Opinion Peblika

Opinion Peblika
Suasana Foto Galian Tanah Tambang C Tanpa Melalui SRKL dan AMDAL di Wakatobi

Selasa, 21 Juni 2011

INDONESIA, GENEALOGI ISTILAH, ANCESTOR, DAN BUDAYANYA

OLEH : SETA BASRI


Pengantar. Kajian sistem budaya Indonesia tidak akan lengkap tanpa sebelumnya terlebih dahulu dibahas garis besar mengenai apa yang dinamakan sebagai “Indonesia”. Kajian dititikberatkan pada aspek genealogi istilah Indonesia, faktor-faktor geografis, demografis, sosiologis, dan politik negara ini. Setelah serangkaian hal tersebut diperjelas, kajian sistem budaya Indonesia akan diperlihatkan signifikansinya.


Genealogi Istilah “Indonesia”
Sebelum Indonesia, sebagai sebuah bangsa, awalnya tidaklah ada. Jika kita lihat peta Indonesia kini, tersebar pulau-pulau. Dari Sabang yang paling Barat hingga daerah Merauke di paling Timur. Dari Sangir di paling Utara hingga Timor di paling Selatan. Hampir di setiap wilayah di kisaran pulau tersebut dihuni masyarakat berbeda, dengan budaya yang berbeda pula. Lalu, apa yang bisa dikatakan sebagai budaya Indonesia ?

Indonesia awalnya adalah sebuah gagasan. Gagasan kesatuan yang abstrak, yang meliputi wilayah jajahan Belanda. Gagasan yang kiranya masih baru dan terus mengalami perubahan dan adaptasi hingga saat ini. Gagasan yang kerap menghadapi sejumlah penolakan, separatisme, dan dekonstruksi ideologi hingga saat ini. Dari gagasan ini maka kajian sistem sosial dan budaya Indonesia berawal.

Indonesia adalah sebuah negara dengan 18.000 pulau yang tersebar di antara benua Asia dan Australia. Hampir setiap pulau dihuni oleh etnis dengan budaya yang spesifik. Satu sama lain berbeda. Lalu, bagaimana mereka bisa mengikatkan diri ke dalam sebuah nation?

Kata “Indonesia” pertama kali digagas oleh George Samuel Windsor Earl, pengamat sosial dari Inggris tahun 1850. Kata yang ia gagas adalah “Indu-nesians”. Saat itu Earl mencari istilah etnografis yang menjabarkan cabang ras Polinesia yang menghuni kepulauan Hindia (kepulauan kini Indonesia yang dibawah jajahan Belanda). Atau, istilah untuk menggambarkan ras-ras kulit coklat di Kepulauan Hindia. Namun, setelah menciptakan istilah “Indu-Nesians”, Earl langsung membuangya akibat terlalu umum dan menggantinya dengan “Malayunesians”.

Lalu rekan Earl bernama James Logan, mengabaikan Earl dan memutuskan bahwa “Indonesian” lebih tepat ketimbang “Malayunesians”. Indonesian, bagi Logan, lebih menjelaskan istilah geografis bukan etnografis. Logan menyebut bahwa kata “Indonesian” adalah pemendekan dari istilah geografis “Indian Archipelagian.” Sebab itu, Logan merupakan orang pertama yang menggunakan istilah “Indonesia.”

Tahun 1877, E.T. Hamy, antropolog Perancis, menggunakan kata “Indonesia” untuk menjabarkan kelompok-kelompok ras prasejarah dan “pra-Melayu” tertentu di kepulauan Indonesia. Tahun 1880, antropolog Britania, A.H. Keane, mengikuti penggunaan Hamy. Di tahun yang sama, istilah “Indonesia” dalam pengertian geografis juga digunakan oleh ahli bahasa Britania, N.B. Dennys. Lalu di tahun 1882, Sir William Edward Maxwell, administrator kolonial dan ahli bahasa Melayu dari Britania mengikuti praktek Dennys.

Penggunaan istilah Indonesia lalu meluas. Adolf Bastian, etnograf Jerman, menggunakan kata “Indonesia” dalam 5 jilid karyanya berjudul “Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel”. Karya tersebut terbit tahun 1884-1894. Bastian ini memiliki reputasi ilmiah yang tinggi. Sebab itu, kata “Indonesia” lalu lebih dianggap dan digunakan secara luas.

Pada September 1885, G.A. Wilken, seorang etnograf dan mantan pejabat Hindia Belanda sekaligus profesor di Universitas Leiden Belanda menggunakan istilah “Indonesia”. Wilken ini menggunakan istilah “Indonesia” secara geografi, sama seperti James Logan sebelumnya.

Para perkembangan kemudian, istilah “Indonesia” tidak lagi merujuk pada aspek geografis. Istilah itu juga kerap dipakai dalam konteks etnis dan budaya. Sejak karya Adolf Bastian, istilah Indonesia juga berfungsi menjabarkan suatu kawasan yang dianggap dihuni orang-orang dengan ciri etnis dan budaya yang mirip. Ciri tersebut meliputi bahasa, fisik, dan adat. “Indonesia” adalah kata sifat yang digunakan untuk mewakili sifat-sifat tersebut. Sementara kata “Indonesian” adalah orang-orang dengan ciri-ciri umum seperti itu, yang juga kadang digunakan untuk melukiskan penghuni Madagaskar hingga Formosa. “Indonesia” adalah kata guna melukiskan tempat-tempat yang mereka huni.

Aspek pertama gagasan Indonesia sebagai wilayah politik diutarakan pejabat Belanda. Pada tahun 1909, J.B. Van Heutsz, seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda menyatakan bahwa Belanda telah meluaskan otoritasnya hingga seluruh penjuru terjauh Nusantara. Monumen peringatan peristiwa tersebut didirikan tahun 1932 dan kini terletak di kompleks Masjid Cut Meutia, Menteng, Jakarta.

Aspek kedua munculnya Indonesia sebagai gagasan politik adalah integrasi vertikal seluruh wilayah Indonesia. Integrasi ini tercipta akibat perkembangan-perkembangan sarana berikut :
1. angkutan, terutama rel kereta dan jalan di Jawa serta jalur laut yang dibangun perusahaan perkapalan Belanda, Koninklijk Paketwaart maatschappij
2. kesaman mata uang
3. sistem administratif, pajak, dan hukum yang terpusat
4. wilayah-wilayah seperti Yogyakarta, Makassar, Meda, bahkan Kupang tidak bisa lagi dikatakan terisolasi dari pusat (Batavia/Jakarta)

Seluruh perkembangan di atas dan makin rumitnya kegiatan ekonomi Belanda di seantero kepulauan, merangsang pergerakan orang atau perantauan skala besar yang melintasi wilayan Indonesia. Ini misalnya akibat meluasnya perkebunan di Sumatra Timur serta transmigrasi yang disponsori pemerintah Belanda maupun kemauan sendiri. Hasil dari proses ini adalah makin banyak kontak antara berbagai ras di Indonesia. Tercipta kondisi saling paham menggantikan persaian yang marak sebelumnya. Ini diperkuat dengan penggunaan bahasa Melayu sebagai pengantar, yang penggunaannya meluas ke seluruh bagian kepulauan.

Kini, Indonesia sebagai kesatuan politis mulai memperlihatkan bentuknya. Ekses negatif dari kesatuan politis ini adalah terjadinya pembongkaran, pengabaikan, dan pembentukan ulang hubungan-hubungan ekonomi dan budaya yang sudah ada. Ekonomi kolonial Jawa menjadi model, dengan fokus kepada negara-negara Barat yang mengimpor produk kawasan tropis.

Sebelumnya, wilayah-wilayah lain lebih berfokus pada Singapura dan Penang. Wilayah ini terbiasa terintegrasi ke dalam perdagangan antarnegara lewat pelabuhan pulau Singapura. Mereka kini terpaksa mengikuti pola ekonomi kolonial di Jawa. Ekses lain dari Jawa sebagai model adalah kawasan Indonesia Timur terisolasi dari dunia luar. Dengan demikian, sifat negara “Hindia-Belanda” menjadi kuat, sangat terpusat, sangat birokratis, diatur dari dan dibentuk berdasarkan pengalaman Jawa.

Aspek ketiga dari munculnya gagasan politik Indonesia adalah gerakan yang dilakukan perintis Indonesia sebagai nation. Mereka terdiri atas aktivis surat kabar, mahasiswa, pemeluk agama, dan birokrat pribumi yang bekerja pada Belanda.

Setelah politik etis dimulai, banyak orang pribumi Hindia-Belanda yang belajar menguasai bahasa Belanda. Sebab, hampir seluruh bahasa ilmu pengetahuan dan informasi yang beredar saat itu menggunakan bahasa tersebut. Selain itu, mulai terbuka kesempatan menempuh jenjang pendidikan, meski tidak terlampau merata.

Beberapa media cetak seperti Retno Dhoemilah, Bintang Hindia, dan Pewarta Panji banyak membukan wawasan kalangan elit Indonesia untuk menyadari kebangsaan mereka. Dalam Retno Dhoemilah tergabung Dr. Wahidin Sudirohusodo, memegang jabatan pemimpin redaksi. Melalui media tersebut Wahidin menyebarkan gagasan kebangsaan Indonesia.

Selain itu, kalangan mahasiswa asal Hindia-Belanda di Belanda juga pegang peranan dalam membiakkan wawasan kebangsaan baru. Sebagian mahasiswa merupakan wakil dari kelas ningrat Jawa modernis yang berniat melakukan perubahan sosial. Mereka disebut sebagai priyayi baru. Juga, terdapat pula priyayi yang berasal dari Sumatera Barat, orang-orang perantau yang sejak dulu bersikap terbuka terhadap cara berpikir dan bertinda yang baru. Mereka tergabung dan Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Tujuan IV adalah memperjuangkan kepentingan orang Hindia di Belanda dan tetap menjaga hubungan dengan Hindia Timur Belanda.

Rombongan haji orang Hindia-Belanda ke Mekah juga pegang peranan. Snouck Hurgronje (islamolog Belanda) mengamati proses interaksi jamaah haji ini. Sebagian dari mereka menetap di Mekkah dan mendirikan Kampung Jawi, suatu koloni orang Hindia-Belanda di kota Mekah.

Di Mekah, jamah haji dari kepulauan Indonesia mempelajari aliran-aliran Islam reformis dan modernis yang jadi trend saat itu. Mereka membayangkan bagaimana jika mereka bersatu melawan kemapanan negara kolonial Belanda sebagai representasi Barat. Mulai muncul keinginan mendirikan negara Islam di Indonesia.

Pembiakan ideologi kebangsaan jamaah haji ini lebih dinamis di Kairo. Secara intelektual, Kairo lebih “segar” ketimbang Hijaz. Di Universitas Al Alzhar mereka mempelajari pemikiran Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Di Kairo ini muncul suatu organisasi bernama Jamiah Setia Pelajar pada 1912. Organisasi ini banyak dipengaruhi pemikiran Rasyid Ridha dan mengembangkan rasa kesatuan Jawi.

Satu fenomena yang signifikan adalah gerakan yang dilakukan 3 serangkai: Douwes Dekker, Soewardi Suryaningrat, dan Tjipto Mangunkusumo. Ketiganya mengkampanyekan bangsa yang satu jiwa yang hidup dan romantis. Dekker mendirikan Indische Partij (Partai Hindia) bersama Soewardi dan Tjipto. Dekker adalah peranakan campuran Jawa-Belanda, sementara dua lainnya priyayi Jawa yang progresif.

Gagasan Indische Partij adalah mendirikan suatu negara yang bukan didasarkan solidaritas etnis, ras, keterikatan keagamaan, atau kedekatan geografis. Yang diupayakan IP adalah ikatan bangsa baru berdasarkan rasa kesamaan pengalaman dan solidaritas khusus yang mengalir darinya. Pengalaman yang dimaksud adalah rasa sama-sama ditindas. Bagi Dekker, yang membentuk negara bukanlah kesatuan ras, kepentingan ataupun bahasa, melainkan kesatuan hukum yang mengatur bentang negara. Akibat aktivitasnya, tiga serangkai dibuang ke Belanda. IP dibubarkan pemerintah kolonial.

Konsep Indonesia yang tengah berkembang tidaklah monolitik. Hindia-Belanda saat itu juga disemaraki semangat berdasar primordialisme. Sentimen-sentimen agama, suku atau kedaerahan juga sangat kuat tatkala Indonesia belum merdeka. Contohnya Sarekat Islam, satu organisasi massa besar dan lintas pulau tetapi mendasarkan diri pada agama ini tumbuh 1912. Sarekat Islam bukan satu-satunya organisasi yang didasarkan pada semangat primordialisme.

Perserikatan Minahasa juga berdiri 1912, yang mungkin sebagai reaksi munculnya Budi Utomo (1908) yang menekankan Kejawaan. Perserikatan Minahasa tercipta karena hubungan khas wilayah itu dengan kolonial Belanda. Inti Perserikatan ini adalah perkumpulan prajurit Kristen Manado yang ditempatkan di Jawa tengah. Pada perkembangannya, perserikatan ini mengupayakan pemerintahan sendiri dan dibalas dengan penghapusan hak-hak istimewa mereka oleh kolonial Belanda.

Reaksi yang sama juga terjadi dengan didirikannya Pasundan, 1914, yang berupaya memperkuat identitas suku Sunda di Jawa Barat. Juga ada Kaum Betawi, yang melibatkan penduduk “asli” Batavia. Mei 1920 berdiri pula Sarekat Ambon, disusul Jong Java dan Jong Sumatranen Bond (1917). Jong Java terinsirasi konsep Jawa Raya, sementara JSB adalah kumpulan orang Sumatra dari aneka wilayah dan tinggal di Jawa. JSB menghendaki penyisihan sentimen kesukuan dan menyebut diri selaku orang Sumatera saja.

Sarekat Ambon didirikan di Semarang. Kebanyakan anggotanya orang Ambon yang jadi tentara kolonial Belanda di markas Semarang. Para pendirinya berupaya merangkul banyak orang Kristen Ambon yang kerja di kalangan kerang putih di Jawa. Salah satu tokohnya, A.J. Patty sangat terpengaruh gagasan Douwes Dekker. Baginya, tujuan SA adalah “mengangkat orang Ambon secara material dan spiritual, termasuk minoritas Muslim dalam masyarakat Ambon.

Seorang pemimpin Batak, Manullang, pada 1919 membandingkan nasib mereka dengan kemakmuran dan kekuasaan kaum kapitalis kuilt putih. Abdul Muis, jurnalis Sumatera Barat menyatakan kemerdekaan Hindia, bukan kemerdekaan koloni Hindia Belanda yang harus menjadi tujuan tindakan Pemerintah.

Kemunculan sentimen kesukuan ini dimanfaatkan Belanda untuk memecah belah. Lewat agennya H. Colijn dan rekan-rekannya, mereka menghembuskan provokasi berupaya penguatan sentimen perbedaan suku, ancaman dominasi Jawa, dan rasa takut bahwa identitas etnis akan hilang jika “Indonesia” mewujud. Tindakan ini dibalas oleh Perhimpunan Hindia dengan pernyataan “orang Jawa tetap orang Jawa, orang Sumatera tetap orang Sumatera, orang bukan bunglon, tapi semuanya bergabung menjadi satu BANGSA, satu NEGARA.”

Pembentukan nation Indonesia awal punya kontradiksi. Kontradiksi muncul akibat mengemukanya 2 kaidah berbeda seputar perlunya suku-suku Hindia-Belanda bersatu.

Kaidah pertama mengutamakan kesatuan budaya pribumi Indonesia, dengan tokohnya Soeryo Poetro di Belanda. Kaidah ini menganggap orang-orang Hindia Belanda bukanlah kumpulan ras yang beragam. Mereka boleh dianggap satu bangsa yang berasal dari leluhur yang sama. Alasan lainnya, sejarah menunjukkan mereka telah terlibat hubungan dagang yang aktif sesamanya. Sehingga, kekuatan Indonesia akan datang dari kesdaran bangsa Indonesia bahwa mereka semua bersaudara. Pada akhirnya, mereka semua akan melihat kekuatan besar macam apa yang tersembunyi di dalam bangsa Indonesia.

Kaidah kedua mengutakan kesatuan berdasar nasib terjajah. Ini diajukan oleh Tjipto Mangunkusumo dengan visinya yaitu nasionalisme antarpulau Indonesia terbangun atas ikatan yang tidak peduli seberapa besar beda budaya dan sejarah suku-suku, tetapi yang terpenting satu ikatan besar mempersatukan mereka semua, yakni kesamaan penjajahan ekonomi dan politik oleh suatu kekuatan asing.

Rasialisme mulia menggejala di pergerakan awal Indonesia. Pada tahun 1919, Hasan bin Sumayt (seorang Arab Yaman) ditolak masuk Sarekat Islam karena dianggap orang asing. Kasus tersebut bukanlah satu-satunya. Kasus-kasus ini akibat program persamaan hak Insulinde yang dipromosikan pemerintah Kolonial. Atas hal ini, muncul kekhawatiran di kalangan pribumi bahwa tidak lama lagi, tanah orang Jawa akan beralih dari kolonial Belanda ke tangan bangsa Arab, Cina, dan Eropa.

Hingga tahun 1920-an, gagasan “Indonesia” sudah sangat kuat berhembus. Tahun 1922, mahasiswa Indonesia dan Malaya di Universitas Al Azhar Kairo mendirikan Jama’ah al-Chairiah al-Talabijja al-Azharian al-Djawiah (Jamaah Kesejahteraan Mahasiswa Jawa Al-Azhar. Di Belanda, pada 1922 juga, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) dan menggunakan nama Perhimpunan Indonesia secara tetap mulai 1925.

Tahun 1922 diadakan Kongres Seluruh Hindia di Hindia-Belanda. Tujuannya mengupayakan persatuan berdasarkan model Kongres India dan memperjuangkan otonomi Hindia di bawah persemakmuran Belanda dengan kemitraan setara. G.S.S.J. Ratulangie mulai memperkenalkan nama “Indonesia.”

Tahun 1923, H.O.S. Tjokroaminoto mengadakan Kongres Nasional Hindia, juga meniru model India. Tujuan kongres adalah menyatukan organisasi-organisasi lokal dan regional untuk memperjuangkan “kemerdekaan dan kebebasan nasional.” Di kongres tersebut, Tjokroaminoto menyatakan janganlah lupa akan gagasan kesatuan bangsa. Jangan pula membeda-bedakan antar ras dan suku, orang Sumatra, orang Bali, orang Jawa, orang Sulawesi dan Borneo. Semuanya orang Hindia. Sayangnya, Sarekat Islam yang dipimpinnya lambat-laut larut dalam gerakan Pan-Islamis kemudian organisasi besar ini hilang dalam dinamika pembentukan nasion Indonesia.

Perhimpunan Indonesia, organisasi mahasiswa Indonesia di negeri Belanda, memulai peran pentingya selaku motor konsep Indonesia merdeka. Jurnal bulanan organisasi ini, Indonesia Merdeka, mulai terbit sejak 1924. Pelanggannya adalah Tjokroaminoto, Abdul Muis, Tjipto Mangoenkoesoemo, Abdul Rivai, Soewardi Suryaningrat, Douwes Dekker, Sarekat Islam, Indonesische Studieclub, bupati dan pejabat pemerintah senior pribumi, van Vollenhoven, Sneevliet, G.J. Hazeu, Snouck Hurgronje, redaksi koran-koran Belanda, organisasi-organisasi internasional, pangeran Solo dan pendukung nasionalisme Jawa, Mangkunegoro VII, dan redaktur Seruan Al Azhar (jurnal organisasi Jama’ah yang didirikan di Kairo).

Ancestor Indonesia

Penyebutan “Indonesia” pada tulisan ini mengacu pada wilayah yang kini termasuk ke dalam Negara kesatuan Republik Indonesia. Wilayah ini, pada materi sebelumnya, masuk ke dalam colonial Belanda. Gugusan kepulauan berikut penduduk yang menempatinya merupakan “genius lokal” yang berhasil mengadaptasi beberapa jenis budaya “luar” yang datang menghampirinya.

Tidak kurang budaya-budaya Hindu-Buddha, Islam, Timur Jauh, dan tentunya Barat (Portugis, Belanda, Inggris) datang dan meninggalkan bekas, untuk kemudian perpaduannya dengan budaya lokal diakui sebagai bagian dari budaya Indonesia. Kendati masing-masing budaya “luar” tersebut berbeda tingkat kedalaman pengaruhnya, masyarakat kepulauan Indonesia berhasil “meracik” dan dianggap sebagai bagian budaya Indonesia sendiri. Hal ini akan kita perlihatkan dalam materi-materi yang kemudian.

Mata kuliah ini menekankan pada dinamika saling pengaruh dan mempengaruhi antara budaya lokal dengan budaya yang datang dari luar wilayah kepulauan. Sebab itu, menjadi suatu keharusan untuk terlebih dulu disampaikan seperti apa bentuk-bentuk budaya lokal yang dianut penduduk Indonesia. Ini penting dilakukan demi keperluan analisis seputar pengaruh yang diberikan budaya “luar” atas Indonesia. Tanpa deskripsi atas budaya lokal, bahasan akan sulit terkendali dan kemungkinan tiada menemui tujuannya.

Tentu saja, diperlukan literatur atau bahkan penelitian tersendiri guna mendeskripsikan seperti apa bentuk budaya yang “lokal” Indonesia. Kajian ini agak sulit mengingat penduduk Indonesia sendiri berkembang melalui sejumlah migrasi penduduk dari wilayah selatan Cina. Termasuk ke dalamnya tidak diketahui batasan pasti mengenai kapan penduduk lokal Indonesia memulai kontak dengan kebudayaan “luar.” Sebab itu, tulisan ini pun perlu dikritisi demi menemui perbaikannya.

Kesulitan mengenai batasan antara mana yang disebut penduduk “asli” Indonesia dengan yang bukan pun ditemui oleh Bernard H. M. Vlekke. Sejarawan Belanda itu menyebut oleh sebab kepulauan Indonesia terletak di jalur laut utama antara Asia bagian timur dan selatan maka “dengan sendirinya bisa diperkirakan akan terdapat populasi yang terdiri atas beragam ras.” Jika kajian Vlekke dijadikan sebagai titik pijak, maka ada baiknya dilakukan penelusuran terlebih dahulu genealogi ras dari manusia-manusia yang mendiami sekujur kepulauan Indonesia ini.

Ancestor atau nenek moyang kerap dirujuk sebagai suatu konsep guna menerangkan genealogi manusia yang terlebih dahulu dilanjutkan dengan yang muncul di masa kemudian. Mengenai ancestor manusia Indonesia ini, Koentjaraningrat menyebut sekurangnya 1 juta-an tahun lampau, sudah ada Pithecanthropus Erectus yang hidup di lembang sungai Bengawan Solo. Makhluk yang sejenis dengan Pithecanthropus Erectus ini juga ditemukan di gua-gua dekat Peking (Cina) dan wilayah Asia Timur.

Terdapat suatu teori dari Sarasin bersaudara (Paul dan Fritz Sarasin) yang menyebut bahwa populasi asli Indonesia adalah suatu ras berkulit gelap dan bertubuh kecil yang turunan dari ras asli ini disebut orang Vedda. Koentjaraningrat menyebut orang Vedda ini menunjukkan persamaan pula dengan penduduk asli Australia (Aborigin) dan menyebutnya Austro-Melanosoid. Penamaan Vedda ini diambil dari salah satu suku yang terkenal di Srilanka. Termasuk ke dalam ras ini adalah suku Hieng di Kamboja, Miao-tse dan Yao-jen di Cina, Senoi di Semenanjung Malaya, Kubu, Lubu, dan Mamak di Sumatera, serta Toala di Sulawesi.

Ras ini awalnya mendiami seluruh wilayah Asia bagian tenggara yang saat itu masih bersatu dalam satu daratan dalam periode Glasial (zaman es). Di akhir periode Glasial, es mencair dan berakibat naiknya permukaan laut. Muncullah Laut Cina Selatan dan Laut Jawa yang mana keduanya memisahkan wilayah pegunungan Vulkanik Indonesia dari daratan utama. Penduduk asli (yang berkulit gelap tadi) tinggal di wilayah pedalaman, sementara wilayah pesisir dihuni oleh kaum pendatang. Kaum pendatang ini akan dibahas lebih lanjut oleh paragraph-paragraf di bawah ini.

Orang Vedda atau Austro-Melanosoid ini kemudia menyebar ke Timur dan menduduki Papua, Sulawesi Selatan, Kai, Flores Barat, Timor Barat, Seram -- sebelum es periode Glasial mencair -- dan terus ke timur menduduki pula Kepulauan Melanesia. Sebagian menyebar ke Barat dan menduduki Sumatera. Di Sumatera ini mereka mengembangkan alat kapak genggam dan suka memakan kerang yang dibuktikan tumpukan fosil kulit kerang di Sumatera Utara dekat Medan, dekat Langsa (Aceh), Perak, Kedah, dan Pahang di Malaysia.

Selain di Sumatera, bukti penggunaan kapak genggam juga ditemukan di gua-gua Jawa semisal Gua Sodong (Besuki), Gua Petruruh (Tulungagung), Gua Sampung (Ponorogo) bahkan di Vietnam Utara. Sebab itu, Koentjaraningrat mengajukan pendapat, terjadi perpindahan penduduk Austro-Melanosoid dari timur ke barat, dari Jawa menuju Sumatera, Semenanjung Malaya, Thailand Selatan, hingga Vietnam Utara. Melalui perpindahan ini dimungkinkan terjadinya percampuran antara ras Austro-Melanosoid dengan Mongoloid.


Kaum pendatang lalu datang dalam 2 gelombang. Gelombang pertama disebut Proto-Melayu dan gelombang kedua disebut Deutero-Melayu.

Proto-Melayu dipercaya sebagai ancestor dari penduduk yang menghuni kawasan kepulauan dari Madagaskar hingga pulau-pulau paling timur di Pasifik. Mereka ini datang dari Cina bagian selatan, tepatnya wilayah Yunnan. Mereka bermigrasi dalam jumlah besar, pertama menuju Indochina, Siam, dan terakhir ke Kepulauan Indonesia. Taksiran waktunya adalah 11.000 - 2000 sM.

Perkakas mereka berasal dari periode neolitik. Selain dari Yunnan, Koentjaraningrat juga menyebut kemungkinan Proto-Melayu ini datang dari Kepulauan Ryukyu Jepang, Taiwan, Filipina, Sangir, dan masuk ke Sulawesi Selatan yang dibuktikan dengan adanya Suku Toala Proto-Melayu. Mereka ini sudah mengembangkan budaya berburu dengan busur dan panah.

Proto-Melayu yang juga disebut Koentjaraningrat dengan Paleo-Mongoloid ini kemudian didesak oleh gelombang migrasi kedua (Deutero-Melayu) sekitar 300 s/d 200 sM. Manusia yang migrasi ini berasal dari Indochina bagian utara dan sekitarnya. Perkakas mereka ini berasal dari logam, termasuk senjata besi. Mereka juga sudah bergiat bercocok tanam di ladang dan menggunakan perahu bercadik.
Padi kemudian dibawa Deuteru-Melayu ini dari wilayah Assam Utara atau Birma Utara, lewat lembah sungai Yang-tze (Cina Selatan) dan akhirnya menemui tempatnya yang subur di Pulau Jawa.

Pada perkembangannya, Proto-Melayu dan Deutero-Melayu membaur secara bebas sehingga sulit dibedakan. Sebagai taksiran, dapat disebut Suku Gayo dan Alas di Sumatera bagian utara serta Toraja di Sulawesi sebagai representasi Proto-Melayu. Setelah itu, hampir seluruh suku lain (kecuali Papua) dimasukkan ke dalam kategori Deutero-Melayu. Kendati demikian, sesungguhnya dapat dikatakan bahwa ancestor dari penduduk di wilayah kepulauan Indonesia adalah serumpun yaitu turunan dari penduduk asli dan dua gelombang migrasi dari utara.

Paparan di atas mengisyaratkan pembagian secara kronologis. Mana yang datang terlebih dulu dan mana yang kemudian. Hal seperti ini serupa dengan periodisasi kurun kehidupan masyarakat Indonesia. Kajian budaya ini, sebab itu termasuk pula perhatian atas dimensi kesejarahan. Oleh sebab penduduk asli Indonesia tidak meninggalkan suatu bukti tertulis (prasasti yang memuat tulisan tarikh), maka kajian atas budayanya dilakukan lewat periodisasi era atau zaman.

Kategori serumpun ini dibuktikan lewat kajian linguistik. Hampir 170 bahasa yang dipakai di penjuru kepulauan termasuk kelompok Austronesia, dengan sub Melayu-Polinesia. Sub Melayu-Polinesia ini kemudia dipecah lagi menjadi dua: Kelompok pertama terdiri atas bahasa yang berkembang di pedalaman Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi; Kelompok kedua terdiri atas bahasa yang berkembang di Batak, Melayu standar, Jawa dan Bali. Bahasa kelompok kedua ini datang lama setelah yang pertama. Selain kedua kelompok tersebut, perlu dilakukan kajian atas susunan bahasa lain yaitu Papua dan Halmahera Utara.

Lalu bagaimana Melayu dapat menjadi bahasa persatuan Indonesia? Bahasa Melayu awalnya hanya digunakan orang-orang yang tinggal di Sumatera dan Semenanjung Malaya. Pada perkembangannya, wilayah-wilayah tersebut giat melakukan kegiatan dagang yang meluas hingga ke bagian timur kepulauan Indonesia. Banyaknya pelabuhan dagang di Sumatera dan Semenanjung Malaya lalu membuat Melayu menjadi Lingua Franca di perairan Indonesia.

Jaman Batu dan Logam

Yang dimaksud dengan kebudayaan penduduk asli Indonesia adalah orisinalitas budaya manusia Indonesia sebelum bercampur dengan budaya-budaya lain yang masuk kemudian seperti Timur Jauh (Cina), Hindu-Buddha, Islam, dan Barat. Cukup sulit guna menentukan hal ini oleh sebab tiadanya bentuk tulisan sebagai bukti adanya kebudayaan tersebut.

Sebab itu, sejumlah ahli menggunakan peninggalan-peninggalan material guna menaksir jenis kebudayaan yang berkembang di era prasejarah ini. R. Soekmono sebagai missal, membagi periodisasi perkembangan budaya Indonesia menjadi 4, yaitu :
  1. Jaman Prasejarah (sejak ancestor muncul hingga 500 M)

  1. Jaman Purba (sejak pengaruh India hingga lenyapnya Majapahit tahun 1500 M)

  1. Jaman Madya (sejak pengaruh Islam di akhir Majapahit hingga akhir abad ke-19)

  1. Jaman Baru (sejak masuknya anasir-anasir Barat dan teknik moderen, dari 1900 hingga sekarang)

Kajian budaya asli Indonesia, sebab itu masuk ke dalam Jaman Prasejarah akibat ketiadaan bukti tertulisnya. R. Soekmono kemudian membagi kajian peninggalan prasejarah Indonesia ini ke dalam beberapa tarikh, yaitu Jaman Batu dan Jaman Logam. Jaman Batu terbagi atas Paleolithikum, Mesolithikum, dan Neolithikum. Jaman Logam terbagi atas Jaman Tembaga, Jaman Perunggu, dan Jaman Besi.

Paleolithikum. Bukti kebudayaan ini ditemukan di Pacitan dan Ngandong sehingga dikenal sebagai sebagai Kebudayaan Pacitan dan Kebudayaan Ngandong. Penemunya Von Koenigswald tahun 1935. Kebudayaan Pacitan adalah kebudayaan yang dikembangkan Pithecanthropus Erectus dan berwujud kapak-kapak batu. Kapak-kapak tersebut biasanya digunakan untuk menyiangi (menguliti) hewan sehingga diprediksi kebudayaan mereka ada berburu dan meramu.

Kebudayaan Ngandong (dekat Ngawi, Madiun) lebih komplek, sebab selain kapak batu juga ditemukan peralatan dari tulang hewan dan tanduk rusa. Selain itu, budaya ini juga ditemukan di Cabenge (Sulawesi Selatan). Tulan dan tanduk rusa, selain untuk menguliti hewan, juga untuk mengorek umbi-umbian. Sebab itu disimpulkan sudah ada budaya cocok tanam di Kebudayaan Ngandong ini.


Mesolithikum. Kebudayaan Mesolithikum ini terutama ditemukan di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores. Budaya yang berkembang adalah berburu dan menangkap ikan, selain juga telah bercocok tanam. Mereka hidup di gua-gua dan pinggir pantai. Di periode inilah, sampah-sampah kulit kerang ditemukan. Selain itu, mereka sudah menemukan cara bagaimana menggiling dan menghaluskan sesuatu. Kapak-kapak batu yang berkembang lebih halus ketimbang dari masa Paleolithikum.l

Selain dari batu, peralatan dari tulang hewan juga diketemukan layaknya di masa Paleolithikum. Suku Toala di Sulawesi adalah contoh dari masyarakat Mesolithikum ini yang dalam gambaran Vlekke, sesuai dengan masa manusia Proto-Melayu. Pada masa ini, berkembang teori Sarasin bersaudara (Fritz dan Paul Sarasin) tentang orang Vedda dari Srilanka.

Masa Mesolithikum ini juga telah mengenal panah dengan matanya yang bergerigi dan pangkalnya yang bertangkai. Selain panah, ancestor Indonesia di masa ini juga telah punya daya seni. Ini dibuktikan dengan cap-cap tangan di dinding gua Leang-leang (Sulawesi Selatan), termasuk pula gambar babi hutan.

Neolithikum. Beda Neolithikum dengan dua masa sebelumnya adalah relative tersebarnya budaya ini ke sekujur kepulauan. Di masa ini telah beralih budaya dari food-gathering menjadi food-producing. Kehidupan mengembara telah jarang digantikan dengan menetap, bertani, dan beternak. Mereka telah membuat rumah sehingga dasar-dasar pertama bagi budaya Indonesia telah menampakkan bentuk.

Kapak yang digunakan pada masa Neolithikum sudah persegi dan memiliki ketajaman di sisi-sisinya. Kapak jenis ini banyak ditemukan di Sumatera, Jawa dan Bali, sementara di Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan Sulawesi relative jarang. Kapak jenis sama juga ditemukan di Malaysia Bara dan India belakang tetapi pembuatan masih kasar. Sebab itu dapat dikatakan saat itu budaya yang berkembang di Indonesia relative lebih maju ketimbang di dua wilayah tersebut.

Selain kapak, juga ditemukan aneka perhiasan berupa gelang-gelang dari batu. Gelang batu ini menghendaki teknik rumit dalam memahat dan menghaluskan. Pakaian juga sudah berkembang dari kulit kayu sehingga dapat dikatakan masyarakat Indonesia era Neolithikum sudahlah berpakaian. Selain perhiasan dan pakaian, tembikar pun telah dikembangkan di era Neolithikum ini. Namun, metode pembuatannya berbeda dengan masa kini yang menggunakan roda landasan. Di masa itu, setelah bentuk tembikar sudah tercapai, penghalusan dilalukan dengan batu asah.

Jaman Logam. Dengan mulainya Jaman Logam, bukan berarti Jaman Batu berakhir. Penggunaan batu tetap dilakukan, sementara logam pun telah mulai digunakan orang. Penggunaan logam menghendaki teknologi yang rumit. Tidak seperti batu yang dapat langsung dipukul dan dipecah, logam haruslah dilebur terlebih dulu. Setelah dilebur, kemudian dicetak sesuai bentuk yang dikehendaki dengan cetakan tanah.

Logam Perunggu digunakan sebagai material pembuat kapak corong. Kapak corong ini dibuat dari logam perunggu dengan cetakan tanah. Ia dikembangkan di Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi Tengah, Pulau Selayar, dan Papua (dekat Danau Sentani). Kapak Corong ini memiliki mata dan lubang tempat dipasangi kayu pemegang.

Selain kapak corong, juga masa logam ini ditandai dengan Nekara. Nekara fungsinya hampir mirip dengan dandang guna menanak nasi atau memasak sesuatu. Ia ditemukan di Pulau Selayar Suamtra, Jawa Bali, Sumbawa (dekat Pulau Sangean), Roti, Leti, dan Kepulauan Kei.

Megalithikum. Megalithikum adalah kebudayaan yang menghasilkan bangunan-bangunan besar. Jauh sebelum kedatangan pengaruh Hindu-Buddha, masyarakat asli Indonesia telah mengembangkan bangunan-bangunan seperti keranda batu tempat mayat, kubur batu, punden berundak (di Lebak Sibedug, Banten Selatan), serta ukir-ukiran batu. Sebab itu, ancestor Indonesia telah punya budaya sendiri sebelum datangnya budaya “luar”. Budaya luar yang masuk sekadar memberi pengaruh terhadap budaya yang telah ada. Arca atau patung pun sudah mulai dibuat ancestor Indonesia, semisal yang ditemukan di Pasemah (Sumatera Selatan).

Budaya Asli Indonesia

Vlekke menyebut bahwa budaya yang dikembangkan ancestor Indonesia adalah pertanian. Tipe pertanian ini sudah sangat maju oleh sebab menggunakan sistem irigasi. Teknik pertanian dengan irigasi ini terutama berkembang di Jawa bagian tengah. Iklim dan kesuburan tanah vulkaniknya mendukung pertanaman padi sawah.

Selain pertanian, budaya asli lainnya adalah sistem sosial yang diikat berdasarkan “desa.” Desa terdiri dari sekelompok rumah pertanian, lumbung makanan, halaman, ladang, kolam ikan, hutan sekitar dan tanah yang belum dikelola. Desa adalah sebutan untuk Jawa, sementara di wilayah lain adalah Gampong (Aceh) ataupun Nagari (Sumatera Barat). Di desa ini muncul ikatan kerjasama masyarakat yang disebut gotong-royong. Kepala desa dipilih secara langsung, tetapi bukan dengan mekanisme voting melainkan musyawarah untuk mufakat.

Supartono Widyosisworo secara berani bahkan menyebut 10 budaya yang asli dimiliki orang Indonesia, yaitu :

1. Kemampuan berlayar
Hal ini dibuktikan dengan asal-usulnya yang dari Cina bagian selatan, juga kemungkinan Jepang, yang sampai ke kepulauan Indonesia dengan menggunakan perahu cadik (outriggers). Perahu cadik ini digunakan untuk menjelajahi Madagaskar, Jepang Selatan, dan Selandia. Cadik terbuat dari kayu ataupun bamboo yang digunakan demi mengatasi olengan kiri-kanan perahu.

2. Kepandaian Bersawah
Kegiatan bercocok tanam menetap di sawah beririgasi telah lama dikembangkan ancestor Indonesia. Ini semakin menghebat tatkala sudah ditemukan alat-alat dari logam (perunggu) sebagai cangkul dan bajak.

3. Astronomi
Jauh sebelum kedatangan bangsa Arab dan Barat, ancestor Indonesia telah punya tata astronomi sendiri sebagai pengenal arah. Gubug Penceng adalah rasi yang digunakan sebagai petunjuk arah selatan, sementara Bintang Waluku sebagai petunjuk awalnya musim pertanian.

4. Administrasi Masyarakat
Seperti telah disebut, desa adalah wujud asli dari tata sosial masyarakat Indnesia. Meski penyebutannya berbeda-beda di setiap wilayah, esensinya adalah sama.

5. Sistem Macapat
Macapat berarti cara yang didasarkan pada jumlah empat dari sistem mata angin: utara, selatan, barat dan timur. Misalnya, dalam tata desa, pusat kegiatan berada di tengah sementara bagian-bagian desa lain berada di utara, selatan, barat, dan timur-nya. Kepala desa berada di tengah, tentunya. Demikian pula kota, alun-alun (tanah lapang) berada di tengah, penguasa tinggal di sebelah utara, pasar di selatan, kantor di barat, dan bangunan suci di sebelah timur. Selain tata desa dan kota, sistem macapat juga ditemukan dalam tembang dan syair yang terdiri atas empat bait.

6. Wayang
Banyak yang berujar wayang adalah tradisi yang dikembangkan India ataupun Wali Songo. Sesunggunya tidaklah demikian, oleh sebab wayang telah berkembang jauh sebelum persentuhan Indonesia dengan budaya “luar”. Budaya yang kemudian masuk hanya “memolesnya.”

Awalnya, wayang adalah sarana upacaya kepercayaan. Ancestor yang meninggal dibuatkan perwujudan, biasanya boneka. Dengan penerangan blencong (lampu minyak kelapa atau jarak) boneka dimainkan pimpinan agama diiringi cerita dan nasehat. Anak cucu menyaksikan di belakan layar.

7. Gamelan
Gamelan asal katanya gamel yang berarti pukul. Selain yang dipukul juga telah berkembang alat yang ditabuh seperti gambang dan gendang. Gong adalah yang dari logam. Gamelan ini biasanya digunakan sebagai pengiring upacara-upacara keagamaan atau perayaan tertentu.

8. Batik
Batik asli Indonesia adalah yang menggunakan canting. Terkenal sebagai batik tulis. Batik adalah kain yang digambari ornamen-ornamen hias. Hampir tiap wilayah Indonesia telah mengembangkan batiknya sendiri.

9. Kerajinan Logam
Sesuai perkembangan budaya Jaman Logam, orang Indonesia asli telah mampu membuat nekara, ataupun gong. Termasuk ke dalamnya adalah pacul dan bajak guna mengolah sawah.

10. Perdagangan
Barter adalah budaya awal sistem perdagangan nusantara sebelum diketemukannya uang. Kendati demikian, sistem barter bukan saja dikenal oleh orang Indonesia tetapi berlaku umum di seluruh kebudayaan dunia. Perdagangan ini tumbuh oleh skill berlayar dan kemampuan memproduksi bahan makanan (beras) oleh ancestor Indonesia.