakukan pencoblosan pada pagi harinya dan anggota DPRD mana
saja yang kemungkinan masih dapat digarap untuk dimintai suaranya dalam
pemungutan suara dan masa uji publik serta masa pelantikan kepala daerah. Ada
beberapa kategori yang dapat di ketahui yaitu sebagai berikut : Pertama,
Anggota Dewan (DPRD) yang selama ini dikenal dengan kondisi siap menyeberang
asal sesuai harga. Kedua, Anggota Dewan (DPRD) yang masih dihadapkan
pada keraguan antara misi partai dengan iming-iming uang yang berjumlah besar.
Namun hal yang inti dari Money
Politics adalah bagaimana strategi pemberian uang ini. Bukankah tindakan
menyuap dan disuap merupakan perbuatan melanggar hukum, oleh karena itu proses
“penyampaian uang” harus dilakukan secara rapi dan sistematis. Namun,
yang pasti bagi mereka yang terlibat dalam menggunakan uang kontan, tidak
melalui transfer bank walaupun melibatkan dana dalam jumlah besar. Yaitu dengan
cara mendatangi secara langsung rumah Anggota Dewan (DPRD) untuk memberikan
uang tersebut. Hal ini dilakukan untuk semaksimal mungkin menghilangkan jejak.
Apabila mengirim sejumlah dana melalui jasa perbankan tentu terdapat bukti
setoran yang akan didapatkan di samping memang transaksi perbankan mudah
dilakukan pelacakan. Dan hal ini akan memberikan peluang bagi calon kandidat
yang kalah guna membongkar praktek politik uang (Money Politics) yang
dilakukan oleh calon kandidat serta timsesnya dalam memenangkan pemilu atau
pemilhan kepala daerah (PILKADA). Dan juga hal ini akan memberikan sebuah kesan
negative bahwa calon tersebut melakukan praktek politik uang (Money Politics)
guna memenangkan pemilihan tersebut. Selain itu ternyata pemberian uang tidak
pula selalu dilakukan oleh para kandidat secara langsung. Akan tetapi pemberian
uang tersebut dapat dilakukan melalui perantara orang lain termasuk teman
akrab, keluarga, hubungan bisnis, dan seterusnya. Ada beberapa macam-macam
bentuk pemberian uang dari kandidat kepada anggota dewan yang terlibat dengan
politik uang (Money Politics). Macam-macam itu adalah sebagai berikut:
- Sistem ijon.
- Melalui tim sukses calon.
- Melalui orang terdekat.
- Pemberian langsung oleh kandidat.
- Dalam bentuk cheque.
Akan tetapi tidak banyak juga Money
Politics ini yang tidak berhasil pada akhirnya dalam masalah pembelian
suara pemilih maupun dari anggota dewan (DPRD). Ada bebarapa faktor yang
membuat hal ini terjadi, yaitu:
- Adanya hubungan keluarga dan persahabatan.
- Bakal calon bersikap ragu-ragu.
- Adanya anggota yang terlanjur mempunyai komitmen tersendiri.
- Adanya anggota yang dianggap opportunis.
C. Dampak Praktik Money
Politics
Ciri khas demokrasi adalah adanya
kebebasan (freedom), persamaan derajat (equality), dan kedaulatan
rakyat (people’s sovereghty). Di lihat dari sudut ini, demokrasi pada
dasarnya adalah sebuah paham yang menginginkan adanya kebebasan, kedaulatan
bagi rakyatnya yang sesuai dengan norma hukum yang ada.
Dengan demikian adanya praktik
Money Politics berarti berdampak terhadap bangunan, khususnya di Indonesia
berarti prinsi-prinsip demokrasi telah tercemari dalam praktek politik uang.
Suara hari nurani seseorang dalam bentuk aspirasi yang murni dapat dibeli demi
kepentingan. Jadi pembelokan tuntutan bagi nurani inilah yang dapat dikatakan kejahatan.
Sisi etika politik yang lainnya
adalah pemberian uang kepada rakyat dengan harapan agar terpilihnya partai
politik tertentu berimbas pada pendidikan politik, yaitu mobilisasi yang pada
gilirannya menyumbat partisipasi politik. Rakyat dalam proses seperti ini tetap
menjadi objek eksploitasi politik pihak yang memiliki kekuasaan.
Money Politics bukan
secara moral saja yang salah dalam dimensi agama juga tidak dibenarkan, sebab
memiliki dampak yang sangat berbahaya untuk kepentingan bangsa ini. Jika yang
dihasilkan adalah kekecewaan rakyat, maka sesungguhnya yang akan mengadili
adalah rakyat itu sendiri.
D. Kenapa Money Politics Masih
Menjadi Ancaman
Dalam perkembangan demokratisasi
dalam sistem politik Indonesia, justru mencuat isu yang diangkat oleh
teman-teman LSM ”politisi bermasalah“, yang di indikasikan salah satunya pernah
terlibat kasus korupsi dan masalah hukum lainnya. Tulisan ini tidak bermaksud
memperdebatkan akan validitasnya. Yang menurut Bung Jeiry Sumampow, dan
teman-teman dari JPPR, data yang mereka miliki bersumber dari pengaduan
masyarakat. Untuk itu paling tidak dapat disikapi dari dua aspek. Aspek
pertama, bahwa ada indikasi peningkatan kontrol publik atas mekanisme politik
dan mengalami institusinalisasi secara baik. Aspek kedua merupakan
keprihatinan, mengingat bahwa masih menggejalanya korupsi dalam mekanisme
politik nasional, yang diduga keras berasal dari politik uang. Hal yang menurut
hemat kami, merupakan gejala yang harus menjadi perhatian seluruh lapisan
masyarakat untuk mendorong berkembangnya demokrasi dalam proses politik ”yang
lebih akuntabel dan ”yang lebih transparan” dalam sistim politik Indonesia.
Sebuah keniscayaan bahwa, politik
memang membutuhkan dana. Belanja politik direncanakan dan digunakan untuk
berbagai kegiatan program kampanye. Untuk membangun komunikasi politik dengan
konstituen, serta menyerap dan mengartikulasikan kepentingan masyarakat.
Politisi dalam kompetisi untuk meraih dukungan pemilih, tanpa dana hampir dapat
dipastikan akan kalah. Tetapi dana politik dan politik uang jelas berbeda.
Letak perbedaan adalah modus dalam pengunaan dana yang digunakan untuk
menggalang dukungan pemilih. Hal tekait pula sumber pendanaannya. Realitas
politik menunjukan, bahwa politisi yang tidak punya dana; sudah hampir dapat
dipastikan akan kalah dan tersingkir. Faktanya politisi tidak hanya memerlukan
dana kampanye yang cukup besar untuk meraih dukungan dari konstituen. Justru
umumnya politisi sebelumnya membutuhkan dana untuk meraih restu dan dukungan
walaupun tidak resmi dari elite partai, yang mengusungnya.
Sumber dana politik umumnya dapat
dikategorikan pada dua sumber. Pertama, bersumber pada sektor negara atau
menggunakan APBN. Kedua, dana politik yang bersumber dari sektor publik atau
masyarakat. Dari perkembangan sisitem politik di Indonesia, yang tercermin dari
perubahan peraturan perundang-undangan, khususnya UU Nomor 10 Tahun 2008
Tentang Pemilu yang digunakan sekarang, semata-mata sumber dana politik dalam
tataran infra strktur politik adalah dari sektor masyarakat.
Pada pasal 129 UU No. 10 Thn 2008
tentang Pemilu sumber dana itu meliputi:
- Partai politik.
- Caleg dari partai politik yang bersangkutan.
- Sumbangan pihak lain yang sah menurut hukum.
Partai politik memiliki sumber
dana dari iuran anggota. Fakta menujukan hampir semua Partai, sistem iuran
anggota belum dapat berjalan secara memadai. Yang digunakan adalah iuran atau
kewajiban anggota fraksi. Yang dapat memberi donasi kepada Partainya terbatas
kepada orang-orang tertentu saja. Karena tingkat sosial ekonomi anggota atau
masyarakat yang menjadi konstituen, dengan pendapatan perkapita rata-rata (data
terakhir) 1860, itu pun dengan kesenjangan yang cukup besar pula.
Hal ideal yang semestinya
berlangsung dalam mekanisme dan politik yang sehat adalah si pemberi donasi,
mengharapkan otu-put politik adalah kebijakan publik yang berkualitas. Dalam
hal ini, demokrasi menjadi instrumen yang dapat diharapkan mendatangkan
kebijakan yang adil, yang mendatangkan kesejahteraan dan peningkatan pelayanan
publik yang lebih baik. Mekanisme politik yang ideal tersebut, mau tidak mau
bila didukung oleh si pemberi donasi yang memiliki harapan terwujudnya
tatakelola pemerintahan yang lebih baik, untuk mencapai tujuan bernegara.
Pengalaman menujukan si pemberi dana dalam kategori tersebut, adalah kalangan
masyarakat menengah yang sosial ekonomi mampu, disamping memiliki kesadaran,
karakter dan moralitas. Karena masyarakat pada akar rumput, walaupun besar
jumlahnya belum dapat menyumbang seorang calon wakil rakyat, sekalipun calon
itu adalah pilihannya. Bagaimana mungkin dia dapat menyumbang, dengan kebutuhan
sehari-hari saja sudah repot.
Tentu sangat berbeda, dengan
perbandingan sisitem politik Amerika yang demikian demokratis dan transparan.
Pada Pemilu yang baru lalu, kemanangan Barack Obama, memberikan suatu contoh. Dia
tidak hanya berhasil menekan angka golput (yang tidak menggunakan hal pilih).
Dana politik, dihimpun dari konstituen dengan kuantita person dan jumlah donasi
terbesar justru berasal donasi yang kecil-kecil dari masyarakat menengah sampai
pada lampisan akar rumput. Jelas mereka tidak mengenal dana politik pinjaman
yang harus dikembalikan ke pemberi donasi. Konsekwensinya hanya dalam
pertanggungjawaban Barack Obama, pengelolaan yang transparan dan tentu pada
gilirannya tuntutan atas kinerja politik, dalam bentuk keberhasilan dia
mewujudkan visi dan janji politik yang disampaikan pada saat kampanye.
Barangkali disanalah letak
persolannya bagi bangsa kita sekarang ini. Pilihan sikap politik dari kalangan
menengah Indonesia. Kalangan yang mampu memberi donasi kegiatan politik, apakah
aktif atau tidak. Bila aktif, maka hal tersebut menekan peluang kelompok
pendana perorangan (besar) atau mungkin juga sindikasi, mendominasi atau bahkan
boleh jadi mengkoptasi mekanisme politik kita. Yang secara tidak langsung sudah
”mengikat” si politisi jatuh kedalam jebakan politik uang.
E. Melawan Praktik Money
Politics
. Partai politik dan para anggota
legislatif di segala level sudah mempersiapkan strategi untuk mendapatkan
simpati rakyat agar menang dalam Pemilu yang nampaknya akan lebih kompetitif,
karena diikuti oleh tiga puluh delapan partai politik nasional dan enam partai
politik lokal.
Pemilu mendatang nampaknya akan
diwarnai dengan praktik politik uang. Hal ini terjadi karena sebagian besar rakyat
telah terbiasa dengan praktik ini dalam proses-proses politik yang terjadi yang
dilakukan secara langsung, baik untuk memilih kepala desa, bupati/wakil bupati,
walikota/wakil walikota, maupun gubernur/wakil gubernur. Padahal, salah satu
pertimbangan dilakukannya pemilihan langsung adalah agar praktik Money
Politics bisa diminimalisir. Bahkan dalam demokrasi langsung sebagaimana
yang terjadi selama ini, praktik Money Politics menjadi semakin tak
dapat dikendalikan. Berbagai peraturan perundang-undangan yang melarang praktik
haram ini, seolah dibuat hanya untuk melanggar.
Praktik Money Politics dalam
setiap perhelatan politik tersebutlah yang kemudian menyebabkan masyarakat
tidak bisa membedakan antara penyelenggaraan mekanisme politik dengan Money
Politics. Singkatnya, terbangun pandangan umum bahwa politik uang dalam
setiap kompetisi politik adalah sebuah keharusan. Inilah yang kemudian
menyebabkan semacam pandangan bahwa seolah terdapat empat faktor yang sangat
berpengaruh dalam proses kompetisi politik, yaitu: uang, duit, money, dan
fulus.
Selain itu, partai politik tidak
siap menyediakan kader-kader handal, baik sebagai calon maupun sebagai relawan
yang mau bekerja secara militan untuk mensosialisasikan calon-calon yang
diajukan oleh partai. Dengan demikian, calon-calon yang maju kemudian melakukan
cara-cara instan dan praktis untuk menggerakkan rakyat yang memiliki hak
pemilih untuk memberikan hak pilihnya.
Hal inilah yang kemudian
menyebabkan kualitas pejabat publik menjadi terabaikan. Sebab, seseorang
dipilih menjadi pejabat politik bukan karena kualitas atau kapasitasnya dan
kompetensinya untuk menempati posisi politik tersebut, tetapi semata-mata
karena memberikan uang kepada para pemilih menjelang saat pemilihan. Inilah
menyebabkan jabatan-jabatan publik akhirnya ditempati oleh kaum medioker alias
mereka yang sesungguhnya tidak memiliki prestasi memadai untuk menjalankan
struktur negara. Akibatnya tentu saja struktur negara tidak akan bekerja dengan
baik untuk mewujudkan cita-cita negara untuk mewujudkan kebaikan bersama
(common goods).
ANALISIS
Makin Maraknya Money Politics
Masyarakat menjadi semakin
terbiasa dengan praktik Money Politics dengan dilaksanakannya pemilihan
kepala daerah secara langsung. Dalam pemilu legislatif nanti, Money Politics
dapat dipastikan akan menjadi semakin tak terkendali. Sebab akan ada banyak
calon anggota DPR yang berkompetisi untuk memperebutkan dukungan rakyat.
Karakter rakyat yang kian pragmatis akan dilihat oleh para politikus sebagai
peluang untuk memenangkan kompetisi dengan cara menyebar uang.
Dalam konteks ini, politik uang
sesungguhnya menunjukkan tidak adanya nilai lebih kualitas caleg. Mereka tidak
melakukan kemampuan untuk mengkomunikasikan visi politik mereka kepada
masyarakat. Bahkan sangat mungkin memang mereka tidak memiliki visi politik
yang akan diwujudkan ketika mereka benar-benar terpilih nantinya.
Money Politics Perlu
Perlawanan
Jika Money Politics terus
terjadi, dapat dipastikan bahwa dunia politik akan menjadi semakin rusak.
Demokrasi prosedural hanya akan menjadi lahan bagi kaum medioker, yaitu mereka
yang tidak memiliki prestasi memadai, untuk meraih kekuasaan. Bahkan sangat
mungkin demokrasi prosedural akan dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki hasrat
tak terbendung dan kerakusan untuk menguasai harta kekayaan negara. Karena itu,
segala macam cara kemudian mereka lakukan untuk memperoleh kekuasaan. Dan
kekuasaan itu nantinya akan digunakan untuk mengembalikan uang yang telah
digunakan untuk memperoleh kekuasaan itu. Bahkan ia akan digunakan untuk mendapatkan
kekayaan dengan jumlah yang berlipat-lipat. Karena itulah, Money Politics
harus dianggap sebagi kejahatan besar dalam politik yang harus dilawan dan
dienyahkan secara bersama-sama.
Untuk melawan praktik Money
Politics, diperlukan para politikus sejati yang benar-benar memahami bahwa
pengertian politik adalah seni menata negara dan tujuannya adalah menciptakan
kebaikan bersama agar rakyat lebih sejahtera. Politik memerlukan orang-orang
baik, memiliki keunggulan komparatif dalam artian memiliki kompetensi, dan
sekaligus juga memiliki keunggulan kompetitif. Sebab, kebaikan dalam politik
perlu diperjuangkan sampai ia tertransformasi ke dalam kebijakan-kebijakan
politik negara.
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Dari pembahasan diatas mengenai
partisipasi politik yang ada didalam masyarakat dalam pemilu umum maupun pemilu
daerah (PILKADA) maka dapat dilihat bahwa partisipasi politik masyarakat
sangatlah penting guna keberlangsungan demokrasi di Negara ini. Serta juga
memberikan sebuah pencerahan bagi masyarakat umum bagaimana partisipasi
tersebut jangan salah digunakan dalam pemilihan umum.
Dalam hal ini yaitu dengan adanya
sistem yang bernama politik uang (Money Politics) yang memberikan
gambaran buruk bagi kesejahteraan demokrasi di Indonesia ini. Ada sebuah slogan
yang bagus dalam menyikapi akan pelanggaran dari PILKADA maupun PEMILU secara
umum yaitu DEMOKRASI bukanlah “DEMOCRAZY”. Dan juga bagi masyarakat umum
sepatutnyalah untuk lebih cerdas dalam menanggapi semua iming-iming dan
janji-janji yang diberikan oleh para calon kandidat Pilkada dalam kampanye-nya.
Dan juga lebih selektif dalam memilih apa yang sesuai dengan hati nurani
kalian. Serta juga ingat pada para calon kandidat yang akan bertarung dalam
ajang pesta demokrasi yang ada di negeri tercinta ini, yaitu ingatlah asas
JURDIL dan LUBER dalam melaksanakan acara demokrasi ini, dan juga para calon
pemilih juga agar ingat akan slogan tersebut. Janganlah sekali-kali kalian
khianati hati kalian demi sesuatu yang belum tentu kalian dapatkan. Serta juga
slogan tersebut walau sudah tua umurnya akan tetapi, manfaat dan maknanya
sangatlah dalam menentukan masa depan bangsa ini.*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar