Opinion Peblika

Opinion Peblika
Suasana Foto Galian Tanah Tambang C Tanpa Melalui SRKL dan AMDAL di Wakatobi

Jumat, 28 Mei 2010

PEMIMPIN WAKATOBI MASA DEPAN (2011-2016 DST) : "DIHARGAI KARENA KUALITASNYA"

Oleh : IR.La Ode Muhammad Ali Habiu,AMts.,M.Si *) 



 Pemimpin baru, seringkali dikaitkan dengan ‘model’ baru, ‘gaya’ baru, sehingga banyak yang mulai merasa penasaran, bagaimana nanti pimpinan baru itu akan bersikap dan bertindak. Apa yang disukai dan tidak disukainya. Pemimpin baru, mengingatkan saya pada pertanyaan seorang teman yang diajukan dalam suatu acara; “pemimpin bagaimana yang menurut anda cocok untuk zaman sekarang ini? Pertanyaan sederhana, tapi juga menyimpan kesulitan untuk menjawabnya. Jawaban bisa saja muncul beragam. Ada yang menjawab, pemimpin yang baik untuk abad sekarang adalah pemimpin yang merakyat. Ada juga yang mendambakan pemimpin yang mau melayani, bukan dilayani. Kepemimpinan gaya pejabat yang mau dilayani sudah tidak model lagi alias out of trend. Seorang teman lain menjawab bahwa sekarang yang lebih dibutuhkan adalah pemimpin yang mau mendengar, terbuka terhadap masukan, dan tidak membuat keputusan berdasarkan pertimbangan sendiri. Singkatnya pemimpin dengan gaya kepemimpinan yang partisipatoris. Apa pun jawaban atas berbagai pertanyaan model kepemimpinan diatas, saya rasa dan mungkin anda juga akan sepakat bahwa siapapun orangnya, dari manapun asalnya, apapun latar belakangnya, bagaimanapun gayanya, seorang pemimpin haruslah respectable; bisa dihargai dan disegani-–kalau tidak mau menggunakan kata dihormati. Respectable disini mengandung arti respek atau penghargaan yang datang karena kualitas orang yang menjadi pemimpin itu, dan bukan respek yang diharuskan, apalagi dipaksakan. Kualitas respectable ini seringkali diperoleh seiring usia yang bertambah, melalui pengalaman hidup yang bermakna, walaupun beberapa orang tertentu memiliki semacam ‘bakat’ yang membuat mereka memiliki kualitas respectable yang memang sudah ‘bakatnya’. Tapi bakat adalah potensi yang selalu harus diasah agar tetap tajam dan semakin berkilau. Maka kualitas juga harus selalu dijaga dan dipelihara serta ditingkatkan. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah; bagaimana sebetulnya pemimpin yang respectable itu?. Meminjam kata-kata bijak yang menjadi moto dunia pendidikan di Indonesia, saya berpendapat bahwa pemimpin yang respectable adalah pemimpin yang “tut wuri handayani”. Seorang pemimpin harus bisa berada di garis depan, membuka jalan bagi yang dipimpinnya. Ini tentunya mengharuskan seorang pemimpin memiliki pengetahuan lebih. Seorang pemimpin juga harus bisa berada di tengah, membaur dengan kelompok atau masyarakat yang dipimpinnya. Membaur di sini juga berarti mendapat perlakuan yang sama dengan yang dipimpin alias tidak ada yang diistimewakan. Bersedia mendengarkan pendapat dari mereka yang dipimpin untuk kemudian sama-sama membuat keputusan yang bijak, dan memperlakukan semua orang setara. Lalu, seorang pemimpin juga harus bisa berada di belakang, untuk mendorong dan memotivasi mereka yang dipimpinnya, memberi kesempatan orang lain untuk mengaktualisasikan potensi diri dan meraih prestasi. Untuk menjadi pemimpin yang demikian tentu dibutuhkan kelebihan dalam banyak hal, antara lain pemikiran yang cemerlang dan wawasan yang luas serta keberanian untuk menjadi kreatif dan bereksperimen agar bisa berada di depan. Tapi pikiran cemerlang dan wawasan luas saja tentu tidak cukup. Maka seorang pemimpin juga harus memiliki jiwa besar, hati yang lapang serta kepribadian yang bersahaja. Kualitas terakhir ini dibutuhkan agar seorang pemimpin bisa dan mau mendengarkan pendapat orang lain, dan di saat yang sama mau mengakui kelebihan orang lain serta dengan lapang dada memberikan kesempatan bagi orang lain untuk mengalami hal baru, sehingga dapat berkembang dalam pengetahuan dan kreativitas. Pemimpin yang demikian, selain bisa memajukan orang/kelompok yang dipimpin, juga akan memajukan dan meningkatkan kualitas dirinya sebagai seorang pemimpin. Karena dengan mendengarkan pendapat orang lain dan mengenali potensi atau kelebihan yang dimiliki orang lain, di saat yang sama dia juga belajar untuk mengenali kelemahan dirinya dan belajar untuk menerima kritik. Salah satu teori psikologi sosial yang dikenal dengan nama “Johari Window” (Jendela Johari), disebutkan bahwa ada empat area utama dalam hal apa yang bisa diketahui tentang seorang manusia (kepribadian dan potensi serta kelemahannya). Pertama adalah bagian “Saya tahu, orang lain tidak tahu”. Kedua, “Saya tahu, orang lain tahu”. Ketiga, “saya tidak tahu, orang lain tahu”. Keempat dan ini yang terakhir, “Saya tidak tahu, orang lain tidak tahu”. Teori ini mau menunjukkan bahwa sebagai seorang manusia pasti pengetahuan kita–bahkan tentang diri sendiri—tidak lengkap. Ada hal-hal tentang diri kita yang hanya kita yang tahu (pengalaman pribadi, perasaan, pemikiran yang tidak diungkapkan), ada juga hal-hal yang kita tahu dan orang lain juga tahu (perasaan dan pemikiran yang sudah diungkapkan, pengalaman bersama dengan orang lain, kemampuan yang sudah dibuktikan). Tapi ada juga hal-hal yang tidak kita sadari tetapi dilihat oleh orang lain (potensi maupun kelemahan), selain tentunya bagian yang sama-sama tidak kita dan orang lain ketahui. Dua bagian pertama tentunya menjadi sesuatu yang bisa kita evaluasi sendiri: potensi yang ditingkatkan dan kelemahan yang bisa kita perbaiki. Namun bagian yang ketiga hanya bisa menjadi hal yang kita ketahui kalau ada komunikasi dengan orang lain yang memiliki pengetahuan tersebut. Di sinilah kebijaksanaan dan kemauan serta kemampuan untuk mendengarkan akan membawa seorang pemimpin pada kemajuan dirinya. Karena hanya dengan mendengarkan dan terbuka terhadap kritiklah seorang pemimpin bisa mengenal bagian ketiga dari dirinya, untuk kemudian meningkatkan yang baik dan melengkapi yang kurang. Namun tentunya hanya pemimpin yang bersahaja yang mau dan mampu untuk mendengarkan orang lain serta terbuka terhadap kritik untuk selalu memperbaiki diri dan kepemimpinannya. Wacana yang berkembang di kalangan para petinggi Indonesia akhir-akhir ini dan bahkan menjadi perdebatan yang panjang dan seru adalah menyangkut usulan syarat pendidikan Sarjana Strata Satu (S1) bagi calon Bupati dan Wakil Bupati. Salah satu alasan yang mendasari munculnya usulan ini adalah anggapan bahwa seorang sarjana memiliki wawasan luas dan kemampuan untuk berpikir analitis selain juga kemampuan untuk berpikir praktis. Benar atau tidaknya anggapan ini tentunya masih bisa diperdebatkan. Namun kembali kepada kualitas pemimpin yang respectable sebagaimana yang di bahas diatas, maka muncul pertanyaan dalam benak sayadan mungkin dalam benak anda juga yaitu; sejauh mana tingkat pendidikan menjamin adanya kualitas-kualitas tersebut dalam diri seseorang? Secara pribadi, saya tidak percaya bahwa gelar kesarjanaan menjamin seorang manusia akan memiliki wawasan luas dan kemampuan berpikir yang lebih, apalagi kebijaksanaan dan kerendahan hati yang diperlukan untuk menjadi pemimpin yang merakyat, yang menggunakan gaya kepemimpinan partisipatoris, yang ”tut wuri handayani”. Secara pribadi saya lebih meyakini pendidikan seumur hidup, yang diperoleh dari pengalaman hidup bermasyarakat yang menumbuhkan idealisme, penghargaan terhadap orang lain, kepedulian dan empati terhadap sesama. Bagi saya pendidikan seumur hidup inilah yang membuat orang memiliki pengalaman dan kualitas yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin yang respectable, pemimpin yang dihargai dan disegani karena pengetahuan, pengalaman, hati, kepribadian, dan kepemimpinannya. Pemimpin di masa mendatang Kabupaten Wakatobi bukan hanya pemimpin yang berkarateristik seperti diinginkan oleh para pengikutnya. Tapi, terdapat harapan-harapan bahwa Pemimpin di masa depan Wakatobi mampu memenuhi dan memiliki kondisi-kondisi seperti berikut ini:
1. The meaning of direction (memberikan visi, arah, dan tujuan)  
Seorang pemimpin yang efektif membawa kedalaman (passion), perspektif, dan arti dalam proses menentukan maksud dan tujuan dari kepemimpinannya. Setiap pemimpin yang efektif adalah menghayati apa yang dilakukannya. Waktu dan upaya yang dicurahkan untuk bekerja menuntut komitmen dan penghayatan.
2. Trust in and from the Leader (menimbulkan kepercayaan) 
Keterbukaan (candor) merupakan komponen penting dari kepercayaan. Saat kita jujur mengenai keterbatasan pengetahuan yang tidak ada seluruh jawabannya, kita memperoleh pemahaman dan penghargaan dari orang lain. Seorang pemimpin yang menciptakan iklim keterbukaan dalam kepemimpinannya adalah pemimpin yang mampu menghilangkan penghalang berupa kecemasan yang menyebabkan masyarakat yang dipimpinnya menyimpan sesuatu yang buruk atas kepemimpinnya. Bila pemimpin membagi informasi mengenai apa yang menjadi kebijakannya, pemimpin tersebut memberlakukan keterbukaan sebagai salah satu tolok ukur dari “performance” kepemimpinannya.
3. A sense of hope (memberikan harapan dan optimisme) 
Harapan merupakan kombinasi dari penentuan pencapaian tujuan dan kemampuan mengartikan apa yang harus dilakukan. Seorang pemimpin yang penuh harapan menggambarkan dirinya dengan pernyataan-pernyataan seperti ini: saya dapat memikirkan cara untuk keluar dari kemacetan, saya dapat mencapai tujuan saya secara energik, pengalaman saya telah menyiapkan saya di masa depan, selalu ada jalan dalam setiap masalah. Pemimpin yang mengharapkan kesuksesan, selalu mengantisipasi hasil yang positif.

4. Result (memberikan hasil melalui tindakan, risiko, keingintahuan, dan keberanian) Pemimpin masa depan adalah pemimpin yang berorientasi pada hasil, melihat dirinya sebagai katalis –yang berharap mendapatkan hasil besar, tapi menyadari dapat melakukan sedikit saja jika tanpa usaha dari orang lain. Pemimpin yang seperti ini membawa antusiasme, sumber daya, tolerasi terhadap risiko, disiplin dari seorang “entrepreneur”. Apakah para pemimpin yang akan dipilih pada Pilbub Wakatobi 2011 sudah memiliki kualitas yang harus dimiliki seorang pemimpin?. Hanya rakyat yang tidak terprovokasi dan terintimidasi yang bisa menjawab pertanyaan ini dalam membuktikan kualitas calon pemimpin mereka. Tetapi sebagai calon pemimpin yang akan dipilih, tentunya mereka dipilih karena calon pemimpin tersebut memiliki kualitas lebih yang dapat dilihat oleh orang-orang yang telah memilih mereka, bukan?!.... Bukan dipilih kerena telah melakukan politik uang! ****)
 *). Mantan Sekjen PB KKIB Pusat Makassar 1999-2003.

Jumat, 21 Mei 2010

DISTORSI DALAM PENAFSIRAN "OTONOMI BEBAS" ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22/1999 JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 32/2004

Oleh : Ali Habiu


 Konon katanya para pakar bahwa Undang-Undang Nomor  5 Tahun 1974 yang mengatur pokok-pokok Pemerintahan di daerah dianggap tidak sesuai lagi dengan prinsip penyelenggaraan otonomi daerah dan perkembangan keadaan sehingga perlu diganti. Adapun alasannya karena Undang-Undang tersebut bersifat sentralistik yang nota bene campur tangan pemerintah pusat masih lebih dominan disetiap daerah, sehingga eksistensi daerah sebagai suatu wilayah pemerintahan negara untuk mengatur rumah tangganya sendiri dalam kekuasaannya dianggap tidak mutlak; “karena tidak diberi kekuasaan penuh.” Alhasil waktupun bergulir dan kini telah terbit Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah Juncto Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah.
Pada bab I ketentuan Umum, pasal 1 ayat (b) disebutkan bahwa Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah. Dan pada ayat (d) disebutkan yang dimaksud dengan Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut azas desentralisasi.
Pada penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pada butir (f) disebutkan :…….Daerah Provinsi bukan merupakan pemerintahan atasan dari daerah Kabupaten dan daerah Kota. Dengan demikian daerah otonom Provinsi dan daerah Kabupaten dan daerah Kota tidak mempunyai hubungan hierarki.
Selanjutnya pada butir (h) disebutkan bahwa dengan memperhatikan pengalaman penyelenggaraan Otonomi Daerah pada masa lampau yang menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dengan penekanan pada otonomi yang lebih, merupakan kewajiban dari pada hak. Maka dalam undang-undang ini pemberian kewenangan otonomi kepada daerah Kabupaten dan daerah Kota didasarkan pada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
Kewenangan otonomi luas adalah keleluasan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan………,
Distinksi yang ditimbulkan atas penjabaran pasal dan penjelasan undang-undang ini ialah adanya kenafikan penafsiran dari sebagaian kalangan Bupati dan Wali Kota mereka merasa pemerintah sudah memberikan kekuasaan penuh sehingga tanpa disadari menghasilkan sifat akuisme berlebihan.
Sifat akuisme yang berlebihan inilah akan berpretensi munculnya pigur-pigur Bupati ataupun Wali Kota merasa sebagai raja-raja kecil di daerahnya sehingga dia terkadang bersifat feodalistik, diktator dan otoriter dalam memimpin daerahnya tanpa disengaja karena mereka merasa segala kekuasaan ada ditangannya dan berlaku mutlak sehingga dia juga berlaku totaliter, Mengapa hal ini bisa terjadi ?!, karena mereka secara struktural tidak lagi dapat diatur tanpa disadari menghasilkan sifat akuisme berlebihan.
Sifat akuisme yang berlebihan inilah akan berpretensi munculnya pigur-pigur Bupati ataupun Wali Kota yang merasa sebagai raja-raja kecil di daerahnya sehingga dia terkadang bersifat feodalistik, diktator dan otoriter dalam memimpin daerahnya tanpa disengaja karena mereka merasa segala kekuasaan ada di ditangannya dan berlaku mutlak sehingga dia juga berlaku totaliter.
Mengapa hal ini bisa terjadi?!, karena mereka secara struktural tidak lagi dapat diatur tanpa disadari menghasilkan sifat akuisme berlebihan. Sifat akuisme yang berlebihan inilah akan berpretensi munculnya pigur-pigur Bupati ataupun Wali Kota yang merasa sebagai raja-raja kecil di daerahnya sehingga dia terkadang bersifat feodalistik, diktator dan otoriter dalam memimpin DPRD cukup jelas diatur pada pasal 19 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 20034 tetapi pada kenyataannya eksistensi pasal-pasal ini sementara dari sebagai besar kalangan anggota dewan masih mengabaikan karena mereka belum ada kemauan bargaining politik untuk menjalankannya secara efektif.
Konspirasi semacam ini terjadi sebagai dampak dari banyak para anggota dewan baik ditingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota secara relatif direkrut dari kalangan yang tidak mampu terutama yang berasal dari kalangan partai-partai baru yang rata-rata memiliki latar belakang sosial ekonomi rendah sehingga dalam aktivitasnya sering menggunakan jurus “mumpung ada kesempatan sikat” disamping itu juga rata-rata kemampuan intelektual para anggota legislatif kita yang ada di daerah Sulawesi Tenggara saat ini mulai dari Provinsi, Kabupaten dan Kota relatif rendah membuat mereka sebaliknya mudah dibodohi oleh kalangan eksekutif menjadikan kinerja DPRD saat ini tidak bisa diharapkan dan dipercaya lagi.
Selanjutnya dalam penjelasan tersebut disebutkan untuk menjadi Kepala daerah, seseorang diharuskan memenuhi persyaratan tertentu yang intinya agar Kepala daerah selalu bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki etika dan moral, berpengetahuan dan berkemampuan sebagai pemimpin pemerintahan, berwawasan kebangsaan serta mendapatkan kepercayaan rakyat.
Kepala daerah disamping sebagai pimpinan pemerintahan, sekaligus adalah Pimpinan daerah dan pengayom masyarakat sehingga Kepala daerah harus mampu berfikir, bertindak dan bersikap dengan lebih mengutamakan kepentingan bangsa, negara dan masyarakat umum dari pada kepentingan pribadi maupun golongan……...,’
Filosofi persyaratan bagi Kepala daerah tersebut secara teoritis sudah akomodatif tetapi pada kenyataan dalam prakteknya akibat pelaksanaan otonomi luas banyak dijumpai para Bupati dan Wali Kota di tanah air dewasa ini masih menganut prinsip-prinsip kedaerahan dengan lebih mementingkan kepentingan pribadi atau golongan dari pada kepentingan yang lebih luas.
Pengaruh atas adanya muatan kepentingan ini menjadikan distorsi dalam penafsiran Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jauh dari substansi apa yang sesungguhnya diinginkan oleh para inspirator dan konseptor Undang-Undang ini. Begitu besar kekuasaan seorang Bupati atau seorang Wali Kota maka penafsiranpun kadang kala dilakukan secara berlebihan yang mana mereka sudah tidak lagi mengindahkan substansi norma-norma pedoman yang berlaku sebagai dasar konsideran suatu keputusan misalnya Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri atau keputusan Menteri yang relevan untuk senantiasa dipedomani sebagai acuan dalam diktum suatu keputusan.
Sebagai contoh kecil kita bisa lihat ke daerah ini misalnya saja kita mengambil Sampel Kabupaten WAKATOBI; pengangkatan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dijabat oleh pejabat berlatar disiplin ilmu sosial (mantan Guru SLTA), Kepala Dinas Kesbang dijabat oleh pejabat berlatar belakang ilmu sosial (mantan Guru SLTA), Kepala Dinas Kesehatan dijabat oleh pejabat berlatar disiplin ilmu bukan dokter,  Kepala Dinas Perhubungan dijabat oleh pejabat berlatar disiplin bukan transfortasi atau manajemen pembangunan dlsb. Gambaran ini sebagai contoh-contoh kecil dari banyaknya masalah birokratisasi didaerah yang tidak sesuai aturan normatif. Dan hal demikian ini terjadi pula di Kabupaten lain di wilayah Sulawesi Tenggara.
Meskipun disatu pihak ada pembenaran atas penempatan para pejabat tersebut dengan alasan pertimbangan golongan “tak ada lagi yang memenuhi selain itu” tetapi dilain pihak pada hakekatnya kita semua telah melecehkan eksistensi lembaga-lembaga pemerintah di daerah yang nota bene seharusnya dijabat oleh mereka yang memiliki disiplin ilmu sesuai bidang tugas instansional yang dipimpinnya agar benar-benar dalam melaksanakan pelayanan pembangunan kepada masyarakat bisa berjalan efektif, efisien dan transfaran sesuai dengan bidang ahli yang dimilikinya.
Dalam memasuki manajemen baru pemerintahan dengan konsep “Good Governance” penempatan pejabat pada lembaga teknis atau lembaga operasional lainnya benar-benar harus sesuai dengan bidang disiplin ilmu yang dimilikinya “the right man and the right places” sehingga akuntabilitasnya terukur karena dia adalah pejabat profesional. Harga mati pencermatan teori manajemen klasik yang dikembangkan selama ini dengan menganggap bahwa seorang Kepala Dinas cukup saja dia harus seorang generalist dengan lebih banyak menguasai managerial skills dari pada technical skills dan rank and file, ternyata diera modern dewasa ini yang serba dituntut dengan tantangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan pemberian pelayanan optimal kepada masyarakat –--- teori ini tidak lagi berlaku.
Pigur seorang kepala dinas dewasa ini adalah dia seorang profesional artinya dia kuasai managerial skills, juga kuasai technical skills disamping juga ahli pada bidang rank and life (keterampilan teknis) meskipun pada prinsipnya ada tataran manajemen level bawah yang akan melaksanakan keputusannya tetapi dia all in dalam melaksanakan secara refresentasi seluruh tanggungjawab bidang tugasnya sehingga dia mampu menjalankan prinsip-prinsip manajemen modern yang lagi dikembangkan saat ini yakni MBO (management by objective).
Ternyata konsistensi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengalami banyak kendala antara lain, salah satunya disebabkan karena tidak adanya kewenangan Gubernur sebagai kepala daerah provinsi untuk mengatur Bupati sebagai kepala daerah Kabupaten dan Wali Kota sebagai kepala daerah Kota sehingga mereka juga kadang kewalahan dalam menempatkan pejabat karena di daerah Kabupaten atau Kota sudah tidak ada lagi pegawai tertentu yang memenuhi syarat golongan tetapi mereka enggan minta bantuan kepada provinsi karena daerah provinsi bukan merupakan atasan langsung mereka, padahal ditingkat provinsi banyak tenaga-tenaga yang memenuhi syarat bagi keperluan mereka.
Harapan kita semua mudah-mudahan penafsiran-penafsiran yang berlebihan terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak lagi bergulir merusak tatanan pada bidang-bidang lain serta daerah provinsi sulawesi tenggara sebagai daerah otonom yang membawahi Kabupaten dan Kota suatu saat dapat terjalin sinergis hierarkional sehingga saat ini bagi kita semua yang paling kita idamkan adalah munculnya Undang-Undang baru  yang lebih refresentatif bisa mengatur semua kendala-kendala yang banyak kita alami dewasa inibisa terselesaikan dengan baik. Mungkinkah??.... Wallahu’alam bishshawab....****

PROVINSI BUTON RAYA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH : "MENGAPA BUTON HARUS JADI SEBUAH PROVINSI"?

Bagian Kedua dari Dua Tulisan

Oleh : Ali Habiu *)


Inilah Salah Satu Penggagas Provinsi Buton Raya Ketika dia Masih Menjabat Sekretaris Jenderal PB KKIB Pusat Makassar. !?.

         Adapun sebagai contoh, misalnya salah satu faktor penyebabnya kelambatan tersebut adalah tidak didukungnya kota ini dengan keberadaan letak ke pelabuhan yang representatif termasuk juga dalam aspek pengembangannya karena lokasi kepelabuhanan di daerah ini tidak ditunjang oleh ketahanan aspek geo toritorial dan geo strategis serta aspek Neotika Internasional. Selain itu juga letak Tata Ruang pusat-pusat pertumbuhan ekonomi antar kota relatif secara ekonomis tidak mudah dijangkau karena penyebaran penduduk yang tak merata di samping tidak tersedianya assets Sumber Daya Alam yang memadai. Sehingga potensi equilibrium daerah ini yang di harapkan dapat menunjang Budget Life antar daerah Kabupaten/Kota se-Sulawesi Tenggara untuk dipakai dalam substitusi pembiayaan pembangunan sebagai Gross Working Capital tak dapat lebih banyak diharapkan selama masa provinsi ini berdiri.
Kini waktupun telah pupus berjalan dari hari ke hari, bulan ke bulan dan tahun-ketahun tanpa kita sadari semua kini berdirinya Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara sudah memasuki usia ke 46 tahun suatu usia yang terbilang telah memasuki masa uzur tetapi disana sini belum ada perkembangan signifikan yang menjadi kebanggaan kita dan secara relatif hingga saat ini juga belum ada perkembangan signifikan yang menjadi kebanggan kita yang secara relatif hingga saat ini juga belum menunjukkan adanya eksistensi potensi sektor andalan daerah ini yang menjadi kebanggaan yang membentuk citra daerah (image) dan dapat dijadikan kontribusi ekonomi makro terhadap stimulansi ekonomi mikro antar daerah diwilayah provinsi ini. Mungkin gambaran yang terjadi ini merupakan hukum karma yang telah ditimpakan Tuhan YME kepada kita semua dimana harus kita bisa menerimanya karena akibat atas kebodohan kita sendiri.

 Beranjak dari perspektif sejarah di atas, tibalah saat yang tepat serta telah lama dinanti-nantikan oleh semua elemen-elemen, tokoh-tokoh Masyarakat, Mahasiswa dan Pemuda, Organisasi-organisasi Kemasyarakatan yang bernaung dalam Paguyuban Arisan serta seluruh Masyarakat Buton yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia menuntut adanya kebebasan politik untuk menentukan nasib sendiri sebagaimana substansi amanah Undang-Undang Nomor :  32 tahun 2003 tentang Otonomi Daerah untuk kembali memperjuangkan daerahnya dalam mempertahankan kebesarannya sebagaimana substansi eksistensi kejayaan pemerintahan Kerajaan dan Kesultanan pada zamannya yang amat tersohor itu dalam bingkai Negara Kesstuan Republik Indonesia untuk menjadikan daerah ini menjadi sebuah provinsi yang otonom.
Berdasarkan analogi dari pembelajaran paradigma pengalaman perjalanan sejarah daerah ini sebagaimana telah diuraikan diatas, sungguh apa yang telah dijalani kita rasakan sangat pahit mengingat sejak tahun 1945 lalu sesungguhnya segenap Bangsa Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya dan dalam batang tubuh UUD-45, ada komitmen bersama untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia dari kaum penjajah (baca:Belanda) untuk tiak diberi ruang sedikitpun kepada mereka untuk kembali menjajah Negeri kita ini serta ikut mensejahterakan kehidupan bangsa. Tetapi pada kenyataannya apa sebenarnya yang terjadi di Negeri Buton adalah ssungguhnya telah kembali mengalami penjajahan (baca: penindasan politik) di atas bangsanya sendiri setelah berakhir masa penjajahan Belanda oleh para golongan tokoh-tokoh politik tertentu dari kalangan ABRI asal Sulawesi Selatan. Hegemoni politik yang dilakukan oleh sebagia para politisi asal Sulawesi Selatan ketika itu telah memanfaatkan unsur-unsur kekutaan tentara yang berasal dari jajaran Komando Daerah Militer IV Hasanuddin untuk mengsubordinasi Pemerintahan zaman Bupati Muhammad Kasim yang mana sejak tahun 1969 lalu, Buton diissukan sebagai basis Partai Komunis Indonesia. Padahal semua orang tau bahwa modul operandi issue ini adalah sarat dengan muatan rekayasa politik dengan tujuan agar dapat mengambil alih kekuasaan Pemerintahan, mengingat ada kekhawatiran sebagian dari tokoh-tokoh masyarakat Sulawesi Selatan agar cepat terbentuknya sumber daya Buton dan harus dapat dipatahkan dengan suatu cara “power show” dalam hal in kekutaan militer.
 Sebagai dampak dari permainan politik ini, pada masa itu telah terjadi penekanan dimana-mana baik diberikan kepada rakyat maupun kepada semua tokoh-tokoh masyarakat Buton sehingga telah menelan banyak korban mental adalah Bupati Muhammad yang dirongrong oleh kalangan Militer dan karena dia merasa kecewa dituding sebagai dalang PKI.”Dia meninggal akibat gantung diri dalam penjara dan mulai saat itu figur Bupati harus dari kalangan ABRI dalam memerintah daerah ini”.
Bisa dibayangkan begitu parahnya sistem pemerintahan yang ada saat itu membuat beban mental masyarakat pada tingkat absurd sampai-sampai mereka semua takut untuk mengeluarkan pendapat atau berbuat kegiatan apapun (baca:depolitisasi) karena takut dituduh PKI. Keadaan ini merupakan suatu tragedi sejarah yang amat memilukan segenap hati nurani massyarakat Buton mengingat di zaman kemerdekaan, mengapa? Masih ada sistem penjajahan yang melampaui batas kekejaman kolonial Belandayang dilakukan kepada sesama anak bangsa. Adapun sistem pemerintahan dari pigur Bupati kalangan ABRI mulai tumbangnya Bupati Muhammad Kasim tahun 1969 lalu hingga sekarang diperkirakan telah berlangsung selama kurun waktu 41 tahun lamanya atau berakhir tepatnya pada tahun 2002 lalu. Adapun pigur Bupati masa itu dari kalangan Militer adalah terdiri dari: Kolonel Arifin Sugianto, Kolonel M. Hamzah, Letkol Hakim Lubis dan terakhir Kolonel Saidu. Suatu tragedi sejarah yang telah menyengsarakan kehidupan masyarakat Buton dan hal ini tidak mudah dilupakan oleh seluruh Rakyat Buton di manapun mereka berada, terutama bagi keluarga mereka yang menjadi korban fitnah sebagai anggota PKI. Pada kondisi stagnan demikian ini turut dimanfaatkan oleh sistem rekruitmen anggota ABRI dan Kepolian di wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara dimana yang diterima adalah lebih dominan mereka yang berasal dari putra asli daerah Sulawesi Selatan serta daerah-daerah lain di luar Buton dan ditempatkan masing-masing pada institusi Kodim, Koramil, Polres dan Polsek diseluruh wilayah Pemerintah Daerah Kabupaten Buton secara permanen sehingga yang terjadi adalah proporsi personal lembaga ini hampir 95 persen berasal dari luar Buton sementara putra asli daerah (putra Buton) hanya menempati porsi kurang lebih 5 persen saja, suatu perbandingan yang tak realistik sebagai suatu daerah otonom.
Berdasarkan dari pengalaman yang amat berharga ini, seluruh komponen rakyat Buton kini sudah menyadari bahwa sudah saatnya untuk bangkit mengejar indoktrinasi politik yang berlangsung sekitar 40 tahun itu. Dan saat ini fenomenapun telah berkembang dimana-mana ditengah-tengah kehidupan masyarakat Buton baik lokal maupun perantauan yang tersebar diberbagai provinsi di Indonesia. Mereka semua bercita-cita ingin menjadikan negerinya maju mengejar ketinggalan selama kurun waktu hampir 40 tahun lamanya itu dengan memperjuangkan berdirinya Provinsi Buton Raya. Cita-cita yang amat mulia ini bukanlah suatu hal yang mustahildan sekedar wacana tapi benar-benar serius, realistik dan sedang digarap, sangat memungkinkan prospek perkembangan daerah ini ke depan mengingat dewasa ini telah didukung oleh suatu potensi sumber daya konkret berupa adanya sumber daya manusia yang handal dan sumber daya manusia yang strategis.
Di bidang sumber daya manusia, daerah Buton potsulat telah mencetak tingkat Doktor (S3) sekitar 38 orang termasuk yang sedang kuliah di Luar Negeri dari berbagai disiplin ilmu, Tingkat Magister (S2) sekitar 400 orang sudah termasuk bagi mereka yang sedang menyelesaikan kuliah dengan berbagai disiplin ilmu dan secara Nasional tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Pada sektor Sumber Daya Alam, secara strategis pulau Buton keseluruham memiliki cekungan minyak terbesar di dunia dan uranium terbesar di dunia (pimer deposite) dan hal ini merupakan profit oriented bagi para investor dan sebagai sektor andalan dalam prospek pembiayaan korelasi mikro ekonomi antar daerah dalam lingkup Povinsi Buton Raya. Sedangkan pada sektor penunjang adalah terdapatnya: 4 lokasi tambang pasir besi, 1 lokasi tambang titanium, 1 lokasi Geo Termal kapasitas 650.000 mega watt untuk pembangkit Listrik, 1 lokasi Geo Air kapasitas 100.000 mega watt untuk pembangkit Listrik, 4.000.000 metrik ton Aspal Buton (Butas) untuk bahan sintetik, sementasi dan aspal modified, 5 lokasi wisata pantai setara Hoga, 13 lokasi tambang emas, 3 lokasi tambang intan berlian dan sebagainya.
Pencetus pertama kali adanya wacana peningkatan status pemerintahan dari Kabupaten menjadi Provinsi dimulai dari hasil diskusi panel yang berkembang pada saat berlangsung Rapat Kerja Daerah Pengurus Besar Kerukunan Keluarga Indonesia Buton pusat Makassar yang berlangsung hari senin tanggal 7 Mei 2001 lalu bertempat di Aula Rapat Kantor Wilayah Pekerjaan Umum Provinsi Sulawesi Selatan yang dihadiri oleh pengurus dan para pakar dari berbagai disiplin ilmu asal negeri buton dengan mengembangkan diskusi adanya kekecewaan sebagian tokoh-tokoh masyarakat Buton selama ini, disamping juga mengamati aspirasi dari berbagai elemen masyarakat dan tuntutan global Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Hasil diskusi ini dimasukkan dalam Notulen hasil rapat kerja dan di keluarkan dalam bentuk Rekomendasi Nomor: 25/R/KKIB/PM/V/2001 tanggal 16 Mei 2001, di tanda tangani oleh Ketua Umum (Drs.H. La Hibu Tuwu,M.Si) dan Sekretaris Jenderal (Ir.L.M.Ali Habiu,AMts.,M.Si); dikirim dan ditujukan kepada semua elemen, tokoh-tokoh Mahasiswa, Pemuda, Masyarakat yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia termasuk juga kepada para formatur pemekaran Kabupaten Bombana, Wakatobi, Buton Utara dan Gulamas serta Pemerintah Daerah yang isinya mengajak semua pihak segera berbenah diri dalam mempersiapkan berdirinya Provinsi Buton Raya dengan misi waktu paling lama 10 tahun kedepan terhitung mulai tahun 2002 s/d 2010 dimana diharapkan misi itu sudah dapat terpenuhi. Adapun tindasan Rekomendasi tersebut ditujukan kepada Wakil Presiden RI, Ketua DPR RI, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah serta Gubernur dan para Bupati /Walikota se-Sulawesi Tengggara serta DPRD untuk menjadikan bahan dukungan seperlunya.
Memang disadari bahwa untuk mencapai hal tersebut bukanlah suatu pekerjaan yang mudah tetapi tentunya diharapkan berkat kerja keras, keyakinan dan seiring doa memohon perlindungan Tuhan YME, Insya Allah tidak lama lagi cita-cita ini dalam menjadikan Buton sebagai sebuah Provinsi yang memiliki legitimasi yang kuat untuk mengelola hasil-hasil perut buminya sendiri dalam mensejahterakan kehidupan rakyatnya dan membiayai pembangunan daerahnya kelak bukanlah suatu hal mustahil. Tentu itu semua dapat terwujud apabila semua pihak-pihak yang berkepentingan mulai saat ini lakukan kerja keras serta kerja sama satu sama lain sangat diharapkan. Perkuatan lembaga-lembaga sosial yang telah banyak tersebar di tanah air dewasa ini perlu makin diaktifkan, digalang dan dikonsolidasi secara nasional menjadi suatu kekuatan marginal. Di samping itu pula perlu mengajak semua pihak untuk segera mendirikan lembaga-lembaga otonom setara LSM, Yayasan, Forum atau Badan yang bergerak secara independen membidangi kegiatan ilmiah berupa kajian-kajian potensi daerah ini untuk kelak dapat dijadikan lanadasan ideal dalam menyikapi dan menggarap potensi sumber daya alam negeri ini sebagai salah satu soko guru perolehan devisa daerah. Di lain pihak juga diminta dukungan moral semua unsur yang merasa memiliki jiwa kebutonan (baca: Butuni) dimana cita-cita ini telah tersurat di dalam buku emas buton dijanjikan sebagai suatu negeri yang akan jaya dimasa akan datang “Buktuni mautil jam’ah”. Oleh karena itu sangat diharapkan bagi mereka yang berkepentingan dalam Pemekaran Kabupaten WAKATOBI, Kabupaten Bambaea, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Buton Tengah dan sebagainya untuk tidak lagi mempersoalkan hal-hal yang tidak prinsipil dalam mempersoalkan penentuan letak Ibu Kota Kabupaten. Tetapi tentunya kami mengajak kepada semua pihak marilah lebih arif dan bijaksana dan dalam menentukan letak Ibu Kota Kabupaten sebaiknya disesuaiakan dengan Peraturan Pemerintah dan Undang-Undang yang berlaku sehingga tidak akan menimbulkan kontroversial dalam pemekarannya. Termasuk juga tak lupamari kita doakan dan mohonkan kehadirat Tuhan YME, semoga para wakil-wakil kita yang menduduki kuri DRPR Sultra hasil pemilihan tahun 2004 nanti dengan jumlah kuota sekitar 17 orang itu benar-benar dengan hati nurani serta rasa panggilan jiwa yang besar ikut mendukung citas-cita mulia ini dalam memperjuangkannya di tingkat legislatif dan tentunya tak lupa diminta pula barakati-nya Wolio yakni: Baluwu, Peropa, Dete, dan Katapi and Sipanjonga, Sijatubun, Simalui, sijawangkati untuk senantiasa mengutuk (baca :laknatullah) bagi mereka siap saja putra daerah asli buton yang berkhianat.
Bangsa kita adalah bangsa yang besar bukan bangsa Tempe demikian kata Bung Karno dalam suatu kesempatan pidatonya. Oleh karena itu kami mengajak semua pihak untuk dapat saling hormat-menghormati, mendudukan persoalan pada proporsi yang benar, menghilangkan indoktrinasi, intimidasi dan deskriminasi serta salah sangka diantara sesama anak negeri, sesama anak bangsa dan saling dukung mendukung dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan saling menunjang dalam membangun daerah masing-masing. Mari bersama kita bahu membahu memperjuangkan cita-cita mulia Bangsa Indonesia yakni menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasilaan UUD-45 dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam hal ini sudah barang tentu tidak bisa terpisahkan dengan cita-cita mulia anak negeri yakni mendirikan Povinsi Buton Raya (baca : bukan sultra raya kepulauan) yang pada hakekatnya bukanlah dendam kusumat anak negeri Butuni tapi adalah melainkan perpektif sejarah masa lampau yang harus diluruskan.
Merupakan kewajiban kita semua sebagai warga negara yang baik dan sebagainya sesama anak bangsa untuk mendukung terwujudnya cita-cita mulia ini dalam waktu sesingkat mungkin. Jangan lagi mengikuti jejak ALI MAZI yang ketika dipercaya oleh Rakyat Buton untuk memimpin Sulawesi Tenggara 2003 s/d 2008 lalu dia sama sekali tidak mau memikirkan aspirasi masyarakat Buton untuk menproklamirkan sebuah provinsi Buton Raya karena ambisi pribadi menginginkan gubernur masa jabatan ke dua kali di sultra padahal peluang konstelasi politik ketika itu ada ditangan dia, hal ini sangat mengecewakan kita semua.
Namun yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah masih mungkin sebuah provinsi Buton Raya diproklamirkan sementara undang-undang baru yang mengatur pemekaran wilayah sudah semakin ketat dan pada konvensi kenegaraan yang telah dievaluasi oleh Kementerian Dalam negeri dan Otonomi Daerah menyimpulkan bahwa dari hampir 250 daerah pemekaraan di Indonesia ternyata yang efektif hanya terdapat hampi 30 % saja dan selebihnya asal mau memekarkan karena kepentingan sesaat bukan atas kepentingan rakyat. Oleh karena itu, benarkan pemekaran Buton Raya adalah atas kepentingan Rakyat ?! ****

*) Penulis Ketua Umum Lembaga Kabali.

PROVINSI BUTON RAYA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH : "MENGAPA BUTON HARUS JADI SEBUAH PROVINSI"?

Bagian Kesatu dari Dua Tulisan

Oleh : Ali Habiu



Salah seorang Penggagas Provinsi Buton Raya Sebagai Sekretaris Jenderal KKIB Pusat Makassar Tahun 1999 lalu....!?.
          Kabupaten Buton terletak di kepulaun jazirah tenggara pulau Sulawesi dan secara geografis terletak di bagian selatan katulistiwa memanjang dari 4 lintang utara sampaui 6º 15” lintang selatan dan membentang dari 120º 03” bujur barat ke 125º bujur timur. Adapun wilayah pemerintahanya meliputi sebagian pulau muna, buton dan sebagian berada di dataran tenggara pulau sulawesi (data 2004). Kabupaten Buton sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Muna dan Laut Maluku dan bagian selatan berbatasan dengan Kota Bau-Bau dan Laut Flores sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan Laut Banda dan sebelah barat dengan Laut Bone. Keberadaan pulau ini bila di tinjau dari aspek geoteritorial merupakan satu satunya pulau yang terdapat di Kawasan Tengah Indonesia yang memungkinkan secara strategis sebagai tempat persinggahan kapal-kapal laut seperti kapal perang, kapal penumpang, kapal barang yang berasal dari wilayah barat menuju ke wilayah timur Indonesia dan sebaliknya. Dengan perkembangan lebar dan kedalaman pelabuhan dari beberapa dermaga besar yang ada di daerah ini cukup refresentatif memenuhi standar navigasi Internasional dan merupakan median persinggahan antara wilayah tersebut maka tak salah lagi bila Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara ketika itu berada di Bau-Bau sebagai Ibu Kota Kabupaten Buton. Demikian pula berlaku bagi armada kapal-kapal angkutan banang maupun kapal-kapal perang bangsa asing yang melintasi kawasan tengah Indonesia yang berasal dari laut Hindia masuk melalui selat sunda menuju ke laut atlantik bisa singgah di pulau ini untuk mengisi bahan bakar, air dan sebagainya. Mengingat prospek potensi pulau ini ketika itu dapat dilihat sebagai suatu daerah yang akan cepat berkembang dikemudian hari, maka inplikasi dan hegemoni politik turut mewarnai pemilihan Ibu Kota Sulawesi Tenggara pada masa itu.
 
Kabupaten Buton adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Pasar Wajo. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.488.71 km² (sebelum pemekaran 6.463 km²) dan pada tahun 2004 berpenduduk sebanyak 265.724 jiwa (sebelum pemekaran 533.931 jiwa). Kabupaten Buton terkenal sebagai penghasil aspal alam
Wilayah Administrasi Pemerintahan Daerah Kabupaten Buton keadaan tahun 2007, terdiri dari 21 Kecamatan, terdiri dari: Kecamatan Batauga, Kecamatan Batu Atas, Kecamatan Gu, Kecamatan Kadatua, Kecamatan Kapontori, Kecamatan Lakudo, Kecamatan Lasalimu, Kecamatan Lasalimu Selatan, Kecamatan Mawasangka, Kecamatan Mawasangka Timur, Kecamatan Pasar Wajo, Kecamatan Sampolawa, Kecamatan Siompu, Kecamatan Talaga Raya, Kecamatan Mawasangka Tengah, Kecamatan Sangiawambulu, Kecamatan Siompu Barat, Kecamatan Siontapina, Kecamatan Wolowa, Kecamatan Wabula, Kecamatan Lapandewa. Sebelum pemekaran Wilayah Bombana dan Wakatobi masih masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Buton Jumlah Desa/Kelurahan keadaan tahun 2004 adalah 165 Desa/Kelurahan yang terdiri dari 141 Desa dan 24 Kelurahan. Menurut klasifikasi desa/kelurahan, dari 165 desa/kelurahan di Kabupaten Buton pada tahun 2004 ada sebanyak 144 desa (87,27 %) merupakan desa swadaya dan sisanya 21 desa (12,73 %) merupakan desa swakarya. Sejak terbentuknya Kerajaan Buton yang diperkirakan terjadi pada Abad 9 lalu sampai kemasa Kesultanan, dari segi pemerintahannya sangat dihormati oleh daerah-daerah tetanggga utamanya masyarakat bugis, makassar karena mereka menyadari bahwa hampir sebagian besar pemimpin kerajaan di daerahnya (Sulawesi Selatan) berasal dari keluarga atau Anak Raja Buton. Misalnya saja Raja Bone I yang bernama Watampone (Arungpone) atau putri Lasem saudara perempuan Sibahtera suami Wakaka adalah anak Raden Wijaya dari Majapahit. Kemudian Sawerigading sebagai Raja Luwuk I merupakan anak Raja Buton I dari kerajaan Lasalimu (ada 5 kerajaan kecil di Lasalimu sebelum Wakakaa), selanjutnya Arung Palakka merupakan anak Lakabaura dari ibunya yang bernama ..... yang tak lain adalah saudara kandung Sultan Hasanuddin. Oleh kesultanan Buton, Arung Palakka diberi gelar kehormatan yakni Lakina Holiwombo, gelar politis untuk tetap menjalin persaudaraan antara Buton, Bone, Luwu Dan Gowa. Oleh karena itu setiap pertemuan apapun saja yang diselenggarakan di Kerajaan Gowa, Bone ataupun Luwu, para utusan dari Kerajaan Buton atau Kesultanan Buton sangat disegani dan diberi fasilitas pelayanan plus dibanding dengan utusan dari kerajaan-kerajaan lainnya.
Pada masa setelah kemerdekaan para pemuda pemuda buton yang telah melanjutnya pendidikannya di Makassar rata-rata memiliki kecerdasan dan peradaban yang tinggi sehingga pula mereka disegani dan dihormati diantara sesamanya baik lawan maupun kawan dimana lingkungan sosial mereka berada. Mereka itu terdiri para anak sultan dan pemuka adat sekaligus pada masa itu dianggap sebagai tokoh-tokoh masyarakat buton, antara lain seperti : La Ode Manarfa, La Ode Hadi, La Ode Malim, La Ode Azis, La Ode Maliki, Jaksa Laode Wasiun, Halim dan lain-lain. Oleh karena itu dengan melihat sekilas fenomena ini amatlah jelas sekilas terlihat oleh kita adanya gambaran intensitas perkembangan potensi sumber daya manusia di dalam pemerintahan kesultanan buton sebagai suatu daerah swatantra yang dapat diidentikkan sebagai suatu daerah provinsi pada zamannya maka secara politik berinplikasi munculnya keraguan dikalangan sebagian tokoh-tokoh masyarakat asal sulawesi selatan ketika itu yang ada di sulawesi tenggara dan di Makassar. Sebagai dampak atas keraguan ini seluruh aktivitas kegiatan politik tokoh-tokoh buton yang melanjutkan pendidikannya di Makassar selalu mendapat perlawanan dan dibekukan. Mereka sebagian para tokoh-tokoh masyarakat Bugis dan Makassar sudah bisa melihat prospek kedepan dari segi pertimbangan SDM para tokoh-tokoh buton yang ada di Makassar saat itu sangat berbahaya terhadap kepentingan sulawesi selatan di masa depan terutama ditinjau dari segi peranan kepentingan geo toritorial dan geo politik di Kawasan Timur Indonesia
Oleh karena itu ketika provinsi sulawesi sudah terpecah-pecah menjadi beberapa provinsi dan sulawesi bagian tenggara juga memungkinkan untuk dibentuk menjadi satu provinsi, maka dipertengahan tahun 1963 lalu diajukanlah calon Ibu Kota untuk provinsi tersebut, yakni Kota Kendari dan Kota Bau-Bau. Beberapa bulan kemudian dilanjutkanlah pemilihan Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara di Jakarta. Alhasil jumlah suara yang didapatkan dari hasil pemilihan suara (baca:referendum) diperoleh saat itu 3 suara lebih memilih Ibu Kota berada di Kota Bau-Bau dibanding dengan Kota Kendari sebagai Ibu Kota provinsi Sulawesi Tenggara, sehingga pemimpin sidang memutuskan dan menetapkan bahwa Ibu Kota Provinsi Sultra terdapat di Bau-Bau Buton. Tetapi apa yang terjadi bahwa hasil keputusan pemilihan melalui referendum itu di protes oleh utusan yang mewakili dari tokoh sulawesi selatan yang ada di Kendari dengan tidak mau tanda tangani Berita Acara hasil pemilihan. Adapun para tokoh dimaksud adalah mereka yang terdiri dari para tokoh masyarakat dari unsur beberapa kalangan perwira ABRI dari instansi KODAM XIV Hasanuddin yang bertugas di Sulawesi Tenggara dan akhirnya hasil pemilihan kemudian dianggap gagal dan dimundurkan sampai waktu 6 bulan ke depan. Setelah 6 bulan maka berlangsung kembali pemilihan Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara dan karena ribut utusan dari wakil-wakil tokoh masyarakat yang berasal dari ethnis sulawesi selatan menginginkan pemilihan suara dilakukan secara footing maka akhirnya pelaksanaan pemilihan suara dengan cara footing disetujui oleh pimpinan sidang di DPR RI dan setelah pemungutan suara berlangsung dan kotak suarapun dihitung ternyata dari jumlah 13 orang peserta pemilihan dari asal tokoh sulawesi tenggara 7 orang (tokoh Kendari-Kolaka) memilih Ibu Kota Sultra berada di Kendari dan 5 orang memilih Ibu Kota sultra berada di Bau-Bau. Bisa dibayangkan betapa kecewanya utusan tokoh-tokoh masyarakat buton (Buton-Muna) pada saat itu; tokoh-tokoh masyarakat seperti La Ode Manarfa, La Ode Hadi, Jaksa La Ode wasiun, La Ode azis tak pada menerima rekayasa ini dan akhirnya jaksa La Ode Wasiun stres berat sampai beliau mengibarkan bendera merah putih setengah tiang selama 3 bulan di depan Istana Ilmiah Buton dan mengajak seluruh masyarakat buton untuk segera bentuk dan dirikan ”NEGARA BUTUNI” dan keadaan ini berlangsung dengan penuh ketegangan. Sosok dari seorang Jaksa La Ode Wasiun adalah seorang parametafisis dia tahu bahwa ada kebohongan, ada rekayasa politik orang-orang asal ethnis Bugis/Makassar dan Tolaki dibalik ini. Dia tahu bahwa tokoh-tokoh masyarakat sulawesi selatan tidak menginginkan pulau Buton menjadi basis Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara karena daerah ini berpotensi kedepan menjadi bergaining position pintu gerbang Kawasan Timur Indonesia. Suatu fakta tragedi sejarah yang sangat memilukan hati nurani rakyat buton pada masa itu, sesungguhnya seluruh masyarakat buton hingga anak cucunya saat ini tidak akan pernah melupakan tragedi tersebut dan secara apasteriori perjalanan sejara masa lalu itu telah membuka mata hati para anak-anak negeri buton masa kini dan bagi kita semua bahwa ternyata selama ini telah terjadi pembohongan publik di daerah ini dan dapat dijadikan sebagai suatu sarana motivasi legitimasi politik dalam membentuk suatu peta kekuatan politik atas usaha mencermati perkembangan buton dimasa masa akan datang.
Bahwa kini Kota Kendari dengan keberadaan teluknya yang telah dijadikan sebagai suatu ciri khas kebanggaan dijadikannya sebagai Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara ternyata dari perjalanan waktu ke waktu secara linier tidak menunjukkan adanya indikasi eksistensi tingkat pertumbuhan ekonomi daerah ini yang cukup signifikan.. Jika ditinjau dari aspek Product Domestic Regional Bruto (PDRB) kabupaten buton atau dengan kata lain PDRB yang dihasilkan oleh daerah ini sangat rendah bila dibandingkan dengan PDRB bagi daerah–daerah kebelakang lainnya di Indonesia. Iklim investasi didaerah inipun juga (baca : Kota Kendari dan Sekitarnya) hingga saat ini terkesan lamban karena para investor tak mampu ditunjang oleh suatu kondisi spesifik basic environment yang memadai sekalipun pemerintah daerah sesunguhnya sudah cukup memberikan fasilitas untuk itu.
Secara kontekstual masalah ini dapat dilihat pada elemanya orientasi sistem ”bussines Education” dan ”Cross Functional Application” antara subyek dan obyek lingkup para investor sehingga membuat para investor takut menanamkan sahamnya secara nyata (real asset) di daerah Kota Kendari ini atau mereka takut tak kembali modalnya.
Di lain pihak akselerasi perkembangan tata ruang Kota Kendari dan permukiman juga terkesan lamban karena tidak adanya dukungan akses interkoneksitas lingkungan sosial ekonomi antar kawasan pertumbuhan yang relatif mudah dijangkau. Bahwa kini Kota Kendari dengan kebanggaan teluknya itu yang telah dijadikan sebagai basis Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara ternyata dari perjalanannya hingga saat ini tak dapat menunjukkan secara ambivalen adanya sub sistem pertumbuhan ekonomi yang dapat mempengaruhi laju perkembangan antar daerah dan antar kawasan secara merata dalam wilayah sulawesi tenggara. **** *) Penulis adalah Ketua Umum Lembaga Kabali

Senin, 03 Mei 2010

PELAYARAN NIAGA ORANG BUTON PADA ABAD XX

Oleh : A n w a r

Abstrak: 
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang latarbelakang pelayaran niaga, peta jalur pelayaran niaga abad XX, teknologi navigasi yang digunakan, komoditi perdagangan, dan perkembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Buton. Kategori penelitian adalah historis yang menggunakan pendekatan sosial ekonomi yang dianalisis secara kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, wawancara, pengamatan, dan studi dokumen. Temuan penelitian adalah sebagai berikut. Pertama, pelayaran niaga orang Buton didorong oleh letak geografis yang strategis pada jalur pelayaran, keadaan alam yang tidak mendukung untuk pertanian, dan falsafah hidup yang menjunjung tinggi semangat kebaharian. Kedua, peta jalur pelayaran meliputi segenap pelabuhan di Nusantara dan manca negara. Ketiga, teknologi navigasi berkembang dari sistem tradisional ke sistem modern. Keempat, barang komoditi ekspor meliputi agel, damar, rotan, kopra, teripang, jambu mete, kayu, dan berbagai hasil laut; sedangkan barang komoditi impor adalah keramik, tekstil, dan barang elektronik. Kelima, tingkat kehidupan sosial ekonomi masyarakat Buton sebagai akibat kegiatan pelayaran niaga semakin baik. Kata Kunci: Pelayaran Niaga, Orang Buton, teknologi navigasi, jalur pelayaran, komoditi ekspor dan impor, sosial ekonomi. *) Hasil penelitian dibiayai oleh PSI Lemlit Universitas Terbuka Jakarta 1998 **) Dosen Sejarah pada FKIP Universitas Haluoleo Kendari dan sedang menempuh Program S3 di PPS UPI Bandung. 

PENDAHULUAN 
1.1 Latar Belakang 
Orang Buton (yang meliputi berbagai sub-etnis: Wolio, Wanci, Tomia, Binongko, dan Kulisusu) adalah salah satu suku bangsa di Sulawesi Tenggara yang mendiami Kepulauan Buton dan sekitarnya. Di Kawasan Timur Indonesia, mereka dikenal sebagai masyarakat maritim bersama-sama dengan orang Bugis/Makassar dan Mandar. Oleh karena itu, Zuhdi (1997) menyebutnya BBM: Bugis, Butun (Buton), dan Mandar, ketiganya sebagai suku bangsa maritim. Mereka secara bersama-sama menjelajahi perairan Nusantara bahkan sampai ke luar batas-batas wilayah Nusantara (Ligvoet, 1877; Heeren, 1972), seperti ke Pantai Marege (Australia), Mindanao (Phlipina), Malaysia, Singapura dan bahkan sampai ke Cina (Tamburaka, 1996). Secara faktual peran mereka di bidang pelayaran niaga tidak dapat disangsikan lagi, misalnya di beberapa daerah Nusantara ditemukan pemukiman/kampung Buton di pesisir pantai, seperti: Tanjung Buton di Kepulauan Natuna, di Luwuk Sulawesi Tengah, Ternate, Mindanao/Philipina (Tamburaka, 1996). Pemukiman mereka itu merupakan salah satu indikator kemajuan pelayarannya sejak zaman pra-kolonial, dan mengalami kemunduran selama masa kolonial karena adanya pembatasan dalam beberapa dimensi pelayaran. Atas tingginya dinamika masyarakat Buton untuk mencari nafkah di luar daerahnya, Barlian (1994) membagi mereka atas tiga kategori, yaitu (1) pedagang, (2) pelayar, dan (3) perantau. Ketiganya pada dasarnya adalah pelayar, dan dalam melakukan kegiatannya mereka menggunakan alat transportasi laut. Dengan melihat fenomena pelayaran nampak bahwa orang Buton periode ini memiliki ciri yang berbeda dengan orang Buton periode sebelumnya, dan periode yang yang terakhir mewarnai perkembangan sampai pada akhir abad ke-20. Beberapa variabel yang terkait dengan pelayaran niaga mereka meliputi faktor geografis yang dikelilingi oleh laut, keadaan alam (yang gersang, terletak pada jalur pelayaran niaga, dan falsafah hidup orang Buton tentang pelayaran dan perdagangan; peta jalur pelayaran termasuk pola pemukiman di daerah perantauan, kemampuan teknologi navigasi yang dimiliki seperti pembuatan perahu dan sistem pelayaran; barang komoditi ekspor dan impor, serta perkembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Buton sebagai akibat aktivitas pelayaran yang akhir-akhir ini cenderung mengalami peningkatan. 
1.2 Fokus Penelitian 
Secara operasional fokus penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Apa yang melatarbelakangi pelayaran niaga orang Buton? (2) Bagaimana peta jalur pelayaran niaga orang Buton termasuk peta persebaran dan pola pemukiman orang Buton di luar wilayah Kabupaten Buton baik di wilayah Indonesia, maupun di luar negeri? (3) Bagaimana teknologi navigasi yang digunakan dalam kegiatan pelayaran niaga orang Buton, termasuk jenis dan ukuran perahu? (4) Apa saja barang komoditi perdagangan mereka baik ekspor maupun impor, termasuk sistem perdagangan yang digunakan? (5) Bagimana perkembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Buton sebagai akibat kegiatan pelayaran niaga mereka? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahi perkembangan pelayaran niaga orang Buton pada abad XX. Secara operasional tujuan tersebut adalah untuk mengetahui: (1) latar belakang pelayaran niaga orang Buton, (2) peta jalur pelayaran niaga orang Buton abad XX, (3) teknologi navigasi yang digunakan dalam kegiatan pelayaran, (4) barang komoditi perdagangannya, dan (5) perkembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Buton. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah (1) dari segi teoritis penelitian ini diharapkan dapat mengungkap temuan yang memperkaya literatur sejarah nasional, khususnya dimensi sejarah perekonomian sehingga dapat dijadikan bahan acuan para peneliti selanjutnya yang mengkaji dimensi yang sama. (2) bagi pemerintah Daerah, kiranya dapat mempertimbangkan penelitian ini dalam rangka pembinaan masyarakat pelayar/maritim, dan pengembangan sektor industri dan perdagangan, serta perhubunagn laut yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Buton. 

2. Tinjauan Pustaka  
2.1 Konsep Kemaritiman Indonesia
Istilah maritim dari bahasa Inggris maritime berarti: maritim atau bahari. Dari kata ini kemudian lahir istilah maritime fower yaitu negara maritim atau negara samudera. Konsep maritim dalam penelitian ini adalah segala aktivitas pelayaran dan perniagaan/perdagangan yang berhubungan dengan kelautan atau disebut pelayaran niaga. Pelayaran dapat dikelompokkan dalam dua golongan yaitu (1) pelayaran niaga, (2) pelayaran non niaga. Istilah pelayaran niaga menurt Salim (1994) adalah usaha jasa dalam bidang penyediaan ruangan pada angkutan air atau angkutan laut untuk kepentingan mengangkut muatan penumpang dan barang dagangan dari suatu tempat ke tempat lain. Usaha pelayaran niaga sering disebut commercial shipping, sedangkan perusahaan pelayaran yang mengusahakan kapal disebut shipping company. Pelayaran niaga dibagi atas pelayaran nasional (domestik) dan pelayaran internasional. Pembagian lain yang berdasarkan atas wilayah operasi, terdiri atas: (1) pelayaran rakyat atau dikenal dengan armada semut, (2) pelayaran lokal yaitu tidak lebih radius 200 mil, (3) pelayaran pantai (coastal shipping)atau pelayaran nusantara, dan (4) pelayaran samudera (ocean going shipping). Semangat bahari bangsa Indonesia sudah ada sejak zaman kuno, sehingga lahir istilah "Zaman Bahari" yang sinonim dengan zaman kuno (Poesponegoro, 1984). Kenyataan tersebut akhirnya lahir konsep dari nenek moyang kita "Kuasailah lautan Indonesia sebagai syarat untuk menuju kebesaran bangsa dan negara, kemudian sebagai dasar untuk menguasai pelayaran dan ekonomi dunia" (Wonsonohadi, 1957). Kenyataan tersebut mendapat pengakuan dari Raffles seorang berkebangsaan Inggris menyatakan bangsa Indonesia sebagai pelaut-pelaut yang terlatih dan berpengalaman (Cansil, 1984). Seorang berkebangsaan Inggris lainnya Sir Walther Releigh pada abad ke-16 menyatakan "siapa yang menguasai lautan, dialah yang menguasai kekayaan dunia dan oleh karenanya dia juga menguasai dunia itu" (Poesponegoro, 1984). Kemahiran bangsa Indonesia di laut terdapat di sepanjang sejarah sehingga lahir semboyan Angkatan Laut RI Jalesveva Jayamahe, artinya: di Laut kita jaya (Wonsonohadi, 1957). Sebagai salah satu cara untuk merealisasikan semboyan itu, maka Lowis (1983) menyatakan "Perahu atau kapal telah meningkatkan peranan dalam peristiwa dunia baik pada masa damai maupun perang". Hasil penelitian Anwar (1989) berhasil mengidentifikasi 11 jenis alat transportasi laut tradisional di daerah Kendari. Demikian pula hasil penelitian yang sama menyimpulkan bahwa nama dan bentuk perahu pribumi tersebut telah banyak mendapat pengaruh asing (Persia, Portugis, Belanda, dan Inggris), akan tetapi tidak sedikit pula istilah maritim pribumi yang telah diadopsi oleh bangsa asing termasuk Eropa. Karya Lindbland (1997) tentang situasi perdagangan luar Jawa pada Abad XIX dintaranya menyebut pelayaran niaga orang Bugis dari Makassar ke Singapura dan Malaysia serta beberapa daerah lainnya di Nusantara. Diungkapkan juga peranan Makassar sebagai pusat perdagangan orang Bugis, dan volume perdagangan antara Sulawesi dan Singapura. Pelayaran orang Bugis ini terkait langsung dengan pelayaran orang Buton yang banyak mensuplai komoditi ke Makassar yang selanjutnya dibawa oleh para pelayar Bugis. Demikian pula, peranan Maluku sebagai pusat perdagangan (suplai) rempah-rempah sejak zaman VOC (Purwaka, 1993). Keadaan itu menempatkan Buton sebagai jalur pelayaran sehingga semakin memotivasi orang Buton untuk mengembangkan pelayaran niaga antara Maluku dengan wilayah lain di Nusantara. Pada mulanya saudagar yang berdagang ke negeri seberang menyediakan kapalnya sendiri untuk mengangkut barang dagangannya, juga memimpin sendiri kapalnya atau bertindak sebagai nahkoda (Purba, 1997). Kemudian berkembang seperti sekarang yaitu: (1) pengusaha kapal yang menyediakan jasa transportasi,(2) saudagar yang memanfaatkan jasa transportasi yang disediakan oleh pengusaha kapal, dan (3) nakhoda sebagai pegawai pengusaha kapal, bertugas memimpin kapal dan juga sebagai wakil pengusaha kapal di pelabuhan/kota lain untuk mengurus keperluan kapal. 
2.2 Hasil-Hasil Penelitian Tentang Pelayaran Niaga Indonesia 
Kajian tentang kegiatan pelayaran niaga telah dibahas oleh beberapa orang peneliti, diantaranya karya Lapian (1987) menjelaskan aktivitas bajak laut pada abad ke-19 yang dikatakannya spesifik karena teknik pelayaran pada saat itu mengalami perubahan, kegiatan bajak laut merupakan masalah yang wajar terjadi pada masyarakat maritim. Hal ini terjadi karena memang ada hubungan langsung antara kegiatan bajak laut dengan naiknya konjungtur setempat. Poelinggoman (1991) yang melakukan kajian tentang Proteksi dan Perdagangan Bebas di Makassar pada Awal Abad ke-19, menyebutkan tentang perdagangan laut di Makassar yang terkait dengan kedudukan Makassar sebagai kota pelabuhan terbesar di kawasan timur Indonesia. Makassar menjadi titik temu perdagangan laut antara wilayah barat (Kalimantan, Jawa, Sumatera, Malaka, Asia Selatan, dan Eropa) dengan timur (Maluku dan Irian Jaya) dan utara (Philipina, Jepang, dan Cina) serta wilayah selatan (Nusatenggara dan Australia). Selanjutnya dikatakan, sejak VOC menguasai bandar ini, maka kegiatan perdagangan menunjukkan kecenderungan yang menurun bahkan hingga tahun 1846 sebagai periode kemerosotan hingga mencapai titik kesunyian. Dengan fakta ini Belanda berusaha meningkatkan peran pelabuhan Makassar guna kepentingan kolonialnya. Susanto Zuhdi (1991) dalam Tesisnya membahas tentang Perkembangan Pelabuhan Cilacap Jawa Tengah 1830-1940, yang meliputi kebijakan pemerintah kolonial Belanda, persaingan antarpelabuhan, ekspor-impor, dan penetrasi ekonomi Jepang. Penelitian Edi Sedyawati dkk (1992) tentang Tuban: Kota Pelabuhan di Jalur Sutera, antara lain mengungkapkan kondisi sosiografis dan perkembangannya meliputi kondisi eksternal dan internal, lingkungan fisik, wilayah pantai dan pedalaman, serta hubungan dengan negara-negara lain. Kegiatan perdagangan dan kelompok sosial meliputi pedagang, barang-barang dagangan. Indriyanto (1995) yang mengkaji tentang Pelabuhan Rembang 1820-1900 mengungkapkan tentang tradisi kemaritiman Rembang dan posisi strategis pelabuhan Rembang sejak masa Majapahit sampai 1900-an. Posisi pelabuhan Rembang berada pada salah satu lokasi dalam jaringan perdagangan laut di pantai utara Jawa yang sekaligus menghubungkan dengan pelabuhan-pelabuhan lain di luar Jawa. Sejak dikuasai oleh Belanda pada dasawarsa kedua abad ke-19 sistem pengelolaan berjalan secara sederhana karena kondisi keuangan yang terbatas. Akibat kebijakan politik perdagangan laut yang diterapkan pemerintah kolonial tahun 1859 menyebabkan turunnya nilai ekspor. Bergesernya pintu ekspor-impor di pantai utara Jawa ke pelabuhan-pelabuhan Batavia, Semarang, Surabaya dan Cirebon menyebabkan Rembang hanya sebagai pelabuhan komplemen. Kajian Sulistiyono (1994) tentang "Perkembangan Pelabuhan Cirebon dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Kota Cirebon 1859-1930" mengungkapkan antara lain bahwa perkembangan pelabuhan Cirebon yang terkait dengan berkembangnya ekspor-impor, pertambahan penduduk, dan sempitnya lahan pertanian mengakibatkan sektor pertanian semakin tidak populer dan melahirkan profesi baru di perkotaan yaitu para pedagang dan pelayar yang justru makin populer. Penelitian Anwar (1989) tentang "Teknologi Transportasi Laut Tradisional di Daerah Kendari" antara lain mengungkapkan tentang jenis-jenis perahu dan ukurannya yang digunakan oleh para pelayar yang memasuki pelabuhan di daerah Kendari. Selanjutnya diungkapkan pula suku bangsa termasuk Buton dan jenis barang dagangan yang dibawah oleh para pelayar niaga yang memasuki wilayah Kendari sejak abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Segenap karya sejarawan tersebut belum ada yang secara khusus mengungkapkan tentang pelayaran niaga orang Buton selama periode abad ke-20. Dengan mencermati karya tersebut terlihat bahwa posisi pelayaran niaga orang Buton semakin penting karena posisi geografisnya yang strategis pada jalur pelayaran nusantara dan dunia yang menghubungkan Kawasan Timur Indonesia (Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku dan Irian) dengan kawasan Barat Indonesia (Makassar, Jawa, Kalimantan, dan Sumatera) serta pelayaran dunia yaitu antara India, Malaka, Singapura dengan Philipina dan Australia. Sumber tertulis dan fenomena yang ada dewasa ini menunjukkan bahwa selain suku Bugis/Makassar yang memegang peranan penting dalam pelayaran niaga, maka orang Buton juga dikenal sebagai salah satu suku bangsa yang gemar berlayar dan berdagang dari satu pulau ke pulau lain di Nusantara, seperti diungkapkan Zuhdi (1997) yang mengutip pendapat Fox dan mengajukan suatu konsep akronim BBM (Bugis, Butun, Mandar). Ia menyatakan bahwa ketiga suku bangsa itu memiliki peran yang cukup besar dalam pelayaran niaga di Kawasan Timur Indonesia. Negarakertagama (1365) menyebut Buton dalam satu rangkaian dengan Makassar, Banggai dan pulau-pulau lain di bagian timur sebagai daerah yang sudah berhubungan dengan Majapahit (Zuhdi, 1994). Sumber tertua tentang pelayaran niaga orang Buton menyatakan bahwa pada awal abad ke-10 sampai ke-13 Kerajaan Butun (Buton) di timur laut Mindanao telah mempunyai hubungan dagang dengan Cina, Campa, dan Borneo (Zuhdi, 1997). Selanjutnya, sumber lain menunjukkan bahwa perdagangan keramik pada abad ke-10 melalui perairan timur Sulawesi terus ke selatan ke Selat Buton atau Selat Tiworo menuju Sulawesi Selatan (Zuhdi, 1997). Berdasarkan berbagai sumber tersebut, maka cukup beralasan untuk menggali lebih jauh tentang salah satu sisi sejarah kemaritiman orang Buton khususnya pelayaran niaga dalam abad terakhir ini yang merupakan suatu efisode sejarah yang masih dapat menyajikan fakta otentik tentang berbagai dimensi pelayaran niaga orang Buton, baik di daerah asalnya maupun di luar wilayah administratif Kabupaten Buton, bahkan sampai ke luar batas administratif wilayah negara Republik Indonesia. 

3. Metode Penelitian 
3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian 
Penelitian ini merupakan penelitian sejarah yang menggunakan pendekatan sosial ekonomi dan bersifat kualitatif. Karenanya, fokus kajiannya banyak mengadopsi istilah dan konsep sosial ekonomi. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 1998. 
3.2 Teknik Pengumpulan Data 
Pengumpulan data dilakukan dalam 4 cara, yaitu (1) studi kepustakaan, (2) wawancara dengan para pelaku pelayaran niaga dan pejabat yang terkait dengan pelayaran dan perdagangan, (3) pengamatan, dan (4) studi dokumen.
3.3 Teknik Analisis Data 
Untuk memperoleh data yang akurat, maka peneliti membuat catatan lapangan yang selanjutnya disederhanakan/disempurnakan dan diberi kode data dan masalah. Pengkodean data dilakukan berdasarkan hasil kritik yang dilakukan, data yang sesuai dipisahkan dengan kode tertentu dari data yang tidak sesuai dengan masalah penelitian atau data yang diragukan kebenarannya. Data yang diperoleh selanjutnya diuji secara triangulasi metode, peneliti, dan sumber data (Patton, 1980). Oleh karena itu, peran pembantu peneliti dimanfaatkan khususnya dalam melakukan triangulasi peneliti atau pencarian sumber-sumber sejarah. Setelah dilakukan uji triangulasi, selanjutnya dibuatlah analisis secara kualitatif model Spradley (1980) yaitu analisis domain, analisis taksonomi, dan analisis komponensial dengan membuat penggolongan dan periodisasi data secara sistematis. Sebagai tahap akhir ialah pembuatan laporan atau kisah sejarah. 
4. Hasil Penelitian 
4.1 Latar Belakang Pelayaran Niaga Orang Buton 
4.1.1 Faktor Geografis Wilayah Buton (Kabupaten Buton Sekarang) 
meliputi sebagain kecil Jaziran Tenggara Pulau Sulawesi Kawasan Selatan Pulau Buton, Kawasan Selatan Pulau Muna, Pulau Kabaena, gugusan pulau kecil yang tersebar di kawasan barat dan timur Pulau Buton. Wilayah ini berada pada posisi astronomi antara 4,30 derajat Lintang Selatan dan 6 derajat Lintang Selatan, dan atau antara 120,30 Bujur Timur dan 125 Bujur Timur (Anonim, 1997). Berdasarkan posisi georafis dan astronomi tersebut, maka wilayah Buton ini berada pada jalur pelayaran dan perdagangan Nusantara serta mancanegara, yang menghubungkan antara kawasan barat dan timur Nusantara, dan antara Benua Asia (Asia Tenggara dan Selatan) dengan Benua Australia dan Oceania. Posisi ini telah berlangsung lama sejak abad ke-16 saat awal berkembangnya perdagangan rempah-rempah di Maluku yang menjadi komoditi perdagangan internasional. Kemudian wilayah Wakatobi (Buton Kepulauan) juga menjadi salah satu pusat produksi rempah-rempat (cengkeh dan pala). Hal tersebut ditandai dengan adanya istilah "timpu pala" dalam periode yang sama. 
4.1.2 Keadaan Alam 
Sebagian besar wilayah daratan Kepulauan Buton merupakan daerah berbukit. Permukaan tanah umumnya berbatu-batu, dengan profil tanah yang agak dangkal. Luas perairan sebesar 47.727 M2, dengan berbagai jenis kekayaan laut berupa ikan, teripang, japing-japing, lola, agar-agar, dan berbagai hasil laut lainnya merupakan daya dorong penduduknya untuk memanfaatkan laut dalam memenuhi kehidupannya.
4.1.3 Falsafah Hidup Orang Buton Tentang Pelayaran dan Perdagangan 
Bagi sebagian orang Buton pelayaran merupakan suatu kebutuhan, karena mereka hidup dikelilingi oleh laut yaitu sebagian besar penduduk Kabupaten Buton bermukim di pulau-pulau kecil atau di pesisir pantai. Mereka sejak kecil telah bersahabat dengan lingkungannya yaitu perairan, sehingga masyarakat memusatkan perhatiannya kepada pelayaran niaga. Semangat kebaharian orang Buton tercermin dari motto yang merupakan falsafah hidup berlayar dalam Bahasa Kulisusu berbunyi "Key tekaarakoako pangaawa, hinamo imoiko betobansule mpendua" yang artinya "kalau layar sudah terkembang, maka tidak baik untuk kembali sebelum tiba di tempat tujuan." Keberanian Orang Buton berlayar diakui oleh orang Bugis yang juga dikenal sebagai pelayar ulung di Kawasan Timur Nusantara ini. Salah seorang informan (Pelayar Bugis) menyatakan bahwa para pelayar Buton berani berlayar tanpa modal uang, setelah sampai di wilayah orang, perahunya di dok kemudian mereka mencari modal dengan jalan berkebun (memetik bunga cengkeh dan mengolah minyak kayu putih di Ambon), mengolah kelapa menjadi kopra, dan mengolah kayu dan rotan di Maluku, lalu menjadi nelayan; hasil inilah kemudian dijadikan modal/muatan perahu. Demikian pula dalam pelayaran, mereka dapat berlayar dalam waktu lama, karena perbekalan mereka dapat tahan lama seperti "kasoami", "kengku" (makanan pokok/khas mereka), dan jagung. Pelayaran niaga orang Buton bukan hanya dilakukan oleh para pemuda dan orang tua, tetapi hampir merata untuk segenap lapisan masyarakat termasuk pemuda/remaja yang masih duduk di bangku sekolah/perguruan tinggi, dan pegawai negeri. 4.2 Peta Pelayaran Niaga dan Pola Pemukiman Orang Buton 
Peta jalur pelayaran orang Buton dapat digolongkan pada empat arah angin, yaitu barat, timur, utara, dan selatan. Pertama, pelayaran menuju barat dari Kepulauan Buton kemudian menyusuri Selat Selayar menuju Selat Madura hingga tiba di pelabuhan Gresik atau Probolinggo, dan selanjutnya ada yang terus menuju Singapura, Johor, Pulau Pinang di Malaysia Barat. Dalam pelayaran keluar negeri mereka menggunakan perahu soppe. Memasuki negara asing itu umumnya dilakukan dengan cara ilegal. Pelayaran ke Cina diungkapkan oleh seorang nahkoda yang pernah berlayar ke Cina selama 12 kali pelayaran dan oleh informan lain yang merupakan salah seorang "sawinya" (ABK) yang mengaku telah melakukan pelayaran ke Cina sebanyak 8 kali pelayaran. Mereka menggunakan perahu layar tanpa mesin, melalui rute dari Buton-Selat Selayar-Selat Karimata-Laut Cina Selatan dengan menyusuri Pesisir Timur Semenanjung Malaysia-Pesisir Timur Thailand, menyeberangi Teluk Siam, ke Pesisir Selatan Kamboja, menyusuri pesisir Timur Vietnam-Hongkong sampai ke daratan Cina (Kanton, Shanghai dan menyusuri sungai sampai di Peking). Di Negeri Cina mereka tinggal selama 4-6 bulan bekerja di perkebunan kapas sambil menunggu angin utara untuk kembali ke Buton dengan rute seperti tersebut atau melalui rute Cina-Kepulauan Jepang-Kepulauan Philipina-Laut Sulawesi-Kepulaun Maluku/Pesisir Timur Sulawesi-sampai kembali di Buton. Kedua, pelayaran menuju timur ke Maluku, Irian Jaya, dan Kepulauan Pasifik seperti ke Negara Palau. Pelayaran menuju kawasan ini dimulai dari Kepulauan Buton melalui Kepulauan Maluku, Irian Jaya, Papua Nugini, dan beberapa negara di Kawasan Pasifik Selatan seperti Kepulauan Palau, Samoa, dan Kaledonia Baru. Ketiga, pelayaran menuju utara ke Sulawesi Tengah (Banggai dan Toli-Toli), Sulawesi Utara (Gorontalo, Bitung, dan Manado), sebagian diantara mereka langsung ke Malaysia Timur melalui Tarakan, Nunukan (Kalimantan Timur), ke Kalimantan Utara melalui Sabah (Tawau, Lahaddatuk, dan Sandakan), sampai ke Brunai Darussalam. Di beberapa wilayah ditemukan pemukiman etnis Buton termasuk di dalamnya suku Muna. Mereka bekerja dalam berbagai sektor kehidupan bahkan diantara mereka telah ada yang menjadi warga negara Malaysia. Sebagian lagi menuju ke Philipina Selatan melalui Kepulauan Sulawesi Utara dan Maluku. Keempat, pelayaran menuju ke selatan melalui rute Kepulauan Buton, Flores, Solor, Sumbawa, Kupang, Dili, dan bahkan diantara mereka tidak sedikit melakukan pelayaran sampai ke perairan Benua Ausralia atau dipantai Utara Benua Australia. Pola jaringan pelayaran resmi dari dan ke Bau-Bau sebagai pelabuhan utama di daerah Buton, pada akhir abad ke-20 ini tergambar dalam Tabel 1 berikut. Tabel 1 Pola Jaringan Angkutan Laut Dalam/Luar Negeri dari Pelabuhan Bau-Bau Tahun 1997 No. Jaringan Tujuan 1. Antar Pulau di Propinsi Sulawesi Tenggara a. Bau-Bau - Wanci - Tomia - Kaledupa - Binongko b. Bau-Bau - Raha – Kendari c. Bau-Bau - Kabaena d. Bau-Bau - Kasipute e. Bau-Bau – Boepinang 2. Antar Pulau di Luar Propinsi a. Bau-Bau - Maluku b. Bau-Bau - Irian Jaya c. Bau-Bau - Sulawesi Tengah d. Bau-Bau - Sulawesi Utara e. Bau-Bau - Sulawesi Selatan f.. Bau-Bau - Jawa Timur g. Bau-Bau - Jakarta h. Bau-Bau - Riau - Sumut i. Bau-Bau - NTB - Bali j. Bau-Bau - NTT - Timtim 3. Antar Negara a a. Bau-Bau - Davao (Philipina) Sumber: Kantor Pelabuhan Bau-Bau 1997 Pola pemukiman mereka umumnya tidak jauh dari pelabuhan, dan hidup berdampingan dengan pemukiman orang Bugis/Makassar. Mereka bermukim dengan sistem koloni yaitu pola pemukiman berkelompok sesuai dengan etnisnya, tidak berbaur secara bebas dengan penduduk etnik lainnya. Tetapi mereka dapat hidup berdampingan dengan koloni (perkampungan) Orang Bugis/Makassar. Ini dapat diterima karena kedua etnik ini memiliki persamaan latar belakang sosial ekonomi yaitu sistem mata pencaharian sebagai pelayar/nelayan dan pedagang. 
4.3 Teknologi Navigasi 
4.3.1 Teknologi Navigasi yang Digunakan 
Para pelayar Buton sebelum ditemukannya menggunakan tanda-tanda alam dan perasaan. Tanda-tanda alam tersebut antara lain adalah bentuk awan, keadaan langit, warna dan jenis air laut, pantulan sinar matahari atau cahaya bulan, letak bintang di langit, hembusan angin, letak pulau, gunung, tanjung, teluk, dan selat. Dengan intuisi mereka dapat mengetahui jika akan ada bahaya yang mengancam. Inilah yang dijadikan sebagai pengganti kompas dalam pelayaran mereka. Pelayar Buton (Suku Tomia) mengenal istilah "pilotase" yaitu seorang navigator dapat memperhitungkan posisinya cukup dengan melihat berbagai tanda alam yang tampak di darat, "rawe" yaitu kotoran di laut, dan kabut di udara. Seorang navigator dapat melakukan perhitungan deduksi dengan melihat kedudukan matahari, bulan, dan bintang. Perkembangan pelayaran niaga orang Buton sejalan dengan ditemukannya teknik berlayar "opal pabelo" (bahasa Tomia) atau "apala" (bahasa Kulisusu) yang sebelumnya hanya dikenal teknik berlayar "bangunturu" (bahasa Tomia) atau "pasamba" (bahasa Kulisusu) dan teknik "peletanga" (bahasa Tomia). "Bangunturu/pasamba" adalah teknik berlayar lurus yaitu arah angin datang dari belakang. "Peletanga" pelayaran dengan posisi menyilang dan membentuk sudut antara 90-180 derajat. Berlayar "pabelo/apala" (opal) adalah teknik berlayar bersiku-siku sampai di tempat tujuan. Dalam teknik "apala" ini diperlukan keahlian dalam mengarahkan haluan sebab arah angin datang hampir dari muka (membentuk sudut antara 0-90 derajat). Demikian pula penggunaan pompa untuk mengeluarkan air dari dalam perahu yang sebelumnya digunakan "timba" ("kalobi" dari bahasa Tomia dari tempurung kelapa atau dari "hollu" sebagai wadah penyimpanan air), peralatan tali temali yang semula dari sabut kelapa berubah menjadi tali plastik dan kawat. Perubahan bahan layar yang sebelumnya terbuat dari "agel" yang disebut "karoro" berubah menjadi bahan dari kain dan nilon. Jangkar kayu/batu berubah menjadi jangkar besi. Dikenal pula aturan pelayaran niaga yang dalam etnis Kaledupa disebut "Te Atoro Nulangkea" (Aturan Pelayaran). Ada kecenderungan perahu layar orang Buton tidak dicat sebagaimana halnya perahu layar suku bangsa lainnya. Fenomena ini merupakan ciri khas perahu layar orang Buton yang dapat dikenali dari jauh. Akan tetapi sampai penelitian ini berakhir belum ditemukan alasan secara pasti motif yang menyebabkan mereka tidak memberi cat pada perahunya, kecuali pada akhir abad XX khususnya pada tahun 1980-an mereka mulai memberikan cat perahunya dalam berbagai motif warna. 
4.3.2 Jenis Perahu/Kapal Pada awal abad XX 
perahu para pelayar niaga orang Buton umumnya jenis "koli-koli", "jarangka", "pajala", "soppe", dan "Lambo". Pada tahun 1960-an muncul jenis kapal yang disebut "palari" yang diadopsi dari jenis perahu Bugis/Makasaar. Jenis perahu ini memiliki kapasitas angkut 80 ton ke atas. Kehadiran jenis perahu ini lebih mendinamiskan perkembangan teknologi pembuatan perahu di Buton sehingga lahir jenis "pajala" bertiang dua yang memakai layar pembantu di bagian depan yang berbentuk segi tiga yang disebut "jipu" (layar jip). Pada periode yang sama muncul pula jenis kapal "nade" yang bersal dari Sumatera. Bentuknya mirip dengan "lambo", hanya bentuk layarnya yang berbeda. Dalam perkembangannya, mereka cenderung mengubah bentuk layar "lambo" menjadi" layar "nade" karena lebih praktis, yaitu hanya memakai satu tiang layar tanpa ada yang membentang di atas yang disebut "cangking". Kapasitas angkut dan organisasi personilnya sama dengan yang di "lambo". Perkembangan bentuk badan perahu dari semula model "wangka panta kadera" (buritannya seperti bentuk kursi yang bersiku) kemudian lahirnya inovasi model "wangka panta bebe" (buritannya bentuk ekor bebek), kemudian terakhir lahir "panta sekoci". Perubahan ini dimaksudkan untuk mempermudah pemasangan mesin perahu/kapal. Pada tahun 1974 mulailah diperkenalkan perahu layar yang bertenaga mesin (PLM). Secara umum jumlah dan jenis sarana transportasi laut di Daerah Tk. II Buton dapat dirinci seperti tergambar dalam Tabel 2. Tabel 2 Banyakanya Kendaraan Laut menurut Jenisnya Tahun 1994-1996 No. Jenis Kendaraan Laut 1994 1995 1996 1. Kapal Penangkap Ikan 93 143 193 2. Kapal Motor 222 250 77 3. Perahu Lambo Bermotor 151 190 71 4. Perahu Lambo Tidak Bermotor 432 399 71 5. Perahu Layar Motor 248 222 13 6. Jarangka 1.303 1.195 53 7. Soppe 614 613 54 8. Jonson 222 140 58 9. Speed Boat 17 8 9 10. Sampan 6.745 6.919 7.500 11. Pincara 2 33 5 12. Katinting 201 Jumlah 10.049 10.112 10.004 Sumber: Kabupaten Buton Dalam Angka, 1996 Tabel tersebut menunjukkan bahwa alat transportasi yang merupakan inovasi seperti kapal motor dan kapal penangkap ikan mengalami peningkatan, sebaliknya alat transportasi yang bersifat tradisional seperti perahu lambo tidak bermotor mengalami penurunan. 
4.3.3 Tempat Pembuatan Perahu/Kapal 
Umumnya pembuatan perahu dilakukan di daerah Buton sendiri yaitu pada daerah-daerah sekitar pelabuhan tepatnya pada lokasi satker-satker sekarang ini. Bahan baku perahu yang tersedia di daerah Buton sendiri berupa kayu bitti, bintangor, dan kayu lain yang tahan dengan air laut. Tentang pengadaan perahu, pada mulanya para tukanglah yang memilih dan mengadakan kayu untuk bahan baku, namun dalam perkembangan terakhir perahu tersebut dapat dipesan kepada pengolah kayu yang umumnya telah menyiapkan khusus untuk kebutuhan ini. Para tukang/pembuat perahu selain ada di darat juga ada yang di laut yang bernama "juragang". Tidak sedikit "juragang" yang memiliki fungsi ganda, yaitu selain dapat menjalankan perahu juga dapat membuat dan memelihara perahu. Bahkan "juragang" juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai dukun karena umumnya mereka ini memiliki berbagai pengetahuan dan pengalaman yang bersifat mistik-religius. 

4.4 Barang Komoditi 
4.4.1 Barang Komoditi Ekspor 
Barang komoditi ekspor yang dibawa oleh para pelayar niaga Buton adalah rotan, damar, agel, kopra, cengkeh, pala, teripang, dan berbagai hasil laut lainnya. Komoditas rotan, damar, kopra, cengkeh, pala, kulit binatang, dan teripang diekspor ke Singapura dan Malaysia, sedangkan ke Cina diekspor agel dan teripang. Sejak tahun 1926 dimulai perdagangan kopra, cengkeh, dan pala dari Kepulauan Maluku ke kawasan Barat Nusantara sampai ke Singapura dan Malaysia. Pada mulanya perdagangan tersebut mendapat rintangan dari pemerintah Belanda, karena keuntungannya berlipat ganda sehingga para pelayar harus melakukan pelayaran secara ilegal khususnya ke Singapura dan Malaysia. Fenomena tersebut berlanjut sampai akhir abad XX ini, di mana para pelayar niaga orang Buton tetap melakukan pelayaran niaga ke Singapura, Malaysia, Philipina, dan Australia serta wilayah Pasifik lainnya. 
4.4.2 Barang Komoditi Impor 
Pada wal abad XX barang komoditi impor dari mancanegara masih terbatas pada keramik dan tekstil. Kemudian pada pertengahan abad XX meningkat baik volume maupun jenis barang termasuk berbagai jenis elektronik. Keramik (guci, mangkuk, dan piring) didatangkan dari Cina dan Thailand yang ditukar/imbal beli dengan agel dan kopra. Hal ini berlangsung sampai pertengahan abad XX. Elektronik, tekstil yang lebih dikenal dengan akronim RB (Rombengan) didatangkan dari Singapura dan Malaysia (Johor, Pulau Penang, dan Tawau di Sabah) secara ilegal. Barang-barang komoditi impor dijual di wilayah Buton, Kendari, Muna, Sulawesi Tengah, Maluku, Irian Jaya, Nusa Tenggara Timur, dan Timor-Timur. 
4.5 Perekembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Buton 
Akibat Pelayaran Niaga Hasil keuntungan yang diperoleh dari usaha pelayaran ini cukup memuaskan, sehingga mengakibatkan meningkatnya taraf hidup masyarakat pelayar di daerah Buton. Hal ini ditandai dengan banyaknya putra-putri mereka yang merantau untuk sekolah baik di Kendari, Ujung Pandang dan berbagai kota di Pulau Jawa, bahkan ke luar negeri, seperti Singapura dan Malaysia. Dewasa ini diantara generasi muda (putra-putri) pelayar ini telah banyak yang memegang posisi penting dalam pemerintahan dan dunia usaha. Data Statitik Kabupaten Buton (1996) menunjukkan bahwa sub-sektor transportasi laut memberikan sumbangan terhadap PDRB Kabupaten Buton rata-rata 1,33%, suatu angka yang tidak kecil jika dibanding dengan berbagai sub-sektor usaha lainnya. Indikator tersebut membuktikan bahwa perkembangan pelayaran niaga orang Buton berpengaruh terhadap kehidupan sosialnya yang diperkuat dengan data statistik tentang peningkatan jenis alat transportasi laut ke arah yang lebih modern dan kapasitas muatan yang semakin meningkat. Demikian pula arus bongkar muat barang dari berbagai pelabuhan satker yang mengalami peningkatan. 

5. Kesimpulan 
Pelayaran niaga orang Buton didorong oleh letak geografis yang strategis pada jalur pelayaran dan perdagangan nusantara dan internasional, keadaan alam yang berbukit dan berbatu sehingga kurang mendukung untuk pertanian, dan falsafah hidup mereka yang menjunjung tinggi semangat kebaharian. Peta jalur pelayaran meliputi segenap pelabuhan di Nusantara dan manca negara seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Cina (Kanton, Shanghai, dan Peking), dan Philipina Selatan. Pelayaran untuk penangkapan hasil laut mencapai perairan Australia dan negara-negara Oceania. Persebaran orang Buton ditemukan hampir di setiap pelabuhan tersebut. Barang komoditi ekspor pada mulanya terbatas pada agel, damar, rotan, kopra, dan teripang; kemudian berkembang ke jambu mete, kayu, dan berbagai hasil laut. Sedangkan barang komoditi impor adalah keramik dan tekstil, kemudian berkembang ke berbagai jenis barang elektronik termasuk mesin kapal dan sepeda motor. Perkembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Buton sebagai akibat kegiatan pelayaran niaga terlihat dari sumbangan sub-sektor transportasi laut dalam PDRB Kabupaten Buton sebesar 1,33% dan peningkatan jumlah dan volume perahu/kapal yang menjadi milik orang Buton.