OLEH LA ODE IDA
Acara silaturahmi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan
insan pers (Senin malam, 13/2/2012) sebenarnya menjadi salah satu agenda
menarik dari istana, yang niscaya dinantikan oleh sebagian besar
masyarakat bangsa ini, apalagi dengan agenda membahas masalah-masalah
aktual. Namun demikian, penulis menduga, tak sedikit publik bangsa ini
(khususnya yang sempat menonton siaran langsungnya media media
elektronik) merasa kecewa lantaran yang disaksikan bagaikan talk show biasa seperti halnya kerap dipertontonkan oleh para pengamat sosial, politik, hukum dan ekonomi.
Presiden SBY hanyalah menjawab sejumlah pertanyaan dengan
mengulasnya. Pernjelasannya dalam menjawab pertanyaan wartan tampak
sangat miskin dengan konsep strategis dan arahan kebijakan dari seorang
Pimpinan Negara besar pilihan rakyat, dengan secara efektif memanfaatkan
media massa untuk meyakinkan publik tentang agenda konkret dengan
agenda aksi yang pasti dan terukur untuk satu tahun ke depan atau bahkan
hingga berakhir kepemimpinannya.
Apalagi terkait dengan pemberantasan korupsi, justru menimbulkan
sikap pesimismenya. Karena ia mengakui berat dan sulitnya mewujudkan
pemerintahan yang bersih itu. Tidak berlebihan kiranya kalau dikatakan
bahwa Presiden SBY tampak sekali sebagai “tidak berdaya” untuk
merealisasikan janji kampanyenya, seraya pasrah dengan kondisi yang
terjerat dan terpenjara oleh jaringan koruptor dan mafia – di mana
sebagian di antaranya masih bersarang dalam parpol yang didirikan dan
dibinanya. Tepatnya, ia tampak pasrah dan bahkan lepas tangan dari para
oknum pejabat dan politisi yang terlibat skandal korupsi/mafia anggaran,
seraya berlindung di balik argumen sebagai negara hukum – dengan
menyerahkan semuanya pada mekanisme dan proses hukum yang berlaku.
Kecenderungan seperti ini sungguh memprihatinkan, karena merupakan
ekspresi ketak mampuan dalam mewujudkan janji kampanye untuk
menyelesaikan masalah mendasar di bangsa ini. Ini bisa berdampak negatif
dalam kaitan dengan semangat dan upaya pemberantasan korupsi. Mengapa?
Pertama, posisi dan sikap pasrah dan
pesimisme dari Presiden SBY itu jelas merupakan bagian dari energi bagi:
(1) kalangan koruptor dan mafia di negeri ini, baik yang sudah
terindikasi dan tengah diproses secara hukum maupun dengan bebas terus
melakukan aksinya hingga saat ini, karena toh akan dengan gampang
memperoleh dispensasi atau bahkan dilindungi oleh para penegak hukum dan
atau oleh kekuasaan. Dan (2) kalangan pembantu dan atau aparat
pemerintahannya mulai dari pusat hingga ke daerah merasa nyaman-nyaman
saja karena menganggap apa yang dilakukan selama ini “sudah memuaskan
Bos Tertinggi”.
Apa yang mau dikatakan di sini, bahwa sikap dan pernyataan Presiden
SBY itu merupakan bagian dari pembiaran praktik korupsi dan
bentuk-bentuk permafiaan yang terus menggerogoti berbagai sumberdaya di
negara yang kaya raya ini. Padahal, dan ini menjadi kewajiban
fundamental penyelenggara negara, adalah harus selalu kreatif dan penuh
inisiatif mengupayakan berbagai strategi jitu sehingga bisa menjadikan
seluruh lini pemerintahannya bersih alias bebas dari praktik korupsi.
Dan sebaliknya, bila buntu menemukan jalan keluar maka sama halnya
dengan menyatakan diri sebagai ‘tidak mampu lagi menjadi pimpinan
penyelenggara negara’.
Kedua, menyerahkannya pada proses hukum
semata sama halnya dengan terus membiarkan para penegak hukum untuk
menjalankan tugas dalam praktik yang normal (business as usual).
Padahal kita semua tahu, sebagaimana biasanya, para koruptor dan
mafialah yang selalu diuntungkan apabila proses hukum biasa itu
dilakukan. Maklum, ‘kantong alias dompet’ dari para penegak hukum masih
terbuka untuk diisi oleh para penjahat itu dengan berbagai cara atau
modusnya. Karena pastilah mereka akan selalu berupaya untuk meringankan
atau bahkan membebaskan diri dari jeratan huku
Ini artinya, untuk mewujudkan janji pemberantasan korupsi dan mafia
di negeri ini, tak akan mempan lagi dengan hanya menyerahkannya kepada
penegak hukum. Diperlukan kebijakan, langkah dan tindakan khusus dari
pimpinan negara untuk secara pasti meniadakan atau mengurangi berbagai
praktik kotor itu, dengan secara langsung memberi pelajaran berefek jera
pada para pelakunya – karena mereka-mereka itulah yang menjadi bagian
dari perusak moralitas masyarakat bangsa ini.
Apalagi di era terakhir pemerintahannya yang seharusnya dimanfaatkan untuk membuahkan hasil monumental sebagai warisan (legacy)
yang bisa selalu dikenang rakyat bangsa ini di kemudian hari
–membuktikan janjinya sebagai pemimpin terdepan pemberantasan korupsi di
negeri. Dan, kalau sungguh-sungguh mau, itu semua bisa diwujudkannya,
karena ia diposisikan sebagai pengambil kebijakan tertinggi dengan
segala instrumen canggih yang dimiliki.
Ketiga, masyarakat juga menjadi pesimis dan
skeptis terhadap upaya pemberantasan korupsi dan mafia di paruh
terakhir masa pemerintahan SBY ini. Bagaimana mungkin rakyat bisa
optimis, Presiden sendiri sudah cenderung menunjukkan sikap pasrah
dengan kondisi korupsi yang demikian menggurita ini. Bukankah kita semua
menyadari bahwa posisi pimpinan di dalam masyarakat yang paternalistik
seperti di Indonesia sangat penting perannya dalam mememberi semangat
kepada rakyatnya untuk secara bersama melawan kejahatan?
Di sinilah penting untuk selalu mengingatkan para pejabat negara
apalagi sekelas Presiden, untuk selalu sadar memposisikan dirinya
sebagai perangsang optimisme publik, untuk tidak putus asa dalam
menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini.
Sumber : http://www.facebook.com/groups/beritawakatobi/386047168089388/?notif_t=group_activity
Sumber : http://www.facebook.com/groups/beritawakatobi/386047168089388/?notif_t=group_activity