OLEH : DEREK MANANGKA
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono - inilah.com/Wirasatria
INILAH.COM, Jakarta - Ada kesan Presiden SBY terlalu
percaya diri (PD) bahwa konflik di Papua dapat diatasi pemerintah.
Selain PD, SBY juga mengingatkan sejumlah kebijaksanaan positifnya
semenjak menjadi Presiden pada 2004, sudah diberikan kepada masyarakat
Papua.
Sehingga tidak ada alasan bagi rakyat Papua
memisahkan diri dari NKRI. Sesuatu yang sangat positif! Hal ini
tercermin dari pidatonya ketika memimpin Sidang Kabinet Perdana
pasca-reshuffle pada 27 Oktober 2011 lalu.
Namun sikap PD dan
positif Presiden SBY menjadi kontra produktif, sebab ternyata, di balik
itu semua, Presiden punya agenda lain. Yaitu dalam waktu dekat, SBY
kembali akan bepergian ke luar negeri. Yaitu menghadiri KTT G-20 dan KTT
APEC. SBY lebih memilih pelesiran ke luar negeri yang penuh dengan
kemewahan, ketimbang ke provinsi paling tertinggal di Indonesia, Papua,
yang penuh dengan kemelaratan.
KTT G-20 dan KTT APEC, dua-duanya
penting. Tetapi kalau dilihat dari skala prioritas bagi NKRI saat ini,
keduanya berada pada urutan terbawah. Kedua KTT itu penting manakala
situasi politik Indonesia berada dalam suasana tenang. Indonesia tidak
diganggu oleh kegiatan separatis serius yang dapat mengancam keutuhan
NKRI.
Sementara konflik Papua jelas sangat menganggu. Sedikit saja
kesalahan Jakarta dalam menangani konflik Papua, Indonesia akan
kehilangan dua provinsi, Papua dan Papua Barat. Potensi kekayaan alam
otomatis berkurang secara signifikan.
Eskalasi politik dan
kekerasaan yang terjadi di Papua dua tahun terakhir ini, menunjukkan
semua kebijakan positif Presiden SBY tentang Papua, tidak jalan.
Hasilnya hanya pempesan kosong. Sehingga tidak patut SBY mengklaim hal
positif yang sudah dilakukannya.
Eskalasi yang ada berdasarkan
pengakuan tokoh-tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM), jelas sudah sangat
sesuai dengan keinginan kalangan putera-putera daerah itu menjadi Papua
Merdeka, terpisah dari NKRI.
Konflik Papua ibarat perkampungan RI
yang sedang mengalami kebakaran. Kebakaran di salah satu rumahnya belum
atau tidak sampai memusnahkan rumah induknya. Tapi api kecil terus
menyala dan berpotensi menjadi nyala api yang besar.
Sehingga
dengan situasi seperti itu SBY sebagai kepala kampung atau lurah wajib
menjaga kampung dan warganya dari bencana kebakaran lebih besar.
Presiden harus memangggil pemadam kebakaran dan mengawasinya langsung.
Presiden tidak perlu meninggalkan kampung apalagi menghadiri pesta rutin
di kampung yang jauh.
Penting tidaknya KTT G-20 dan APEC menjadi
sangat relatif. Tetapi dengan krisis ekonomi yang melanda Eropa dan
Amerika saat ini, pembicaraan di kedua KTT itu pasti akan menurun kadar
kualitasnya. Sebab G-20 dan APEC sejatinya dibentuk untuk membicarakan
kerjasama saling menguntungkan bersamaan dengan membaiknya perekonomian
semua negara anggota. Sementara situasi dunia saat ini, tidak sesuai
dengan kondisi yang diperlukan G-20 dan APEC.
Sehingga esensi dari
pernyataan Presiden SBY tentang Papua menjadi bias. Bahwa SBY
sebenarnya lebih ingin mendapatkan doa restu ketika ia melakukan
jalan-jalan keluar negeri.
Yang patut disesalkan, kritikan
terhadap nafsu SBY jalan-jalan ke luar negeri sudah sangat sering.
Tetapi Presiden sepertinya menutup kuping rapat-rapat atas hal yang
tidak berkenan bagi dirinya.
SBY perlu berkaca pada beberapa
presiden negara lain yang lebih suka berada di tengah rakyatnya
ketimbang bervakansi ke luar negeri dengan fasilitas kelas utama.
Presiden Ronald Reagan pada, ketika berada di Bali, menghadiri pertemuan
dengan pemimpin ASEAN, langsung mempersingkat kunjungannya. Padahal
alasannya bukan karena soal konflik di dalam negeri. Tetapi salah satu
pusat nuklir di Uni Sovyet, Chernobyl, mengalami kebocoran.
Kuatir
kebocoran di negara musuh utamanya di era Perang Dingin itu berdampak
negatif pada eksistensi senjata-senjata nuklir di wilayah lain, Reagan
lebih memilih berada di Gedung Putih. Artinya Reagan lebih peduli pada
tanggung jawab sebagai pemimpin dari pada berada di pulau Paradiso.
Duapuluh
lima tahun kemudian, Presiden AS lainnya, Barrack Obama menunda
lawatannya ke Asia dan Australia, hanya karena perdebatan sebuah RUU,
sedang memasuki tahapan yang kritis.
April baru lalu, PM Singapura
Lee Hsien Loong batal hadir dalam KTT ASEAN di Jakarta, karena di
negaranya diselenggarakan Pemilu. Walaupun sudah dipastikan Lee tetap
terpilih kembali sebagai PM, tetapi ia lebih memilih tinggal di
Singapura ketimbang menghadiri perhelatan politik di Jakarta.
Masih
di 2011. Presiden Rusia dan PM Selandia Baru, memastikan tidak akan
hadir di KTT Ekonomi Asia Timur di Bali bulan depan. Rusia beralasan di
negaranya, pada waktu yang bersamaan digelar Pemilu. Sementara Selandia
Baru karena dampak negatif bencana alam terhadap kehidupan masyarakat,
belum terselesaikan. Contoh di atas memberi gambaran bahwa para pemimpin
negara-negara tersebut lebih peduli kepada urusan di dalam negeri.
Dengan
contoh dan perbandingan di atas, jelas terlihat perbedaan karakter SBY
dengan pemimpin negara lain. Kini keseriusan SBY didalam menyelesaikan
semua pekerjaan yang jadi tanggung jawabnya sebagai Presiden, patut
dipertanyakan. Jangan-jangan Presiden SBY sengaja membengkakkan
kabinetnya, karena dalam tiga tahun tersisa, ia ingin melepas semua
tanggung jawab kepada semua pembantunya.
Tiga tahun tersisa ini,
Presiden SBY ingin bekerja lebih santai dan kalau perlu SBY lebih banyak
menghadiri pertemuan-pertemuan di luar negeri. Pertanyaan sekaligus
kecurigaan tersebut bertambah, karena secara konstitusional, posisi SBY
cukup aman. Apapun hasil yang terjadi dari akibat kepemimpinannya di
sisa tiga tahun terakhir, buruk atau baik, posisinya sebagai Kepala
Negara dan Kepala Pemerintahan, tak akan tergoyahkan.
Presiden SBY
lupa, sekalipun secara politis posisinya tetap aman, tetapi caranya
memimpin Indonesia seperti sekarang semakin memperbesar minat oposisi
untuk melengserkannya dari kekuasaan sebelum masa jabatannya berakhir.
SBY
tidak sadar masyarakat yang paling keras mengecam, mengeritik dan
memakinya, sejujurnya merupakan orang yang secara apriori pendukungnya.
Tetap mereka berbalik menjadi penentangnya karena merasa sangat
dikecewakan. SBY lebih banyak janji dan berwacana.
Kelompok ini
bila bersatu dengan pendemo yang menginginkan agar SBY diturunkan dari
jabatannya, sangat berpotensi menghancurkan legitimasi kepemimpinan SBY.
Mereka tak akan membiarkan SBY tidur tenang di Cikeas.
Apalagi
kalau sampai Papua sampai lepas dari NKRI baik di masa pemerintahan SBY
atau setelah itu, SBY akan tetap dituntut dan menjadi pihak yang paling
dipersalahkan. Oleh karenanya SBY, seharusnya jangan terlalu bernafsu
besar pelesiran ke luar negeri.
Agenda G-20 dan APEC, untuk saat
ini hanya bermanfaat bagi Presiden pribadi. Tapi bukan untuk keseluruhan
rakyat Indonesia. G-20 dan APEC semakin tak ada manfaatnya kalau sampai
Papua keluar dari bingkai NKRI. [mdr]
SUMBER :
http://nasional.inilah.com/read/detail/1791172/papua-bergolak-sby-pilih-jalan-jalan-ke-ln