Opinion Peblika

Opinion Peblika
Suasana Foto Galian Tanah Tambang C Tanpa Melalui SRKL dan AMDAL di Wakatobi

Kamis, 25 April 2013

VISI POLITIK IMAJINER POLITISI & KEGALAUAN KENDARAAN POLITIK MANIPULATIF

 OLEH : BIA WAKATOBI
 
Biarlah siapa pun orangnya mau mengatakan bahwa, saya selalu berkontemplasi alias beronani dengan perenungan dan pemikiran di berbagai seputar carut marut nya negeriku. Ini masih lebih baik dibandingkan dengan hanya berdiam diri seakan menerima berbagai kebejatan dan seluruh hal yang nyeleneh menyangkut pengelolaan negeriku yang semakin keropos dan akut.

Politik Indonesia pasca Peristiwa Reformasi (1998), yang diprediksi dan diharapkan akan lebih kontributif terhadap perjalanan demokrasi kita, terbukti berlangsung tanpa greget.

Pasca-Reformasi, setelah Gus Dur lengser, implikasi desakralisasi menjadi fenomena umum sangat terasa dalam kehidupan politik yang euforianya penuh gairah.

Tetapi seperti yang kita saksikan dan rasakan bersama, fakta yang terungkap dari pemilu ke pemilu dari pilkada ke pilkada, tampaknya representasi sumber daya politik yang memiliki visi, moralitas publik, dan punya komitmen masih saja jauh panggang dari api. Padaha kita sangat berharap agar muncul Kelas yang notabene memiliki preferensi politik yang tinggi.

Kita pastilah sepakat, siapa pun orangnya, bila merupakan sosok yang bersih-profesional pro kesejahteraan, keberadaannya dibutuhkan di mana pun di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.

Pikiran kontradiktif yang membenturkan figur dan sistem seperti itu, bersifat reduksionis, karena sebetulnya tidak ada persoalan sama sekali dengan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara kita yang berpedoman pada empat pilar: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Seorang pemimpin yang cakap pastilah punya kemampuan berimajinasi untuk menjawab persoalan, tetapi ia pun paham betul bahwa kebijakan bukanlah sesuatu yang sifatnya imajiner.

Ekspektasi kita terhadap rekrutmen sumber daya politik dalam rangka menuju arah baru berpolitik terbilang tinggi. Hal itu diperlihatkan oleh kelas menengah, misalnya, kepedulian mereka terhadap pemimpin yang berkualitas; visioner, bermoral, dan punya komitmen menjadi sesuatu yang nonsens bila pemilu (pileg, pilpres, dan pilkda) berlangsung amburadul karena daftar pemilih yang rawan manipulasi dalam berbagai tingkatan.

Aroma ketidakpercayaan, kecurigaan, keraguan dan kesangsian, menghiasi ruang politik akhir-akhir ini. Aneka pernyataan, protes, demonstrasi dan petisi oleh aneka kelompok masyarakat terhadap pemerintah menghiasi panggung politik harian. Berbagai tuduhan tentang kebohongan, manipulasi, kepalsuan dan ketakjujuran menjadi perdebatan semantik dalam wacana politik mutakhir, yang memengaruhi persepsi, kesadaran, dan opini publik tentang makna demokrasi. Ada kecurigaan publik bahwa selama ini bangsa ini hidup di alam demokrasi tak bertuan, di mana prinsip kekuasaan di tangan rakyat justru dimanipulasi oleh para elite politik yang, dengan memainkan aneka permainan kotor dan konsensus palsu, menyembunyikan kebenaran dari rakyat. Rakyat, yang sejatinya tuan dari sistem demokrasi, kini tak lain dari obyek demokrasi itu sendiri, yang suaranya tak pernah didengar, aspirasinya tak pernah disampaikan, dan keinginannya tak pernah diwujudkan.

Maka, aneka protes, demonstrasi, dan petisi dari aneka kelompok masyarakat terhadap pemerintah akhir-akhir ini dapat dilihat sebagai gejala tumbuhnya kesadaran baru tentang emansipasi demokratis, di mana rakyat ingin menunjukkan fungsi deliberatif sebagai kekuatan korektif penuntun demokrasi yang sejati. Kekuatan rakyat, di satu pihak, tentu menimbulkan ketakutan pada elite-elite politik busuk, tetapi di pihak lain memberikan sebuah harapan akan masa depan politik yang lebih emansipatif.
Hal ini sangat beralasan oleh karena di dalamnya begitu banyak fakta ditutupi, konsensus diselubungi, dan kebenaran disembunyikan yang berakhir Dengan permainan kebenaran para elite politik, dengan memainkan bidak-bidak kepalsuan, manipulasi dan simulasi, serta memosisikan rakyat sebagai yang dihitung, tetapi tak masuk hitungan.

Rakyat diperlakukan sebagai populasi dan tubuh politik tak bernama. Mereka adalah surplus sosial yang dibangun oleh orang-orang tak punya kualifikasi untuk bersuara sehingga memerlukan wakil rakyat untuk menyuarakan aspirasinya. Kedaulatan rakyat selama ini tak lain dari kekuatan tanpa eksistensi, yaitu eksistensi suplemen dari mereka yang dihitung tetapi tak masuk hitungan, yang dibagi tetapi tak punya bagian, yang punya hak suara tetapi tak dapat bersuara.

Konsensus politik selama ini menjadi alat normalitas politik, yang melaluinya dibangun partisi antara apa yang diterima umum dan menjadi ukuran kualifikasi dalam politik serta apa yang tak umum. Konsensus menyingkirkan yang tak umum ini dari ruang politik, sebagai bagian dari yang tak memiliki kualifikasi: itulah rakyat! Karena itu, konsensus politik kian membungkam suara rakyat yang tak umum itu. Esensi politik adalah disensus, yaitu membuat tampak segala yang disembunyikan, menyuarakan segala yang dibungkam, menjadikan terang segala yang gelap. Esensi politik adalah mengganggu yang umum sebagai produk konsensus palsu, dengan menampakkan apa yang disembunyikan dari kamar gelap politik, memberi nama apa yang tak bernama, dan membuat bersuara segala yang dibisukan.

Akan tetapi, fungsi mengganggu ini tak bisa diharapkan pada partai politik karena ia menjadi bagian dari normalitas itu sendiri, dengan segudang kepentingan yang dibangun di balik normalitas itu. Fungsi mengganggu itu kini hanya bisa diharapkan dari demos agar kekuasaan nyata rakyat dapat berfungsi. Fungsi nyata demos adalah menjaga agar ketepercayaan (trust) menjadi fondasi dari demokrasi, dengan secara permanen menyuarakan suara-suara tak umum. Distribusi kekuasaan Demokrasi hanya berfungsi apabila distribusi kekuasaan yang diperebutkan di antara elite politik (pada proses pemilihan umum) diimbangi oleh kekuasaan tandingan dari rakyat dalam aneka bentuknya.

Demokrasi tak hanya urusan legitimasi kekuasaan melalui pemilu jujur dan adil, tetapi urusan kepercayaan yang mampu dibangun terus-menerus di antara penguasa dan yang dikuasai. Ini hanya bisa dicapai dengan mengintensifkan fungsi surveillance warga atas penguasa, yaitu secara permanen mengawasi, memonitor, dan menyelidiki setiap gerak-gerik penguasa.

Saya justru berfikir untuk melakukan langkah melalui demokrasi tandingan, kekuasaan rakyat tak sekadar ditunjukkan secara formal melalui hak suara (right to vote) dalam pemilu, tetapi lebih penting lagi hak bersuara (right to speak). Kepercayaan dibangun di antara penguasa dan yang dikuasai melalui mekanisme ”tekanan permanen” terhadap pemerintah, baik berupa demonstrasi, petisi, atau solidaritas kolektif, sebagai fungsi pengawasan, penyelidikan, penyingkapan, dan penilaian terhadap setiap tindakan mereka.

Demokrasi emansipatif Demokrasi abad informasi dan digital tak bisa lagi bertumpu pada permainan kekuasaan di kalangan para elite politik, yang di dalam kamar-kamar kolaboratif melakukan hitung-hitungan, negosiasi, dan konsensus palsu, tanpa menyertakan rakyat secara nyata. Keterbukaan informasi tak nyaman lagi bagi para elite politik busuk karena kekuatan informasi yang kian dahsyat. Inilah kekuatan dahsyat komunitas virtual seperti WikiLeaks, yang mampu menelanjangi konsensus busuk lintas negara.

Demokrasi hanya bisa dibangun apabila suara antagonis dan tak umum dari rakyat didengar karena itulah esensi dari yang politis. Yang politis ini tak melulu milik partai politik, tetapi segala gerakan bersuara antagonis: gerakan antikorupsi, feminisme, lingkungan, dan subkultur. Akan tetapi, energi antagonisme itu selama ini tak mampu digerakkan oleh partai politik sebagai institusi karena ia mensyaratkan keteguhan pada perjuangan ideologis bukan kekuasaan seperti yang banyak terlihat sekarang. Ironisnya, orang-orang partai justru terperangkap dalam perburuan kekuasaan dengan meminggirkan ideologi: ”Apa pun ideologinya, yang penting kursinya!”

Dalam kondisi demikian, partai sebagai institusi politik tak dapat diharapkan menjadi pilar pembangun yang politis. Harapan yang tersisa adalah pada siapa pun yang mampu menyuarakan pandangan antagonis terhadap kemapanan, melalui penyelidikan, pengawasan, protes, demonstrasi, atau petisi, semata agar makna politik tetap terjaga. Jika tidak, politik tak lebih dari sebuah administrasi kekuasaan dalam kamar gelap demokrasi, di mana setiap konsensus hanya berujung pada obyektivikasi rakyat itu sendiri, yaitu demos yang akan selamanya menjadi yang dihitung tetapi tak pernah masuk hitungan, yang dibicarakan tetapi tak pernah mendapat kesempatan bicara, yang punya hak suara tetapi dibuat tak pernah bersuara.

Lihatlah bahwa betapa visi politik para politisi itu terperangkap secara imajiner yang galau oleh karena, belum persoalan kendaraan politik, hobi menjadi politisi kutu loncat, atau ketidak jelaskan antara visi politik, prinsip politik dan ideologi politik. Hanya karena ambisi meraup dan menangkap momentum politik Legislatif, para kader politisi instan rela berjubel untuk mendapatkan porsi dan nomor jadi, sementara sangat mengabaikan simultansi proses perkaderan. Kalau gak percaya, tengoklah beberapa bagian dari kader politisi di sekeliling Anda dan kita semua saat ini yang dalam waktu beberapa bulan saja sudah Pernah mengunjungi bahkan mempopulerkan diri menjadi bagian dari partai politik tertentu yang hanya karena faktor kepentingan peluang akurasi dan validasi DCS kemudian dengan gampang pindah dan mengumumkan keberadaannya secara instan pula.

Lazimnya, jauh sebelum dilantiknya para legislator, mereka telah menyuguhkan beragam janji politik ke seluruh pusat keramaian, pada jantung kerumunan warga. Di hadapan publik, dengan beragam latar belakang partai, mereka hadir silih berganti, menyuguhkan pandangan dan janji politik yang saling membantai, merangkai retotika. Di belakang layar mereka sajikan strategi politik yang jauh lebih “licin” hingga mampu mengepakkan nurani politik rakyat untuk beralih dari pilihan politik sebelumnya. Begitulah iklim politik yang berjalan di abad 21 ini. Sadis dan memprihatinkan. Seru tapi memilukan.

Setelah kemenangan politik nyata di depan mata, penyakit “masuk angin” mulai menghampiri, daya ingat mulai terganggu, dan sistem kerja otak yang semula berjalan lancar dan cepat, kini, mulai mengalami “kemiringan” (baca: tak memihak), hingga menyebabkan fungsi kerja Batang Otak, Sistem Limbik, dan Neokorteks saling berbenturan tanpa kendali yang memadai.

Saya berkontemplasi dan beronani pemikiran bahwa bagi para legislator, maupun aktor politik lainnya, setidaknya, ada tiga solusi yang dapat dijadikan sebagai alat untuk membendung penyakit “masuk angin” dan “hilang ingatan” di atas, sebelum menjadi akut untuk sekian tahun mendatang.

Pertama, dengan pendekatan patologik-terapeutik. Pada sisi ini, upaya yang mesti dilakukan adalah dengan mendiagnosa jenis penyakit ingatan tersebut, apakah terlampau banyak mengingat sesuatu ataukah secara sengaja melupakan. Jika hanya karena terlampau banyak mengingat, maka terapinya cukup dengan mengingatkan kembali. Namun, bila disebabkan oleh upaya melupakan dengan dengan sengaja, maka diagnosanya harus lebih menohok, keras dan sedikit mengancam.

Kedua, dengan pendekatan pragmatik. Bahwa tidak jarang persoalan “hilang-ingatan” juga disebabkan oleh banyaknya ingatan-ingatan lain. Dalam konteks ini, bila janji politik terlampau banyak, maka besar kemungkinannya akan terjadi proses hilang ingatan secara massif, atau lebih tegasnya, sengaja melupakan janji politik dalam jangka waktu yang cukup panjang. Dalam sudut pandang psikoanalisis, hal ini disebabkan oleh kekeliruan individu dalam memosisikan identitas dirinya pasca menduduki jabatan politik. Buktinya, mereka memakzulkan identitas fungsionalnya seperti siapa saya? dan mengedepankan identitas personalnya seperti apa saya?. Akibatnya, terjadilah kesimpangsiuran atas sikap politisi yang akhirnya menjejakkan kesan negatif kepada publik bahwa politisi hanya mampu memberi janji, namun gagal menuai bukti.

Ketiga, dengan pendekatan etis-politis. Sejauh ini, negara Republik Indonesia diklaim sebagai negara hukum, sehingga segala sesatu harus melalui prosedur yang dibenarkan oleh hukum. Persoalannya kemudian, tidak semua produk hukum itu memiliki semangat nurani pro-rakyat. Misalnya, pembelian PIN Emas jelang pelantikan anggota DPR(D), perjalanan dinas, pengadaan pakaian dinas, Pengadaan kendaraan dinas, dan berbagai pengadaan lainnya. Apakah itu pro-rakyat?

Pada sisi hukum, boleh jadi sudah sesuai mekanisme. Namun pada pertimbangan etis-politis, jelas ini bagian dari problem “lupa-lupa ingat” yang mendekati penyakit “hilang ingatan”. Lupa dari mana asalnya, lalai akan janjinya, dan terakhir, kepekaan nuraninya tergores oleh kemewahan dan fasilitas negara.

Senin, 22 April 2013

BBM Naik, Dalih APBN Hemat Vs Penghianatan Kepada Rakyat Tuk Melindungi Kapitalis Migas.

OLEH : BIA WAKATOBI
 
Kenaikan BBM pada bulan Mei mendatang merupakan penghianatan Kepada Rakyat dan merupakan perlindungan kepada Kapitalis yang berarti hanya mencari-cari sudut pandang secara korelatif yang dipaksakan.

Rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi pada Mei mendatang secara jujur sangatlah tidak adil karena ada anggaran lain yang selama ini turut membebani APBN.

Dalam APBN Tahun 2013, anggaran sebesar 117,7 Triliun yang meliputi anggaran untuk membayar cicilan bunga utang sebesar 113,243 triliun dan cicilan po­kok utang 58,405 triliun harus nya dipandang akan mengalami perbaikan secara signifikan bagi geliat perekonomian sebab mengalami peningkatan dibanding APBN tahun 2012 sebesar 167,5 triliun, belum termasuk belanja birokrasi pemerintah sebesar Rp400,3 Triliun.

Tapi, mengapa anggaran sebesar ini tidak pernah dipersoalkan. Mengapa yang selalu dipersoalkan dan dipersepsikan sebagai beban APBN hanya anggaran subsidi BBM termasuk subsidi energi. Hal ini penting oleh karena anggaran subsidi BBM termasuk subsidi energi merupakan kebutuhan vital yang menggerakan roda perekonomian masyarakat. Seharusnya Ketika terjadi penyelewengan, yang dilakukan pemerintah adalah penegakan hukum secara adil dan tegas. Artinya seret pialang jahat para kapitalis itu, Bukan dengan membebani masyarakat lewat kenaikan harga BBM. Sesungguhnya penghematan sebesar Rp 30 triliun dari kebijakan dual price tidak akan sebanding dengan dampak inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok yang harus di tanggung masyarakat.

Kita semua dapat mencermati bahwa belumlah rencana kenaikan harga BBM di berlakukan, harga-harga mulai membumbung naik. Bukan itu saja, praktis isue kenaikan harga BBM menempatkan para pialang kapitalis BBM itu melakukan aksi borong dengan berbagai kecurangan yang kita semua menyaksikan penayangannya di layar TV, akhirnya berujung pada kondisi kelangkaan hingga seperti Kalimantan Timur sebagai daerah penghasil minyak besar, nampak tidak lucu memunculkan antrean panjang di setiap SPBU.

Dalih subsidi BBM akan membebani APBN hanyalah kedok semata untuk menutupi tujuan sesungguhnya yakni demi melayani kepentingan para kapitalis. Karena Selama ini, para kapitalis di sektor migas kesulitan memasarkan produk BBM karena harganya masih relatif lebih mahal jika dibandingkan dengan BBM bersubsidi yang dijual Pertamina. Lewat pencabutan subsidi BBM, maka harga BBM menjadi terdongrak naik dan kompetitif. Kondisi ini membuka peluang bisnis bagi para kapitalis migas untuk ikut bermain di sektor hilir lewat penjualan BBM di SPBU SPBU asing atau sebagaimana di beritakan di TV bahwa aksi borong para pialang Kapitalis migas ini di timbun lalu di jual ke perusahaan dengan harga diatas seratus persen.

Rakyat menderita, merupakan potret yang memiris pilu hati nurani rakyat dan pada sisi yang lain menempatkan kong kali kong para kapitalis migas untuk secara sistematis mempengaruhi bahkan mengintervensi kekuasaan, begitupun mekanisme monopolistik tidak juga membuat kita sadar bahwa ada sisi perjuangan substantif yang harus dikedepankan bernama keberpihakan terhadap masyarakat kecil.*****

Jumat, 12 April 2013

KONTEPLASI PEMIKIRAN FENOMENA NEGARA KLEPTOKRASI BANGSA INDONESIA

OLEH : BIA WAKATOBI
 
Pagi di minggu hari ini, mencoba bermain dalam kontemplasi pemikiran tentang negeriku yang hari ini semakin carut marut tanpa kejelasan sistem demokrasi. Hasil kontemplasi pemikiran saya kemudian tertuju pada pemaknaan secara gramatikal apa yang disebut dalam istilah kamus tentang "KLEPTOKRASI". Catatan ini saya ramu dari berbagai sumber yang bertujuan untuk mensosialisasikannya karena dasar pemahaman bahwa penggemar Facebook adalah masyarakat mayoritas yang dengan mudah di akses untuk kemudian dapat menginformasikannya kepada masyarakat lain yang tidak mengetahuinya.

Hari ini negriku dan juga negeri anda, Korupsi tak hanya terjadi di lembaga yudikatif, peradilan, tetapi juga ada di legislatif dan eksekutif. Kondisi ini diketahui pemerintah maupun rakyat. Namun, pemerintah tak berhasil mengatasinya.

Coba kita cermati bersama sistem peradilan yang dihancurkan secara sistematis oleh pemangku keadilan, penegak hukum, politisi, pejabat, dan pengusaha melalui cara-cara memperjualbelikan dan mentransaksikan keadilan dengan fasilitas mewah.

Ada perbedaan perlakuan terhadap masyarakat kecil yang mencari keadilan dengan tersangka korupsi, yang umumnya adalah pejabat, pengusaha, atau politisi. Hampir dalam semua kasus, petani kecil itu selalu dikalahkan. Pengusaha dan politisi koruptor selalu menang".

Terbongkarnya kasus suap yang melibatkan hakim sangat memprihatinkan. Peradilan adalah benteng terakhir dari proses hukum setelah proses penyidikan di kepolisian dan penuntutan di kejaksaan. Jika benteng terakhir penjaga keadilan tergerogoti virus korupsi, tentu akan sulit dibayangkan penegakan hukum di negeri ini bisa berjalan baik.

Yang jelas, korupsi bersama telah menjadi suatu model korupsi di negeri ini, yang dalam suatu kasus korupsi, bukan saja dilakukan satu atau dua orang, melainkan melibatkan banyak orang. Bahkan dilakukan secara terorganisasi, sehingga kerap juga disebut korupsi berorganisasi. Dan korupsi berskala besar kerap diambil lewat keputusan-keputusan bersama yang kompromistis.

Menurut Jared Diamond dalam buku Gun, Germs and Steel: The Fates of Human Society (1999), korupsi yang melibatkan banyak orang dalam suatu kasus lebih sering terjadi di tataran kelompok elite negara yang terdiri dari pejabat tinggi negara, aparatur birokrasi dan anggota parlemen yang memegang otoritas publik-rakyat. Korupsi model ini membentuk sosok sejatinya yang semakin sempurna, dalam negara yang disebut negara kleptokrasi, dengan politik oligarkis, dan bentuk pemerintahan plutokrasi.

Kleptokrasi berasal dari bahasa Latin (kleptein dan cracy), yang berarti mencuri (to steal) atau mengambil paksa sesuatu yang bukan menjadi hak (to rob). Negara kleptokrasi adalah negara yang dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan ditandai oleh keserakahan, ketamakan, dan korupsi merajalela (a government characterized by rampant greed and corruption), Amich Alhumami (2005).

Istilah kleptokrasi seperti diuraikan ini menjadi sangat populer setelah digunakan oleh Stanislav dalam Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968) yang merujuk pada a ruler or top official whose primary goal is personal enrichment and who possesses the power to gain private fortunes while holding public office.

Artinya, sebuah pemerintahan yang sarat dengan praktek korupsi dan penggunaan kekuasaan yang bertujuan mencari keuntungan secara tidak halal, sehingga sistem pemerintahan dan budaya masyarakat pun berada di bawah bayangan para kleptomaniak, pengidap penyakit kleptomania.

Dalam ilmu psikologi, kleptomania adalah penyakit jiwa yang mendorong seseorang mencuri sesuatu, meskipun ia telah memiliki sesuatu yang dicurinya itu. Karena itu, pengidap penyakit kleptomania dikatakan berwatak sangat serakah. Negara kleptokrasi adalah negara yang dalam gambaran filsuf Friederich Nietzsche, ibarat monster yang paling dingin dari yang terdingin karena beroperasi dengan mencuri harta kekayaan penduduk dengan bermacam alasan, sehingga elite korup ibarat kera yang saling menginjak untuk mendapatkan materi dan kekuasaan.

Fenomena korupsi dalam negara kleptokrasi akan bertambah sempurna jika disokong oleh budaya politik oligarkis dan sistem pemerintahan plutokrasi. Oligarki adalah kekuasaan di tangan segelintir orang, politisi dan pengusaha. Sedangkan plutokrasi adalah pemerintahan yang diatur dan dikendalikan oleh sekelompok orang kaya yang mengambil keuntungan materi dari dana yang dikucurkan negara.

Politik oligarkis adalah suatu konfigurasi politik yang didominasi kelompok elite yang mengerjakan politik melalui transaksi-transaksi yang saling menguntungkan di antara elite sendiri. Di dalam konfigurasi politik yang oligarkis keputusan-keputusan penting kenegaraan ditetapkan oleh para elite negara secara kolutif dan koruptif, sehingga keberadaan mereka ibarat di negeri kleptokrasi.

Sebuah negara hancur jika telah menjelma menjadi negara kleptokrasi yang pemerintahannya dijalankan secara plutokrasi, yaitu sekelompok orang- orang kaya yang korup-plutokrat. Dan lebih hancur lagi jika para plutokrat itu mengendalikan pemerintahan di atas roda politik oligarkis, di mana keputusan-keputusan kenegaraan selalu bernuansa koluptif dan koruptif demi keuntungan diri.

Sesungguhnya oligarki dan plutokrasi telah melekat pada sistem demokrasi di negeri ini baik secara manifes maupun laten. Keberadaan mereka ibarat penumpang gelap yang berbahaya. Bagi negara kleptokrasi ala Indonesia pertumbuhan oligarki dan plutokrasi sudah berjalan secara intra-organisasi dalam bentuk-bentuk persekongkolan, kroniisme dan nepotisme.

Parpol di negeri ini telah dirasuki oleh politik oligarkis dan plutokrasi. Ini terlihat dari tidak adanya satu pun parpol yang memiliki kemampuan keuangan mandiri dan hidup dari iuran anggota. Dan sudah menjadi rahasia umum, jika parpol, terutama parpol yang ikut dalam pemerintahan selalu berusaha menempatkan orang-orangnya pada posisi basah di lembaga pemerintahan dan BUMN guna menghimpun dana bagi parpol.

Untuk itu, keberadaan parpol tidak lagi dapat menyentuh fungsi idealnya sebagai pelaksana roda demokrasi, sebab di dalam sistem politik negara yang oligarkis, parpol hanya menjadi political crowded (kerubutan politik). Di dalam kerubutan politik yang oligarkis ini para elite hanya berjuang demi keuntungan partai dan diri sendiri.

Maka, korupsi di negeri ini pun menjadi bertambah bak virus menular yang terus mengganas dan berjalan semakin terorganisasi. Penguasa eksekutif, aparatus birokrasi dan parlemen terus memperkuat diri menjadi lembaga transaksi-transaksi kekuasaan dan berkompromi dalam membuat keputusan.

Korupsi pun berkembang menjadi syndrome-anomy di mana masyarakat tidak lagi berpandangan negatif terhadap korupsi. Korupsi dianggap sebagai sebuah budaya baru yang harus dilestarikan. Terjadilah pembiaran dan apatisme publik terhadap para koruptor. Maka, menguatnya demokrasi dus tumbuhnya budaya kontrol menjadi sia-sia, karena di samping tidak berdaya terhadap kolusi antara pemerintah, pengusaha, parpol, dan parlemen, semua kebobrokan telah dianggap sebagai sebuah perubahan sosial yang wajar.

Semua fenomena di atas disebabkan terjadinya degradasi moralitas yang parah di tengah masyarakat bangsa. Padahal, moralitas berkontribusi besar bagi berkembang atau sebaliknya menambah terpelorotnya sebuah negara ke dalam lembah kleptokrasi, dengan sistem pemerintahan plutokrasi dan politik yang bernafaskan konfigurasi politik oligarkis.

Persoalannya, bagaimana merevitalisasi moral dan menumbuhkan moralitas publik. Ini dapat dibangun lewat bentukan budaya tandingan yang berbasis agama, pengembangan budaya antikorupsi, dan pendidikan norma-norma serta nilai-nilai luhur dalam masyarakat, terutama di komunitas-komunitas pendidikan. Itu harus terfokus sebagai gerakan budaya tandingan berbasis (counter culture) komunitas (community-based movement). Dan ini semua tentu membutuhkan waktu lama dan stamina yang prima.

Namun, itu semua menjadi sia-sia jika para pejabat eksekutif, aparatur birokrasi, parlemen, dan politisi tidak mengubah perilaku dan menjadi contoh dan pelita hati bagi rakyatnya. Krisis bangsa akan sulit diselesaikan jika kaum elite negara tetap mengindap gangguan jiwa, menjadi kleptomaniak dengan stadium yang semakin lanjut.

Sepertinya sudah masanya kita melakukan jihad bagi minoritas yang telah melakukan tirani mayoritas. Para minoritas ini adalah elit yang dengan kecerdikan dan kekuasaan yang mereka miliki telah melakukan teror ekonomi dan hukum atas rakyat miskin negeri ini

Banyaknya anggota DPR yang terjerat kasus korupsi, menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja lembaga tersebut. Bila aksi curi uang rakyat itu tak segera diakhiri, kuatir akan adanya pergeseran sistem ketatanegaraan Indonesia dari negara demokrasi menjadi kleptokrasi.

Menurut Wikipedia, sebuah negara disebut kleptokrasi apabila ia diperintah oleh para maling. Hal ini didasarkan pada pemahaman adanya bentuk administrasi publik yang menggunakan uang yang berasal dari publik untuk memperkaya diri sendiri. Administrasi publik semacam itu umumnya tidak jauh dari praktik-praktik kronisme, nepotisme dan makelarisme.

Dalam konteks yang carut marut demikian, Siapa pun bisa menuding siapa saja sebagai biangnya. Rakyat bisa menunding pejabat publik. Pejabat menuding pengusaha yang suka menyogok untuk memerlancar urusannya. Atau menyalahkan rakyat yang juga gemar menerima uang saat Pemilu atau mengambighitamkan gaji yang kecil.

Namun, serumit apa pun lingkaran saling menuding, akar pangkalnya toh bisa ditelusuri. Dilihat dari sisi pengelolaan negara, akar pangkal makin liarnya korupsi pastilah bersumber dari Pemerintah. Mengapa? Karena Pemerintahlah penanggung jawab pengelolaan negara.

Lihat saja tingkat kesungguhan negara dalam memberantas korupsi. Dari waktu ke waktu, negara dan para penegak hukum cenderung hanya mengurusi kasus keroco, kasus kelas teri, dan membiarkan kasus kakap terus bergentayangan. Sialnya kasus kelas teri itu dicitrakan sebagai kasus besar yang bernilai hebat.

Beberapa di antaranya yang tergolong kelas teri itu ialah kasus Gayus Tambunan, wisma atlet Palembang, Hambalang, kasus Djoko Susilo yang diduga telah merugikan Negara sekitar Rp 100 miliar, Nazzaruddin, Angelina Sondakh, Anas, Andi Malarangeng, atau Ibas yang disebut Yulianis menerima 200 ribu dollar US, tapi dibantah oleh Ibas.

Lho kok disebut kelas teri? Bukankah miliaran itu besar sekali? Bukankah harta rampokan Djoko Susilo tersebar ke mana-mana? Apakah 400 miliar harta Nazaruddin yang diduga hasil pencucian uang boleh dibilang kecil?

Ya, tentu saja semuanya besar. Bahkan sangat besar bagi orang seperti saya dan sebagian besar rakyat Indonesia yang tak pernah melihat uang sebanyak itu. Tapi dibandingkan dengan perampokan triliunan uang negara beberapa waktu lalu yang terus dilupakan, nampaknya kasus-kasus di atas sangat tidak sebanding. Terlalu kecil!

Membiarkan Koruptor Kakap

Masih ingat kasus BLBI yang kemudian disusul kasus Bank Centry, bukan? Masih ingat pula nama-nama koruptor kakap yang terus menerus menghiasi halaman-halaman muka surat kabar beberapa waktu lalu, bukan? Banyak media merilis nama koruptor kakap dan jumlah nilai uang yang dilarikan ke luar negeri.

Sebutlah umpamanya Banjarmasinpost.co.id. Pada edisi Senin, 4 Juli 2011, ia merilis daftar 45 koruptor yang lari keluar negeri. Nilai yang mereka larikan sungguh tak terbayangkan. Hampir semua riliunan rupiah! Sebutlah Sjamsul Nursalim, dalam kasus korupsi BLBI Bank BDNI. Ia merugikan negara Rp 6,9 triliun dan 96,7 juta dollar Amerika. Kasus itu sudah masuk proses penyidikan. Namun kasusnya dihentikan (SP3) oleh Kejaksaan.

Contoh lainnya, Bambang Sutrisno dalam kasus BLBI Bank Surya. Ia merugikan negara Rp 1,5 triliun. Andrian Kiki Ariawan dalam kasus BLBI Bank Surya, kerugian negara Rp 1,5 triliun. Eko Adi Putranto dan Sherny Konjongiang dalam kasus korupsi BLBI Bank BHS. Masing-masing menggondol uang negara dengan jumlah yang sama Rp 2,659 triliun. Atau David Nusa Wijaya dengan nilai kerugian negara Rp 1,9 trilun, Edi Tanzil Rp 1,3 triliun, Agus Anwar, dalam kasus korupsi BLBI Bank Pelita, dengan kerugian negara Rp. 1,9 triliun. Dan banyak lagi.

Pertanyaannya, kalau mereka berada di luar negeri mengapa Negara terus loyo memburu mereka, padahal Negara terkesan kuat ketika memburu Nazaruddin? Apakah Negara RI ini masih memiliki tujuan sebagai Negara normal? Atau apakah Negara RI ini masih layak disebut sebagai sebuah negara? Ratusan bahkan ribuan Undang-undang yang terus dihasilkan DPR, untuk apa? Presiden, para Menteri, pejabat negara lain dan para Pemimpin Partai Politik itu mengurusi apa?****

PENTINGNYA PERHELATAN PEMILU 2014 MELAHIRKAN DPR YANG BERKUALITAS DALAM KONSEP DAN TINDAKAN

OLEH : BIA WAKATOBI

Perhelatan demokrasi terbesar negeri ini akan di langsung kan pada hari Rabu tanggal 9 April 2014 tahun depan, namun saat ini genderang nya sudah mulai terasa dengan munculnya berbagai spanduk dan baliho di berbagai sudut-sudut jalan.

Ada hal yang perlu menjadi perhatian kita semua bahwa seiring dengan semakin banyaknya anggota-anggota DPR yang tersangkut kasus-kasus hukum, partai politik kini dituntut untuk lebih ketat dalam melakukan seleksi. Agaknya memang bukan perkara sulit untuk menjadi seorang anggota legislatif di negara yang masih tengah memuja euforia politik seperti Indonesia ini. Keengganan partai politik untuk menjadikan aspek intelektualitas, kompetensi, dan etika sebagai parameter utama perekrutan caleg turut memberikan andil bagi terpilihnya orang-orang yang tidak memiliki etika dan kualitas kompetensi memadai sebagai anggota legislatif. Lihat saja fenomena anggota DPR tidur di ruang sidang atau mereka pada cakar-cakaran yang di pertontonkan di layar televisi.

Hal itu diperparah oleh minimnya informasi tentang rekam jejak (track record) si caleg yang dapat diakses oleh masyarakat luas padahal informasi menganai rekam jejak caleg sungguh sangat berguna bagi publik untuk melakukan evaluasi dan penilaian apakah layak untuk menitipkan amanah pada caleg yang bersangkutan. Di samping itu, publik pun tentu juga lebih mudah menguji janji kampanye si caleg bila mengetahui jejak rekam caleg bersangkutan selama ini. Kesalahan partai politik dalam merekrut caleg inilah yang kemudian memunculkan keraguan publik terhadap kualitas intelektualitas, kompetensi, dan etika para anggota DPR.

Berbagai realitas miris itu kian menegaskan penilaian publik selama ini bahwa selama ini partai politik cenderung mengutamakan aspek ketokohan semisal artis "publik figure" dan kemampuan finasial semata dalam melakukan perekrutan caleg. Karena itu, di masa mendatang partai politik mutlak harus lebih mempertimbangkan dan mengutamakan aspek intelektualitas, kompetensi, dan etika sebagai parameter utama perekrutan caleg.

Masyarakat sekarang telah “cerdas”. Kita sering mendengar ungkapan semacam itu. Tetapi yang dimaksud dengan cerdas tersebut dalam arti masyarakat tidak mau lagi memberikan suara kepada seorang calon secara cuma-cuma. Tidak ada yang gratis di dunia ini. Begitu adagium terkenal yang seringkali bersliweran di sekitar kita. Sehingga seorang calon politisi pemula yang berambisi masuk dalam dunia yang dikatakan menarik tersebut, mau tidak mau, harus menyediakan dana transaksi politik yang menjadi garansi jitu agar dipilih masyarakat. Ini sudah menjadi hukum tak tertulis bahkan telah menjadi budaya yang termapankan. Dan faktor inilah yang kemungkinan besar menjadi penyebab kenapa para aktivis, pengamat politik, dan para intelektual kampus enggan dan segan untuk turut serta bermain-main dalam arena politik praktis. Disamping memang tidak punya dana, mereka juga pasti tidak sudi melacurkan moral dan intelektualitas diri dengan harga murah. Lebih baik tetap bertahan dikampus dari pada memaksakan diri terseret dalam lingkaran setan tak berujung.

Dengan tradisi rekruitmen calon anggota legislatif semacam itu maka sangat susah untuk memimpikan SDM legislatif yang berkualitas secara moral dan intelektual. Dalam tradisi seperti itu, arena politik praktis sejatinya hanya membutuhkan orang-orang yang berkantong tebal. Dan otomatis nantinya mereka juga tidak akan segan mencari ganti atas sejumlah dana yang telah habis dikeluarkan pada masa pencalonan hingga menjadi anggota legislatif definitif bagaimanapun pola dan caranya. Yang penting uang pribadi bisa kembali. Apalagi jika dana yang dipakai berasal dari pinjaman kepada bank ataupun perseorangan. Jelas calon anggota legislatif semacam itu setelah menjadi aggota definitif tak akan sempat memikirkan program dan kebijakan yang merakyat. Mereka akan lebih sibuk mengakali anggaran dan biasanya akan dipakai sebagai ATM berjamaah. Para wakil rakyat biasanya jenius dalam persoalan ini.

Dengan begitu, rasanya kita akan segera menyepakati bahwa gedung parlemen tidak memerlukan profesor ataupun doktor. Sebab, pada kenyataannya gedung parlemen tidak pernah dipakai untuk melangsungkan perlombaan cerdas cermat. Gedung parlemen hanya memerlukan orang-orang yang mengerti bagaimana bermain dan bersaing memperebutkan kekuasaan. Untuk itu partai disini hanya memerlukan orang-orang yang cerdik, lihai, dan berkantong tebal. Anda tahu, seseorang yang memiliki dana berlebih dan berlimpah akan nampak lebih cerdas dari doktor ataupun profesor. Sebaliknya, seorang profesor jenius sekalipun akan nampak bodoh dihadapan mereka orang-orang berkantong tebal. Jadi begitulah fenomena ganjil dan sepertinya sudah sejak lama menjadi tradisi dalam kehidupan keseharian kita selama ini.

Jika demikian keadaannya maka saya sangsi dunia politik praktis akan menarik bagi para aktivis, pengamat dan para intelektual kampus yang selama ini dikenal memegang dan memiliki idealisme tinggi.

Padahal Hasil survei lembaga Media Survei Nasional (Median) bulan Januari 2013 lalu menunujukkan mayoritas publik mengehendaki kualitas caleg yang berkarakter merakyat, yaitu sebesar 27,4 persen. Sedangkan karakter caleg terbanyak kedua yang dikehendaki rakyat adalah jujur dan bersih sebesar 19,3 persen, disusul dengan karakter cerdas (14 persen).

Survei itu menunjukkan publik cenderung tertarik untuk memberikan suaranya kepada calon anggota legislatif (caleg) yang berkualitas, tidak sekedar populer. Dari survei itu juga terlihat bahwa rakyat lebih menghendaki caleg yang merakyat dan sering turun ke tengah masyarakat ketimbang mereka yang agamis, sholeh, maupun yang cerdas sekalipun.

Suatu isu penting dalam upaya meningkatkan kualitas dan kinerja para wakil rakyat jika calon legislatif terpilih adalah soal bagaimana hubungan antara wakil rakyat dengan konstituennya. Isu ini menjadi sorotan penting, karena apa yang diwakili dengan apa yang mewakilinya adalah hubungan atau relasi yang harus jelas posisi dan kedudukannya.

Fakta bahwa terdapat realitas HUBUNGAN YANG BURUK antara para wakil rakyat dengan basis konstituennya adalah catatan penting untuk bahan penilaian partai terhadap kader yang sedang menjadi wakil rakyat. Masalah ini menimpa hampir semua partai politik dan menjadi masalah inti dalam hal persoalan hubungan antara yang diwakili dan mewakili.

Mewakili kepentingan dan aspirasi konstituen adalah memang benar, tugas seorang wakil rakyat untuk menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat, dan memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya. Pun demikian kerja yang sama juga berlaku bagi anggota DPRD kabupaten/ kota dan propinsi. Hubungan para wakil rakyat dengan konstituen sering kali “ramai” hanya semarak pada saat menjelang pesta demokrasi pemilu akan dilaksanakan. Konstituen acap dibutuhkan sebagai etalase demokrasi yang meramaikan pesta pora demokrasi itu sendiri.

Konstituen belum sepenuhnya menjadi bagian penting sebagai pemegang hak kekuasaan yang menyerahkan dan mempercayakan kekuasaannya dipergunakan oleh para wakil rakyat. Warna kebijakan politik masih belum sepenuhnya merupakan aspirasi warga masyarakat yang setiap tahun bisa dilihat seberapa besar produk-produk politik prorakyat terlahir dalam bentuk undang-undang atau perda yang kontennya berorientasi prorakyat.

Kenyataan ini menjadi pekerjaan rumah untuk memperbaiki bagaimana hubungan yang baik antara yang diwakili dan yang mewakili harus selalu tercermin di dalam produk-produk politik, sikap politik, maupun pandangan-pandangan politiknya terhadap suatu isu. Oleh karena itu, perbaikan kualitas lembaga legislatif seyogianya dimulai dari proses awal penjaringan calon-calon legislatif.****