Opinion Peblika

Opinion Peblika
Suasana Foto Galian Tanah Tambang C Tanpa Melalui SRKL dan AMDAL di Wakatobi

Kamis, 22 Maret 2012

PAPUA BERGEJOLAK, SBY PILIH JALAN-JALAN KE LUAR NEGERI

 OLEH : DEREK MANANGKA


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono - inilah.com/Wirasatria
 

INILAH.COM, Jakarta - Ada kesan Presiden SBY terlalu percaya diri (PD) bahwa konflik di Papua dapat diatasi pemerintah. Selain PD, SBY juga mengingatkan sejumlah kebijaksanaan positifnya semenjak menjadi Presiden pada 2004, sudah diberikan kepada masyarakat Papua.

Sehingga tidak ada alasan bagi rakyat Papua memisahkan diri dari NKRI. Sesuatu yang sangat positif! Hal ini tercermin dari pidatonya ketika memimpin Sidang Kabinet Perdana pasca-reshuffle pada 27 Oktober 2011 lalu.
Namun sikap PD dan positif Presiden SBY menjadi kontra produktif, sebab ternyata, di balik itu semua, Presiden punya agenda lain. Yaitu dalam waktu dekat, SBY kembali akan bepergian ke luar negeri. Yaitu menghadiri KTT G-20 dan KTT APEC. SBY lebih memilih pelesiran ke luar negeri yang penuh dengan kemewahan, ketimbang ke provinsi paling tertinggal di Indonesia, Papua, yang penuh dengan kemelaratan.
KTT G-20 dan KTT APEC, dua-duanya penting. Tetapi kalau dilihat dari skala prioritas bagi NKRI saat ini, keduanya berada pada urutan terbawah. Kedua KTT itu penting manakala situasi politik Indonesia berada dalam suasana tenang. Indonesia tidak diganggu oleh kegiatan separatis serius yang dapat mengancam keutuhan NKRI.
Sementara konflik Papua jelas sangat menganggu. Sedikit saja kesalahan Jakarta dalam menangani konflik Papua, Indonesia akan kehilangan dua provinsi, Papua dan Papua Barat. Potensi kekayaan alam otomatis berkurang secara signifikan.
Eskalasi politik dan kekerasaan yang terjadi di Papua dua tahun terakhir ini, menunjukkan semua kebijakan positif Presiden SBY tentang Papua, tidak jalan. Hasilnya hanya pempesan kosong. Sehingga tidak patut SBY mengklaim hal positif yang sudah dilakukannya.
Eskalasi yang ada berdasarkan pengakuan tokoh-tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM), jelas sudah sangat sesuai dengan keinginan kalangan putera-putera daerah itu menjadi Papua Merdeka, terpisah dari NKRI.
Konflik Papua ibarat perkampungan RI yang sedang mengalami kebakaran. Kebakaran di salah satu rumahnya belum atau tidak sampai memusnahkan rumah induknya. Tapi api kecil terus menyala dan berpotensi menjadi nyala api yang besar.
Sehingga dengan situasi seperti itu SBY sebagai kepala kampung atau lurah wajib menjaga kampung dan warganya dari bencana kebakaran lebih besar. Presiden harus memangggil pemadam kebakaran dan mengawasinya langsung. Presiden tidak perlu meninggalkan kampung apalagi menghadiri pesta rutin di kampung yang jauh.
Penting tidaknya KTT G-20 dan APEC menjadi sangat relatif. Tetapi dengan krisis ekonomi yang melanda Eropa dan Amerika saat ini, pembicaraan di kedua KTT itu pasti akan menurun kadar kualitasnya. Sebab G-20 dan APEC sejatinya dibentuk untuk membicarakan kerjasama saling menguntungkan bersamaan dengan membaiknya perekonomian semua negara anggota. Sementara situasi dunia saat ini, tidak sesuai dengan kondisi yang diperlukan G-20 dan APEC.
Sehingga esensi dari pernyataan Presiden SBY tentang Papua menjadi bias. Bahwa SBY sebenarnya lebih ingin mendapatkan doa restu ketika ia melakukan jalan-jalan keluar negeri.
Yang patut disesalkan, kritikan terhadap nafsu SBY jalan-jalan ke luar negeri sudah sangat sering. Tetapi Presiden sepertinya menutup kuping rapat-rapat atas hal yang tidak berkenan bagi dirinya.
SBY perlu berkaca pada beberapa presiden negara lain yang lebih suka berada di tengah rakyatnya ketimbang bervakansi ke luar negeri dengan fasilitas kelas utama. Presiden Ronald Reagan pada, ketika berada di Bali, menghadiri pertemuan dengan pemimpin ASEAN, langsung mempersingkat kunjungannya. Padahal alasannya bukan karena soal konflik di dalam negeri. Tetapi salah satu pusat nuklir di Uni Sovyet, Chernobyl, mengalami kebocoran.
Kuatir kebocoran di negara musuh utamanya di era Perang Dingin itu berdampak negatif pada eksistensi senjata-senjata nuklir di wilayah lain, Reagan lebih memilih berada di Gedung Putih. Artinya Reagan lebih peduli pada tanggung jawab sebagai pemimpin dari pada berada di pulau Paradiso.
Duapuluh lima tahun kemudian, Presiden AS lainnya, Barrack Obama menunda lawatannya ke Asia dan Australia, hanya karena perdebatan sebuah RUU, sedang memasuki tahapan yang kritis.
April baru lalu, PM Singapura Lee Hsien Loong batal hadir dalam KTT ASEAN di Jakarta, karena di negaranya diselenggarakan Pemilu. Walaupun sudah dipastikan Lee tetap terpilih kembali sebagai PM, tetapi ia lebih memilih tinggal di Singapura ketimbang menghadiri perhelatan politik di Jakarta.
Masih di 2011. Presiden Rusia dan PM Selandia Baru, memastikan tidak akan hadir di KTT Ekonomi Asia Timur di Bali bulan depan. Rusia beralasan di negaranya, pada waktu yang bersamaan digelar Pemilu. Sementara Selandia Baru karena dampak negatif bencana alam terhadap kehidupan masyarakat, belum terselesaikan. Contoh di atas memberi gambaran bahwa para pemimpin negara-negara tersebut lebih peduli kepada urusan di dalam negeri.
Dengan contoh dan perbandingan di atas, jelas terlihat perbedaan karakter SBY dengan pemimpin negara lain. Kini keseriusan SBY didalam menyelesaikan semua pekerjaan yang jadi tanggung jawabnya sebagai Presiden, patut dipertanyakan. Jangan-jangan Presiden SBY sengaja membengkakkan kabinetnya, karena dalam tiga tahun tersisa, ia ingin melepas semua tanggung jawab kepada semua pembantunya.
Tiga tahun tersisa ini, Presiden SBY ingin bekerja lebih santai dan kalau perlu SBY lebih banyak menghadiri pertemuan-pertemuan di luar negeri. Pertanyaan sekaligus kecurigaan tersebut bertambah, karena secara konstitusional, posisi SBY cukup aman. Apapun hasil yang terjadi dari akibat kepemimpinannya di sisa tiga tahun terakhir, buruk atau baik, posisinya sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, tak akan tergoyahkan.
Presiden SBY lupa, sekalipun secara politis posisinya tetap aman, tetapi caranya memimpin Indonesia seperti sekarang semakin memperbesar minat oposisi untuk melengserkannya dari kekuasaan sebelum masa jabatannya berakhir.
SBY tidak sadar masyarakat yang paling keras mengecam, mengeritik dan memakinya, sejujurnya merupakan orang yang secara apriori pendukungnya. Tetap mereka berbalik menjadi penentangnya karena merasa sangat dikecewakan. SBY lebih banyak janji dan berwacana.
Kelompok ini bila bersatu dengan pendemo yang menginginkan agar SBY diturunkan dari jabatannya, sangat berpotensi menghancurkan legitimasi kepemimpinan SBY. Mereka tak akan membiarkan SBY tidur tenang di Cikeas.
Apalagi kalau sampai Papua sampai lepas dari NKRI baik di masa pemerintahan SBY atau setelah itu, SBY akan tetap dituntut dan menjadi pihak yang paling dipersalahkan. Oleh karenanya SBY, seharusnya jangan terlalu bernafsu besar pelesiran ke luar negeri.
Agenda G-20 dan APEC, untuk saat ini hanya bermanfaat bagi Presiden pribadi. Tapi bukan untuk keseluruhan rakyat Indonesia. G-20 dan APEC semakin tak ada manfaatnya kalau sampai Papua keluar dari bingkai NKRI. [mdr]

SUMBER :
http://nasional.inilah.com/read/detail/1791172/papua-bergolak-sby-pilih-jalan-jalan-ke-ln