Opinion Peblika

Opinion Peblika
Suasana Foto Galian Tanah Tambang C Tanpa Melalui SRKL dan AMDAL di Wakatobi

Sabtu, 03 Maret 2012

PESIMISME PEMBERANTASAN KORUPSI

OLEH LA ODE IDA


Acara silaturahmi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan insan pers (Senin malam, 13/2/2012) sebenarnya menjadi salah satu agenda menarik dari istana, yang niscaya dinantikan oleh sebagian besar masyarakat bangsa ini, apalagi dengan agenda membahas masalah-masalah aktual. Namun demikian, penulis menduga,  tak sedikit publik bangsa ini (khususnya yang sempat menonton siaran langsungnya media media elektronik) merasa kecewa lantaran yang disaksikan bagaikan talk show biasa seperti halnya kerap dipertontonkan oleh para pengamat sosial, politik, hukum dan ekonomi.

Presiden SBY hanyalah menjawab sejumlah pertanyaan dengan mengulasnya. Pernjelasannya dalam menjawab pertanyaan wartan tampak sangat miskin dengan konsep strategis dan arahan kebijakan dari seorang Pimpinan Negara besar pilihan rakyat, dengan secara efektif memanfaatkan media massa untuk meyakinkan publik tentang agenda konkret dengan agenda aksi yang pasti dan terukur untuk satu tahun ke depan atau bahkan hingga berakhir kepemimpinannya.

Apalagi terkait dengan pemberantasan korupsi, justru menimbulkan sikap pesimismenya. Karena ia mengakui berat dan sulitnya mewujudkan pemerintahan yang bersih itu. Tidak berlebihan kiranya kalau dikatakan bahwa Presiden SBY tampak sekali sebagai “tidak berdaya” untuk merealisasikan janji kampanyenya, seraya pasrah dengan kondisi yang terjerat dan terpenjara oleh jaringan koruptor dan mafia – di mana sebagian di antaranya masih bersarang dalam parpol yang didirikan dan dibinanya. Tepatnya, ia tampak pasrah dan bahkan lepas tangan dari para oknum pejabat dan politisi yang terlibat skandal korupsi/mafia anggaran, seraya berlindung di balik argumen sebagai negara hukum – dengan menyerahkan semuanya pada mekanisme dan proses hukum yang berlaku.

Kecenderungan seperti ini sungguh memprihatinkan, karena merupakan ekspresi ketak mampuan dalam mewujudkan janji kampanye untuk menyelesaikan masalah mendasar di bangsa ini. Ini bisa berdampak negatif dalam kaitan dengan semangat dan upaya pemberantasan korupsi. Mengapa?

Pertama, posisi dan sikap pasrah dan pesimisme dari Presiden SBY itu jelas merupakan bagian dari energi bagi:  (1) kalangan koruptor dan mafia di negeri ini, baik yang sudah terindikasi dan tengah diproses secara hukum maupun  dengan bebas terus melakukan aksinya hingga saat ini, karena toh akan dengan gampang memperoleh dispensasi atau bahkan dilindungi oleh para penegak hukum dan atau oleh kekuasaan. Dan (2)  kalangan pembantu dan atau aparat pemerintahannya mulai dari pusat hingga ke daerah merasa nyaman-nyaman saja karena menganggap apa yang dilakukan selama ini “sudah memuaskan Bos Tertinggi”.

Apa yang mau dikatakan di sini, bahwa sikap dan pernyataan Presiden SBY itu merupakan bagian dari pembiaran praktik korupsi dan bentuk-bentuk permafiaan yang terus menggerogoti berbagai sumberdaya di negara yang kaya raya ini. Padahal, dan ini menjadi kewajiban fundamental penyelenggara negara,  adalah harus selalu kreatif dan penuh inisiatif mengupayakan berbagai strategi jitu sehingga bisa menjadikan seluruh lini pemerintahannya bersih alias bebas dari praktik korupsi. Dan sebaliknya, bila buntu menemukan jalan keluar maka sama halnya dengan menyatakan diri sebagai ‘tidak mampu lagi menjadi pimpinan penyelenggara negara’.

Kedua, menyerahkannya pada proses hukum semata sama halnya dengan terus membiarkan para penegak hukum untuk menjalankan tugas dalam praktik yang normal (business as usual). Padahal kita semua tahu, sebagaimana biasanya, para koruptor dan mafialah yang selalu diuntungkan apabila proses hukum  biasa itu dilakukan. Maklum, ‘kantong alias dompet’ dari para penegak hukum masih terbuka untuk diisi oleh para penjahat itu dengan berbagai cara atau modusnya. Karena pastilah mereka akan selalu berupaya untuk meringankan atau bahkan membebaskan diri dari jeratan huku

Ini artinya, untuk mewujudkan janji pemberantasan korupsi dan mafia di negeri ini, tak akan mempan lagi dengan hanya menyerahkannya kepada penegak hukum. Diperlukan kebijakan, langkah dan tindakan khusus dari pimpinan negara untuk secara pasti meniadakan atau mengurangi berbagai praktik kotor itu, dengan secara langsung memberi pelajaran berefek jera pada para pelakunya – karena mereka-mereka itulah yang menjadi bagian dari perusak moralitas masyarakat bangsa ini.

Apalagi di era terakhir pemerintahannya yang seharusnya dimanfaatkan untuk membuahkan hasil monumental sebagai warisan (legacy) yang bisa selalu dikenang rakyat bangsa ini di kemudian hari –membuktikan janjinya sebagai pemimpin terdepan pemberantasan korupsi di negeri. Dan, kalau sungguh-sungguh mau, itu semua bisa diwujudkannya, karena ia diposisikan sebagai pengambil kebijakan tertinggi dengan segala instrumen canggih yang dimiliki.

Ketiga, masyarakat juga menjadi pesimis dan skeptis terhadap upaya pemberantasan korupsi dan mafia di paruh terakhir masa pemerintahan SBY ini. Bagaimana mungkin rakyat bisa optimis, Presiden sendiri sudah cenderung menunjukkan sikap pasrah dengan kondisi korupsi yang demikian menggurita ini. Bukankah kita semua menyadari bahwa posisi pimpinan di dalam masyarakat yang paternalistik seperti di Indonesia sangat penting perannya dalam mememberi semangat kepada rakyatnya untuk secara bersama melawan kejahatan?

Di sinilah penting untuk selalu mengingatkan para pejabat negara apalagi sekelas Presiden, untuk selalu sadar memposisikan dirinya sebagai perangsang optimisme publik, untuk tidak putus asa dalam menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini.

Sumber : http://www.facebook.com/groups/beritawakatobi/386047168089388/?notif_t=group_activity