OLEH : ARIEF RACHMAN
Direktur
Eksekutif Daerah WALHI SULTRA
Eksploitasi sumber daya alam akan mengarah ke timur yang berarti bahwa ekspansi modal juga akan secara perlahan memasuki wilayah sulawesi tenggara yang sering disebut sebagai bumi anoa ini. Semoga ekspansi modal tersebut tidak kemudian menghilangkan penyebutan bumi anoa bagi provinsi sulawesi tenggara di kemudian hari.
Sejak diberlakukannya UU Otonomi Daerah, otoritas pemerintah daerah untuk mengurus dirinya semakin luas. Peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) seakan menjadi kata sakti dalam setiap pidato pegawai pemerintah daerah mulai dari jabatan terendah hingga kepala daerahnya dan tentunya eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang akan terus menerus meningkat untuk mengejar target kata sakti (PAD) tersebut bagi pembiayaan aparatur dan sedikit untuk pembangunan.
Dengan
kewenangan luas yang dimilikinya untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi
sumber daya alam di daerah masing-masing maka persaingan kepala daerah bukan
lagi bagaimana merebut hati pejabat tinggi di pusat namun bergeser untuk
bersaing merebut perhatian dari pemilik modal bahkan lirikan pemilik modalpun
menjadikan pejabat di daerah sudah sangat girang.
Tidak
aneh kalau kemudian kehadiran investor untuk menanamkan modalnya di bumi
sulawesi tenggara mendapat perhatian yang ekstra bahkan mendapatkan bentangan
karpet merah disertai berbagai kemudahan.
Sebaliknya,
siapapun yang menyatakan kontra dengan kehadiran investor akan berhadapan
dengan pejabat di daerah yang merasa telah bersusah payah meyakinkan investor
tersebut untuk sekedar sedikit melirik daerahnya yang kaya akan kandungan
mineral, tegakan pohon, dan stok ikan yang melimpah. Watak pemerintah daerah
yang berpikir PAD an sich tersebut telah menjadi penyebab langsung terjadinya
penggerusan sumber daya alam tanpa memperhatikan kelestariannya dan tanpa
memikirkan generasi yang akan datang.
Berdasarkan
data yang dimiliki oleh Walhi Sultra, ada sekitar 112 izin pertambangan gol A/B
dan 142 gol yang telah dikeluarkan diseluruh wilayah sulawesi tenggara, satu
HPH yang masih beroperasi dengan luas konsesi 296.000 Ha, puluhan izin untuk
pembangunan perkebunan besar maupun HTI dan meluasnya praktek penangkapan ikan
melalui cara-cara illegal (illegal fishing) yang menggunakan Trawl, Bom, dan
Pembiusan, pembukaan tambak secara besar-besaran dan pemberian ijin pengolahan
kayu mengasnamakan masyarakat (IPKTM)
DAMPAK YANG MULAI TERASA
Mudahnya
pemerintah daerah mengeluarkan perizinan bagi ekspansi modal di sulawesi
tenggara mulai membawa dampak terhadap kualitas lingkungan yang semakin menurun
yang antaralain adalah pendangkalan sungai akibat deforestasi di kawasan daerah
aliran sungai (DAS) fenomena ini disebut sebagai proses run-off dimana bulir
pasir dan tanah di kawasan yang terbuka ikut terbawa oleh hujan dan mengendap
di sungai.
Proses sedimentasi inilah yang pada akhirnya membuat sungai tidak lagi mempunyai kemampuan untuk menampung limpahan debit air yang muncul secara tiba-tiba. Yang akhirnya menyebabkan banjir sebagai menu regular di beberapa daerah aliran sungai terutama di wilayah Asera dan Wiwirano tempat beroperasinya HPH Intisixta dan saat ini telah dibuka beberapa perkebunan sawit dengan luasan konsesi lebih dari 10.000 Ha setiap perusahaan.
Proses sedimentasi inilah yang pada akhirnya membuat sungai tidak lagi mempunyai kemampuan untuk menampung limpahan debit air yang muncul secara tiba-tiba. Yang akhirnya menyebabkan banjir sebagai menu regular di beberapa daerah aliran sungai terutama di wilayah Asera dan Wiwirano tempat beroperasinya HPH Intisixta dan saat ini telah dibuka beberapa perkebunan sawit dengan luasan konsesi lebih dari 10.000 Ha setiap perusahaan.
Masalah
ini pula yang menimbulkan sedimentasi dan pencemaran di teluk kendari sebagai
tempat bermuaranya puluhan air sungai yang berasal dari Kabupaten Konawe,
kabupten Konawe Selatan dan Kota Kendari sendiri.
Masalah
lain yang juga telah timbul adalah semakin sulitnya nelayan tradisional
mendapatkan ikan, kepiting dll sebagai akibat dari pemusnahan hutan bakau di
berbagai wilayah antara lain di Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Muna,
Kabupaten Buton yang semakin diperparah oleh ketidak mampuan pemerintah daerah
utamanya dinas kelautan dan perikanan untuk melakukan kontrol terhadap
aktivitas penangkapan ikan yang berkapasitas besar sehingga masih maraknya
prilaku penangkapan ikan dengan cara-cara merusak.
Disamping
kedua hal tersebut diatas, ekspansi modal yang mengabaikan kelestarian sumber
daya alam dan daya dukung lingkungan telah menyebabkan semakin menyempitnya
akses rakyat terhadap pengelolaan sumber daya alam. Diberbagai daerah terjadi
konflik agraria antara masyarakat adat/masyarakat local dengan pihak investor
yang di back up oleh pemerintah daerah setempat. Hilangnya akses rakyat
terhadap pengelolaan sumber daya alam tentunya menjadi bencana besar yang
berakibat pada pemiskinan.
Anehnya,
pemerintah daerah justru sangat berbangga apabila kehadiran perusahaan tertentu
mencaplok tanah masyarakat yang kemudian menjadikan masyarakat sebagai buruh
tanpa kepastian nasib contohnya dibeberapa perusahaan perkebunan sawit dimana
masyarakat mengabdikan tenaganya setelah terlebih dulu menyerahkan tanah
garapannya. Hasilnya bukanlah kesejahteraan justru sebaliknya terjadi
pemiskinan secara sitemik yang tentunya akan menjadi masalah yang lebih besar
lagi di kemudian hari.
DICARI PEMIMPIN YANG PRO RAKYAT & PRO LINGKUNGAN
DICARI PEMIMPIN YANG PRO RAKYAT & PRO LINGKUNGAN
Masalah
pengelolaan sumber daya alam yang abai terhadap kelestarian lingkungan dan
kesejateraan rakyat menjadi perekat beberapa aktivis NGO yang concern dengan
isu-isu tersebut yang kemudian melahirkan kesepakatan untuk mengkampanyekan
semakin mendesaknya kebutuhan masyarakat sultra terhadap kepemimpinan yang pro
rakyat dan pro lingkungan.
Kegiatan
yang dilakukan kemudian adalah bedah visi lingkungan calon gubernur sultra
dengan tema “membangun sultra tanpa merusak lingkungan” namun sangat
disayangkan kegiatan tersebut ternyata tidak sepenuhnya diminati oleh calon
gubernur. Dari 4 (empat) calon gubernur yang diundang oleh panitia dan
dikonfirmasi berkali-kali untuk kesiapannya ternyata hanya 1 orang calon
gubernur yang menghadiri acara tersebut ditambah 1 calon wakil gubernur.
Calon
gubernur yang hadir adalah Prof. Ir. H. Mahmud Hamundu (MAHASILA) yang
menyampaikan visinya tentang pembangunan berbasis desa yang memperhatikan daya
dukung dan kelestarian lingkungan.
Sedangkan
calon yang hadir lainnya adalah Azhari (MMA) yang menyampaikan pentingnya
peningkatan Sumberdaya Manusia (SDM) dan Sumberdaya Alam (SDA) dan menyatakan
bahwa industri ekstraktif tidaklah menjadi prioritas dalam peningkatan PAD
karena kontribusinya terhadap daerah sangat kecil namun masalah yang dapat
ditimbulkannya cukup besar terutama terhadap lingkungan hidup.
Diakhir
acara kedua kandidat pemimpin sultra tersebut menyampaikan komitmennya bagi
pola pembangunan yang akan dilakukannya saat memimpin nanti tanpa harus
mengorbankan lingkungan hidup dan berupaya mendorong sumber pendapatan yang
berbasis kerakyatan dan berwawasan lingkungan.
Walaupun
ada sedikit pesimisme yang disampaikan oleh Azhari terkait dengan posisi
Gubernur yang tidak begitu kuat di era otonomi daerah ini namun penulis
berpandangan berbeda. Bahwa kewenangan gubernur memang sangat terbatas karena
otonomi berbasiskan kabupaten namun perlu diingat bahwa posisi gubernur adalah
perpanjangan pemerintah pusat di daerah sehingga dalam setiap pengambilan
kebijakan strategis rekomendasi gubernur tetap dibutuhkan.
Khusus
mengenai pengelolaan sumber daya alam, skema perizinan untuk pertambangan,
konversi kawasan hutan dll mewajibkan adanya rekomendasi gubernur sehingga
peran gubernur untuk mereduksi masalah lingkungan dengan mengetatkan
pengeluaran izin eksploitasi sumber daya alam sangatlah strategis.
Dengan demikian, momentum pemilihan gubernur saat ini hendaknya dapat
dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat sultra untuk menetapkan pilihannya dengan
baik sehingga dapat terhindar dari bencana ekologis yang setiap saat dapat
mengancam ketenteraman masyarakat itu sendiri terutama masyarakat rentan dan
terpinggirkan.
Komitmen calon gubernur bagi pembangunan tanpa harus merusak lingkungan sangat penting untuk memastikan bahwa kedepan tidak perlu lagi pemerintah daerah menghabiskan dana untuk melakukan pemulihan terhadap bencana ekologis karena bencana tersebut tidaklah semata-mata bersifat alamiah namun lebih banyak terjadi akibat ulah manusia yang menggerus alam untuk keuntungan sebesar-besarnya dan menyisakan bencana yang juga sebesar-besarnya. Apabila pendekatan pembangunan dilakukan tanpa mengabaikan aspek lingkungan hidup maka dapat dipastikan bahwa biaya untuk peningkatan pelayanan dasar masyarakat tidak akan terganggu lagi oleh dana darurat tanggap bencana karena bencana takkan datang tanpa di undang.
Komitmen calon gubernur bagi pembangunan tanpa harus merusak lingkungan sangat penting untuk memastikan bahwa kedepan tidak perlu lagi pemerintah daerah menghabiskan dana untuk melakukan pemulihan terhadap bencana ekologis karena bencana tersebut tidaklah semata-mata bersifat alamiah namun lebih banyak terjadi akibat ulah manusia yang menggerus alam untuk keuntungan sebesar-besarnya dan menyisakan bencana yang juga sebesar-besarnya. Apabila pendekatan pembangunan dilakukan tanpa mengabaikan aspek lingkungan hidup maka dapat dipastikan bahwa biaya untuk peningkatan pelayanan dasar masyarakat tidak akan terganggu lagi oleh dana darurat tanggap bencana karena bencana takkan datang tanpa di undang.
Sumber :
http://www.greenpressreport.com/2007/11/di-cari-gubernur-sulawesi-tenggara-