Opinion Peblika

Opinion Peblika
Suasana Foto Galian Tanah Tambang C Tanpa Melalui SRKL dan AMDAL di Wakatobi

Sabtu, 20 Agustus 2011

BUNG, SAYA LEBIH SUKA NEGERI INI BUBAR !

OLEH : ARIE BOEDIMAN LA EDE

FIKSI | 20 August 2011 | 00:30 912 87 24 dari 26 Kompasianer menilai aktual


Bung!
apa yang sesungguhnya sedang terlintas dalam pikiranmu
apa yang sesungguhnya sedang kau pendam dalam hatimu
apa pula yang sesungguhnya sedang kau rencanakan terhadap negeri ini
sementara itu sekian banyak mata-mata, mulut-mulut, telinga-telinga beserta kepala-kepalanya
semakin
semakin
dari beribu-ribu semakin diantara kemungkinan dan ketidakmungkinan telah tidak memiliki hati lagi

Bung!
pembiaran-pembiaran yang kau biarkan melintas di depan matamu semakin mempertegas tentang ketidakmampuanmu menahkodai bangsa ini.
padahal dengan kapasitasmu sebagai seorang kepala pemerintahan bukan sebagai ketua paguyuban arisan tingkat erte. seharusnya kau bisa melakukan apa saja untuk menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang beradab.
tapi,
apa yang telah kau lakukan?
jawabnya tidak ada!
jika ada, tetap tidak berarti apa-apa

Bung!
apa yang sesungguhnya kau pertahankan dan sedang kau pertaruhkan?
kau tidak sedang berdagang
kau tidak sedang berjudi disebuah meja rolet
kau juga tidak sedang bekerja sebagai kepala pegadaian
lantas,
kenapa kau melakukan jual beli dalam berbagai kesempatanmu?
kenapa kau diberbagai penampilanmu seakan-akan kau sebagai seorang bandar togel?
kenapa pula kau melakukan tugasmu sebagaimana seorang tengkulak?

Bung!
saya tidak perlu lagi basa-basimu yang semakin basi itu
saya juga sangat tidak memerlukan lagi berbagai retorika yang bercabang-cabang darimu
saya pun sangat tidak ingin melihatmu lagi berdiri di mimbar itu
karena kau tidak sedang menjadi imam saya
saya pun tidak sedang menjadi jama’ahmu dalam sebuah pengajian
sekali saya katakan tidak tetap tidak!
tidak bagimu
tidak pula bagi orang-orang yang merapat dan menetek di bawah ketiakmu

Bung!
bagi saya kau adalah seorang yang lalai
pun, kesembronoan dalam kepemimpinanmu adalah simbol ketidakbecusanmu
mata saya
hati saya
mengatakan kebenaran
yang tegak
yang utuh
tidak hanya sekadar nilai yang tak bermakna

Bung!
saya tidak sedang berbasa-basi
sayapun tidak sedang berandai-andai
saya sedang menggunakan hak-hak mutlak saya sebagai warga negara
karena,
saya sangat yakin dengan tegaknya sebuah kebenaran
yang hakiki
yang absolut
yang terikat kokoh dalam perjanjian kemanusiaan di jiwa saya
yang bersemayam bersama Maharaja di hati saya

Bung!
negeri ini semakin tidak berada ditempatnya
walau dianggap bahwa negeri ini telah enampuluh enam tahun ada
ya, ada! karena ada seremonial tahunannnya
ada pada lomba panjat batang pinang
ada pada lomba makan krupuk, lari karung, makan kelereng dan mainin balon-balon
sungguh,
saya tidak sedang merasa bahwa negeri ini ada
karena di negeri ini kebiadaban dipelihara dalam sebuah rumah kaca
saya juga tidak merasa bahwa negeri ini ada pemimpinnya
jika ada,
saya harus katakan bahwa pemimpinnya yang ada itu tidak punya nyali meng-Indonesia-kan Indonesia

Bung,
“saya lebih suka negeri ini bubar!”
daripada saya melihatmu terus menerus berdiri disitu
yang menumpuk bangkai-bangkai di istana menara gadingmu
yang kau kumpulkan untuk kau ajak bersenggama dikebiadaban-kebiadaban ala bangsa barbar
yang kau jadikan sumber kekuatan dalam memupuk dan menegakkan kekuasaanmu
yang kau jadikan tameng-tameng guna mempertahankan kekuasaanmu yang semakin majal
; tidak dan tak lebih dari itu!
.
Mencari INDONESIA Baru!
20/08/2011
129818307431393609

Jumat, 12 Agustus 2011

DEMOKRAT DAN MINIATUR ORBA

OLEH :CUCUK SUPARNO
              (03 AGUSTUS 2011, 09:03:29 WIB0



KabarIndonesia - Setelah hampir dua periode berkuasa, Partai Demokrat seolah menjadi tiran baru era reformasi. Prestasi pemerintahan di segala bidang, berjalan seiring dengan laku-buruk politiknya.
Bahkan laku-buruk cenderung lebih dominan ketimbang prestasi yang sejujurnya hanya kamuflase untuk mengibarkan citraan diri (baca; Susilo Bambang Yudhoyono). Jika demikian, Demokrat adalah miniatur Orde Baru dengan Golkar-nya?

Diakui atau tidak, Orde Baru (Orba) identik dengan Soeharto dan Partai Golkar sedangkan orde reformasi identik dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Partai Demokratnya. Meski banyak partai lain di dua era itu, ternyata sekedar meramaikan geriak politik agar tidak terkesan adanya single majority. Dalam skala kualitas yang berbeda, baik kedua orde itu memiliki tiran dengan perilaku politik sama, berorientasi kekuasaan dan meninggikan figur sebagai pusat kekuasaan (baca; pusat moral hukum). Soeharto adalah ‘raja’ Orde Baru sedangkan SBY adalah ‘raja’ di era reformasi. Sekali lagi, meski dalam skala kualitas yang berbeda!

Menyimak perkembangan sosial-politik dan hukum dalam lima tahun terakhir, saya semakin ‘yakin’ jika pemerintahan Demokrat adalah miniatur Orde Baru. Dari cara SBY dan kabinetnya memperlakukan anasir hukum, politik, pendidikan, ekonomi, kebudayaan, keamanan memiliki ciri mirip dengan cara Soeharto. Hanya kompleksitas persoalan dan terbukanya arus informasi membuat SBY harus memiliki ‘stamina ganda’ untuk menerapkan pola Orba.

Bisa jadi, kekacauan di ranah politik, hukum, ekonomi, dan pendidikan merupakan bias kembalinya praktek Orba dalam cara-laku SBY dengan Partai Demokratnya. Di sukai atau tidak, jika era Soeharto saya sering menyebut rejim otoriter-penuh sedangkan era SBY adalah rejim otoriter-setengah hati. Artinya, SBY masih ragu menjalani tingkah otoriternya karena situasi sosial kekinian yang sangat berbeda daripada situasi era Soeharto berkuasa. Tetapi esensi cara menjalankan kekuasaannya, di beberapa anasir terkesan copy-paste Orba.

Sentral Figur

Geliat persoalan kekinian mengindikasikan hadirnya kembali praktek Orde Baru dengan kualitas reformatif. Ya! Orde Baru yang berasimilasi dengan problematika masyarakat modern. Simaklah, situasi hukum di negeri ini, meskipun jargon selalu digemborkan bahkan supremasi hukum harus ditegakkan. Kenyataannya, hukum kian menjadi mainan mengasyikkan. Banyak masalah hukum yang di-create –oleh penguasa—demi kepentingan tertentu. Demokrasi hukum semakin semu ketika pemerintah tebang pilih dalam penyelesaian masalah hukum Di jaman Orba, mirip dengan jargon; asal kepentingan Soeharto dan kroninya selamat!

Di ranah keamanan nasional, sikap reaktif aparat terasa semakin kental. Kebebasan reformatif yang disambut hangat publik, harus tersendat oleh ketidaksanggupan penguasa menerima imbas kebebasan itu. Misalnya, penguasa (baca; SBY) harus meminta intelejen negara (BIN) mengawasi lalu lintas percakapan dunia maya. Juga pembungkaman berbagai organisasi massa serta mahasiswa dengan cara-cara yang ‘elegan’ sehingga tidak terkesan otoriter. Di jaman Orba, siapa mencoba subversib pasti disikat. Sedangkan di era SBY, siapa berani subversib, didekati, dan diberi kursi kekuasaan. Diamlah teriakannya!

Yang lebih kentara, Orba selalu menyandarkan kebijakan kepada sosok sentral yakni Soeharto sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara. Sedangkan era kekuasaan Demokrat selalu menyandarkan kebijakan kepada SBY sebagai kepala negara dan pemerintahan. Jika Soeharto melakukan kamuflase melalui prestasi ekonomi sehingga dijuluki Bapak Pembangunan maka SBY berkamuflase melalui citraan positif sehingga kedodoran di tingkat kenyataan. Citra tentang SBY bagus belum menjamin realitas laku-sosial politiknya bagus.

Menghadirkan anasir laku Orba di era reformasi merupakan pengingkaran yang melukai makna reformasi itu sendiri. Maraknya kasus korupsi, mafia peradilan, mafia pendidikan, gurita kekuasaan politik parpol mengindikasikan kekurangcermatan SBY dalam meng-copy paste Orba. Karena itu, sepatutnya SBY –di penghujung kekuasaannya ini—bercermin, jika model Orde Baru yang dijalankan sudah kadaluarsa dan ditolak publik. Partai Demokrat harus mencari formulasi baru dengan meninggikan praktek demokrasi yang mengedepankan nurani keadilan sosial.

Sementara yang terjadi saat ini, SBY dan Partai Demokrat tak ubahnya seperti rejim otoriter yang penuh janji (baca; citraan) menipu. Negeri ini kini menjadi negeri seribu janji di tengah masyarakat yang terlanjur memahami perilaku buruk penguasa. Sudah menjadi rahasia umum, jika kolega susah dipenjara, teman pasti aman dalam pengejaran, bagi-bagi proyek hal biasa, kepentingan parpol dia atas segalanya. Jika hal ini terus terjadi maka reformasi sesungguhnya telah mati.
Reformasi hanya melahirkan Anggodo, Nazaruddin, Bank Century, Lapindo dan banyak masyarakat kesrakat (jawa; miskin) di gelimang busa janji. Selayaknya SBY dan kroninya instrospeksi bahwa Indonesia membutuhkan cara-pimpin yang egaliter, transparan, dan memiliki etika yang meninggikan nurani masyarakat. Bukan nurani Cikeas yang mirip nurani Cendana.

Sabtu, 06 Agustus 2011

MELUASKAN PARTISIPASI AKTIF POLITIK WARGA (Catatan dari Diskusi Konvensi Masyarakat Sipil Kendari)

OLEH : ERWIN USMAN
 
 
 
Tahapan Pemilukada Kota Kendari untuk memilih pasangan Walikota dan Wakil Walikota periode 2012-2017 sudah tidak lama lagi. Sejumlah pihak, merespon momen politik ini dengan lakukan serangkain kegiatan. Diantaranya mendorong secara lebih luas adanya partisipasi politik rakyat melalui perbaikan proses rekruitmen Kepala Daerah dengan Program Konvensi Masyarakat Sipil.
Saat dialog, diskusi dan buka puasa bersama yang digagas Koalisi Masyarakat Sipil Kendari pada Sabtu, 6 Agustus 2011 di kantor WALHI Sultra yang juga ditunjuk sebagai Sekber Koalisi gagasan Konvensi ini didedah.


Dalam dialog membahas Tantangan dan Peluang Program Konvensi Masyarakat Sipil untuk Wujudkan Pemilukada yang Berkualitas di Pemilukada Kota Kendari 2012 dilakukan dengan narasumberi: Sam Abdul Jalil, SE (Ketua KPUD Kota Kendari), Drs. Peribadi, MSi (Akademisi Unhalu) dan Anselmus AR Masiku, SH (Direktur LBH Kendari). Adapun moderator Asyriani, MSi dari Koalisi.


Dalam forum tersebut, Peribadi memaparkan bahwa kualitas partisipatoris masyarakat sipil untuk membenahi kualitas demokrasi, khususnya di momen penentuan kepala daerah, dapat diwujudkan dengan dua jalan.

 
 
 
Pertama, tindakan reformis. Membenahi sistem rekruitment pemimpin daerah dan nasional. Ini membutuhkan pembenahan serius di tubuh partai politik yang ada. Juga gerakan sosial untuk mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan yang populis, pendidikan politik rakyat yang terencana baik, serta kontrol agar tercipta pemimpin-pemimpin yang tidak karbitan.


"Perlu dibangun suatu kesepahaman yang disebut oleh para antropolog sebagai 'Kesepakatan Tujuan'. Artinya, masyarakat luas duduk bersama untuk menciptakan sebuah mekanisme rekruitment pemimpin daerahnya, berikut instrumen penghukumnya, jika sang pemimpin tidak becus dalam mengemban amanah rakyat. Program Tidak Pilih Politisi Busuk mesti dipadukan dengan gagasan Konvensi," urainya.


Kedua, pilihan yang tersedia, revolusi sosial. Masyarakat sipil bisa mulai dengan lakukan pemboikotan alias tidak usah datang memilih dalam setiap tahap pemilihan umum. Ada delegitimasi sosial. Agar masyarakat tidak selalu jadi sarana mobilisasi politik untuk legitimasi proses pemilu/kada yang menyisakan banyak persoalan.


"Kedua pilihan di atas mengandung resiko dan kebaikannya masing-masing. Tinggal lagi dibutuhkan kesepakatan sosial dari semua elemen. Gagasan Konvensi yang didorong kawan-kawan Koalisi patut untuk dimajukan gagasannya. Agar ada check and balance dari proses rekuitment Kepala Daerah," urai Peribadi yang juga sehari-hari menjadi staf pengajar di FISIP Universitas Haluoleo Kendari.


Adapun Anselmus menyampaikan, bahwa menyoal proses rekrruitment pemimpin daerah maupun nasional dalam proses Pemilu/Kada, kritik terbesarnya pada peran parpol dan penyelenggara pemilu.


Menurut Ansel, dalam demokrasi yang substantif, parpol sejatinya memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu (1) sebagai sarana "sekolah politik" untuk melahirkan kader-kader politik yang kelak menduduki jabatan-jabatan politik; (2) pendidikan politik pada rakyat banyak tanpa berhenti hanya di momen Pemilu/kada.


"Kenyataan saat ini fungsi-fungsi utama parpol tersebut tidak berjalan sesuai semestinya. Parpol terjebak dalam iramanya sendiri. Rekruitmen kepemimpinan daerah/nasional lebih banyak dilakukan secara instant. Rakyat sebagai pemegang kedauatan tertinggi sulit untuk mendapatkan akses, pencerdasan dan informasi politik di parpol, kecuali untuk anggota parpol bersangkutan, itupun terbatas adanya. Sebab, elit parpol yang dominan perannya" demikian Anselmus memaparkan.


Ansel mengkritik keras sikap elitis dari elit parpol saat ini. Termasuk fenomena tidak adanya oposisi yang melembaga dan kuat di parpol saat ini untuk mendidik rakyat berpolitik secara benar. Parpol dengan gampang menunjuk seorang kepala daerah yang sedang menjabat untuk langsung jadi ketua umum partainya di banyak daerah. Memotong mekanisme pengkaderan yang harusnya jadi barometer.


"Tentang oposisi, menurut saya, aneh konfigurasi politik parpol kita saat ini. Di pusat, misalkan PDIP menyatakan sebagai parpol oposisi, tapi di daerah, malah menjadi pemegang kekuasaan pemerintahan, misalnya jadi kepala daerah. Ini oposisi atau disposisi," ujarnya setengah bergurau.


Adapun Syam Abdul Jalil dalam diskusi lebih banyak memberi masukan untuk penguatan kerja lembaga penyelenggara Pemilukada disemua level. Baik KPUD, PPS, PPK maupun KPPS di kelurahan/desa. Termasuk peran Panwas/Bawaslu dan lembaga pemantau Pemilu. Pengalaman setiap Pemilukada yang berbiaya tinggi (high cost) menurut Syam mesti dilakukan koreksi mendalam. Perangkat Undang-undang yang tersedia saat ini mesti dipertegas lagi aturan terkait dengan tahapan Pemilukada dan peran-peran aktif masyarakat sipil untuk menjadikan Pemilukada berlangsung efektif dan efisien.


"Saya setuju dengan gagasan-gagasan maju dari masyarakat sipil seperti program Konvensi ini, agar proses rekruitmen pemimpin daerah di era otonomi daerah saat ini bisa lebih tersambung dengan kepentingan masyarakat di level bawah. Artinya, jauh-jauh hari ada proses cukup panjang untuk sosialisasi dan membangun kesepahaman sosial di level bawah. Selain juga untuk mencerdaskan masyarakat pemilih, agar bisa lebih kritis dan cermat dalam menentukan pemimpinnya. Pemilukada yang membutuhkan waktu panjang dan biaya yang besar, mestinya sudah harus dirubah ke depan," ungkap Ketua KPUD Kota Kendari ini.


Syam Abdul Jalil juga setuju agar masyarakat sipil mendorong adanya transformasi sosial agar pemimpin yang lahir dari proses pemilukada bisa punya integritas, kapasitas dan kemampuan menjawab apsirasi masyarakat secara profesional.


Diskusi dihadiri sekitar 50-an peserta. Dari kalangan pelajar, mahasiswa, aktivis NGO, Jurnalis, anggota KPUD, serta pemerhati sosial politik di Sulawesi Tenggara. Diakhir diskusi, para peserta rata-rata setuju untuk membantu mendorong gagasan Konvensi ini untuk dapat dijalankan dengan pelibatan aktif warga di level kelurahan. Catatan kritis lainnya diberikan peserta, agar program ini sedapat mungkin memberi ruang dan perhatian yang cukup besar bagi pelibatan kaum perempuan dalam prosesnya. Agar tercipta keadilan gender.


Program Konvensi Masyarakat Sipil ini digagas oleh sejumlah lembaga di bawah payung Koalisi Masyarakat Sipil Kota Kendari. Lembaga yang tergabung: Perkumpulan JURDIL Sultra, YPSHK, WALHI Sultra, MEDIKRA dan The Constructive. Didukung TIFA Foundation Jakarta.


Program mulai dijalankan sejak bulan Juni 2011 dan akan berakhir sekitar bulan Mei 2012. Program dilakukan di 64 kelurahan dan 10 kecamatan di Kota Kendari. Masyarakat sipil, media massa, penyelenggara Pemilukada, aparatur keamanan, DPRD, parpol, serta aparat pemerintah merupakan mitra strategis dalam program ini.


Diperkirakan tahapan Pemilukada Kota Kendari akan mulai sekitar akhir Desember 2011. Dan pemilihan berlangsung sekitar bulan Juli 2012.**



Kendari, 6-8-2011.

@Erwin Usman/Koordinator Koalisi

Jumat, 05 Agustus 2011

LA ODE IDA DAN TANTANGAN DI PENTAS PILGUB SULTRA 2012


Oleh: Erwin Usman
 
 
Warung Kopi Haji Anto. 27 Juli 2011. Jam menunjukan pukul 2 siang. Udara terik. Sejumlah orang berkumpul di warkop yang berlokasi di bilangan Saranani Kendari. Warkop yang sekaligus ditasbihkan sebagai salah satu "meeting point" favorit dari berbagai kalangan di kota Kendari. Utamanya aktivis, pelajar, mahasiswa dan politisi. Te...rmasuk dari kalangan jurnalis.

Warkop ini memang nyaman untuk tempat diskusi atau sekedar browsing. Tempatnya teduh, tidak berada di pusat jalan utama kota. Juga pemiliknya, Haji Anto, akan menyapa ramah pada pengunjung.

Sesekali, jika ada diskusi Haji Anto juga ikut terlibat beri pandangan. Ini terlihat dari sejumlah foto yang dipajang di beberapa sudut di warkop.

Siang itu saya sengaja hadir di warkop ini memenuhi undangan Krisni Arifin Utha. Seorang novelis. Undangan yang sama disebar juga di Facebook Group Sultra Watch. Ini nama group diskusi dunia maya yang biasa disebut SW,yang dibangun sekitar bulan Maret 2011, oleh sejumlah aktivis gerakan sosial di Sultra.

Hingga awal bulan Agustus ini members di forum SW ini hampir mencapai 5.000 orang. Dari beragam kalangan sosial. Tujuannya sederhana: berbagi pandangan untuk masa depan Sultra yang lebih baik.

Kembali ke topik, dari informasi Krisni dan membaca di forum SW, kabarnya, bung Laode Ida, salah seorang putra terbaik Sulawesi Tenggara (Sultra) saat ini, yang dikenal sebagai Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI), akan hadir di warkop ini untuk berdiskusi dengan rekan-rekan aktivis dan pegiat isu-isu sosial dan pembangunan. Tentu saja difokuskan pada isu-isu yang ada di wilayah Sultra.

Saat diinfokan soal ini saya mengiyakan pada Krisni, sebab saya mau mendengarkan juga pandangan bung Laode Ida--umum disebut LOID--terkait dengan carut marut pengurusan lingkungan dan sumber daya alam di bumi Anoa, Sultra. Terutama tambang dan perkebunan besar Kelapa Sawit.

Dua industri ekstraktif ini, sedang marak di Sultra dalam 4 tahun terakhir ini. Juga menyisakan konflik struktural yang serius.

Alasan lain saya hadir, saya mendengar bung LOID mau maju di putaran Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sultra 2012. Saya tertarik mendengar gagasan segar dan cerdasnya tentang Sultra masa depan. Mengingat pada tahun 2007/2008 lalu, saat berkeinginan maju di Pilgub, bung LOID terganjal pintu parpol. Alias tidak dapat pintu untuk masuk bertarung.

Sebagaimana diketahui, dalam Pilgub tersebut pasangan Nur Alam-Brigjend (Purn) Saleh Lasata (NUSA) yang diusung PAN dan PBR yang unggul satu putaran.

****
Sekitar pukul 14.30. Bung LOID hadir. Disertai dengan sejumlah orang yang selama ini dikenal sebagai orang-orang dekatnya. Baik berdomisili di Jakarta, maupun Sultra. Tampak diantaranya: Sahadat, Laode Udin, Boge Rahman Farisi, dan Laode Wahab.

Saya sempat bersalaman dengan bung LOID dan berbagi kabar singkat. "Hai Win, apa kabar?," sapa beliau dengan ramah. "Baik bang Ida, alhamdulillah," jawab saya singkat. Sekilas saya lihat, bung LOID tampak sedikit kelelahan di wajahnya.

Pertemuan terakhir saya dengan beliau pada saat saya dkk aktivis prodem '98 dan Persaudaraan Kaum Muda Indonesia (PKMI) Buton Raya menggelar acara: "Silaturahim dan Pertemuan Aktivis Prodem". Itu tanggal 27 April 2011. Bertepatan dengan puncak peringatan HUT Sultra ke-47 yang dipusatkan peringatannya di Kota Baubau.

Kala itu bung LOID didapuk jadi narasumber. Selain Waode Nurhayati (DPR RI), Laode Djeni Hasmar (Ketua Kerukunan Keluarga Sultra/KKST), dan Hugua (Bupati Wakatobi).

Setelah beberapa menit bertegur sapa dan berbagi kabar dengan peserta lain, bung LOID lalu mempersilahkan Krisni untuk menjadi moderator acara.

Krisni menyampaikan bahwa, forum diskusi ini dibuat santai saja. "Sebab bang Laode Ida ingin berdiskusi santai dengan kawan-kawan semua tentang berbagai hal terkait dinamika pembangunan di Sultra, terutama menyangkut tugas-tugas di DPD RI".

Saat mulai diskusi saya hitung di area meja yang didesain melingkar, ada sekitar 40-an peserta ikut. Ada mahasiswa, aktivis NGO, jurnalis, serta pemerhati sosial lainnya.

Secara garis besar ada 5 hal yang disampaikan bung LOID dalam forum itu. Pertama, respon soal kelangkaan BBM bersubsidi dan penyediaan energi yang berkelanjutan. Kedua, soal manajemen sumber daya manusia (pendidikan, kesehatan).

Selanjutnya, soal ketiga, perbaikan infrastruktur dasar. Keempat, pengelolaan anggaran negara yang baik dan bebas korupsi. Adapun kelima, pengelolaan lingkungan dan SDA, terutama soal carut marut tambang dan perkebunan kelapa sawit skala besar.

Dalam pejelasan saat paparkan ide-idenya, maupun menanggapi pertanyaan dari peserta diskusi, bung LOID tampak bersemangat. Pemahamannya akan tema-tema sentral di atas cukup baik. Walau saja, untuk soal agenda membereskan karut marut pertambangan dan perkebunan sawit, saya cermati, jawaban bung LOID masih "mengambang". Mungkin, butuh satu forum khusus untuk mendedah pikiran beliau soal isu strategis ini.

Kapasitas intelektual akademiknya sebagai seorang Doktor Sosiologi (Konsentrasi Sosiologi Politik) jebolan UI, yang masih juga mengampu mata kuliah di UNJ dan sejumlah perguruan tinggi di Indonesia, menjadikan bung LOID tangkas dalam menghadapi forum-forum diskusi seperti ini, termasuk dalam menulis menuangkan gagasannya.

Ini juga ditunjang latar belakangnya yang lama malang melintang di dunia NGO (LEPSEK, FITRA, PSPK). Sebelum pada Pemilu 2004 terpilih untuk pertama kalinya masuk ke senayan dan menjabat Wakil Ketua DPD RI.

Sejumlah gagasan tentang pembenahan sistem pemerintahan, sejatinya sudah banyak dipaparkan bung LOID dalam buku terbarunya yang direlease media April 2011 lalu. Judulnya: Negara Mafia diterbitkan Galang Press Jogjakarta.

Buku Negara Mafia ini, sebagaimana diutarakan Moh. Asy'ari Muthhar, dijadikan instrumen urgen oleh Laode dalam mengeksplorasi ide-idenya dengan mendasarkan pada pengalaman dirinya sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah yang banyak bergelut dengan dunia glamor para penjahat negara.

Salah satu ide cerdasnya yang dilontarkan dalam buku ini adalah tawarannya dalam upaya pemberantasan ko­rupsi di negara mafia seperti Indonesia. Menurut Laode, pemberantasan praktik KKN harus dibarengi dengan perangkat hukum yang tegas. Dia mencontohkan Tiongkok yang memberlakukan hukuman mati untuk setiap orang yang terbukti melakukan korupsi di semua lembaga, baik pemerintahan maupun swasta.

Lalu, atas pertanyaan pancingan dari forum tentang keseriusan beliau maju di putaran Pilgub Sultra 2012, secara bercanda di jawab,"Saya kira bukan di sini forumnya, jika tiba waktunya Insya Allah saya akan sampaikan,".

Pun demikian, realitasnya, sejak akhir tahun 2010, publik di Sultra sudah mendapatkan sejumlah kalender, stiker serta baliho bergambar Laode Ida. Termasuk saat peringatan HUT Sultra yang dipusatkan di Kota Baubau, bulan April 2011 lalu. Bagi publik, ini pesan politik tersirat dari bung Laode Ida.

****
Nampaknya, hampir pasti bung LOID akan maju di pentas Pilgub Sultra 2012. Menantang calon incumbent Nur Alam yang saat ini juga Ketua DPW PAN Sultra 3 periode. Serta, calon lain yang tidak bisa dipandang remeh, bung Ali Mazi. Mantan Gubernur Sultra 2003-2008 yang juga Ketua Nasional Demokrat Provinsi Sultra. Sejak kalah dikontestasi Pilgub 2007, rupanya bung Ali Mazi (AM) masih penasaran dan hendak menjajal lagi pertarungan Pilgub tahun 2012.

Adapun calon lain yang disebut-sebut publik punya kans besar maju di Pilgub 2012, namun belum dekler secara resmi (terbuka) yaitu: Waode Nur Hayati (WON). Politisi muda PAN asal Buton ini, mulai dikenal luas masyarakat saat mengungkap kasus Mafia Anggaran di DPR RI. Kasus yang diungkap sejauh ini belum ada tanda penyelesaian baik di senayan maupun pihak berwajib.

Bung LOID, tokoh yang dikenal populis karena kesederhanaan hidup bersama keluarganya, low profile, juga sikap non protokolernya, kembali akan menghadapi suatu pertarungan politik yang keras. Jam terbangnya sebagai politisi nasional masih akan diuji di kampung halamannya sendiri. Sulawesi Tenggara.

Semoga problem pintu parpol atau jalur independen yang akan digunakan bung LOID, sudah disiapkan jawaban berikut strateginya bersama Tim Suksesnya. Agar peristiwa tahun 2007 tidak terulang lagi.

Jika bung LOID kembali datang dengan persiapan yang matang, pertarungan Pilgub Sultra tahun depan, rasanya akan lebih menarik.

05 Agustus 2011
*) Catatan Diskusi 27/7/11 @Warkop H.Anto.