Opinion Peblika

Opinion Peblika
Suasana Foto Galian Tanah Tambang C Tanpa Melalui SRKL dan AMDAL di Wakatobi

Rabu, 19 Januari 2011

KESAN DAN SARAN TENTANG PELAYANAN PUBLIK

Kamis, 20/01/2011 08:28 WIB

Oleh : Said Zainal Abidin - detikNews


Jakarta - Hampir setiap hari ada keluhan dalam masyarakat terhadap berbagai pelayanan yang diberikan aparat penyelenggara/pelaksana publik. Mereka tidak puas. Mulai dari sulitnya mendapatkan layanan sampai kepada kualitas layanan yang rendah, tinggi dan tidak jelasnya harga yang harus mereka bayar. Sementara itu mereka tahu ada beberapa layanan yang sudah dibiayai pemerintah dengan dana APBN atau APBD yang berasal dari pajak yang mereka bayar, tetapi dalam kenyataan masih tetap dikenakan biaya kepada rakyat.

Kekecewaan rakyat tidak pernah teratasi, karena perubahan demi perubahan dan pertukaran pemimpin yang memerintah, namun persoalan hidup rakyat yang berkenaan dengan pelayanan publik tidak banyak mendapat perhatian dari para aparatur pemerintah dan penyelenggara negara. Keadaan ini agaknya tidak sekedar dialami oleh golongan miskin di negeri ini, tetapi juga hampir di seluruh dunia. Itulah sebabnya, mengapa selama lebih dari 50 tahun setelah Perang Dunia II berakhir, pembangunan di berbagai negara meningkat tajam, pendapatan per kapita di banyak negara meningkat berlipat, tetapi nasib orang miskin di hampir seluruh muka bumi ini masih tetap belum banyak berubah.

Pemerintah di berbagai negara tidak memberi perhatian yang serius terhadap perubahan dalam pelayanan, karena kegiatan itu dianggap mempersulit pekerjaan mereka. Para pejabat itu merasa, apa yang telah mereka lakukan selama ini, sudah lebih dari cukup. Kinerja mereka sudah cukup tinggi, karena kinerja itu dinilai tidak berdasarkan kenyataan di lapangan yang dilihat dari kepuasan rakyat, tetapi berdasarkan laporan dari pelaksana itu sendiri di lapangan.

Perbaikan cukup sekadar dengan semboyan demi semboyan yang ditempelkan di tiap simpang jalan. Kalau semboyan itu sudah ditempelkan, kinerja dianggap sudah meningkat. Kalau ada yang protes, itu tidak perlu digubris, karena yang demikian itu dipandang sebagai suara orang-orang rewel yang sejak kapanpun memang sudah begitu.

Di beberapa sudut jalan ada semboyan yang bertuliskan 'BERIMAN' artinya bersih, indah dan nyaman. Di bawah baliho itu dapat dijumpai berjenis sampah yang jorok dan menyeramkan. Ada lagi yang bertulis 'DAERAH TERTIB LALU LINTAS'. Lucunya tulisan itu terdapat di wilayah yang sangat tidak tertib dan macet. Sulit diketahui apa makna tulisan itu. Inilah barangkali yang dimaksudkan dengan formalism dari model salla yang dimaksudkan dalam teori Administrasi Publik. Atau mungkin karena sudah putus asa tidak ada cara untuk menertibkan lagi, maka sekadar sebagai doa atau untuk mengimbau agar dapat kiranya menimbulkan rasa iba dan kepedulian dari kalangan pengendara kendaraan untuk menertibkan diri.

Meskipun secara samar-samar diketahui bahwa pelayanan publik adalah kewajiban pemerintah kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara, namun dalam praktik, rakyat selalu berpikir bahwa pelayanan itu berasal dari kemurahan hati pejabat yang telah sudi membantu mereka. Untuk itu mereka harus menyampaikan rasa syukur dan terima kasih melalui bermacam cara. Menjadikan diri sebagai pekerja sukarela bila diperlukan, melayani permintaan atau membela Ndoro kapan saja dibutuhkan, membantu dalam segala kesulitan termasuk memberikan hadiah secara bersama dan sebagainya.

Hadiah kepada Ndoro Penyelenggara Negara ini tidak ubahnya seperti rakyat Mesir Kuno mengorbankan gadis cantik kepada Tuhan-nya dengan mencemplungkan dalam Sungai Nil, atau penduduk Yogyakarta melautkan kepala kerbau dan berbagai sesajian kepada Nyi Roro Kidul. Akibatnya, hadiah bukan dari atas turun kebawah, tetapi dari bawah mendaki ke atas. Itulah sebabnya, mengapa dalam masyarakat negara berkembang, pemimpin hidup melimpah dengan segala kekayaan, rakyat menderita dengan segala kepapaan dan kesengsaraan.

Di lain pihak, rakyat negara berkembang juga memahami kesulitan mendapatkan pelayanan publik sebagai sebuah cobaan. Mereka paham untuk mendapatkan rezeki, mereka harus berusaha. Kerja keras adalah suatu kebajikan. Karena itu untuk memperoleh pelayanan publik mereka juga harus sabar untuk menempuh jalan berliku, terjal, berputar-putar, lama dan mahal. Ada kalanya, nyawa harus dipertaruhkan untuk berdesakan memperebutkan catu yang dibagikan.

Karena itu upaya memperbaiki pengadaan dan penyaluran pelayanan publik harus dilakukan di samping memberantas penyimpangan dalam pelayanan melalui penindakan, juga perlu diberikan kesadaran kepada mereka tentang hal-hal yang berkenaan dengan itu, antara lain:

  1. Bahwa pelayanan publik itu, di satu pihak adalah hak mereka sebagai warga negara. Di lain pihak merupakan kewajiban penyelenggara untuk memberikannya.
  2. Bahwa pelayanan publik bukan berasal dari kemurahan hati pejabat, karena itu tidak perlu ada balas jasa untuk mendapatkannya.
  3. Bahwa kesulitan mendapatkan pelayanan publik bukan suatu cobaan Tuhan, tetapi karena kelalaian dan kesalahan penyelenggara pelayanan.
  4. Bahwa memberikan hadiah kepada pelaksana pelayanan publik yang sudah dibiayai negara atau daerah adalah suatu kesalahan, tergolong sebagai perbuatan dzalim karena dapat mempersulit orang miskin lain yang tidak mampu memberikan hadiah seperti itu.
Demi keselamatan negara dan perbaikan hidup rakyat, segala pihak diperlukan kesadaran untuk memperbaiki pelayanan publik. Karena itu, di samping apa yang selama ini sudah dilakukan, insya Allah, KPK akan berbuat sesuatu untuk perbaikan pelayanan publik. Mudah-mudahan rakyat kita tidak akan terus menerus mengalami penderitaan dalam pelayanan publik.****


*) Said Zainal Abidin adalah ahli manajemen pembangunan daerah (regional development management) dan kebijakan publik, Guru Besar STIA LAN, sekarang penasihat KPK.

(vit/vit)

BUNTUT CURHAT GAYUS : "GOLKAR SERANG SATGAS ANTI MAFIA HUKUM"

Rabu, 19/01/2011 17:32 WIB

Oleh : Elvan Dany Sutrisno - detikNews


 Jakarta - Partai Golkar mencerna pengakuan Gayus terkait politisasi kasusnya untuk menyerang Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Golkar kecewa dengan kinerja Satgas yang juga sudah mengecewakan Gayus.

"Saya baru tahu bahwa ternyata semua penuh rekayasa dan tekanan. Saya mengingatkan presiden bahwa tim inti presiden tidak steril. Mereka ternyata punya haluan-haluan politik untuk kepentingan tertentu. Ini tidak fair bagi penegakan hukum yang adil," ujar Ketua DPP Golkar, Priyo Budi Santoso, kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (19/1/2011).

Hal ini disampaikan Priyo menanggapi keluhan Gayus yang merasa kasusnya dipolitisasi. Gayus menyebut Satas mencoba mengungkap kasus pajak Bakrie untuk menutup rekayasa kasus Antasari.

Untuk itu Priyo berharap presiden SBY mengabil langkah konkret. Diharapnya Presiden menyempurnakan barisan pembantunya itu.

"Untuk menyelamatkan agar steril, mestinya presiden mengambil langkah untuk mensterilkan lingkungannya dari ekses haluan politik. Saya terperanjat dengan pengakuan Gayus menyangkut rekayasa dan intimidasi," papar Pryio.

Priyo lalu menyambungkan pengakuan Gayus dengan kesaksiannya yang merasa dipolitisi. Priyo menuding Satgas ada di balik pelesiran Gayus.

"Apa yang diakui Gayus justru jadi nyambung. Kenapa daa bisa mudah pelesiran dan ke luar negeri. Ternyata disuruh Satgas," tandasnya.

(van/ndr)

KEPALA DAERAH BERMASALAH


Oleh :  Laode Ida (Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah/DPD RI)

Dalam rapat dengan pendapat dengan Komite 1 DPD RI (Senin, 17/1/11), Mendagri Gamawan Fauzi antara lain mengatakan bahwa lebih dari separuh atau 17 dari 33 provinsi di Indonesia, dipimpin oleh figur-figur yang bermasalah, tersangkut berbagai kasus dan diantaranya harus dinonaktifkan. Terkejut? Bagi mereka yang awam dalam mencermati fenomena pengelolaan pemerintahan daerah, mungkin saja saat membaca berita ini akan kaget atau tercengang membaca berita ini.

Namun, bagi kita dan para pembaca yang peduli dan tekun mengamati dinamika proses-proses pemilihan kepala daerah termasuk pengelolaan daerah di era reformasi ini, pastilah akan menganggap fenomena itu sebagai hal biasa. Bahkan, menurut saya, fakta sesungguhnya pasti jauh besar lagi dari angka 17 provinsi itu, termasuk para pemimpin di level kabupaten dan kota; sangat jarang yang terbebas dari kasus. Hanya saja, ada yang diseriusi untuk ditangani noleh pihak yang berwenang, ada juga yang mampu ditutupi dengan berbagai cara yang digunakan oleh para elite daerah itu.

Kendati begitu, sikap pemerintah untuk mengakaui bahwa banyak kepala daerah yang bermasalah, sudah merupakan bagian dari kejujuran yang belum sempurna. Hanya saja, hingga saat ini pemerintah pusat masih sangat rendah derajat keseriusannya untuk mencegah tampilnya, dan atau meniadakan, figur-figur pimpinan daerah yang bermasalah, atau untuk menghindari daerah dari jebakan kekotoran figur pimpinannya. Figur yang sudah dinyatakan tersangka pun masih dilantik atau diambil sumpahnya untuk menjalankan tugas (kasus Walikota Tomohon yang dilantik di balik jeruji penjara, dan juga mungkin Bupati Boven Digoel).

Fenomena ini menunjukkan atau memberi kesan sangat kuat bahwa pemerintah pusat terus melakukan pembiaran dengan mentolerir para figur yang kotor itu memimpin daerah. Ini sungguh-sungguh merupakan kejanggalan atau anomali yang seharusnya tidak boleh terjadi. Mengapa?

Pertama, pemerintah telah membiarkan atau turut berkontribusi dalam proses penghancurkan nilai-nilai kultural relijius yang hidup secara menyejarah masyarakat di setiap daerah di Indonesia ini. Betapa tidak. Seorang pemimpin, dalam pandangan sosio-kultural, merupakan patron atau panutan seluruh elemen masyarakat lantaran kemuliaan perilakunya.
Hubungan antara pimpinan dan rakyat, dalam pandangan ini, dianalogikan sebagai ‘jarum dengan benang’, ke mana jarum mengarah, kearah itu pulalah benang mengikutinya. Kalau figur sudah bermasalah, apalagi terlibat kejahatan korupsi serta berbagai kasus amoral lainnya, maka otomatis rakyatnya akan kehilangan arah. Atau, pada tingkat tertentu, masyarakat dipaksa untuk tunduk segala kebijakan yang diambil oleh para pimpinan yang bermasalah alias kotor; sebuah proses yang menjadikan bangsa ini nilai-nilai ke-Tuhan-an, padahal itu merupakan fondasi utama kita seperti tercantum dalam sila pertama Pancasila. Inikah yang dikehendaki oleh pemerintah?

Kedua, pemerintah sedang melakukan penghinaan terhadap eksistensi kader-kader yang baik di bangsa ini. Soalnya masih demikian banyak figur clon pemimpin yang masih memiliki derajat moralitas, integritas serta kapabilitas yang tinggi, dan sangat pantas untuk dijadikan panutan. Tapi mereka dinafikan, tidak dilirik, tidak diberi peluang oleh pengambil kebijakan untuk berkontribusi secara nyata dalam upaya perbaikan bangsa ini.
Bahkan sebagian dari mereka dijauhi, dibiarkan berada di luar sistem dan menjadi kekuatan kritis yang kerap sering membuat merah telinga pemerintah saking kesalnya melihat carut marutnya kondisi bangsa ini saat dipimpin oleh figur-figur bermasalah. Sebaliknya pemerintah terus mempertahankan, merangkul dan bermesraan dengan para figur yang berlumuran kotoran itu. Maka, kalau kondisi seperti ini terus dipertahankan, jangan heran kalau penyelenggara negara ini akan semakin mengalami krisis kepercayaan dari sebagian besar bangsa ini.

Ketiga, pemerintah pusat telah membiarkan terabaikannya upaya pencapaian tujuan pembangunan nasional melalui efektifnya pengelolaan pemerintahan, birokrasi dan pembangunan di daerah. Karena pimpinan suatu daerah yang bermasalah, niscaya konsentrasinya adalah segala upaya untuk keluar dari masalahnya dengan melakukan berbagai cara. Parahnya lagi, ketika pihak yang berwenang terus mengulur atau menggantung proses penyelesaiannya secara hukum (lantaran memanfaatkannya sebagai bagian dari ‘uang segar’ yang setiap saat bisa dicairkan) di tengah semakin kritisnya masyarakat lokal terhadap pimpinan bermasalah, maka siatuasi daerah akan kian tidak menentu.

Konsentrasi untuk menjalankan agenda pembangunan daerah, dengan sendirinya, pastilah akan sangat terganggu. Bahkan, pada tingkat tertentu, anggaran daerah bukan mustahil makan terselewengkan oleh pimpinannya untuk selain mengumpulkan pengembalian uang yang dikeluarkan saat kampanye (malahan berharap untuk juga memperoleh untung), juga ‘men-service’ para oknum penegak hukum yang menangani kasus-kasusnya, termasuk juga sebagaian pejabat dan jaringan politik di atasnya yang turut berjasa dan mempertahankan statusnya sebagai pejabat daerah.

Maklum, dalam perspektif kritis, negara ini boleh dikatakan sebagai “dikelola melalui jaringan lobi informal dari sejumlah elite bermasalah”. Mereka bukan saja sekedar saling menyelamatkan, melainkan juga saling menguntungkan, dan rakyat hanya diposisikan sebagai “terpaksa harus ikut atau jadi pentonton yang kadang-kadang kritis saja”.

Jakarta, 19 Januari 2011
Laode Ida

Sumber : http://www.facebook.com/?ref=home#!/notes/laode-ida-satu-full/kepala-daerah-bermasalah/185701401454309

GUBERNUR DIPILIH DPRD UNTUK SIAPA?


Oleh : Laode Ida (Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah/DPD RI)

(ARTIKEL INI INSYA 4LLAH DIMUAT DI KOLOM MAJALAH GATRA MINGGU INI)

Wacana agar gubernur dipilih kembali oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi tampaknya bukan isu belaka. Pemerintah melalui draft RUU revisi UU No. 32/2004, khususnya terkait dengan pemilihan kepala daerah, sudah sangat nyata mencantumkan usulan itu. Alasannya: untuk mengefisienkan proses dan biaya pemilihannya lantaran pilgub/wagub dianggap terlalu mahal, provinsi dianggap tidak memiliki wilayah otonom, mengurangi potensi konflik politik, menciptakan pola relasi harmonis antara gubernur dengan DPRD, membuat nilai transaksi politik jadi lebih rendah, dan menjamin terpilihnya pemimpin yang kapabel.

Alasan pemerintah yang dijadikan dasar untuk merubah sistem pemilihan gubernur itu, bagi saya, terasakan seperti mengada-ada, tidak mendasar, dan bahkan sebaliknya menunjukkan ketidak cerdasan, ketiadaan kreativitas, atau mungkin juga kemalasan dalam mencari dalam mengupayakjan alternatif sebagai jalan keluar dari penyelenggaraan pemilihan kepala dsaerah secara langsung (pilkadasung) sebagai bagian dari kemajuan praktik demokrasi yang substansial. Mengapa?

Terkait dengan soal efisiensi anggaran, misalnya, bukankah anggaran yang tersedot untuk pilkadasung bupati dan walikota seluruh Indonesia (di 491 kabupaten/kota) justru jauh lebih banyak ketimbang pemilihan gubernur/wagub secara langsung yang hanya 33 provinsi? Juga, dalam kaitan dengan konflik dan keretakan modal sosial (social capital) yang paling serius justru terjadi pada pilkadasung bupati dan walikota? Sehingga mengapa hanya gubernur yang diusulkan untuk dipilih oleh DPRD, bukan sekalian juga untuk posisi bupati dan walikota?
Demikian juga terkait dengan transaksi atau politik uang. Malahan sangat terkesan kalau pemerintah berupaya kembali (akan) memberi ruang besar lagi kepada para politisi di DPRD untuk tetap rusak moralitasnya. Bukankah kompromi atau suasana harmonis antara DPRD dengan kepala darerah justru akan kian buruk akibatnya. Karena suasana hubungan kompromistik akan menjadi momentum yang akan terus dirawat untuk ‘saling memuaskan kepentingan’, dan pada saat yang sama akan mengabaikan kepentingan rakyat yang sesungguhnya.

Semua pihak bisa memahami, memang, bahwa gagasan itu juga dikaitkan pula dengan posisi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, di mana diharapkan terdapat kesamaan garis politik antara pimpinan eksekutif nasional dengan eksekutif di wilayah provinsi. Sebab, pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkadasung) sekarang ini menghasilkan figur-fugur pimpinan daerah dari ragam politik yang berbeda dengan presiden, sehingga dianggap sedikit bermasalah dalam menjalankan koordinasi dengan sistem komando dalam satu garis ideologi partai. Dan, kalau itu terus terjadi dengan posisi parpol yang kian kuat, maka kebijakan politik dan agenda terselubung pimpinan eksekutif nasional akan sulit ditransfer langsung dan terbuka ke daerah melalui gubernur sebagai perpanjangan tangannya.
Tepatnya, sepertinya gubernur dikhawatirkan akan sedikit membangkang terhadap pimpinan nasional lantaran memiliki tiga alasan yang saling terkait: (1) memiliki legitimasi sosial dari bawah yang kuat lantaran dipilih secara langsung oleh rakyat, (2) memiliki garis komando politik yang berbeda dengan presiden dengan posisi mandiri atau otonom secara nasional, dan ditambah lagi dengan, (3) kewenangan gubernur (sebagai kepala daerah) yang demikian dijamin UU No. 32 tahun 2004. 
Makanya tidak heran, kalau sebelumnya juga pihak eksekutif nasional sempat melontarkan gagasan agar gubernur ditunjuk langsung oleh presiden – sebuah siasat yang dimulai dengan tawaran ekstrim (dibanding dengan pilkadasung) sementara yang diharapkan sebenarnya adalah jalan tengah, yakni dipilih oleh DPRD.

Bila ditafsirkan lebih jauh, maka upaya pemerintah untuk memilih gubernur melalui DPRD sebenarnya terkait dengan agenda politik untuk memastikan agar figur yang terpilih bisa benar-benar dikendalikan oleh (atau demi kepentingan) politik penguasa. Pihak Jakarta akan dengan mudah mengkoordinasikan segelintir politisi di DPRD (apalagi sebagaian besar di antara mereka sangat rentan dengan godaan materi), dan sebaliknya akan selalu kesulitan untuk mengendalikan pilihan rakyat banyak di daerah. Dengan mengkooptasi gubernur, maka selanjutnya terbuka peluang untuk secara bertahap mengendalikan para bupati dan walikota. Sehingga, ujung-ujungnya, terjadi penyeragaman barisan eksekutif untuk kepentingan politik tertentu, di mana itu semua juga tak bisa dilepaskan dengan agenda tahun 2014 nanti (pemilu legislatif dan presiden/wapres).
Siasat seperti itu tentu sah-sah saja secara politik. Tetapi dari segi nilai dan perkembangan demokrasi di bangsa ini sungguh-sungguh sangat ironis . Mengapa? 

Pertama, hanya untuk menyahuti kepentingan subyektif, maka pemerintah berupaya memundurkan demokrasi yang sudah berjalan maju dengan gairah atau antusiasme masyarakat yang demikian tinggi. Sepertinya letih dalam mengarungi gelombang dan dinamika demokrasi, sehingga dianggap “kita harus berhenti dan mundur ke belakang”. Sikap seperti ini, merupakan ekspresi dari ketidak mampuan elite penguasa dalam mengelola dan mencari jalan keluar di saat menghadapi permasalahan di masyarakat dan negara; keinginan untuk menghindar dari realita dan mencari jalan pintas untuk mengamankan kepentingan politik fragmatis.

Kedua, di satu pihak kita semua menginginkan agar posisi gubernbur kuat sehingga bisa melakukan koordinasi efektif antar kabupaten/kota untuk menjalankan agenda pembangunan daerah, namun justru pada saat yang sama pemerintah berupaya melepaskan akar legitimasi sosial di daerah. Maka konsekuensinya nanti adalah akan kembali munculnya kebijakan dan sikap otoriter sang penguasa Jakarta melalui berbagai rekayasanya dengan memanfaatkan posisi gubernur sebagai perpanjangan tangannya di daerah. Ini artinya, kita akan masuk pada fase baru otoritarisme kekuasaan seperti halnya pada era Orde Baru.

Jakarta, 18 Januari 2011
Laode Ida

Sumber : http://www.facebook.com/profile.php?id=100000207927858&sk=notes#!/notes/laode-ida-satu-full/gubernur-dipilih-dprd-kepentingan-siapa/185387134819069

Minggu, 16 Januari 2011

JASA GAYUS DALAM (MENGUNGKAP) KEBOBROKAN NEGARA

Oleh :  Laode Ida (Sosiolog, Wakil Ketua DPD RI)


Gayus Tambunan adalah fenomena yang unik dalam sejarah tersangka korupsi di bangsa ini. Bukan saja usianya yang berusia 30-an dengan status kepegawaian pada golongan tiga, sementara ‘penghasilan haram’ dari aktivitasnya sebagai mafia pajak sangat banyak, melainkan karena kehebatannya dalam memperdaya para penegak hukum mulai dari jajaran kepolisian, kejaksaan, pengadilan, keimigrasian – dan mungkin juga terhadap KPK yang akan berjanji akan segera menanganinya. Betapa tidak. Ia, dalam proses-proses hukumnya hingga saat ini, bagaikan selebriti yang sedang berekreasi saja, menikmati bagian dari kekayaannya sambil bertindak sebagai sinter-klas – membagi-bagi harta hasil rampasannya kepada oknum dari pihak berwenang.

Barangkali, andai saja ‘para pemburu berita’ tidak cermat memantau kebebasan Gayus itu, maka penyimpangan para pihak yang berwenang tak akan terungkap. Putra Batak itu pun tak akan sepopuler sekarang. Tepatnya, Gayus hanya akan menjadi terpidana biasa. Artinya, kendati ia bebas berkeliaran karena “dibijaksanai” oleh oknum berwenang, publik tak akan mengetahuinya. Dan, ini pulalah yang jadi “keunggulan” Gayus, yakni mampu mengungkap kebobrokan para penegak hukum dalam memperlakukan dengan mengambil keuntungan materi dari para terpidana korupsi. Tepatnya, sang lulusan STAN itu memiliki jasa besar dalam mengungkap kejahatan para mafia hukum di negeri ini.

Fenomena proses-proses dari Gayus ini, memberikan beberapa pelajaran dan sekaligus catatn kritis bagi para penegak hukum di bangsa ini, termasuk juga bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pertama, adanya diskriminasi dalam penegakkan hukum. Yang merasakan penderitaan fisik dan psikis setelah melakukan kejahatan hanyalah mereka-mereka yang secara sosiologis tergolong ‘wong cilik’, yang tidak memiliki uang untuk menyuap para petugas yang berwenang (mulai dari polisi, jaksa, hakim sampai pada petugas penjara). Soalnya, bukan rahasia lagi, bila yang jadi narapidana dari kalangan rakyat kecil, kendati derajat kesalahannya tidak seperti penjahat berdasi seperti Gayus itu, mereka harus mau disiksa secara fisik dan psikis baik sebelum masuk maupun berada dalam penjara.

Sementata bagi para pelaku kejahatan kelas kakap, setelah merampok uang negara yang sesungguhnya merupakan bagian dari hak rakyat itu, bilik penjara sebenarnya hanya merupakan status simbolik saja, karena pada kenyataannya mereka tengah menikmati masa libur yang indah. Soalnya, para petugas yang berwenang tahu dan sadar betul bahwa sang tersangka, terdakwa atau narapidana, bisa dijadikan ATM yang setiap saat bisa ditarik uangnya. Harga paspor dengan identitas diri yang palsu dari Gayus dengan hanmpir satu milyar itu, merupakan bukti tak terbantahkan.

Dan, pihak narapidana korupsi pun tahun bahwa para petugas itu juga adalah manusia biasa yang haus atau rakus dengan materi. Tepatnya, berada dalam proses-proses hukum atau di rutan, adalah saat yang paling tepat untuk sama-sama menikmati uang hasil rampok, dengan cara berbagi dengan para petugas yang terkait sehingga sang narapidana bisa terus berada dalam suasana selalu enjoy. Dengan kata lain, para petugfas yang berwenang, kalau mau jujur diakui, sungguh sangat mengharap agar selalu adanya narapidana korupsi, karena sudah pasti akan kecipratan hasil korupsinya pada mereka.

Kedua, negara ini telah dirusak dari dalam oleh para pihak yang berada di jajaran penegak hukum. Tampaknya, mereka bukan saja sekedar menikmati uang hasil korupsi dari para narapidana, melainkan juga menjadi bagian dsari sindikat kejahatan itu sendiri. Betapa tidak. Gayus, demikian beberapa tahanan akibat korupsi lainnya, keluar masuk secara bebas dari tahanan kepolisian. Pastilah petugas polisi tahu semua itu, tapi membiarkannya.

Demikian juga dengan pihak kementerian hukum dan HAM, instansi yang mengeluarkan paspor palsu untuk Gayus (dan mungkin juga narapidana lain hanya saja belum terungkap). Dan anehnya, justru Manteri Hukum dan HAM melindungi jajaran sebagai “tidak bersalah” dengan menyatakan bahwa jajaran imigrasi sudah bekerja dengan baik. Sehingga kecuruigaan pun muncul: jangan-jangan Menteri Hukum dan HAM itu juga mendapat porsi dari hasil rampokan Gayus.

Ketiga, fenomena Gayus adalah bukti pembiaran negara atas kejahatan yang dilakukan oleh aparatnya sendiri. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sungguh sudah terbukti sebagai tidak mampu membverantas mafia hukum. Bahkan, kalau terus mempertahankan jajaran pejabat dan atau aparatnya yang sudah secara telanjang ditonton oleh masyarakat luas sebagai terlibat sindikat penghancuran dari dalam negara ini, maka jangan mengeluh dan menyalahkan pihak lain kalau rakyat bangsa ini kian rendah penghargaannya terhadap pimpinan yang sudah dipilih secara langsung itu.

Kelompok kerja pemberantasan mafia hukum tampaknya juga sudah gagal menjalankan tugasnya. Atau, pada tingkat tertentu mungkin saja hanya digunakan sebagai bagian dari upaya pencitraan bahwa rezim ini sungguh-sungguh ingin memberantas korupsi dan mafia hukum, padahal sesungguhnya hanya menghabiskan sebagian uang negara sebagai konsekwensi dari anggaran lembaga berikut aktivitasnya. Apalagi gugus tugas ini tidak memiliki kewenangan untuk mengeksekusi, hanya merupakan instrumen untuk memberikan kajian dan laporan kepada presiden.

Semasih Presiden SBY tidak melakukan pembenahan mendasar di dalam seluruh jajaran penegak hukum,maka kita semua jangan pernah berharap bangsa ini akan menjadi lebih baik. Apalagi secara teoretik kondisi bangsa ini sekarang sebenarnya sudah masuk kategori negara gagal (the failed state), yang akan semakin sulit diperbaiki kalau pimpinannya masih tetap serba ragu, tuidak mau atau tidak mampu melakukan berbagai langkah pasti untuk perbaikan itu.

Jakarta, 14 Januari 2011

Sumber : http://www.facebook.com/?ref=home#!/note.php?note_id=184754628215653

Kamis, 06 Januari 2011

PELAKSANAAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI SULAWESI TENGGARA MASIH SARAT KKN : "DIPERLUKAN KETERLIBATAN BADAN INTELIJEN NEGARA"

 OLEH : LAODE SARUHU


Berdasarkan hasil pemantauan lapangan dalam proses sampai dengan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah di Sulawesi Tenggara baik pemilihan Gubernur, Bupati maupun Wali Kota masih diperlukan secara intensif pengawasan internal oleh Badan Intelijen Negara (BIN) kerja sama dengan Badan Intelijen Strategis (BIS) dan Deputi Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal demikian ini dimungkinkan dalam kaitannya penegakan supremasi hukum  mulai dari proses Pilkada sampai pelaksanaan Pilkada di daerah ini. Bahwa keterlibatan badan-badan dan komisi ini adalah bukan mencampuradukan antara kewenangan bidang reserse dan intelijen instansi kepolisian dan kejaksaan di daerah namun lebih jauh daripada itu bahwa modus intelektual setiap kali pelaksanaan Pilkada adalah diwarnai oleh permainan politis yang begitu sistemik sehingga hanya badan-badan dan komisi ini secara inplisit dan eksplisit dapat membongkar setiap kejahatan Pilkada dalam bentuk striotipik apapun demi penegakan hukum serta rasa keadilan dan kepuasan rakyat peserta pemilihan atas jargon - jargon yang diidolakannya dimana lokasi Pilkada diseleng-garakan. Bukan merupakan rahasia umum lagi bahwa independensi Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerah serta independensi Badan Pengawasan Pilkada termasuk institusi yang terkait hingga saat ini masih merupakan fenomena yang kebanyakan kalangan masih meragukannya akan kinerja mereka dalam pelaksanaan setiap tahapan Pilkada di daerah.  Hanya saja bagi masyarakat awam yang banyak mengetahui hal ini termasuk ketika mereka menerima uang dari Tim Sukses kelompok-kelompok pigur tertentu enggang untuk melapor ke pemerintah karena disamping memang dilapangan hingga saat ini belum ada tersedia sarana Kotak Pos Pengaduan Pelanggaran Pilkada juga mereka kebanyakan karena hanya memiliki pendidikan pas-pasan sehingga mereka pada umumnya merasa takut jika sandainya melaporkan kejadian yang mereka alami itu kepada pemerintah karena hingga saat ini negara belum membentuk lembaga perlindungan saksi bagi setiap pelapor kejahatan Pilkada.  Adanya Money Politics atau politik uang dalam setiap pelaksanaan Pilkada juga merupakan suatu indikasi bahwa penegakan supremasi hukum betul-betul belum seperti yang kita harapkan, padahal permainan politik uang menjelang hari H Pilkada secara terang-terangan bisa kita jumpai ditengah-tengah masyarakat kita. Kalau kondisi demikian ini pemerintah pusat tidak bisa tengahi dengan baik dan mencari jalan solusi dalam perbaikan sistem kerja organ-organ negara sebagaimana yang telah di atur dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah maka sudah dapat dipastikan bahwa makin hari akan semakin buruk pelaksanaan Pilkada di daerah selain itu rasa keadilan dan perlindungan kepada hak-hak rakyat dalam kaitannya dengan Pilkada tersebut semakin hari juga semakin absurd. Jika demikian kenyataannya bahwa negara secara tegas tidak mau menindak para pelaku kejahatan Pilkada maka lambat laun suatu kelak negara kita akan kehilangan jati dirinya sebagai negara hukum (recht staat)  dan kelak akan menjadi negara kekuasaan (maght staat). Bisa dibayangkan, apabila negara kita kelak sudah menjadi negara kekuasaan maka kehidupan bangsa dan negara akan dikuasai oleh kelompok-kelompok penguasa dan lembaga-lembaga tertentu saja dimana hak-hak demokratis rakyat akan  semakin menipis yang pada akhirnya rakyat akan menjadi bunfer kekuasaan dimana pelaksanaan tindak pidana korupsi akan merajalela dimana-mana dalam setiap sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara karena rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara sudah tidak lagi bisa berfungsi sebagaimana mestinya.
Tentu kita semua sebagai warga negara yang baik yang hingga saat ini secara konsisten masih loyal terhadap UUD-1945 dan Panca Sila tidak menginginkan sistem negara makin hari semakin rusak namun sebaliknya kita sangat mengharapkan bahwa suatu saat negara ini akan menjadi negara yang jelas sistem hukumnya dan tegas pelaksanaan hukumnya "low enforcement" termasuk penindakan dan pemberian sanksi secara tegas oleh negara bagi siapapun yang melanggar aturan hukum negara sehingga suatu kelak bangsa kita bangsa indonesia menjadi bangsa yang besar dihormati oleh bangsa-bangsa di dunia dan  negara yang bisa mengatur kepemerintahannya dengan baik dan mampu mengayomi seluruh rakyatnya secara adil dan bijaksanan dan sebagai bangsa baidatun tayibatun wal gaffurur rahim...

PENTINGYA INTEGRASI DALAM MASYARAKAT MAJEMUK : "Suatu Tinjauan Dalam Konteks Integrasi Kehidupan Antar Agama di Indonesia"

OLEH : ALI HABIU


Didalam masyarakat mejemuk yang hidup berbagai suku bangsa, agama dan rasial, integrasi sangat diperlukan, bila tidak ada integrasi didalamnya maka akan timbul kelompok-kelompok ekstrim sayap kanan dan sayap kiri yang sering kali membuat keonaran serta separatisme. Masyarakat mejemuk yang terdapat di Negara Indonesia yang dalam membentuk kelompok didasarkan atas kesamaan budaya, agama, ethnis dan bahasa. Pada dasarnya integrasi dalam kehidupan masyarakat muncul dengan saling menjaga keseimbangan untuk mendekatkan pergaulan antara sesama manusia. Integrasi sosial adalah suatu proses penyesuaian antara unsur-unsur yang berbeda yang ada dalam kehidupan komunitas sehingga diperoleh suatu kodisi kehidupan yang serasi bagi masyarakatnya.
Indonesia sebagai Negara yang memiliki jumlah penduduk sekitar 240 juta jiwa, diperkirakan sebanyak 220 juta jiwa beragama islam dan selebihnya agama Kristen, Hindu, Budha dan Konhucu. Pada momen kehidupan masa kini integrasi antara Islam dan non Islam khususnya Kristen sangat sulit didapatkan ditengah-tengah kehidupan Bangsa dan Negara. Mengapa hal ini bisa terjadi, antara lain disebabkan oleh disatu sisi pemahaman ajaran agama islam bagi sebagian besar kaum mislimin di Indinesia menganut faham syareat/aqidah yakni dengan melihat paradoks islam sebagai apa adanya seperti kontekstual apa yang telah diriwayatkan oleh perjalanan para Rasul atau Nabi dengan menggaris bawahi pemahaman terjemahan asli Alquran dan Hadist secara teoritis sebagai harga mati dan melihat diluar golongan ini sebagai golongan kafir. Di sisi lain golongan non Islam seperti Kristen (katolik dan protestan) tidak secara murni lagi mengembangkan ajaran kitab perjanjian lama oleh Bernabus, melainkan kitab-kitab Injil yang postulat sudah dimodifikasi oleh para missionaries Kristen sekitar abad XVI di Roma sehingga golongan ini melihat golongan diluar agama mereka sebagai Gembala yang harus dapat dipengaruhi untuk dapat masuk agama Kristen (katolik atau protestan).
Sebagaimana yang diriwayatkan Kitab Injil (Matius 28 : 19-20) dalam Hanz Pinsel (2002), “Karena itu pergilah, jadikanlah semua Bangsa muridku, dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus dan ajarilah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu.”
Kitab Injil (Yohanes 13 :34), “Aku memberi perintah baru kepadamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, sama seperti aku telah mengasihi kamu, demikian pula kamu harus saling mengasihi”
Dalam Kitab Injil, (Petrus 5: 1-7) dalam Hanz Pinsel (2002), “Aku menasehatkan para penatua diantara kamu, aku sebagai teman penatua dan saksi penderitaan kristus, yang juga akan mendapat bagian dalam kemuliaan yang akan dinyatakan kelak. Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Jangalah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu, Maka kamu apabila gembala Agung datang, kamu akan menerima mahkota yang tidak dapat layu.”
Dalam Kitab Injil (Paulus : 5) dalam Hanz Pinsel (2002), “Pertahankalah, supaya jangan ada orang yang membalas jahat dengan jahat, tetapi usahakanlah sementara yang baik terhadap kamu masing-masing dan terhadap semua orang..”
Hans Pinsel (2002) mengatakan bahwa Yesus tidaklah mengembangkan agama Kristiani menjadi gerakan diseluruh dunia, melainkan para pengikutnyalah yang melakukannya.
Sehingga dengan demikian itu dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di Negara Indonesia sangat sulit untuk hidup berdampingan secara damai kedua aliran agama ini antara Islam pundamentalis dengan Kristen modern disebabkan adanya fenomena faham kafir dan faham gembala.
Dalam pengembangan ajaran Islam di dunia, diperkirakan mulai pertengahan abad XVI para missionaries dan militan yahudi telah secara bertahap membuat Hadist-Hadist palsu untuk membuat pertentangan dalam ajaran Islam dalam rangka program Kristenisasi dan Yahudisasi di seluruh dunia. Hingga tahun 1998 lalu menurut Imam Mesjid Nabawi yakni Sjech Abdullah telah menyampaikan kepada para petinggi Islam sebagai kasusistik, sebagaimana dikemukan oleh Ustaz Najam Al Idrus salah seorang ketua dewan Musrid Tarikat Naksabandyah di Sulawesi Selatan mengatakan bahwa jumlah Hadist palsu yang telah berkembang di Dunia sebanyak 6664 Hadist yang perlu diwaspadai oleh ummat islam. Kata ustaz ini bahwa perbedaan antara Hadist asli dan Hadist palsu sangat sulit sekali dibedakan, kecuali hanya orang yang telah mendapat rahmat dan memiliki mata bathin yang bisa membedakannya. Tetapi sepintas katanya bahwa secara kontekstual Hadist paslu ini bisa diamati pada isi pesan yakni materinya banyak memuat atau mengajak pertentangan. Sementara dilain pihak para golongan Islam pundamentalis yang konteksi pemahaman hanya berupa pendalaman syareat Islam secara harpiah telah banyak terjebak oleh Hadist-Hadist palsu ini, Hal ini tanpa disadari bisa merupakan sumber inspirasi perpecahan dalam batang tubuh Islam di Indonesia dan berbias pada perasaan ummat Islam dendam pada golongan di luar Islam terutama golongan Kristen dan Yahudi.
Al Quran (surat Yunus : 44), “Innallaha Laa Yadzlimunnaasa Tsaian Walaa Kinnannasa Anfusahum Yadzlimuun”. artinya : Sesungguhnya Allah tidak buat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.
Pada Surat Al Hijr (40), “Qala Rabbi Bimaa Agwaitanii La’Zayyinanna L:ahum Fiilardhi walaa Ugwi Yannahum Ajmaiin.” artinya : Iblis berkata : Ya Tuhanku oleh sebab engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka (baca: kaum muslimin) memandang baik (baca: segala perbuatan buruk, maksiat) di muka bumi dan pasti aku akan menyesatkan mereka semua.
Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan sehari hari di Indonesia, kita akan jumpai dimana-mana lokasi tempat transaksi maksiat seperti : Cape, Restoran, Panti Pijat, Salon Kecantikan, Lokalisasi WTS, PSK, bahkan Hotel, Motel dan lain sebagainya, bila diamati orang-orang yang hilir-mudik datang melakukan atau menjajagan seks hampir pada umumnya adalah golongan Islam, sangat sedikit sekali atau hampir tidak pernah dijumpai golongan Kristen pada tempat tersebut. Sehingga hal ini dalam mencermati perkembangan kualitas Islam di Indonesia kondisi ini dapat dijadikan sebagai studi kasus dalam hubungannya dengan ketahan moralitas manusia Islam dalam konteks integrasi bangsa.
Demikian pula masuknya Narkoba di Indonesia sebagai suatu alat subordinasi pengrusakan akhlah, moral anak-anak bangsa oleh pengaruh indoktrinasi politisasi global golongan tertentu juga akan melemahkan kekuatan lslam di Indonesia sebagai Negara yang memiliki penduduk pemeluk Islam yang terbesar di kawasan Asia Fasipik. Dalam visualisasi media cetak dan elektonik yang setiap hari menyiarkan kasus Narkoba ini, hampir sebagian besar pecandu yang diberitakan, diketemukan adalah orang yang berasal dari golongan Islam.
Pengaruh subordinasi politisasi global oleh Negara-Negara Adi Kuasa yang menjadikan agama sebagai legitimasi persaingan antar agama di dunia akan semakin melemahkan integrasi antara kehidupan agama di Indonesia terutama kerukunan antar integrasi kehidupan Islam dan Kristen.
Bagi perkembangan kehidupan agama Hindu, Budha dan Konhocu di Indonesia yang telah ada sejak zaman kolonial Belanda, dijamin perkembangannya di Negara Indonesia yakni berdasarkan pasal 29 UUD-45, pasal (2). Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Golongan ini telah mengalami perkembangan dalam lingkungan sesama anggotanya dan ketiga agama ini dalam kehidupan sosial kemasyarakatan berjalan sebagaimana apa adanya dengan tidak menjadikan agama sebagai alat politik agar orang lain dapat ikut masuk agama mereka. Dan kelebihan ketiga golongan ini bahwa dimana mereka berada selalu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga integrasi kehidupan Hindu, Budha dan Konhucu dalam kehidupan masyarakat Indonesia mendapat tempat yang baik di tengah-tengah masyarakat dimana mereka berada.
Pada kondisi kehidupan masyarakat yang semakin fluralistik di Negara Kesatuan Republik Indonesia maka akan semakin sulit diperoleh integrasi, walaupun misalnya saja di pulau Bali sudah dipraktekkan bagaimana sistem integrasi suku ini terhadap suku lain bisa diterapkan namun pada hakekatnya disharmonisasi antara kelompok juga tak bisa dihindari dalam kehidupan masyarakatnya akibat adanya kepentingan-kepentingan dari golongan agama tertentu.
Adanya perjuangan kelompok Islam pundamentalis yang dimotori berbagai kelompok organisasi agama tertentu di Indonesia yang menginginkan secara politik seluruh sistem kehidupan Bangsa dan Negara berdasarkan penegakan syareat Islam adalah merupakan suatu kemunduran cita-cita Bangsa Indonesia setelah dengan damai Panca Sila dan UUD-45 sebagai dasar falsafah Bangsa Indonesia dan merupakan sumber dari segala sumber hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah semakin sirna dari konteks kehidupan kebangsaan kita, ibarat telah ditelan badai zaman fanatis-materialisme. Sementara itu dalam konteks demokratisasi dan reformasi ala-faham liberalistis dan radikalistis seperti yang telah berkembang dan kita rasakan sekarang ini dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa kita sadari telah berdampak menggusur norma-norma Panca Sila dan UUD-45. Demikian pula tekanan kaum pundementalis Islam untuk menegakkan syareat Islam yan menurut mereka sebagai idealisasi satu satunya solusi dalam mengatasi berbagai kemelut sosial, politik, ekonomi dan kemasyarakat di Negara ini juga semakin mengaburkan norma-norma Panca Sila dan UUD-45.
Bisa kita bayangkan apa jadinya Bangsa dan Negara ini suatu kelak bila tidak memiliki filosophi groundslaag atau dasar Negara, yang bisa berarti Negara Indonesia kedepan bisa bubar karena tidak lagi ada orang yang mau menghormati dasar Negara yang mengatur seluruh sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yakni Panca Sila dan UUD-45.
Berdasarkan fakta sejarah, bahwa perjuangan syareat Islam telah diakomodir oleh pemerintahan Bung Karno sejak berdirinya Konstitusi RIS tahun 1950, dengan memasukannya salah satu pasal pada UUDS–50, yakni penegakan syareat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Konstitusi RIS dengan sistem demokrasi perlementer seperti berlaku kebanyakan di negara-negara barat waktu itu adalah telah merubah wajah pasal 29 UUD-45, yaitu telah merubah sistem pemahaman agama dalam kalangan Islam ketika itu dan hal ini telah bertahan selama kurun waktu 9 (sembilan) tahun lamanya sampai berakhir setelah dibanbacakannya Manifesto Politik tanggal 17 Agustus 1959 oleh Bung Karno, yakni kembali ke UUD-45. Hal ini menandakan bahwa perjuangan syareat Islam telah pernah dilaksanakan di Indonesia pada kurun waktu tahun 1950 sampai 1959 yang ketika itu pemerintah menganggap bahwa penegakan syareat Islam bagi Bangsa Indonesia yang memiliki kehidupan sosial kemasyarakatan yang sangat majemuk akan makin memperparah persatuan dan kesatuan Bangsa ketika itu karena adanya golongan-golongan agama yang mendominasi sistem politik bangsa. Oleh karena itu dalam konteks integrasi dengan mempertimbangan perjalanan sejarah yang begitu panjang dalam mendirikan dan mempertahankan keutuhan NKRI, sebaiknya seluruh kekuatan politik kita dalam sistem kehidupan Bangsa dan Negara saat ini kembali secara benar dan utuh pada pemahaman kepada Panca Sila dan UUD-45 sebagai sumber dari segala sumber hukum tanpa reserve.
Konteksi penyebaran Islam ala-tauhid yang telah dikembangkan oleh para Sunan atau Wali pada awal masuknya ajaran Islam di Indonesia sekitar abad IX lalu yang dilakukan secara damai dengan berpandangan bahwa seluruh kehidupan manusia, mahluk lain dan alam jagad raya ini merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya, malah saling bertergantungan dan saling hormat-menghormati. Penyebaran ajaran agama Islam di Indonesia ketika itu para Wali atau Sunan mengajarkan kepada manusia pada empat tingkatan pemahaman secara paripurna yakni pemahaman syareat, hakikat, tarekat dan ma’rifat sehingga pemahaman agama tidaklah diartikan sepenggal-sepenggal sebagaimana yang dijumpai saat ini. Pengembangan ajaran Islam ketika itu menjadikan suasana antar golongan damai dalam kehidupan kemasyarakatannya.
Pada konteks pengembangan ajaran Islam yang mengegakkan pemahaman Syareat, Hakikat, Tarikat dan Ma’rifat terkesan pada dasarnya agama islam adalah agama intergrasi karena melihatnya agama lain (non islam) sebagai agama Allah dan orang-orang yang menganutnya sebagai manusia ciptaan Tuhan YME yang harus dikasihi dan saling mengasihi dan menganggap agama Islam sebagai agama Allah bagi yang memeluknya. Sebaliknya bila pengembangan ajaran agama Islam hanya menegakkan Syareat saja maka terkesan bahwa ajaran Islam bukanlah agama integrasi, karena melihatnya agama lain (non islam) secara ektrim sebagai agama Kafir dan bukan agama Allah dan orang-orang yang menganutnya dilihatnya sebagai lawan yang harus dimusnahkan dan menganggap agama Islam adalah agama terbaik dimuka bumi ini.
Dalam ajaran Tauhid sebagaimana disebutkan oleh Hasr Seyyed Hossein (1975) dalam bukunya Ideals and Realities of Islam, Bostom Beacon Press, menjelaskan bahwa Islam itu adalah suatu konsep universal yang mencakup manusia dan alam semesta yang terdapat disekelilingnya dan meliputi segala sesuatunya. Tauhid dalam tulisan Hasr itu merupakan penegasan metafisis tentang keesaan Allah yang mutlak juga merupakan mekanisme integrasi sebagai suatu alat untuk menjadi suatu keseluruhan dan mewujudkan kesatuan mendasar dalam seluruh kehidupan dalam alam semesta ini.
Ridla M. Rasyid (1987) dalam bukunya Wahyu Ilahi kepada Muhammad, Terjemahan Jakarta Pustaka Jaya, mengatakan bahwa Al Quran mengajarkan upaya untuk kembali pada kesatuan ummat manusia dan melarang perpecahan.
Pada masa Orde Baru yang tidak memberikan kesempatan bagi berdirinya partai yang berdasarkan Islam dipandang telah menyempitkan ruang gerak Islam dan umat Islam di Indonesia. Dilain pihak , kebijaksanaan pemerintahan Orde Baru ketika itu menilai bahwa masalah utama yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia yang mendirikan suatu Negara berketahanan sehingga dapat berdiri terhormat ditengah bangsa-bangsa di dunia. Untuk itu diperlukan proses integrasi yang kuat dalam tubuh bangsa, Hal ini tidak mungkin akan tercapai jika dunia politik ditandai dengan kekacauan dan ketidak stabilan yang terus menerus, seperti yang telah dialami masa liberal dulu (konstitusi RIS-1950) dan masa kini.
Pada penutup tulisan ini akan diingatkan bahwa integrasi adalah masalah penting dalam ajaran Islam, Ajaran Tauhid mengagajarkan bahwa integrasi harus terjadi dalam diri manusia sehingga dia akan menjadi suatu pribadi yang utuh. Integrasi termanifestasi dalam alam semesta dan juga harus menjadi ajaran pokok dalam kehidupan ummat manusia sehingga semua bersaudara dalam kemanusiaan terlepas dari perbedaan perbedaan agama yang ada. Dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, integrasi diwujudkan untuk menjadikan kebaikan dan ketaqwaan sebagai tolok ukurnya.
Penilaian terhadap proses integrasi politik di Indonesia, bagi pengikutnya harus diukur dari peluang ajaran Islam untuk memanifestasikan berdirinya dalam masyarakat dan mengejewantahkan keunggulan dan kelebihan ajarannya itu untuk kepentingan manusia. Dengan pengalaman yang tepat umat Islam yang memenuhi syarat untuk mengemban keunggulan ajaran Islam membuktikan kepada dunia bahwa melaksanakan ajaran Islam itu bukan saja baik bagi ummat Islam tetapi juga baik untuk seluruh umat manusia di Indonesia.
Negara Indonesia bukanlah Negara Islam melainkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam integrasi kehidupan berbangsa dan bernegara tatanan sosial telah diatur oleh Panca Sila dan UUD-45 sebagai sumber dari segala sumber hukum, dalam pelaksanaannya tinggal kembali kepada kita semua sebagai warga bangsa maukah kita secara konsekuen mentaatinya atau kita lebih memilih missi agama dalam kehidupan di Negara ini---wallahu a’lam bishabab***