Opinion Peblika

Opinion Peblika
Suasana Foto Galian Tanah Tambang C Tanpa Melalui SRKL dan AMDAL di Wakatobi

Jumat, 06 November 2009

ANALISIS POLITIK PRAKTIS DAN DESAIN PERAN MAHASISWA


Ketika lewat dekat Gunung Thai, Konfusius melihat seorang wanita sedang menangis terisak-isak di sebuah kuburan. Sang Guru pun membelokkan kendaraannya, mendekati orang itu. Ia menitahkan Tze Lu mencari tahu gerangan apa yang terjadi. “Anda meratap seperti orang tertimpa kemalangan bertubi-tubi” kata Tze Lu kepada wanita itu. “Memang benar,“ jawab wanita itu. “Suatu ketika ayah suami saya dibunuh oleh seokor harimau di sini. Suami saya juga di bunuh, dan sekarang anak laki-laki saya mati dengan cara yang sama. Alangkah kejamnya harimau itu. Sang Guru menjadi heran dan bertanya, “Lalu mengapa anda tidak meninggalkan tempat ini? Bukankah sejak dulu anda dapat menetap di daerah lain?” Sang wanita pun menjawab, “Saya tetap memilih tinggal di sini. Sungguhpun banyak harimau, tapi di daerah ini pemerintahannya tidak menindas, tidak seperti di daerah lain.” Sang Guru pun merenung dan akhirnya mengucapkan sebuah petuah. ”Catatlah dan camkan ini anak-anakku bahwa pemerintah yang menindas memang lebih mengerikan daripada harimau.”
Sepenggal kisah Konfusius di atas dicuplik kembali oleh Bertrand Russel sebagaimana dikutip Dahlan Thaib[3]. Esensi nilai moral dari alkisah tersebut ingin merefleksikan bahwa kekuasaan negara yang menindas jauh lebih berbahaya dan menyeramkan dari kejamnya harimau yang telah melumat tiga nyawa orang kesayangan wanita tersebut. Adakah yang salah dengan pilihan wanita itu? Ataukah Sang Guru yang bijak itu terkesan tidak arif dalam kasus ini? Semuanya hanya dapat dijawab dengan berkontemplasi.
Paragrap tersebut hanya untuk mengantarkan sebuah pemafhuman tentang kekuasaan yang bernergi dahsyat. Secara normatif, kekuasaan itu bersifat netral kalau dapat dikelola secara postif berimplikasi pada kemakmuran suatu bangsa begitu pula sebaliknya kalau gagal dikendalikan akan menjerumuskan tatanan bangsa dan potensial mengebiri hak-hak konstitusional warganegara. Salah satu ilmu yang memiliki objek kajian mengenai kekuasaan adalah politik (ilmu politik)[4] disamping Hukum Tata Negara (Kenegaraan). Banyak sarjana yang melihat bahwa kekuasaan sebagai inti dari politik, beranggapan bahwa politik adalah semua kegiatan yang menyangkut masalah merebutkan dan mempertahankan kekuasaan[5]. Joyce Mitchell dalam bukunya Political Analisys and Public Policy berpendapat bahwa Politics is collective decision making or the making of public policies for an entire society (politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijaksanaan umum untuk masyarakat seluruhnya[6]. Sementara itu dalam pandangan Harold Laswell dalam buku Who gets what, when and how menjelaskan bahwa politik itu masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana. Salah seorang teman alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, Asnawy Mubarok, yang sekarang sedang beasiswa studi lanjut Program Pascasarjana Ilmu Politik di Universitas Diponegoro Semarang berpendapat bahwa esensi dari definisi politik adalah seni mengelola kekuasaan negara. Tidak hanya berhenti disitu bahwa anasir utama dari politik yakni kekuatan (power) sehingga kalau dapat meng-create people power maka dengan mudah dapat tatanan politik yang ada baik melalui peraturan hukum yang ada maupun dengan cara melanggar rule of the game itu sendiri. Dengan lain kata politik merupakan seni dan juga ilmu untuk mengelola (meraih) kekuasaan negara secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Pertanyaan filosofisnya, ”Mengapa ada kekuasaan?” Untuk menjawabnya berkelindan dengan teoretis asal mula negara dengan variasi pertanyaan kapan dan bagaimana lahir tidak ada yang tahu, hanya sebatas spekulasi ilmiah. Pasalnya jauh sebelum Yunani telah ada Hamurabi. Terbentuknya negara dengan kekuasaannya dapat dideteksi melalui teori Perjanjian Masyarakat (Du Contract Social). Pada intinya negara terbentuk karena masyarakat mengikatkan diri dalam satu perjanjian untuk membentuk organisasi yang bernama negara dengan mengangkat pemerintahan sebagai pengelolanya.
Semula manusia itu hidup dalam status naturalis yakni suatu keadaan yang tak ada pemerintahannya, masyarakat bebas-sebebasnya yang membuat kondisi masyarakat kacau balau karena yang berlaku hukum rimba (Sebenarnya hal tersebut terjadi kapan tak ada yang tahu). Thomas Hobbes menyebutmnya “Homo Homini Lupus” manusia memakan manusia yg lain seperti srigala. Dalam sebuah ilustrasi sederhana Jika dua orang membutuhkan hal yang sama, akan tetapi hanya satu orang yang memperolehnya, maka mereka akan saling bermusuhan, masing-masing pihak akan mencoba mengganggu dan menindas pihak lain untuk mencapai tujuan demi kelangsungan hidupnya[7] Pandangan ini mengetengahkan bahwa politik tersebut merupakan suatu hal yang tidak terlepas dari kehidupan manusia. Politik masuk ke dalam kegiatan produksi, distribusi dan pemanfaatan sumber daya. Karena sejak dahulu, menurut prinsip ekonomi, kebutuhan manusia tidak terbatas, sementara alat pemenuhan kebutuhan sangat terbatas, maka politiklah (kekuasaan negara) yang kemudian dilihat sebagai salah satu cara untuk mengatasi hal ini.
Selanjutnya lahirlah negara yang lahir karena perjanjian masyarakat yang mana negara tersebut bersifat Totaliter (absolute) sebab masyarakat ingin aman maka semua hak (HAM) harus diserahakan pada negara. Negara bebas melakukan apa saja dengan mandat kekuasaan yang telah diberikan masyarakat kepadanya. Konseptual tersebut dikritisi oleh John Locke yang berargumen dengan persitiwanya sama ada homo homini lupus hanya saja karena negara lahir dari perjanjian masyarakat, maka negara harus demokrasi bukan absolute. HAM yg diserahakan hanya sebagian saja bukan semuanya yakni hak untuk mengatur agar keamanan lebih terjamin. Sedangkan untuk berbicara, hak untuk memilih, hak beragama tetap ada dalam masyarakat.
Dalam referensi kekuasaan, sesuai hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang. Seperti dikemukakan Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan harus selalu dibatasi dengan cara: Pertama, adanya pembatasan kekuasaan organ negara, dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal yang bersifat checks and balances dalam kedudukan yang sederajat yang saling mengimbangi/ mengendalikan; dan kedua: dengan adanya mekanisme pengawasan (control).
Perihal pembagian atau pemencaran kekuasaan ke dalam badan-badan negara yang terpisah, John Locke, membuat konsep tiga lembaga yakni Legislatif Eksekutif termasuk di dalamnya yudikatif dan Federatif[8]. Lain halnya dengan torinya Montesqieu yakni Legislatif, Eksekutif (federatif termasuk di dalamnya) dan Yudikatif. Dikontekskan dengan kondisi actual Indonesia telah memiliki sistem ketatanegaraan tersendiri. Saluran-saluran politik berupa suprastruktur politik tersebut dapat dimasuki setiap warga yang memiliki hak yang sama sebab Indonesia menganut demokrasi[9] dimana setiap orang berhak mendapat kesempatan menduduki jabatan politis tertinggi sekalipun. Hal tersebut kontradiktif dengan negara-negara otoriter yang berbentuk kerajaan (monarkhi) dengan sistem pewarisan (turun-temurun) dalam hal mengisi jabatan politis tertinggi.
Dengan demikian dapat ditarik benang merah bahwa eksistensi sebuah negara untuk menjadi sebuah keniscayaan. Selanjutnya bagamana mengelola kekuasaan negara tentu tidak segenap rakyat mengurusnya tetapi melalui mekanisme perwakilan yang merujuk pada paham kedaulatan rakyat. Agar wakil-wakil rakyat dlm mengelola negara bertindak atas nama rakyat, maka keniscayaan jika wakil-wakil rakyat itu ditentukan sendiri oleh rakyat melalui mekanisme Pemilu sebab rakyat benar-benar berdaulat memiliki otoritas (kekuasaan) tertinggi dalam memilih dan menentukan wakil-wakilnya dalam mengelola kekuasaan negara. Artinya Pemilu sebagai instrument demokrasi untuk melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa (elite politik) menjadi keniscayaan pula. Ingat filosofis padi “Apabila menanam padi maka tumbuh padi dan kemungkinan tumbuh rumput pula, sebaliknya jika menanam rumput hal yang mustahil tumbuh padi”. Pararel analogi itu Pemilu yang di desain demokratis perlu dikontrol mahasiswa maupun elemen-elemen yang peduali lainnya.
Mencermati perkembangan politik aktual hampir tiap hari disuguhi Pemilu baikl tataran lolal (Pilkada) maupun nasional yang pada tahun 2009 akan digelar Pemilu legislative dan Pemilu Presiden. Namun, faktanya banyak kompromi politik praktis. Sebagai tamsil untuk menentukan syarat capres dalam UU Pilpres yang sekarang sedang digodok di DPR sangat kompromistis masih berulang UU No.23 Tahun 2003. Masih hangat dalam ingatan kita tentang kompromi politik syarat capres itu. Sebut saja waktu itu ada 4 figur calon presiden yang berbasis pada partai politik yang berbeda-beda yang semuanya ada titik kelemahannya.
Pertama, Contoh yang mudah dalam rangka ingin menjegal Megawati untuk melaju dalam bursa calon presiden dari PDI Perjuangan dengan menetapkan persyaratan bahwa seorang calon presiden minimal berpendidikan Sarjana. Kedua, Untuk menjegal Akbar Tanjung dari partai Golkar maka dapat dibuat rumusan persyaratan seorang calon presiden haruslah tidak berstatus terdakwa yang diancam dengan 5 tahun penjara. Ketiga, Untuk menjatuhkan langkah Gusdur yang berasal dari partai PKB dibuat rumusan persyaratan seorang calon presiden haruslah tidak sedang menderita cacat fisik maupun cacat mental karena untuk menjadi orang nomor satu haruslah orang yang kesehatannya terjaga agar dapat menjalankan tugas kenegaraannya dengan baik. Keempat, Untuk menjegal Amin Rais dari PAN dapat dibuat rumusan persyaratan seorang calon presiden minimal didukung oleh 20% suara yang ada dikursi DPR. Seperti kita ketahui bersama bahwa PAN dalam pemilu 1999 memperoleh peringkat kelima dan hanya mendapat kursi di DPR sekitar 5%. Namun akhirnya karena adanya kompromi demi kepentingan politik praktis untuk merebut kekuasaan disepakati syarat capres yang minimalis. Sebenarnya kalau mau fair idealnya seorang calon presiden berpendidikan minimal sarjana, tidak berstatus terdakwa, tidak cacat fisik dan didukung oleh suara mayoritas.
Selain kompromi politik praktis sesaat itu, dalam Pemilu selalu diwarnai rona-rona Golput. Menilik sesaat sejarah perkembangan politik Indonesia, ternyata golput sudah ada sejak Pemilu yang pertama yaitu tahun 1955. Golput selalu ada dalam setiap Pemilu. Menarik untuk dikaji bahwa dari tahun ketahun Golput menunjukkan kecenderungan meningkat kecuali pada Pemilu pertama[10].
Pertanyaannya bagaimana korelasi Golput dengan demokratisnya Pemilu? Apakah kuantitas Golput paralel dengan kualitas demokratisnya Pemilu?? Dengan lain kata Golput banyak pemilu tidak demokratis atau jika jumlah sedikit maka Pemilu makin demokratis? Tentu saja perlu kajin mendalam, menurut penulis korelasi (hubungan) Golput dan demokratisnya Pemilu tidak dapat dinilai lbegitu saja dari besar-kecilnya Golput, Namun harus dilihat lebih jeli terkait sistem (aturan) main Pemilu itu sendiri. Manakala sistemnya tidak fair jika jumlah Golputnya sdikit tidaklah demokrtis, apalagi jumlah banyak makin kualitas demokratisnya dipertanyakan. Sebaliknya jika sistemnya fair maka jumlah golput banyak pun akan demokratis apalagi jumlah golputnya sedikit kualitas demokratisnya leboh sip.
Secara konseptual Golput dibagi menjadi tiga sebagai berikut: Pertama, Golput ideologis adalah segala jenis penolakan atas apa pun produk sistem ketatanegaraan hari ini. Golput jenis ini mirip dengan golput era 1970-an,yakni semacam gerakan anti-state, ketika state dianggap hanyalah bagian korporatis dari sejumlah elite terbatas yang tidak punya legitimasi kedaulatan rakyat. Bagi golput ini, UU pemilu, hanyalah merupakan rekayasa segelintir elite untuk melanggengkan kekuasaannya. Kedua, Golput Pragmatis, yakni golput yang berdasarkan kalkulasi rasional betapa ada atau tidak ada pemilu,ikut atau tidak ikut memilih, tidak akan berdampak atas diri si pemilih. Golput seperti ini mirip fardhu khifayah yakni orang-orang yang ikut memilih sudah mewakili suara rakyat secara keseluruhan. Tak heran jika ada orang tetap sibuk mencari nafkah pada hari H Pemilu. Sikapnya setengah2 memandang Pemilu, antara percaya dan tidak percaya. Ketiga, Golput Politis, adalah Golput yang dilakukan akibat pertimbangan politik karena sistemnnya merugikan mereka (percaya negara & Pemilu). Misal saat Gusdur menyatakan golput akibat “kezaliman” KPU dan IDI yang menyatakan tidak memenuhi syarat Capres. Bisa juga Golputnya para pendukung fanatik yang kalah dalam Pilkada putaran I dengan alasan calonnya tidak sesuai aspirasinya maka mereka lebih tidak milih.
Menyoal peran mahasiswa (kampus) dalam politik praktis itu paralel dengan tidak boleh terlibatnya TNI/Polri dalam politik praktis. Tentu saja yang dimaksudkan tak boleh terlibat politik praktis disini tepatnya lagi yakni politik kepartaian untuk merebutkan kekuasaan. Jikalau yang dimaksudkan politik sebagai hak warga negara, apalagi sebagai kewajiban, sudah tentu segenap warga negara bertanggung jawab menyelamatkan ”kapal” Inondesia jika sewaktu-waktu terdera badai supaya tidak tenggelam. Begitu pula mahasiswa bisa berpolitik secara proporsional tetapi tidak perlu terlibat politik praktis yang hanya memperjuangkan kepentingan konstituennya semata.
Sebagai centre of excellence, fungsi mahasiswa menjadi berbahaya jika main mata dengan partai politik. Otoritas ilmiah dan wibawa kampus digerogoti. independensi kaum intelektual akan menjadi the big question? Pada level mahasiswa, sebenarnya hal utama yang dapat dilakukan adalah membentuk paradigma berpikir kritis sebagai dasar pijakan bersikap yang jelas dan tegas menentukan kebijakan yang pro rakyat. Sudah menjadi rahasia umum, eksistensi organisasi kemahasiswaan yang telah menjadi onderbouw partai politik tertentu akan dapat mengubah warna kampus sesuai dengan warna partai, dalam arti orientasi dan kebijakannya. Hal ini sangat berbahaya, karena otoritas keilmuan civitas akademika digadaikan dan kalah dari kepentingan politik praktis. Kampus yang seharusnya menjadi pencerahan peradaban bangsa akan tereduksi oleh ”alat legitimasi” politis partai tertentu.
Proporsionalitas posisi mahasiswa seyogyanya sebagai oposisi permanen pemerintah, kontrol sosial masyarakat, dan selalu membela kepentingan rakyat banyak. Dengan politik praktis, peran ideal mahasiswa akan tersingkirkan. Apalagi ketika partai yang didukungnya berkuasa, praktis mahasiswa dengan politik praktisnya tidak dapat kritis terhadap pemerintah. Dalam kacamata penulis, untuk perbaikan bangsa, peran mahasiswa tidak perlu berpolitik praktis. Untuk memperjuangkan kepentingan politik pro rakyat dengan menggugat ketidakadilan sistem, dapat dilakukan melalui demonstrasi maupun retorika ”ilmiah”, dapat berwacana di media massa atau dalam forum lainnya. Ranah ilmiah inilah yang perlu digencarkan mahasiswa. Apalagi bagai mahasiswa yang memiliki afiliasi Pers Kampus, dengan kompetensi menulis yang dimilikinya menjadi keniscayaan untuk berwacana dengan argumentasi ilmiah mengkritisi setiap policy pemerintah supaya senantiasa terkawal pro rakyat. HIDUP MAHASISWA!!!

Kamis, 05 November 2009

REINKARNASI SUMPAH PALAPA : "QUO VADIS"

Setelah wafatnya Raden Wijaya tahun 1309 dan digantikan oleh anaknya yang bernama Raden Jayanegara, Pemerintahan Kerajaan Majaphit sering dironrong oleh berbagai pemberontakan yang dilakukan oleh para dharmaputra atau pejabat istana, antara lain ; pemberontakan Nambi tahun 1316, pemberontakan Semi tahun 1318 dan pemberontakan Kuti tahun 1319. Ketika terjadi pemberontakan Kuti inilah muncul nama Gajah Mada. Ia adalah anggota pasukan pengawal Raja Jayanegara yang berhasil menyelamatkan raja dalam peristiwa Bedander. Ketika itu Raja Jayanegara mengungsi dan sebagai imbalannya Gajah Mada diangkat menjadi Patih di Kahuripan dan selanjutnya menjadi Patih di Daha. Setelah Raja Jayanegara wafat digantikan oleh Tribhuwanatunggadewi dan tak lama terjadi pemberontakan Sedeng tahun 1331 dan berhasil dipadamkan oleh Gajah Mada. Sebagai balasan jasanya Gajah Mada diangkat menjadi Perdana Menteri (Mangkubumi).
Pada saat dilantik inilah Gajah Mada mengucapkan suatu sumpah terkenal yang disebut Sumpah Palapa. Dalam sumpah itu, Gajah Mada bertekad untuk tidak beristirahat sampai seluruh Nusantara dipersatukan dibawah panji Majapahit. Gajah Mada wafat tahun 1364 dan hingga saat ini belum jelas dimana disemayamkan. Para pakar sejarah hingga saat ini masih menyangsikan siapa sebenarnya Gajah Mada itu !! dan dari mana asal muasalnya !!, serta dimana letak makam aslinya. Hingga saat ini para ahli arkiologis belum pernah ada yang melakukan penelitian masalah lokasi asli kuburan Gajah Mada sehingga letak Makam Gajah Mada yang sebenarnya hingga saat ini belum ada persis yang mengetahuinya. Disamping itu juga kedatangannya dikerajaan Majapahit masih dianggap misterius karena semua lembaran sejarah Indonesia sampai saat ini belum ada pragraf yang menjelaskan masalah ini.
Muncul pertanyaan ; “Apa hubungan Kerajaan Majapahit dengan Buton” ?!. Jawabnya adalah berdasarkan fakta sejarah Buton, mengkisahkan bahwa sejak awal tahun 1236 sampai tahun 1300-san, pulau Buton telah dimasuki oleh orang-orang besar dan sakti mandraguna. Seperti misalnya Sipanjonga orang sakti berasal dari suku Melayu negeri Pasai dengan membawa pembantu utamanya bernama si Tamanajo. Berikut si Malui dan si Sajawankati dari Melayu Pariaman, Musarafatul Izzati al fakhriy (Wa Kaa Kaa) dari negeri Yastrib Madina yang merupakan keturunan Saiyida Ali Bin Abithalib membawa bersama Muhammad Ali Idrus, Dun Kung Sang Hiang sebagai panglima perang kaisar tiongkok (kubilaikan) dan Sang Ria Rana seorang pujangga Melayu. Selanjutnya muncul pula 3 (tiga) Orang kakak beradik, yakni anak Raden Wijaya sebagai Raja Majapahit masing-masing bernama Raden Sibatera, Raden Jatubun (Bau Besi) dan Lailan Mangrani atau putri Lasem dlsb.
Seluruh orang-orang besar dan sakti tersebut datang kepulau Buton dengan mereka mencarinya berdasarkan perintah bathin atau petunjuk yang diperoleh dari orang tua atau leluhurnya, datang bersama dengan masing-masing 40 kepala keluarga. Dalam sejarah Buton, Raja pertama Buton yakni Wa Kaa Kaa serta Raden Sibatera hanya meiliki anak yang bernama Bula Wambona, sedangkan Raden Jatubun dan putri Lasem tidak jelas disebutkan kawin dengan siapa dan punya anak bernama siapa. Sehingga muncul hipotesis dalam tulisan ini, bahwa premis Gajah Mada merupakan anak yang berasal dari salah seorang dari kedua anak Raden Wijaya tersebut yakni Raden Jatubun atau putri Lasem. Sebagai sintesis adalah bahwa Gajah Mada setelah dewasa diutus kembali ke kerajaan Majapahit untuk memperkuat pasukan perang disana. Mengapa di utus ke Majapahit !?, Karena penguasa kerajaan ini masih erat bertalian darah dengannya. Adapun masuknya ketiga kakak beradik anak Raja Majapahit tersebut ke pulau Buton adalah jauh hari sebelum wafat ayahandanya yakni Raden Wijaya tahun 1309. Sehingga secara analisis dapat dikatakan bahwa Gajah Mada lahir akhir abad XIII dan ketika muncul di Jawa tahun 1319 usianya sudah cukup dewasa.
Kedatangan ketiga anak Raden Wijaya itu ke pulau Buton bukan secara kebetulan tetapi merupakan petunjuk dan perintah bathin sang Raja Raden Wijaya yang diperoleh dari hasil pertapaannya, mengingat ketika itu kerajaan yang dipimpinnya mengalami banyak pemberontakan yang datangnya berasal dari orang-orang dalam Istana sendiri, dan diperintahkan anaknya untuk mencari pulau Buton ini. Adapun tujuannya ; pertama adalah untuk menyelamatkan ke tiga anaknya yakni Raden Sibatera, Raden Jatubun dan putri Lasem dari serangan pemberontak yang muncul dalam lingkungan pejabat istana. Dimana pulau Buton yang dipilih pada saat itu merupakan negeri yang relative aman dan kedua ialah untuk menyebarkan pemerintahannya dan pengembangan Bandar baru diwilayah lain disamping penyebaran keturunan. Adapun Raden Wijaya berpesan: “Berangkatlah anak-anakku, berangkatlah 20 generasi nanti akan kembali bersatu dengan Bangsa Leluhurmu yaitu dalam Kebangsaan Nusantara”
Di Desa Lasalimu terdapat Gunung Mada, konon diceritakan sebagai tempat mula kembalinya Gajah Mada setelah meninggalkan kerajaan Majapahit dengan membawa pasukan setianya sebanyak 40 orang. Sedangkan di kelurahan Majapahit di Batauga, konon dicerikakan sebagai tempat wafatnya Gajah Mada yang terdapat didalam satu liang bersama 40 orang pengikutnya. Mereka secara bersama-sama menguburkan/menimbunkan diri mendampingi mahpati Gajah Mada di dalam liang itu. Begitu setianya para prajuritnya tak mau berpisah jauh dengan sang mahpati Gajah Mada setelah wafat. Selama 40 hari dan 40 malam secara terus menerus gendang para perajurit mengiringi jasad sang mahpatih Gajah Mada di dalam liang tersebut dan setelah hari ke-41 bunyi genderang sekaligus hilang sunyi senyap ibarat ditelan bersama keheningan alam. Menandakan bahwa seluruh prajurit setia Gajah Mada yang ikut menguburkan diri bersama Gajah Mada diliang tersebut sudah wafat semua. Konon dikisahkan bahwa sampai dengan saat ini pada malam-malam tertentu masyarakat disekitar liang tersebut yang terdapat disalah satu Desa di Kelurahan Majapahit Kecamatan Batauga masih sering mendengar bunyi genderang para parajurit Gajah Mada itu sehingga daerah ini termasuk disakralkan oleh penduduk setempat.
Jika hipotesis ini benar, berarti tak salah lagi bahwa Gajah Mada adalah cucu Raden Wijaya. Gajah Mada selama berada di pulau Buton sejak kecil sampai menjelang dewasa dibawa bimbingan orang-orang sakti dan dia telah menimba ilmu bathin dan kanukragan yang amat dasyat. Setelah usia Gajah Mada dipandang cukup dewasa (usia 20 tahunan), barulah sang ayah mengutusnya kembali ke pulau jawa untuk memperkuat kerajaan pamannya yakni Raden Jaya Negara sebagai Raja Majapahit. Setelah selesai tugasnya dalam memperjuangkan bersatunya Nusantara dibawah Kerajaan Majapahit yang berlangsung selama kurang lebih 43 tahun. mahpatih Gajah Mada akhirnya ia kembali lagi ke pulau Buton pada tahun 1364 untuk menemui kembali kedua orang tuanya. (dalam sejarah tahun 1364 diberitakan Gajah Mada wafat).
Begitu besar makna sumpah Palapa bagi Gajah Mada sehingga diapun berjanji untuk tidak akan pernah tidur sebelum seluruh Nusantara dapat dipersatukan oleh kerajaan Majapahit----adalah merupakan suatu perjuangan yang amat berharga pada zamannya. “Apakah semangat juang Gajah Mada ini masih dimiliki oleh para pemimpin bangsa kita saat ini, dalam memperjuangkan tetap utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia” ??. Masih dalam tanda Tanya besar, sebab gaya kepemimpinan para pejabat kita saat ini ialah lebih cendrung kebaratan, konsepsi pola pikir dan tingkah laku kepemimpinan lebih individualistik, postulat merupakan produk kapitalistis, liberalistis, komunistis. Bukannya gaya kepemimpinan berdasarkan doktrin sesepuh para leluhur yang amat tersohor pada zamannya yang bersahaja, adil dan sederhana itu. Kata orang kampung ; “Amat sayanglah para pemimpin kita saat ini mereka tinggalkan begitu saja kebudayaan nenek moyang kita dahulu, tanpa mau mereka dengan sungguh - sungguh untuk mempelajarinya. Padahal disana para nenek moyang kita amat kaya akan sifat, sikap, gaya dan ilmu kepemimpinan”.
Semangat juang mahpati Gajah Mada yang tertuang dalam Doktrin Perjuangan Gajah Mada, meliputi 15 (lima belas) Sumpah Palapa sebagai esensi dasar soko guru dalam melangkah memperjuangkan kesatuan seluruh nusantara dalam kekuasaan Majapahit. Adapun isi Sumpah Palapa yang dikutif dalam naskah Bung Karno yang ditanda tangani 1 Maret 1955 yang tertera dalam dokumen Doktrin Perjuangan Penyelesaian Amanah Rakyat, sebagai berikut :

1.VIJ N A
Vijna artinya sifat Bijaksana yang khidmat. Sikap ini mencerminkan rasa tabah dalam keadaan genting, namun tidak lupa daratan dalam keadaan senang. Sikap ini juga mendidik kita untuk rendah hati, tidak pongah dan takabur atau sombong. Kita tidak perlu putus asa ketika menderita, tetapi tidak perlu lupa diri dalam keadaan senang. Didalam diri yang Vijna, terdapat rasa bersahaja yang seimbang.

2.MANTRIWIRYA
Mantriwirya,artinya sifat ini mendidik kita untuk menjadi pembela buat yang tertindas, menolong bagi yang teraniaya. Kita harus berani karena benar dan takut karena salah. Sikap ini mendidik kita berani karena ada sesuatu yang pelu dibela, bukan sesuatu yang perlu kita tundukkan dan kita kalahkan. Sikap ini datang dari kesadaran fikir, rasa dan raga yang menyatu serta berkebenaran yang sejati. Bukan karena perasaan diri kuat dan perkasa. Kekuatan hanya bisa menundukkan dan mengalahkan tapi tak pernah berhasil menciptakan kebenaran dan keadilan.

3.WICAKSANENG NAJA
Wicaksaneng Naja,artinya sikap ini mendidik kita berjiwa patriotik dan demokratis. Terhadap kawan dan lawan kita harus bersikap terbuka dan jantan. Sikap ini mendidik kita jangan suka menari di atas bangkai dan kuburan lawan. Musuh yang jujur itu kadang lebih baik dari kawan yang munafik. Dalam diri manusia selalu ada hal yang baik dan buruk. Tehadap keadaan ini kita harus bersikap bijaksana dan terbuka.

4.MATANGGWAN
Matanggwan,artinya sikap ini bertalian dengan kepercayaan atau rasa kepercayaan. Kalau kita diberi kepercayaan atau amanah, janganlah kita bersikap ingkar atau cidera. Sebab kepercayaan adalah tanggung jawab yang harus kita penuhi. Kita dipercaya bukan lantaran kita kuat dan perkasa, tapi lantaran kita mampu bertangungjawab terhadap kepercayaan yang kita terima sebagai amanah dari orang lain.

5.SATYA BHAKTI APRABHOE
Satya Bhakti Aprabhoe artinya, adalah sikap yang berhubungan dengan loyalitas kita pada atasan, pimpinan dan kenegaraan. Satya Bhakti memang soal loyalitas, tetapi loyalitas musti lahir dari rasa kesadaran dan bukan mitos atau dogma pribadi. Satya bhakti adalah kode etik pengabdian. Berarti itu bukan kultus pemujaan suatu terhadap seseorang yang kebetulan berkuasa.

6.SARJANA PASAMO
Sarjana Pasamo artinya, ialah sikap perwira atau sikap kesatria yang paripurna. Kesatria yang bersikap paripurna (sarjana pasamo) berhati tabah terhadap goncangan apapun. Sementara dia tetap taat pada pimpinan yang baik. Sikap ini mendidik kita supaya tetap berwajah manis dan ramah, sabar dan teguh pada pendirian. Kita kadang harus ikhlas kehilangan sesuatu dan tidak merasa miskin karena memberikan sesuatu. Juga tidak merasa sudah puas karena mencapai atau memiliki sesuatu.

7.WIGNIWAS
Wigniwas artinya, adalah sikap yang membicarakan tentang kewibawaan. Sebenarnya kewibawaan itu terletak pada diri pemimpin yang pandai dan mahir. Dalam hal ini dituntut untuk mahir dalam ilmu historika dan logika. Untuk itu memerlukan pula beberapa ilmu diantaranya ; Kosmology, Konmogonie, Polemos, Egosentros, Logos dan Eros. Disamping itu juga pandai pidato dan mengerti ilmu jiwa lingkungan. Sikap ini menunjukan pada adanya sikap yang tegus dalam prinsip, berani dalam mengambil prakarsa dan tuntas jika suatu langkah sudah diambil.

8.DIROTSABA
Dirotsaba artinya, adalah sikap intensif dalam segala hal. Tekun dalam pada sesuatu yang diyakininya akan berhasil baik. Berkesungguhan dalam berfikir dan berbuat. Juga dalam hal ini tanpa harus kehilangan rasa yang manusiawi. Apapun yang direncanakan dan dikerjakan , cara mengerjakannya itu tetap sungguh-sungguh dan bukan iseng. Biarpun dalam beberapa hal mempunyai kelemahan dan kekurangan, Namun seorang kesatria tidak akan terpengaruh. Dan keadaan ini tidak akan membikin keperibadian dan kebesaran pribadi kesatria menjadi sirna. Jadi sifat ini mendidik kepada kita untuk tetap tegar dan mempengaruhi suasana ataupun lingkungan tanpa terpengaruh sedikitpun.

9.TANLALANO
Tanlalano artinya, ialah sikap manusia yang polos dalam duka dan suka, manusia harus tetap berwajah cerah. Manusia tidak perlu lari dari kenyataan ataupun lari dari dirinya sendiri, apapun yang menimpa dirinya. Sikap ini juga mendidik kita untuk tetap waspada tetapi waspada dan hati-hati yang tanpa dilandasi rasa benci, dengki, curiga dan prasangka. Mahpatih Gajah Mada mengatakan maksud dari pada diri yang Tanlalano adalah manusia itu harus selalu Setiti, Ngastiti, Surti dan Ati-ati. Tetapi tanpa dilandasi dengan hati yang ; Iri, Dengki, Srei, Dahwen, Panasten dan Patiopen.

10.TANSATRISNA
Tansatrisna artinya, sikap ini menunjukan pada sikap kita untuk tidak memihak sejak kita tahu bahwa jalan yang sebenar benarnya telah kita miliki. Mahpatih Gajah Mada mengatakan bahwa kebenaran itu ada 5 (lima) macam, antara lain :
• Kebenaran yang sejati
• Kebenaran yang dapat diterima oleh seluruh bangsa
• Kebenaran yang hanya dapat diterima oleh satu golongan saja
• Kebenaran yang palsu
• Kebenaran yang sesat.

Sikap Tansatrisna ini mendidik kita untuk tidak pilih kasih dan pandang bulu. Tidak selalu berselera untuk pamrih dan tidak punya pertimbangan buat kepentingan diri sendiri. Berarti pula kita tidak punya selera untuk pamrih.

11.DWIGNYATCIPTA
Dwignyatcipta Artinya, sikap ini mendidik kita sopan santun atau suatu watak yang sangat berbudaya. Dalam berhubungan dengan manusia sesama akan tampil sikap kita yang tahu akan tata krama dan berbudi luhur. Dalam sikap ini sangat menonjol sekali nilai demokratis. Jiwa Gajah Mada yang agung. Sikap ini mengajarkan kepada kita supaya siap dan sedia serta rela mendengar pendapat orang lain kendatipun pendapat itu tidak kita setujui.

12.SIH SAMASTHA BHOEA ERA
Sih Samastha Bhoea Era Artinya, sikap ini membicarakan mengenai nilai-nilai yang patriotik. Seorang pahlawan tidak hanya cukup asal berani saja secara fisik, mental dan ideologi saja. Seorang pahlawan mesti harus mempunyai hati dan akhlak pahlawan, berbudi dan berjiwa pahlawan. Disamping itu harus dapat membentuk generasi muda pahlawan. Sikap tersebut sebagai ciri pahlawan dan untuk membesarkan pahlawan. Tetapi membesarkan pahlawan tidak sama dan bukan mendewakan pahlawan dan memuja buta pahlawan itu.

13.GYNONG PRATITDYA
Gynong Prattitdya Artinya, sikap ini berbicara tentang watak moral yang tinggi. Manusia yang baik harus selalu mengerjakan yang baik dan harus dapat membuang jauh segala tingkah laku serta perbuatan yang buruk. Menurut keterangan Mahpatih Gajah Mada, baik itu adalah tingkat terendah, sedangkan urutannya ialah Baik, Bijaksana dan Bajiksana. Dalam hal ini juga berbicara tentang jiwa dan watak keterbukaan. Sebab cuma orang yang berwatak terbuka maka dia berani membuang segala yang buruk dalam dirinya.

14.SOEMANTRI
Soemantri Artinya, sikap ini mendidik kita supaya memperlihatkan sikap yang selalu sadar, setai, teguh bulat dan utuh. Pribadi yang sumantri adalah memperlihatkan kepaduan antara ; Loyalitas, Dedikasi, Kreativitas, Dinamika dan Integritas diri manusia. Manusia yang Soemantri adalah manusia yang selalu ketiga kesadaran yang menyatu. Kesadaran itu ialah Kesadaran pikir, Kesadaran Rasa dan kesaaran raga. Disamping itu juga mengetahui ketiga kehendak, yakni kehendak yang disadari, Kehendak yang didorong oleh nafsu dan Kehendak yang supra.

15.HANYAKEN MOESOEH
Hanyaken Moesoeh Artinya, sikap ini kita dididik untuk dapat mengetahui dengan jelas dan mengendalikan dengan jelas mengenai musuh itu. Yang sebenarnya musuh itu mempunyai gambaran dua dimensi, yakni musuh yang fisik/wadag disebut musuh luar yang kelihatan/dapat dilihat. Musuh ini mudah diketahui dan dapat dikendalikan. Sehingga dengan demikian sehingga musuh yang diluar ini dapat kita jadikan sahabat dapat juga kita jadikan syarat kesuksesan kita.
Namun dalam penguasaan musuh ini kita harus ingat bahwa kita menang tapi kalau bisa jangan ada yang merasa dikalahkan. Selanjutnya terdapat musuh yang tidak kelihatan yakni musuh yang bersarang didalam diri kita sendiri. Musuh inilah yang agak susah kita kendalikan dan apalagi kita musnahkan. Rumah dari musuh yang tersamar ini adalah keinginan (krenteg, karep serta tumindak ). Kesemuanya ini memerlukan emosi, yang mana didalam diri kita terdapat dua jenisnya, ialah 6 akar kejahatan emosi dan 6 akar budi luhur emosi.

Renungan Bung Karno:
Inilah nilai-nilai kesatriaan, nenek moyang kita, sementara kita masih dalam sikon yang mawas diri, ada baiknya kita jangan terpengaruh dengan kebudayaan asing yang berbau : Eropa, Arab, Amerika, Jepang, India dan Israel.
Kendatipun agamanya / ajarannya kita anut. Tetaplah kita harus melestarikan “kebudayaan nenek moyang”. Sebab kebudayaan adalah mencerminkan kepribadian suatu bangsa. Kita adalah bangsa yang besar, tetapi untuk memelihara suatu nilai kebesaran tidak tumbuh seperti jamur. Nilai yang besar haruslah kita gali, kita perjuangkan sampai menjadi akar dan watak yang hidup dalam diri kita.
Bila saja jiwa doktrin perjuangan Gajah Mada yang dikenal dengan Sumpah Palapa ini bisa reinkarnasi dan bersemayam dihati sanubari para pemimpin masa kini, pastilah bangsa ini akan memperoleh kehidupan kemasyarakatan yang tata tenteram karto raharjo. Semua jawabnya tergantung kepada kita semua, apakah masih kita mempercayai kebudayaan nenek moyang kita yang kuno itu, ataukah lebih mengutamakan kepercayaan kepada kebudayaan asing dengan alasan karena zaman sudah moderen ***

Selasa, 03 November 2009

KINERJA ASPAL BUTON BISA DITINGKATKAN : MELALUI LASBUTAG MODIFIED, PERMUKAAN JALAN BISA TAHAN 10 TAHUN" (BAGIAN KEDUA DARI DUA TULISAN)



Berdasarkan hasil uji laboratorium yang dilakukan oleh Mijnbouwkundig Goelogish Onderzoek Oost Celebes (1924), diperoleh data bahwa mineral yang terdapat dalam satuan ± 80 % kandungan kapur dan fraksi pasir adalah terdiri dari : CaCOз=81,62% - 85,27%; MgCOз=1,98-2,25%; CaSOч = 1,25%-1,70%; CaS =0,17%-0,33%; SiO2 =6,95%-8,25%; Al2O3 + Fe2O3 = 2,15%-2,84%; Air Kristal=1,30 %-2,15% dan bahan lain=0,83%-1,12%. Sedangkan dalam perdagangan Asbuton dikenal dengan istilah : Asbuton B-10 (kadar bitumen/kb=9,0-11,4%), Asbuton B-13 (kb=11,5–14,5%), Asbuton B-16 (kb=14,6–17,9%), Asbuton B-20 (kb=18,0–22,5%), Asbuton B-25 (kb=22,6 – 27,4%), Asbuton B-30 (kb=27,5–32,5), Asbuton B-35 (kb=32,6–37,4%), Asbuton B-40 (kb=37,5 – 42,5 %) dlsb.
Dalam formulasi fisika-kimia Aspal Buton, diperoleh data bahwa Bitumen adalah terdiri dari unsur Asphalten+Malten. Asphalten adalah unsur aspal alam (aspal murni) Sedangkan unsur Malten ialah terdiri dari : Nitrogen Base + Acidaffins I + Acidaffin II + Paraffins. Oleh karena itu unsur Malten dalam Aspal Buton bisa diperbanyak dengan menambah fux oil buatan yang terdiri dari campuran dengan perbandingan tertentu antara aspal produksi Pertamina (AC) dan minyak tanah (korosin) yang besarnya perbandingan ini tergantung dari kebutuhan unsur Malten tersebut (Malten bisa bersenyawa addesif dengan Asphalten dan dapat mengikat batuan).
Pada beberapa tahun lalu, para praktisi dibidang jalan yang telah menggeluti laboratorium di daerah ini telah melakukan bebagai uji coba dan penelitian tentang penggunaan Lasbutag untuk bahan lapis aus permukaan jalan yakni dengan memodifikasi campuran dan hasilnya diperoleh relative cukup memuaskan. Pada tahun 1995 pada lokasi Proyek Peningkatan Jalan Wakuru-Tolandona-Wara yang dibiayai oleh APBD I, telah dilakukan uji coba sintesis Lasbutag Modified pada lapis aus jalan kota Lombe sepanjang 1,50 Km, dan diperoleh hasil kualitas lapis aus jalan dapat tahan sampai tahun 2005 (baca : 10 tahun ) yang mana sampai waktu tersebut belum ditemukan tingkat kerusakan jalan secara terstruktur. Padahal ruas jalan poros sepanjang 1,50 Km dalam kota Lombe ini jarang sekali dipelihara baik pemeliharaan rutin maupun berkala serta jalur jalan ini ramai dilintasi oleh kendaraan umum dan truk yang mengangkut penumpang dan barang yang menghubungkan Tampo dan Wara. Ini menandakan bahwa campuran Lasbutag Modified yang diterapkan disini cukup berhasil. Oleh karena itu bisa dikembangkan lagi guna memperoleh mutu konstruksi yang lebih baik dan tahan lama. Timbul pertanyaan ;”Bagaimana metode campuran yang diterapkan pada konstruksi lapis aus permukaan jalan tersebut sehingga Lasbutag Modified bisa berhasil baik di ruas jalan dalam Kota Lombe ini” ?! Sebagai jawabnya ialah bahwa pertama kali yang perlu diketahui ialah kadar Aspal Buton (Asphalten) dan kadar Malten yang akan dipakai pada proyek ini. Asbuton yang dipakai adalah B-16 dengan kadar Malten tertentu (kadar Malten harus diuji dilaboratorium). Setelah diketahui kadar Asphalten dan Maltennya, barulah kita menentukan perbandingan agregat yang memadai untuk mengimbangi kadar Aspal Buton ini yakni dengan memodifikasi campuran standar Lasbutag menjadi Lasbutag Modified dengan memberikan perbandingan 60 % Agregat (sirtu sungai) dengan 40 % Aspal Buton B-16. Sedangkan penambahan unsur Malten, yaitu dengan memberi 50 % AC 80/90+ 20 % Bunker Oil + 30 % minyak tanah sebagai bahan modifier buatan. Aspal Buton dan Agregat dicampur bersamaan pada mesin Molen dan diberikan modifier buatan sesuai takaran. Selanjutnya Lasbutag Modified tersebut diperam 3 x 24 jam sebelum dihampar. Penghamparan Lasbutag Modified ini pada permukaan jalan stenslaag yang sudah disiapkan terlebih dahulu sepanjang 1,50 Km, dimana permukaan stenslaag tidak boleh hancur, artinya permukaan masih memiliki poreus yang cukup untuk tempat mengikatnya Lasbutag Modified yang akan dihampar. Setelah dihampar dengan tebal ±5 Cm, lalu dipadatkan dengan Mesin penggilas roda besi bobot 8 ton sebanyak 5 ship. Hasilnya bisa masyarakat menyaksikan di ruas jalan kota Lombe sepanjang 1.50 Km yang kondisinya relative masih cukup baik hingga saat ini.
Berdasarkan dari hasil temuan ini, pada tahun 2002 penulis melakukan penelitian lanjutan pada Laboratorium Uji Bahan Jalan di Baddoka Makassar untuk menguji secara teoritis stabilitas yang terjadi pada Lasbutag Modified tersebut. Penelitian ini dinamakan Uji Stability Lasbutag Modified, dengan memakai Asbuton Kadar B-20. Pengujian dilakukan antara perbandingan Agregat tertentu dan Asbuton, dimulai dari parameter dasar sesuai spesifikasi Bina Marga yakni; 18% Asbuton : 82 % Agregat sampai dikembangkan menjadi ; 24 % Asbuton :76 % Agregat; 28 % Asbuton : 72 % Agregat; 35 % Asbuton : 65 % Agregat dan 45 % Asbuton : 55 % Agregat. Selain itu untuk menambah unsur Malten, diberi bahan peremaja, berupa flux oil buatan dengan perbandingan 70 % AC 80/90 berbanding 30 % minyak tanah (korosin). Berdasarkan hasil penelitian ini dengan menggunakan Marshall Test set diperoleh data bahwa stabilitas naik secara linier mulai 280 Kg/cm sampai 2400 Kg/cm. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin banyak jumlah satuan Asbuton dalam suatu campuran Lasbutag Modified terhadap agregat tertentu semakin didapatkan stabilitas yang baik dimana stabilitas bisa mencapai diatas 2000 Kg/cm. Stabilitas diatas 2000 kg/cm2 setara dengan stabilitas Hot Mix Aspal Cement (ATB, HRS-BC), sehingga kekuatan daya tahan sebagai lapis aus permukaan jalan bisa diandalkan. Hasil uji ini dihampar diatas permukaan aspal yang terdapat pada jalan poros di depan Laboratorium Bahan Jalan Baddoka kota Makassar sepanjang ± 50 m dengan lebar 2,00 meter, yang mana hingga saat ini kondisinya masih tetap baik. Kedepan masih diperlukan rekayasa dan penelitian lebih lanjut tentang Lasbutag Modified dengan menambah parameter uji berupa mengukur tingkat keausan, mengukur ketahanan dengan alat PRD dlsb sampai ditemukan campuran standard yang bisa diajukan menjadi NSPM dan diterbitkan SNI-nya. Para praktisi dalam melaksanakan penelitian di daerah ini masih mendapatkan banyak kendala, antara lain belum tersedianya instrumentasi laboratorium lengkap untuk rujukan pengujian, sehingga mereka masih enggan untuk menggelutinya. Sebagai solusi diharapkan mulai saat ini adanya keterlibatan pemerintah daerah untuk mendatangkan seperangkat alat uji Konstruksi lapis aus jalan lengkap berikut sarana gedung untuk digunakan para praktisi yang terdiri para unsur putra daerah untuk menekuni penelitian lebih lanjut masalah pemanfaatan Asbuton baik untuk bahan jalan maupun bahan tekhnologi industri. Sudah perlu dipikirkan pembentukan devisi Badan Penelitian dan Pengembangan Laboratorium Bahan Jalan dan Jembatan Direktorat Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum yang di alokasikan di daerah ini. Mengapa harus dibuat devisi pengujian di daerah ini, tak lain memiliki dua alasan yakni ; pertama adalah mengambil hak kemerdekaan bagi daerah otonom untuk menentukan nasib sendiri dalam menentukan riset dan pengembangan----jangan saja dipusat yang memonopoli hak-hak riset dan pengembangan dengan segala fasilitasnya, agar daerah-daerah lain di luar pulau Jawa juga bisa selangkah lebih maju, kedua ialah agar supaya para praktisi kita lebih mudah melakukan penelitian karena tambang Aspal Buton relative cukup dekat guna pengambilan sample disamping itu hasil penelitian betul-betul murni tanpa adanya tekanan rekayasa hegemoni politik dagang dengan pihak-pihak tertentu. Mampukah pemerintah daerah melobi departemen terkait untuk dapat mendatangkan seperangkat peralatan laboratorium uji konstruksi lapis aus jalan serta mampukah para praktisi jalan yang berdomisili di daerah ini untuk bersaing dengan para pakar aspal yang ada di pulau Jawa guna mendapatkan temuan campuran lebih baik tentang pemanfaatan Aspan Buton sebagai bahan lapis aus jalan ?!. Sebagai jawabnya tentu ini semua tergantung dari kita semua sebagai putra daerah khususnya tertantang bagi lembaga-lembaga peneliti pada perguruan tinggi yang ada di daerah ini, mampukah kita berbuat untuk kemajuan negeri ini. ***

KINERJA ASPAL BUTON BISA DITINGKATKAN : "MELALUI LASBUTAG MODIFIED, PERMUKAAN JALAN BISA TAHAN 10 TAHUN" (BAGIAN PERTAMA DARI DUA TULISAN)


 OLEH : ALI HABIU


Aspal Buton yang dalam perdagangan sering dikenal dengan nama Aspal Batu Buton atau Butas, Buton Mastik Aspal (BMA), Buton Granular Asphalt (BGA) dan dalam praktek umumnya digunakan sebagai bahan pencampur agregat untuk keperluan lapis aus permukaan jalan, dan sampai saat ini dalam pelaksanaannya belum mendapat kinerja yang baik. Para Kontraktor yang bergerak dibidang jalan juga meragukannya, mengingat hasil pekerjaan mereka selama ini selalu mendapat temuan seperti : segregasi, pecah/retak dan lubang-lunbang sebelum usia konstruksi mencapai 3 tahun, akibat kualitas hasil pekerjaan rendah. Dari berbagai formula campuran Asbuton yang telah di jadikan Norma Standard dan Pedoman Manual/NSPM dan mendapatkan rujukan SNI (Standard Nasional Indonesia) atas berbagai temuan dari hasil uji pada Labiratorium Badan Penelitian dan Pengembangan Bahan Jalan dan Jembatan, Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum untuk digunakan sebagai bahan lapis aus permukaan jalan, para pakar belum juga menemukan kualitas campuran yang sigifikan dapat tahan di atas 10 tahun. Berbagai macam formulasi campuran untuk bahan lapis aus permukaan jalan dari bahan Asbuton yang telah dihasilkan oleh para pakar tersebut antara lain : NACAS/Latasbum (Non Agregate Cold Asbuton Sheet/Lapis Tipis Aspal Buton Murni), AWCAS/Lasbutag (Agregate Weight Cold Asbuton Sheet/Lapis Asbuton Agregate), SCAS/Latabsir (sand Cold Asbuton Sheet/Lapis Tipis Asbuton pasir). Hingga saat ini pada kenyatannya berbagai campuran tersebut setelah dikerjakan di lapangan oleh para kontraktor, postulat pada umumnya belum ditemukan ketahanan lapis aus permukaan jalan di atas 3 tahun. Sehingga eksistensi hasil pekerjaan mereka sangat rawan terhadap temuan oleh para pemeriksa yang datangnya dari unsur BPK, BPKP, Irjen Departemen maupun Badan Pengawasan Daerah. Disamping itu juga jika ditinjau dari segi investasi, setelah dihitung akan diperoleh Benefid Cost Ratio lebih kecil dari satu sehingga pada kondisi demikian ini bila tidak mendapatkan metode lain maka pemakaian Asbuton tidak menguntungkan bagi Negara. Oleh karena itu, untuk menghindari temuan pemeriksa, para Kontraktor sangat enggan untuk mengerjakan sebuah proyek jalan apabila proyek tersebut menggunakan Asbuton sebagai bahan pencampur lapis aus jalan. Walapun Direktorat Jenderal Bina Marga telah mengeluarkan berbagai spesifikasi teknik untuk jenis campurannya serta dalam kontrak ikut ditawarkan pemakaian Asbuton tersebut, tetapi dalam pelaksanaannya banyak Kontraktor diam-diam merubahnya dan menggantikan dengan Aspal Panas (hot mix) ATB (Asphalt Treated Base) atau Hot Roller Sheet Base Coarse (HRS-BC) yang ketahanan konstruksi jauh lebih baik karena campurannya menggunakan bahan asphalt cement (AC) produksi Pertamina. Dengan adanya penggantian konstruksi aspal ini berarti Kontraktor harus menambah suntikan dana dalam satu meter kubiknya sejumlah 300 ribu s/d 400 ribu rupiah, tetapi kontraktor cukup puas mengingat biaya tambahan tersebut bila menggunakan misalnya Lasbutag akan habis dengan sendirinya untuk dipakai biaya perbaikan pada masa pemeliharaan dan biaya intertainmen ketika waktu tim pemeriksa turun ke lapangan. Sekalipun demikian dalam penulisan back up data, kontraktor tetap melaporkan pemakaian Lasbutag sesuai kontrak.

Sudah banyak jatuh korban kawan-kawan para pemimpin proyek yang menangani jalan, dan kasus yang paling banyak terjadi adalah pada instansi Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Provinsi Sulawesi Selatan. Para atasan langsung disana sangat memaksakan kepada para pemimpin proyek untuk menggunakan Lasbutag, padahal kenyataan di lapangan kostruksi ini yang paling rawan mendapat temuan pemeriksa. Akibatnya banyak unsur pemimpin proyek masuk bui serta kena sanksi pemecatan sebagai PNS lantaran proyeknya gagal. Memang sangat antagonis persoalan Aspal Buton ini, ketika para pakar jalan yang berasal dari Balitbang Bahan Jalan dan Jembatan Direktorat Jenderal Bina Marga melakukan uji coba (trial and error) di lapangan pada berbagai ruas jalan tertentu di negeri ini, hasilnya relative cukup baik---meskipun ketahanan konstruksi tidak bisa menyaingi ketahanan konstruksi jika menggunakan aspal minyak (AC), misalnya ATB atau HRS-BC dimana ketahanan bisa mencapai 10 tahun. Sedangkan rata-rata ketahanan konstruksi lapis aus jalan bila menggunakan Asbuton umumnya hanya bertahan relatif 5 tahun saja. Padahal keadaan akan lebih parah lagi bila kontraktor yang melaksanakannya, hampir pada umumnya ditemukan pemakaian Asbuton menghasilkan kinerja konstruksi yang buruk yang mana ketahanan konstruksi lapis aus jalan yang telah mereka kerjakan hanya diperoleh rata-rata 3 tahun saja, setelah itu permukaan jalan sudah kembali rusak.
Dari berbagai forum diskusi ilmiah menyoal masalah Aspal Buton yang pernah diikuti oleh penulis, diperoleh data bahwa hampir semua pakar ahli dibidang aspal yang telah menggeluti berbagai uji coba campuran yang menggunakan Asbuton ini, hingga sekarang belum ditemukan suatu kinerja komposisi campuran yang dapat diandalkan dan bisa bersaing dipasaran, baik kualitas maupun harga jika dibandingkan dengan produk campuran yang menggunakan aspal minyak (AC) produksi Pertamina. Sehingga timbul pertanyaan ; “Apakah memang para pakar dibidang jalan di pulau Jawa yang telah menangani penelitian tentang campuran Asbuton ini telah bekerja dengan sungguh-sungguh untuk menghasilkan produk campuran yang baik atau hanya kamuflase, mengingat adanya kepentingan politik untuk tidak memakmurkan daerah-daerah Kawasan Timur Indonesia, atau sebaliknya adanya pesanan ekonomi dari pabrik aspal Pertamina di Cilacap” ?!. Hingga saat ini kita belum mendapatkan jawaban yang pasti, sebab belum ada bargaining para praktisi jalan yang berada di daerah ini untuk mencoba menyoalnya dan melakukan riset ekonomi-teknologi untuk menguak tabir persoalan ini.
Secara konseptual teoritik pada dasarnya campuran beraspal adalah suatu kombinasi antara agregat dan Asbuton. Dalam campuran beraspal, Asbuton berperan sebagai pengikat atau lem antar partikel agregat, sedangkan agregat berperan sebagai tulangan. Sifat-sifat mekanis Asbuton dalam campuran beraspal diperoleh dari friksi dan kohesi dari bahan-bahan pembentuknya. Friksi agregat diperoleh dari ikatan antar butir agregat (interlocking) dimana kekuatannya tergantung pada gradasi, tekstur permukaan, bentuk butiran dan ukuran agregat maksimum yang digunakan. Sedangkan sifat Kohesinya diperoleh dari sifat-sifat Asphalten dan Malten yang digunakan. Oleh karena itu kinerja Asbuton untuk perkerasan beraspal sangat ditentukan oleh mutu bahan yang memenuhi syarat dan sifat-sifatnya.
Selanjutnya dilain pihak, masih banyak kalangan Kontraktor pelaksana di daerah ini belum mengetahui secara benar apa sebetulnya Aspal Buton itu, padahal tambang Asbuton ada dipelupuk mata mereka !. Oleh karena itu pada penulisan ini sekalipun mereka telah berpengalaman mengerjakan jalan namun tak ada salahnya untuk dijelaskan kembali bahwa Asbuton ialah batuan yang terdiri dari campuran antara ± 60 % s/d ± 80 % kapur+ fraksi pasir dan ± 40 s/d ± 20 % aspal yang terdapat di pulau Buton. Besarnya tingkat kandungan Asbuton tergantung dari lokasi tambang yang akan di eksploitasi serta kualitas sistem pengolaannya. Untuk tambang yang berasal dari Waisiu, Kabungka, Winto dan Wariti rata-rata memiliki kandungan aspal (Asphalten) antara 16% s/d 35%. Sedangkan tambang Aspal Buton yang berasal dari Lawele memiliki kandungan aspal (Asphalten) yang relative besar bisa mencapai 36% sampai 68%. ***

SETIAP USAHA PENRUSAKAN BADAN JALAN MERUPAKAN PERBUATAN PIDANA DAN BERTENTANGAN DENGAN UNDANG-UNDANG

Meskipun persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung rumah toko telah diatur dalam paragraf 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung antara lain pada pasal 11 ayat (2) disebutkan bahwa bangunan gedung yang dibangun di atas, dan/atau di bawah tanah, air, dan/atau prasarana dan sarana umum tidak boleh mengganggu keseimbangan lingkungan, fungsi lindung kawasan, dan/atau fungsi prasarana dan sarana umum yang bersangkutan. Dan pada pasal 13 ayat (b) dinyatakan bahwa jarak antara bangunan gedung dengan batas-batas persil dan jarak antara as jalan dan pagar halaman yang diizinkan pada lokasi yang bersangkutan.
Celakanya pembangunan gedung rumah toko yang tiga tahun belakangan ini semakin marak di dalam Kota Kendari khususnya yang terjadi pada poros jalan MT.Haryono- Andonohu akses pasar baru menuju pertigaan kampus baru Unhalu, bangunan rumah toko yang dibangun sepanjang jalan ini tidak disertai dengan bangunan saluran drainasi didepan bangunan rumah toko tersebut. Akibat dari tidak terbangunnya saluran drainasi ini pembuangan limbah rumah tangga dan air hujan yang berasal dari gedung rumah toko tersebut mengalir berkumpul ke badan jalan mengakibatkan badan jalan tergenang air. Semakin hari hal ini dibiarkan menggenangi permukaan jalan membuat badan jalan sebagai prasarana dan sarana umum ini akan mengalami kerusakan begitu berat yang akhirnya berdampak menimbulkan kemacetan lalu lintas yang melintas di atas jalan rusak yang menghubungkan pasar baru menuju pertigaan kampus baru tersebut. Secara konsepsi teoritis, tak dapat dipungkiri bahwa pada dasarnya jalan raya itu musuh utamanya adalah air. Intervenísi air yang bisa merusak pondasi jalan, bisa dari samping (see page), bisa dari bawa (undrain) dan bisa dari atas (infiltration). Pada kejadian ini ialah disebabkan adanya pengaruh air dari atas (infiltration) yang berasal dari air buangan limbah rumah tangga dan air hujan tergenang di atas badan jalan kemudian lambat laun air genangan tersebut meresap masuk kedalam pondasi jalan, mengakibatkan pondasi jalan mengalami penurunan kepadatan akibat air yang meresap tersebut mendesak stabilitas kepadatan tanah dengan menyerang optimum water contents melampaui 5%, akhirnnya pondasi jalan tersebut melemah dan badan jalan termasuk perkerasan aspal akan menjadi failure.
Didalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, pada pasal 42 disebutkan bahwa untuk memenuhi persyaratan sistem sanitasi, setiap bangunan gedung harus dilengkapi dengan sistem air bersih, sistem pembuangan air kotor dan/atau air limbah, kotoran dan sampah, serta penyaluran air hujan (drainasi). Pada pasal 44 ayat (4) disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan sistem pembuangan air kotor dan/atau limbah (drainasi) pada bangunan gedung mengikuti pedoman stándar teknis yang berlaku. Sebetulnya pada penjelasan ini sudah jelas bahwa sistem pembuangan air kotor rumah tangga dan air hujan (drainasi) itu pada bangunan-bangunan gedung rumah toko yang dibangun disepanjang jalan, maka otomatis juga salurannya dibuat ditepi jalan yang berada pada batas garis sempadan jalan (right of way) dengan batas garis sempadan pagar bangunan gedung rumah toko tersebut. Adapun aturannya disamping mengikuti stándar saluran pembuang air hujan dan limbah rumah tangga atau limbah rumah toko (drainasi) yang diterbitkan oleh direktorat jenderal Cipta Karya (Direktorat jenderal perkotaan) juga harus dielaborasi dengan standar drainasi jalan yang telah diatur dalam aturan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum atau dapat pula dengan memakai referensi buku IV drawing standardisasi pembangunan/peningkatan jalan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga. Pada katagori kasusistik kerusakan jalan yang saat ini sedang terjadi pada poros MT.Haryono-Andonohu, akses pasar baru menuju pertigaan kampus baru Unhalu ini jika mau bedah akar permasalahannya maka sumber utama poros jalan tersebut rusak adalah terletak pada penyebab banyaknya bangunan gedung rumah toko yang dibangun sepanjang poros jalan ini yang tidak dilengkapi dengan drainasi di mana batas antara drainasi yang mestinya dibangun bersamaan dengan pembangunan gedung rumah toko tersebut dengan garis sempadan batas pagar gedung dan batas garis sempadan jalan dengan pagar gedung amat tidak jelas. Hal ini terjadi karena pada umumnya bangunan gedung rumah toko yang telah maupun sedang dibangun tidak dibangun pagarnya atau tidak terdapat pagar baik permanen maupun non permanen (pagar bongkar/pasang) di halaman depan bangunan gedung rumah toko tersebut sehingga juga tidak memiliki drainasi. Pada kondisi yang terjadi demikian ini mestinya Pemerintah Kota Kendari beberapa waktu lalu segera mengambil langkah-langkah konkret dalam mengatasi keamanan fasilitas bangunan publik seperti akses jalan ini yang pada dasarnya saat ini telah dirusak oleh para pemilik bangunan gedung rumah toko yang berada di lokasi ini. Dengan demikian tingkat kerusakan jalan dapat dieliminasi jauh-jauh hari sebelumnya sehingga kondisi jalan tidak separah sebagaimana yang dialami saat ini. Pada pasal 46 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, sudah jelas disebutkan bahwa setiap bangunan gedung dan pekarangannya harus dilengkapi dengan sistem penyaluran air hujan (drainasi), dan pada pasal (5) dinyatakan bahwa sistem penyaluran air hujan (drainasi) harus dipelihara untuk mencegah terjadinya endapan dan penyumbatan pada saluran. Oleh karena itu Sangat diharapkan Pemerintah Kota Kendari harus segera mengambil tindakan nyata atas adanya kejadian kerusakan jalan poros MT.Haryono-Andonohu, akses jalan pasar baru menuju pertigaan kampus baru Unhalu ini yakni dengan memberi sanksi tegas kepada semua pihak para pemilik bangunan gedung rumah toko yang karena kelalaiannya telah menyebabkan kerusakan prasarana dan sarana jalan milik publik. Pemerintah Kota Kendari jika tidak serius mengindahkan masalah ini maka tidak tertutup kemingkinan masyarakat pengguna jalan atau publik akan menuntut kepada Pemerintah Kota Kendari karena dalam hal ini mereka telah melalaikan tanggungjawabnya dalam pemberian pelayanan baik kepada masyarakat sehingga publik pengguna jalan terganggu kenyamanan dan keselamatannya di jalan raya. Hal penuntutan ini sebetulnya telah di atur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, pada Bab VII tentang Peran Masyarakat, pada bagian pertama Hak dan Kewajiban, yakni pasal 29 disebutkan bahwa Masyarakat (publik) berhak untuk : a. Melakukan pengawasan untuk mewujudkan tertib pelaksanaan jasa konstruksi, b. Memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialami secara langsung sebagai akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Kemudian, Masyarakat berkewajiban : a.Menjaga ketetiban dan memenuhi ketentuan yang berlaku dibidang pelaksanaan jasa konstruksi, b.Turut mencegah terjadinya pekerjaan konstruksi yang membahayakan kepentingan umum (kepentingan publik). Gugatan oleh masyarakat (publik) telah diatur dalam pasal 38 Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tersebut yakni bisa perorangan, pemberian kuasa dan/atau kelompok orang tidak dengan kuasa gugatan perwakilan. Adapun secara pidana berlaku sanksi hukum dengan kurungan 5 (lima) tahun penjara bagi perencana, pelaksana dan pengawas yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya mengakibatkan kegagalan bangunan di mana lebih lanjut telah diatur dalam pasal 43 Undang-Undang ini.
Selain itu pada Bab VII mengenai Sanksi Administrasi Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, yaitu disebutkan pada pasal 113 ayat (1) pemilik dan/atau pengguna yang melanggar ketentuan Peraturan Pemerintah ini dikenakan sanksi administratif, berupa : antara lain pencabutan sertifikat laik fungsi bangunan gedung atau perintah pembongkaran bangunan gedung. Pada ayat (2) disebutkan bahwa selain sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga dikenakan sanksi denda paling banyak 10% (sepuluh persen) dari nilai bangunan yang sedang atau telah dibangun serta pada pasal (3) penyedia jasa konstruksi yang melanggar ketentuan Peraturan Pemerintah ini dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Pembangunan gedung rumah toko disepanjang poros ini merupakan bagian dari public policy, yang menurut pandangan Thomas Dye (1961) dalam bukunya Understanding Public Policy, mengatakan bahwa pemerintah acapkali melakukan hal-hal yang tidak konsisten dan tidak berulang, dengan demikian pula akan merupakan hal yang meragukan jika kita menjumpai kebijaksanaan pemerintah dalam pemerintahan yang berpegang teguh pada kreteria-kreteria ini. Oleh karena itu kebijaksanaan pemerintah (public policy) semestinya harus dapat di kontrol melalui penerapan perundang -undangan dan peraturan lainnya yang telah dikeluarkan oleh negara sehingga pemerintah tidak semena-mena kepada masyarakatnya (publik).
Prasarana dan sarana jalan poros MT.Haryono – Andonohu, akses yang menghubungkan pasar baru dengan pertigaan kampus baru Unhalu sebelum terbangunnya gedung rumah toko tiga tahun silam keadaan masih baik dan setelah bangunan-bangunan gedung rumah toko dibangun berjejer disepanjang poros ini di mana tidak dibangun satu paket dengan drainasi telah menimbulkan air buangan hujan dan limbah rumah tangga yang berasal dari lingkungan dan gedung yang dibangun meluap ke badan jalan mengakibatkan kerusakan jalan dipercepat (failure road acceleration). Institusi yang paling terdepan bertanggungjawab dalam masalah ini sebetulnya adalah Dinas Pekerjaan Umum Kota Kendari yang memiliki petugas pengawasan bangunan-bangunan gedung, juga Dinas Tata Ruang Kota Kendari yang punya kewenangan mengeluarkan izin membangun tanpa secara tegas melakukan penekanan persyaratan yakni perlunya bangunan gedung rumah toko ini disertai dengan drainasi melalui pola sistemik. Bangunan-bangunan milik publik sudah saatnya diawasi secara ketat oleh publik. Pada kondisi demikian ini agar tidak terjadi hal serupa pada lokasi-lokasi lain dalam kota kendari, masyarakat publik sudah sepantasnya menggunakan haknya dan kewajibannya untuk menuntut Pemerintah Kota Kendari sesuai hak dan kewajibannya yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi agar pembangunan gedung rumah toko yang saat ini lagi trend dibangun dalam wilayah kota kendari semakin tertib serta tidak merusak sarana dan prasarana bangunan milik publik dikemudian hari. ***

INTERPRETASI PUBLIK ATAS PASAL 107 AYAT 2 UNDANG-UNDANG NO.22 TAHUN 2009 : "PENGGUNAAN LAMPU UTAMA SEPEDA MOTOR DISIANG HARI"



Pasal ini berbunyi “Sepeda motor wajib menyalakan lampu utama pada siang hari.” Kalau beberapa waktu yang lalu menyalakan lampu hanya sebagai himbauan, kini benar-benar menjadi kewajiban karena dinilai memiliki peran penting dalam keselamatan berkendara. “Dengan lampu menyala pada siang hari pengendara sepeda motor akan lebih waspada. Dari spion bisa terlihat kilatan cahaya yang menandakan ada sepeda motor lain di belakang. Begitu juga di depan sorot lampunya akan memudahkan melihat sepeda motor lain,” demikian kata Kombes Condro Kirono, Dirlantas Polda Metro Jaya. Pria ramah ini lalu menceritakan aplikasi peraturan menyalakan lampu sepeda motor di siang hari pada beberapa negara tetangga. Di Brunai, Malaysia atau Singapura peraturan ini sudah duluan ada dan akhirnya berujung pada spesifikasi sepeda motor yang dibuat “switch on, light on.” Lampu utama langsung menyala ketika mesin dinyalakan. “Kalau cuma membuat spesifikasi sepeda motor yang “switch on, light on” saya rasa tidak sulit dan tidak akan membuat boros bahan bakar. Kalau begitu pabrikan buat dong sepeda motor dengan spesifikasi seperti ini,” saran pria ramah yang sedari dulu getol mengkampanyekan penggunaan lampu di siang hari ini.(Sumber : Otomotifnet.com)
Pada dasarnya adanya penerapan pasal 107 ayat 2 UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah semata-mata untuk kepentingan keselamatan publik pengendara sepeda motor di jalan raya, lalu timbul pertanyaan kita bahwa “apakah memang penyebab dari banyaknya kecelakaan lalu lintas khususnya yang terjadi pada kendaraan roda dua alias sepeda motor dijalan raya disebabkan karena tidak adanya sorotan lampu utama yang menimbulkan kilatan cahaya dari sepeda motor terhadap pengendara lainnya sehingga kecelakaan tak dapat dihindari!? Pertanyaan di atas sebenarnya naïf, namun masyarakat publik perlu lebih detail mengetahui asal muasal munculnya pasal tersebut sehingga masyarakat publik tidak merasa dirugikan oleh munculnya UU No.22 Tahun 2009 yang nota bene diajukan oleh pemerintah dan kemudian disetujui oleh unsur legialatif yang membidangi komisi ini yang selanjutnya diplenokan melalui sidang paripurna dan disetujui oleh DPR RI. Hal ini perlu dilakukan analisis komprehensif apakah memang di Indonesia tingkat kecelakaan lalu lintas pada kategori kendaraan sepeda motor diakibatkan oleh tidak adanya signal lampu yang menyorot spion kendaraan lain juga tidak adanya sorot lampu yang akan memudahkan melihat sepeda motor lain didepannya sehingga tabrakan mudah terjadi?. Seberapa besar indikatornya secara kuantitatif yang terjadi pada masing-masing daerah kota besar dan kota kecil di Indonesia. Dalam suatu penelitian untuk mendapatkan indikator dengan korelasi dan determinasi mendekati satu perlu dilakukan pemisahan indikator antara daerah atau kota dengan tingkat kepadatan lalu lintas yang sangat padat, dengan kota dengan tingkat kepadatan lalu lintas sedang atau ringan sehingga hasil penelitian dapat menggambarkan keadaan tingkat kepadatan lalu lintas dari pada masing-masing kota di Indonesia. Hingga saat ini pemerintah di Indonesia belum mengeluarkan undang-undang atau peraturan pemerintah yang mengatur batasan penguasaan tata ruang wilayah satu kendaraan sepeda motor dijalan raya berdasarkan total luas wilayah jalan dalam suatu kota sehingga berdasarkan batasan tersebut dapat dinyatakan suatu kota apakah sudah padat dan belum padat atas jumlah pengendara sepeda motor yang melintasi jalan raya di kota tersebut dengan maksud agar pemerintah dapat membatasi kuantitas sepeda motor yang beroperasi dalam suatu kota. Hal ini kedepan diperlukan agar jalan-jalan dalam kota tidak dikuasai atau didominasi oleh kendaraan sepeda motor yang juga pada akhirnya akan banyak menimbulkan kemacetan lalu lintas dan kecelakaan di jalan raya.
Striotipe masyarakat Indonesia masih tergolong sebagai masyarakat yang menganut disiplin yang relatif rendah dalam semua lini aktivitas kehidupan, termasuk berdisiplin berlalu lintas di jalan raya. Masih kita perlukan suatu penelitian menyeluruh sebetulnya sejauhmana tingkat disiplin pengguna sepeda motor di jalan raya terhadap tingkat kecelakaan lalu lintas?. Disiplin berlalu lintas dalam hal ini bisa ditinjau dari kemampuan seseorang pengendara sepeda motor dalam menguasai konsep teoritik dan praktikal peraturan teknik berlalu lintas dijalan raya termasuk penguasaan berbagai rambu keselamatan. Dapat juga diamati disiplin berlalu lintas dalam pemahaman ini adalah disiplin terhadap alat-alat standard atas sebuah kendaraan sepeda motor apakah cukup lengkap atau tidak seperti lampu weser, spion dan stir harus standar pabrikan bukan modifikasi atau variasi. Sehingga memang harus diakui sejujurnya sampai saat ini kita belum memiliki data yang akurat serta akuntabel dari hasil suatu penelitian ilmiah yang ditangani oleh lembaga-lembaga survei yang diakui oleh pemerintah mengenai sejauh mana indikasi tingkat kecelakaan lalu lintas bagi pengendara sepeda motor yang tidak lengkap alat-alat standar pabrikan dikendaraannya terhadap tingkat kecelakaan lalu lintas dijalan raya? Semua hasil penelitian atas pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah seharusnya datanya telah dimiliki oleh unsur jajaran Departemen Perhubungan Cq Direktorat Jenderal Perhubungan Darat juga unsur Direktorat Lalu Lintas Mabes Polri sehingga dari keseluruhan hasil data-data yang diperoleh barulah dapat disimpulkan sebetulnya penyebab utama dari timbulnya kecelakaan lalu lintas bagi pengendara sepeda motor di Indonesia disebabkan oleh faktor mana? Lalu kemudian faktor yang dominan yang menimbulkan kecelakaan lalu lintas itulah yang dituangkan dalam bentuk suatu keputusan atau undang-undang yang harus ditaati oleh seluruh masyarakat Indonesia. Kalau faktor dominannya adalah akibat karena standard peralatan motor tidak sesuai pabrikan artinya spion bukan asli, weser bukan asli, stir bukan asli melainkan modifikasi atau variasi maka pasal ini yang harus dituangkan dalam undang-undang untuk mengaturnya. Demikian pula kalau faktor dominan kecelakaan lalu lintas dari hasil penelitian ilmiah menunjukkan akibat dari kelalaian manusia karena tidak menguasai konsep teoritik dan praktikal teknik berlalu lintas yang benar termasuk didalamnya penguasaan rambu-rambu lalu lintas telah menimbulkan kecelakaan lalu lintas, maka faktor ini menjadi muatan pasal dalam undang-undang itu untuk mengaturnya. Dan bila benar dari hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kecelakaan lalu lintas bagi para pengendara sepeda motor diakibatkan karena tidak adanya pantulan cahaya dari lampu utama motor pada pengendara lain maka sudah betul maksud pasal 107 ayat 2 UU No.29 Tahun 2009 ini yang tak perlu lagi publik permasalahkan kecuali hanya mempertanyakan dampak kilatan lampu utama motor terhadap kesehatan mata manusia di siang hari dan pemanasan global.
Oleh karena itu sisi lain yang bakal menarik untuk dicermati oleh publik adalah bahwa diperlukan penelitian lebih lanjut akibat pantulan cahaya lampu sorot utama kendaraan sepeda motor terhadap lensa mata dan/atau kornea mata serta saraf mata pada pihak manusia yang menerima sorotan dan/atau pantulan kilatan cahaya tersebut disiang hari, mengingat cahaya mata hari saja disiang hari bila disorot langsung kemata manusia maka akan merusak lensa mata dan saraf mata sehingga dalam penerapan pasal ini sejauhmana dampaknya terhadap kesehatan mata agar tidak merugikan masyarakat publik pengguna jalan!?. Juga Pengaruh kilatan cahaya lampu utama sepeda motor terhadap meningkatnya temperatur udara pada daerah tertentu. Pemanasan global saat ini perlu diwaspadai karena akan merusak sistem lapisan ozon diatmosfir. Semakin menipis lapisan ozon diatmosfir maka akan semakin tinggi sinar ultra violet yang berasal dari sinar matahari akan tembus ke bumi yang bisa menimbulkan banyak bencana. Rumah berdinding kaca saja bisa menimbulkan efek terhadap pemanasan global apalagi sinar lampu utama motor yang jelas-jelas bersumber dari energi panas yang ditimbulkan oleh bola lampu. Bisa dibayangkan berapa besar energi panas yang dikeluarkan oleh setiap bola lampu utama sepeda motor pada suatu daerah yang memiliki jumlah kendaraan sepeda motor mulai dari puluhan ribu sampai jutaan kendaraan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian ilmiah sebetulnya seberapa besar energi panas yang dikeluarkan oleh bola lampu utama sepeda motor pada siang hari (cahaya diatas cahaya) terhadap perubahan suhu udara di suatu kota yang dapat meningkatkan efek pemanasan global.
Masih tersisa sedikit harapan semoga dalam Peraturan Pemerintah dan Petunjuk Teknis lebih lanjut dalam penerapan UU No.22 Tahun 2009 yang akan diterbitkan oleh instansi yang berwewenang dalam waktu dekat ini dapat memikirkan dampak-dampak lain dari pada pelaksanaan pasal 107 ayat 2 tersebut agar tidak mencederai publik pengguna jalan dan budaya mengadopsi kebiasaan Negara lain itu bukan hal yang bermartabat bila bertentangan dengan nilai akar budaya dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yang kita junjung tinggi selama ini. Selamat kepada Kepolisian Republik Indonesia satu lagi terobosan baru dalam mengendalikan kecelakaan lalu lintas para pengendara sepeda motor dijalan raya, semoga bermanfaat bagi masyarakat. ***

Senin, 02 November 2009

NILAI DAN ETIKA ADMINISTRASI NEGARA



Aplikasi nilai, Etika dan moral administrasi Negara dalam praktek dapat dilihat dari Kode Etik yang dimiliki oleh administrator publik. Kode Etik di Indonesia masih terbatas pada beberapa kalangan seperti ahli hukum dan kodekteran. Kode Etik bagi kalangan profesi yang masih belum ada, meskipun banyak yang berpendapat bahwa nilai-nilai agama dan Etika moral Panca Sila sebenarnya sudah cukup untuk menjadi pegangan bekerja atau bertingkah laku, dan yang menjadi masalah sebenarnya adalah bagaimana implementasi dari nilai-nilai tersebut. Pendapat tersebut tidak salah, tetapi harus diakui bahwa ketiadaan Kode Etik ini telah memberikan peluang bagi para pemberi pelayanan untuk mengenyampingkan kepentingan publik. Kehadiran Kode Etik itu sendiri lebih berfungsi sebagai kontrol langsung sikap dan prilaku dalam bekerja, mengingat tidak semua aspek dalam bekerja diatur secara lengkap melalui aturan atau tata tertib yang ada.
Kode Etik tidak hanya sekedar ada, tetapi juga diimplementasikan dalam bekerja, dinilai tingkat implementasinya melalui mekanisme monitoring, kemudian dievaluasi, dan diuapayakan perbaikan melalui Konsensus. Komit-men terhadap perbaikan Etika ini perlu ditunjukan, agar masyarakat publiK semakin yakin bahwa pemerintah sunguh-sungguh akuntabel.
Untuk itu, kita barangkali perlu belajar dari Negara lain, misalnya, kesadaran ber-Etika dalam pelayanan publiK telah begitu meningkat sehingga banyak profesi pelayanan publik telah menetapkan Kode Etiknya. Salah satu contoh yang relevan dengan pelayanan publik adalah Kode Etik yang dimiliki ASPA (American Society for Public Administration), yang telah direvisi berulang-ulang kali dan mendapat penyempurnaan dari para anggotanya (Wachs,1985). Nilai-nilai yang dijadikan Kode Etik bagi administrator pablik di Amerika Serikat adalah menjaga integritas, kebenaran, kejujuran, ketabahan, respek, beri perhatian, keramahan, cepat tanggap, mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan lain, bekerja profesional, pengembangan profesionalisme, komunikasi terbuka, kreativitas, dedikasi, kasih sayang, penggunaan keleluasaan untuk kepentingan publik, beri perlindungan terhadap informassi yang sepatutnya dirahasiakan, dukungan terhadap sistem “merit” dan program “affirmative action”.
Semua nilai yang terdapat dalam Kode Etik Administrator ini bukan muncul tiba-tiba, tetapi melalui suatu kajian yang makan waktu lama, dan didukung oleh diskusi dan dialog yang tidak pernah berhenti. Komperensi atau seminar berkala diantara para akademisi dan praktisi administrasi publik terus dilakukan. Para peserta seminar atau komperensi sangat diharapkan untuk berpartisipasi dalam diskusi dan dialog terbuka dan mendalam untuk menetapkan nilai-nilai moral Etika yang harus diperhatikan dalam bekerja, termasuk dalam kondisi apa seorang administrator harus bertindak atau memperhatikan moral dan Etika.
Untuk membantu menerapkan prinsip-prinsip Etika dan moral di Indonesia, pengalaman negara-negara lain perlu ditimba. Tidak dapat disangkal bahwa pada saat ini Indonesia yang dikenal sebagai Negara koruptor nomor muda atau paling muda di dunia, perlu berupaya keras menerapkan prinsip-prinsip Etika dan moral. Etika administrator publik atau manajer publik, Etika perencana publik, Etika pegawai negeri sipil, dsb., harus diprakarsai dan mulai diterapkan sebelum berkembangnya budaya yang bertentangan dengan moral dan Etika.

Beberapa Isu Penting
Menurut Denis Thompson (Shafritz & Hyde, 1997), di dalam adminis-trasi publik terdapat isu Etika yang kontroversial dan dilematis, yaitu Etika Netralitas dan Etika Struktur. Etika Netralitas menuntut seseorang adminis-trator untuk netral, artinya menerapkan prinsip Etika sesuai kebijakan organi-sasi atau sebagaimana diputuskan oleh organisasi, dan tidak boleh mene-rapkan prinsip Etika yang dianutnya. Etika seperti ini menuntut loyalitas tinggi bagi seseorang administrator, dan menyangkal otonomi ber-Etika. Perta-nyaan yang sering muncul menyangkut isi kebijakan atau keputusan organisasi – apakah keputusan atau kebijakan tersebut baik atau buruk, benar atau salah. Bila ada keinginan yang tidak baik di balik kebijakan atau keputusan tersebut, apakah administrator tetap secara buta mengikutinya?
Sementara itu, Etika Struktur menyatakan bahwa organisasi atau pimpinan organisasilah yang bertanggungjawab atas semua keputusan dan kebijakan yang dibuat, dan bukan individu aparat. Karena itu, bila terjadi suatu masalah dalam organisasi sebagai akibat dari keputusan dan kebijakan organisasi, pimpinan harus siap memikul resiko, kalau perlu manarik diri atau berhenti dari pekerjaannya. Permasalahan yang muncul adalah bila terjadi penarikan diri atau perberhentian sebagai akibat dari kesalahannya, organisasi yang bersangkutan mungkin akan menjadi labil, karena pimpinan sering diganti.
Isu lain menyangkut norma-norma yang bersifat absolut dan relatif. Norma-norma yang bersifat absolut cenderung diterima dimana-mana atau dapat dianggap sebagai “universal rules”. Norma-norma ini ada dan terpelihara sampai saat ini disemua atau hampir disemua masyarakat di dunia, yang berfungsi sebagai penuntun perilaku dan standard pembuatan keputusan. Kaum deontologist menilai bahwa norma-norma ini memang ada hanya saja manusia belum sepenuhnya memahami, atau masih dalam proses pemaha-man. Norma-norma ini biasanya bersumber dari ajaran pertimbangan atau alasan logis untuk dijadikan dasar pembuatan keputusan. Misalnya dalam pelayanan publik diperlukan norma tentang kebenaran (bukan kebohongan), pemenuhan janji kepada publik, menjalankan berbagai kewajiban, keadilan, dsb., merupakan justifikasi moral yang semakin didukung masyarakat dimana-mana. Melalui proses konsensus tertentu, norma-norma tersebut biasanya dimuat dalam konstitusi kenegaraan yang daya berlakunya relatif lama. Nilai-nilai dalam Panca Sila dan Pembukaan UUD 45 merupakan contoh kongkrit dari nilai-nilai tersebut, yang oleh pendiri Negara atau pencetus nilai-nilai tersebut dianggap sebagai nilai-nilai absolut atau universal. Mereka yang yakin dengan kenyataan ini dapat digolongkan sebagai kaum absolutis.
Sementara itu, ada juga yang kurang yakin dengan keabsolutan norma-norma tersebut. Mereka digolongkan sebagai kaum relativis. Kaum teleologist mengemukakan bahwa tidak ada “universal moral”. Suatu norma dapat dikatakan baik kalau memiliki konsekuensi atau outcome yang baik, yang berarti harus didasarkan pada kenyataan. Dalam hal ini kaum relativis berpendapat bahwa nilai-nilai yang bersifat universal itu baru dapat diterima sebagai sesuatu yang etis bila diuji dengan kondisi atau situasi tertentu. Misalnya, berbohong adalah norma universal yang dinilai tidak baik. Tetapi tidak dapat dinilai sebagai melanggar norma Etika. Sebaliknya menceriterakan kebenaran itu baik. Akan tetapi bila menceriterakan kebenaran itu sendiri tidak dapat dinilai sebagai sesuatu yang etis. Karena itu, kaum teleologis ini berpendapat bahwa tidak ada suatu prinsip moralitas yang bisa dianggap universal, kalau belum diuji atau dikaitkan dengan konsekuensinya.
Di Indonesia, nilai-nilai yang tertera dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 45 sering diterima secara kaku dan tanpa kompromi, padahal nilai-nilai ini dimuat pada suatu situasi tertentu yang pada waktu itu paling tepat menerapkan nilai-nilai tersebut. Dalam situasi seperti sekarang ini interprestasi terhadap nilai-nilai Pancasila, misalnya, terus berkembang, disesuaikan dengan konteks dan situasi bernegara.
Konflik paragdigmatis yang sering terjadi antara kaum relativis dan kaum absolutis merupakan hal yang biasa sekali terjadi didalam kenyataan hidup dan sudah menjadi tradisi akademis di negara-negara maju. Konflik seperti ini sangat berguna untuk merangsang dan meningkatkan sensitifitas ber-Etika bagi masyarakat luas meskipun tidak selamanya berakhirkan dengan kepuasan pada kedua pihak yang bertentangan. Konflik seperti ini, sadar atau tidak, ternyata telah meningkatkan kedewasaan dalam ber-Etika. Dan berkembangnya kedewasaan ini sangat membantu mengontrol perilaku para pemberi pelayanan publik oleh publik sekaligus mengarahkan semua organisasi pelayanan publik untuk tetap mengutamakan nilai kepentingan publik diatas kepentingan lainnya.
Dalam praktek pelayanan publik saat ini di Indonesia seharusnya para administrator secara umum memperhatikan kedua aliran Etika di atas. Atau dengan kata lain, para pemberi pelayan publik harus mempelajari norma-norma Etika yang bersifat universal, karena dapat digunakan sebagai penuntun tingkah lakunya. Akan tetapi norma-norma tersebut juga terikat situasi sehingga menerima norma-norma tersebut sebaiknya tidak secara kaku karena norma-norma tersebut terkadang terikat situasi kondisi tertentu. Bertindak seperti ini menunjukan suatu kehebatan dalam ber-Etika. Dialog menuju konsensus dapat memecahkan dilemma tersebut.
Kelemahan kita terletak pada ketiadaan atau kekurangan Kode Etik. Kebebasan dalam menguji dan mempertanyakan norma-norma moralitas yang berlaku belum ada. Bahkan sering kali kita bersikap kaku terhadap norma-norma moralitas yang sudah ada tanpa melihat perubahan jaman atau situasi. Kita juga masih membiarkan diri kita didikte oleh penguasa sehingga belum nampak otonomi ber-Etika. Upaya untuk menguji norma-norma tersebut kadang-kadang dianggap sebagai upaya tidak terpuji, bertentangan dengan konstitusi, ideologi Negara, dsb. Akibatnya muncul sikap masa bodoh dan hal yang demikian memberikan peluang bagi mereka yang berkuasa untuk terus mendikte Etika mereka.