Opinion Peblika

Opinion Peblika
Suasana Foto Galian Tanah Tambang C Tanpa Melalui SRKL dan AMDAL di Wakatobi

Minggu, 20 Desember 2009

MENGENANG SAAT-SAAT REVISI PEMPINAN DPD PARTAI GOLKAR SULAWESI TENGGARA (Oleh Ali Habiu)

Tak pelak lagi kini sebagian besar pengurus maupun simpatisan Partai Golongan Karya Sulawesi Tenggara sangat kecewa dengan tidak berhasilnya para jargon-jargon kadernya yang diusung beberapa waktu lalu sebagai calon Bupati, Wali Kota maupun Gubernur ke ajang Pilkada tidak bisa memenangkan pemilihan tersebut, padahal mereka para calon adalah pigur pilihan dan sudah didukung oleh kekuatan penuh mesin politik Golkar namun tokh juga gagal. Hal ini yang menjadi kontroversial semua pihak baik kader maupun pengurus; “sebetulnya ada apa ini”!. Sulawesi Tenggara ketika masa Orde Baru dikenal sebagai lumbungnya Golkar dan setiap pelaksanaan pemilihan umum selalu memenangkan dengan pemilih mayoritas, kini para kader terpaksa harus menelan kekecewaan yang amat besar atas tidak berhasilnya para calon kepala daerah dari utusan Golkar untuk memenangkan pemilihan kepala daerah yang ditengarai telah berlangsung selama lima tahun belakangan ini. Dalam konteks publik hal ini mestinya patut dipertanyakan ada apa sebetulnya yang terjadi dilevel pengurus DPD-I Partai Golkar ini ditingkat provinsi !?. Apakah memang program konsolidasi organisasi kesemua pelosok di daerah ini tidak pernah berjalan efektif atau adakah konflik internal organisasi dilevel pengurus provinsi sebagai soko guru DPD-II, ataukah memang ketua DPD-I partai ini bukan sejatinya kader Golkar (baca: kader yang mengakar rohnya Golkar) sehingga dia tidak mengerti betul konstelasi organisasi kegolkaran baik secara teoritik, kontekstual maupun substansial sehingga roda organisasi tidak bisa dijalankan dengan baik?. Atau apa memang betul ketua DPD-I Golkar saat ini memang tidak pernah memiliki jam terbang yang cukup dalam memimpin organisasi kekaderan, organisasi kemasyarakatan dan semacamnya atau organisasi politik selama masa hidupnya.! . Hal ini publik kader Golkar Sultra mempertanyakan secara serius, sebab dizaman reformasi saat ini tantangan Partai Golkar semakin kompleks dengan banyaknya saingan-saingan secara militansif muncul berasal dari partai lain, sehingga memang pimpinan DPD-I Golkar di daerah ini harusnya dipegang oleh seseorang asal kader yang betul-betul jiwanya sudah menyatu rohnya Golkar, memiliki loyalitas dan integritas yang tinggi tehadap organisasi, punya dedikasi, disiplin dan professionalisme yang pernah dibuktikan dengan berbagai tingkat penjejangan kader yang dimiliki oleh orang tersebut baik lokal, regional  maupun nasional,  serta lamanya jam terbang dipengurusan dan adanya pengakuan dari pihak lain. Jika seorang pimpinan DPD-I Partai Golkar Sultra tidak memiliki kreteria tersebut, maka jangan banyak bermimpi akan mampu menjalankan roda organisasi dengan baik dan ada baiknya kuburkanlah mimpi-mimpi indah itu, sebab bila dipaksakan maka postulat sudah dapat dipastikan akan membawa “runtuhnya eksistensi organisasi ini dihari-hari akan datang “
Secara konseptual teoritik ada beberapa pendekatan kepemimpinan untuk menjadi renungan bagi para pemimpin organisasi Golkar, misalnya seperti yang dikemukakan oleh Salusu (2003) dalam studi kepemimpinan pada umumnya dikenal ada empat pendekatan, yakni : (1). Pendekatan sifat kepemimpinan. Dalam pendekatan ini dibahas tentang sifat-sifat yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin, dimana yang membedakannya dengan bukan pemimpin. Pendekatan ini mencoba menerangkan sifat-sifat yang membuat seseorang berhasil. Pendekatan ini bertolak dari asumsi bahwa individu merupakan pusat kepemimpinan. Dalam pendekatan sifat, terdapat sifat-sifat tertentu, seperti kekuatan fisik atau keramahan yang esensial pada kepemimpinannya yang efektif. Hal ini dapat diukur dengan membandingkan orang yang tampil sebagai pemimpin dengan yang tidak menjadi pemimpin. Kemudian dapat juga dibandingkan sifat pemimpin efektif dan yang tidak efektif. Ternyata kedua pendekatan itu, para peneliti gagal untuk menyimpulkan mana sifat yang jelas berkaitan dengan kepemimpinan yang sukses, (2).pendekatan gaya kepemimpinan. Terdapat tiga katagori kepemimpinan seperti yang dikembangkan oleh Gatto (1992) yaitu gaya direktif, gaya konsultatif, gaya partisifatif dan gaya delegasi. Pada Gaya Direktif pada umumnya ketika organisasi membuat keputusan-keputusan penting pemimpin banyak terlibat dalam pelaksanaannya. Suatu keputusan terpusat pada pemimpin dan sedikit saja kebebasan pengurus untuk berkreasi dan bertindak walau telah diizinkan. Gaya Konsultatif, gaya yang dibangun di atas gaya direktif, kurang otoriter dan lebih banyak berkonsultasi, memberikan bimbingan, motivasi, memberi nasihat kepada pengurus dalam rangka mencapai tujuan.  Gaya Partisifatif bertolak dari gaya konsultatif yang bisa berkembang kearah saling percaya antara pemimpin dan bawahan.  Pemimpin cenderung memberi kepercayaan pada kemampuan anggota pengurus untuk menyelesaikan pekerjaan sebagai tanggungjawab mereka. Pemimpin banyak memberi kepercayaan kepada pengurus untuk proses pengambilan keputusan, Gaya Delegasi, yaitu gaya yang mendorong kemampuan pengurus untuk mengambil inisiatif. Kurang kontrol pimpinan disini sehingga gaya ini bisa berjalan apabila pengurus dapat memperlihatkan kompetensi untuk mengejar tujuan organisasi. (3).pendekatan situasional kepemimpin. Dalam pendekatan ini, para peneliti ternyata menemukan bahwa faktor-faktor determinan yang dapat membuat efektif suatu gaya kepemimpinan sangat bervariasi tergantung pada situasi dimana pemimpin itu berada dan pada keperibadian pemimpin itu sendiri. Sasaran umum tidak satupun gaya yang efektif untuk semua situasi. Penelitian menjelaskan bahwa tidak ada satu gaya kepemimpinan yang terbaik. Oleh karena itu disarankan pemimpin harus dapat merubah gaya kepemimpinannya sesuai dengan situasi, serta (4).pendekatan fungsional kepemimpinan. Disini lebih ditekankan kepada prilaku pemimpin, bahwa sesuatu prilaku pemimpin dapat memberi sumbangan pada pencapaian tujuan kelompok, jika prilakunya buruk maka tujuan yang akan dicapai buruk atau gagal demikian sebaliknya.
Berdasarkan gambaran teoritis kepemimpinan di atas maka dapat disimpulkan bahwa berhasil tidaknya organisasi sangat tergantung dari keperibadian seorang pemimpin apakah memiliki sifat baik atau sifat buruk, dan sejauhmana pemimpin mempercayai bawahannya mau berkonsultasi dan menerima pendapat bawahan serta tidak otoriter artinya tidak sekehendak hati untuk main hakim sendiri dengan memecat para pengurus yang tidak sejalan alur pikirnya tanpa melalui proses persuasi, motivasi dan edukasi (pembinaan kader) dan musyawarah. 
Pada hari selasa 25 Maret 2008, Harian Kendari Ekspres pada halaman depan telah memuat deadline “Musdalub Harga Mati”. Disini Ridwan sebagai tokoh Golkar Sultra yang sudah terbina/teruji kekaderannya selama 20 tahunan belakangan ini yang mana kariernya dioraganisasi ini dimulai dirintis dari tahun 1990-an dengan menduduki pengurus biro kepemudaan DPD-I Golkar Sultra bersama kawan-kawan dari 9 DPD-II Golkar, antara lain : Muna, Konsel, Konawe, Kolut, Kota Kendari, Bombana dan tokoh-tokoh papan atas DPD-I Golkar Sultra menggegas untuk segera diadakannya Musyawarah Daerah Luar Biasa (Musdalub) sebagai harga mati dalam rekstrukturisasi kepengurusan    DPD-I Golkar Sultra. Adapun alasan  Ridwan Cs diadakannya Musdalub DPD-I Golkar Sultra yang termuat dalam deadline tersebut adalah bahwa mereka merasakan selama Ali Mazi memimpin Partai Golkar Sultra berdasarkan realitas nyaris tak ada prestasi yang menguntungkan Partai Golkar. Menurut Ridwan Cs, Pelaksanaan Musdalub Golkar telah diatur dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) partai, yakni apabila terdapat  2/3 dari jumlah pengurus DPD-II Golkar Sultra menghendaki pelaksanaan Musdalub, maka telah memenuhi syarat atau qorum organisasi, sehingga secara organisatoris Musdalub mesti dilaksanakan. Hendaknya sdr. Ali Mazi yang nota bene dalam konteks opini publik yang telah tersebar di daerah ini dilansir sebagai orang yang telah banyak berpengalaman dibidang organisasi maka disarankan sebagai pimpinan yang baik dan professional mestinya tawaran ini dapat diterima dengan lapang dada dan mau bersaing secara jentelmen, mengingat bahwa pada dasarnya kepengursan Partai Golkar ialah kepengurusan kolektif bukan individual dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Disinilah akan diuji kabar ketenaran anda apakah memang benar anda ahli dalam berorganisasi atau tidak alias hanya kabar burung saja alias indoktrinasi politik yang sengaja dibangun dan dihembuskan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk mempengaruhi opini ruang publik para kader Golkar sultra.  Saya sebagai pemerhati Partai Golkar sangat prihatin melihat tak henti-hentinya terjadi kontroversial di tubuh Partai Gokar Sultra diera kepimpinan Ali Mazi sehingga hal ini pula penyebab munculnya deadlock antara pengurus DPD-I dan DPD-II yang saat ini kian memanas dan berkepanjangan. Semua pertikaian ini diharapkan mesti segera diakhiri----tentu tidak melalui kompromian, melainkan melalui pilihan jalan terbaik sesuai amanah AD dan ART Partai Golkar, yakni lakukanlah reformasi kepengurusan melalui wadah Musyawarah Luar Biasa itu. Siapapun pimpinan DPD-I Golkar Sultra yang kelak diperoleh dari hasil Musdalub ini, maka perlu diberi dukungan dan rasa hormat karena dia itulah pemimpin terbaik dalam membawah biduk organisasi ini kedepan. Tidak tertutup kemungkinan bisa saja secara aklamasi atau melalui voting Bung Ali Mazi terpilih kembali menjadi ketua DPD-I Golkar Sultra dan kondisi ini tentu akan makin memperkuat posisi Ali Mazi sebagai pribadi dalam mencalonkan diri sebagai Anggota DPR RI atau lainnya.   Oleh karena langkah kearah Musdalub itu tidak segampang membalik telapak tangan sebab premis, secara apriori yang terjadi ditubuh Golkar saat ini adalah “I”etat c’est moi”, maka perlu keberanian semua pihak untuk menggagas Musdalub ini sampai betul-betul bisa terlaksana sesuai peraturan organisasi yakni dengan menegakan secara konsisten amanah AD dan ART Golkar. Dalam konteks gagasan ini, timbul pertanyaan publik; “Perlukah DPD-I Golkar Sultra mereformasi kepengurusan melalui Musdalub”?!. Dan sebagai jawabnya, premis itu tergantung dari kemauan semua ketua DPD-II Golkar seSultra sejauhmana secara fungsionaris dapat menilai pimpinannya saat ini secara obyektif apakah mampu dia menjalankan roda organisasi kepartaian atau tidak mampu. Wallahu Alam…***

Selasa, 15 Desember 2009

PERBANDINGAN ANTARA PANDANGAN SOROS, FRANCIS FUKUYAMA DAN DANAH ZOHAR - IAN MARSHALL : "KAPITALISME PADA AKHIRNYA MEMILIKI MORAL DAN ETIKA"


 Soros dalam buku “Open Society : Reforming Global Capitalism” (2000) masih tetap berpendapat bahwa Kapitalisme dewasa ini sedang dalam masa krisis, karena dia tengah membahayakan masyarakat terbuka.  Namun demikian dalam praktek Soros sebagai seorang Sosialis menilai Kapitalisme itu didasarkaan dalam teori lain yang dianut, yakni tentang “Open Society” (Masyarakat Terbuka) yang dia pahami dari ajaran Karl Popper ketika dia masih menjadi Mahasiswa di “London School of Economics” di inggeris tahun 1952.   Soros dalam penilaiannya bahwa praktek Kapitalisme telah mencipatakan suatu jenis “Masyarakat Tertutup” yang diindikasikan semacam Masyarakat Komunis atau Masyarakat Fasisme. Masyarakat ini menurut ajaran Karl Popper adalah sebagai “Musuh-Musuh Kapitalisme”. Jadinya sesungguhnya Kapitalisme saat ini telah memasukan ajaran kontra produktif dari ajaran murni Kapitalisme.
Pemikiran Soros dalam bukunya ini telah menuai kontroversial dibanyak kalangan, sehingga dirasa perlu ditelaah untuk mendapat penjelasan konkret.
         Judul lengkap dari buku Soros ini mengandung makna bahwa Kapilalisme yang berada dalam krisis itu telah membahayakan “Masyarakat Terbuka” atau “Open Society”. Disini Soros punya dua orientasi, yakni “Kapitalisme” dan “Masyarakat Terbuka”. Istilah “Open Society” itu bukanlah berasal dari Soros melainkan berasal dari guru intelektual Soros yakni Karl Popper yang telah mengarang buku sebelumnya yang berjudul  “Open Society and Its Enemies” (1969) yang menyoal “Masyarakat Terbuka” dan musuh-musuhnya.
         Soros dalam bukunya “Open Society : Reforming Global Capitalism, sedang melihat bahwa  Kapitalisme global dewasa ini dalam keadaan krisis. Tapi pandangan pokok yang ditemukan Soros adalah bahwa Kapitalisme sekarang ini yakni Kapitalisme yang didasarkan pada pandangan fundamentalisme pasar (market fundamentalism) yang didukung oleh prinsip “Laissez Faire” yang didasarkan pada Filsafat Individualisme dan Darwinisme Sosial. Intinya ialah teori “The Survival of The Fittest” merupakan ideologi dan praktek yang membahayakan Masyarakat Terbuka,
         Soros menginginkan agar Kapitalisme itu dalam fenomena krisis terbuka harus segera diakhiri agar tercipta Masyarakat Terbuka yang ideal Soros.  Soros menginginkan agar Kapitalisme itu merupakan Kapitalisme Masyarakat Terbuka yang sejalan (kompatibel) dengan demokrasi. Jadi bagi Soros, Masyarakat Terbuka yang di kutif dari teori Karl Popper itu adalah merupakan gagasan primer, sedangkan Kapitalisme merupakan gagasan sekunder. Soros mengangap bahwa Kapitalisme yang benar dan otentik memang bisa menyumbang terhadap Masyarakat Terbuka------tetapi idealisme Soros menginginkan terbentuknya masyarakat kapitalis yang sejati. Sebab sistem Masyarakat Terbuka itu bersifat menggairahkan ,mau berkembang dan cenderung kepada kondisi yang lebih makmur. Sementara itu bagi Soros melihatnya bahwa Kapitalisme saat ini merupakan “ideologi pasar radikal” yang kenyataannya menimbulkan banyak persoalan bagi Masyarakat Terbuka------hal ini Soros mau meluruskannya.
         Soros melihat Kapitalisme sekarang ini sudah “salah kaprah” justru Soros melihatnya sebagai perkembangan akhir.   Soros ternyata seorang spekulator ekonomi dalam pasar uang dan pasar modal. Sebagai spekulator dia sangat diuntungkan oleh Kapitalisme, bahkan oleh kelamahan Kapitalisme itu sendiri yang tidak mampu menciptakan stabilitas moneter di dunia yang membuatnya berada diantara deretan orang terkaya di dunia. Dengan kekayaan lebih US $10 Milyar kekayaan ini mampu diraihnya hanya dalam tempo 10 tahun melalui dua perusahaannya yakni “Soros Management Fund” dan “Quantum Fund Management” dia mampu meraih keuantungan 4000%.
Sebagai spekulator dia sangat diuntungkan oleh Kapitalisme  bahkan oleh kelemahan Kapitalisme itu sendiri yang tak mampu menciptakan stabil;itas moneter di tingkat dunia. Tetapi dibalik keberhasilan dengan memanfaat-kan momentum itu dia juga menghujat sistem Kapitalisme itu secara habis-habisan, sehngga dia banyak manuai kritikan dari para liberal kapitalis itu sendiri, yang mana dia dianggap sebagai orang munafik.
         Soros dalam pemaparannya mengklaim bahwa terdapat ciri persamaan antara “Kapitalisme Laissez Faire” dan “Komunisme atau Nazisme”. Iapun menulis bahwa : “Walaupun doktrin Laissez Faire tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Masyarakat Terbuka atau “Open Society” sebagamana ajaran Marxisme - Linimisme, namun kedua doktrin itu punya ciri penting yang sama yakni kesemuanya mencari pembenaran atas klaim mereka dengan berdasarkan dalil-dalil atau imbauan ilmu pengetahuan.. Soros mengatakan bahwa ketika pembenaran akhir sudah melampauai jangkauan kemanusiaan, maka ideologi itu harus mencari pemecahannya melalui pemaksaan visi meraka kepada masyarakat.
Soros juga sering melakukan praktek-praktek bisnis yang melanggar etika bisnis bahkan melangggar hukum. Pada tahun 1997 ketika terjadi krisis moneter di Asia Tenggara, mulai dari Thailand dan menjalar ke Malaisya, Indonesia dan Korea Selatan. Perdana Menteri Muhathir Muhammad menuduh Soros sebagai biang keladi krisis ini yang dilakukan oleh Quantum Fundation Soros, tetapi Soros mengklaim bahwa krisis yang terjadi di kawasan Asis Tenggara itu akibat dari kelemahan dalam sistem moneter Negara-negara itu sendiri.
        Soros menganggap bahwa Kapitalisme Laissez Faire sebagai musuh Masyarakat Terbuka..!? Bukankah Masyarakat Terbuka itu sebagai aspirasi liberalisme yang memuja kebebasan individu.
        Soros mengatakan bahwa setelah runtuhnya komunis dan fasisme maka yang muncul sebagai Masyarakat Terbuka ialah ideologi kanan ektrim.
        Soros dalam meyankinkan kebenaran tentang teorinya yang disebut “Reflexivity” mengenai kebenaran yang harus ditemukan lewat Masyarakat Terbuka, dia mengembangkan melalui epistemologis tersendiri yang digalinya dari pandangan Kapitalisme Laissez Faire
Reflesivitas adalah epistemologis yang menjelaskan relasi antara fakta kebenaran dan realita yakni proses pemahaman melalui mekanisme feed back
Teori reflesivitas dikemukakan sehubungan dengan metodologi pemaha-man gejala ekonomi yang oleh para ahli pemikir ekonomi disamakan saja dengan gejalan alam dalam ilmu-ilmu alam (natural sciences)
Atas dasar epistemologis itu, Soros mengkritik prinsip-prinsip individu-alisme yang memiliki eksesif dalam perekonomian Laissez Faire.
Soros percaya bahwa keberan akhir itu tidak mungkin bisa dicapai karena pengetahuan  manusia itu terbatas. Sehingga pemahamam manusiapun tidak sempurna.   Akan tetapi pandangan manusia akan menjadi lebih baik dan mendekati kebenaran jika mereka saling tukar menukar pemahaman untuk diuji keabsahannya.
 Soros menyimpulkan bahwa perselingkuhan antara gagasan Laissez Faire, Darwinisme Sosial dan Realisme Geopolitik yang dianut oleh Negara Amerika Serikat (Bush) dan Inggeris (Tony Blair) merupakan hambatan bagi terbentuknya masyarakat terbuka. Menurut Karl Popper, dulu Komunisme dan Nazisme merupakan musuh bebuyutan masyarakat terbuka dan menurut murid Kalr Popper yakni George Soros mengatakan bahwa justru ideologi Laissez Faire yang telah menggantikan dua ideologi sebelumnnya yakni Komunis dan Nazisme sebagai musuh masyarakat terbuka.
Soros melihat bahwa Kapitalisme memang berada dalam krisis, Tetapi konsep Masyarakat Terbuka (Open Society) menjanjikan perbaikan dan reformasi Ketidaksempurnaan dapat diperbaiki asalkan didasari dan diakui. Perbaikan itu dapat dilakukan melalui proses trial and error, mengingat adanya keterbatasan manusia dan ketidaksempurnaan manusia dalam menggapai kebenaran akhir.   Oleh karena iru kebebasan berpendapat dan perbendaan pendapat harus diberi peluang untuk melakukan koreksi, karena koreksi akan mengarah kepada perbaikan.
   Dengan melihat pandangan-pandangan itu, Soros cenderung kealiran Sosialis. Tapi sebenarnya dia adalah seorang Liberal dan Prodemokrasi Dia juga sangat mengesankan sebagai seorang fasifis, tetapi sebenarnya Soros adalah seorang liberal, tetapi dia juga bukan penganut aliran neo-liberal sebagaimana senangnya kepada ideologi fundamentalisme pasar.
  Soros sebenarnya berminat kepada filsafat dan menemukan guru intelektualnya pada Karl Popper. Tetapi untuk mendukung kiprahya dibidang filsafat itu, ia merasa butuh banyak uang yang kemudian dicarinya lewat bursa Wall Street New York, sampai ia mampu memiliki kekayaan lebih US $ 10 milyar, walaupun sebagian kekayaannya itu disumbangkan kepada gerakan filantropi.
   Dengan kemampuan kekayaan begitu besar Soros mampu membiayai idealismenya untuk menciptakan suatu “Masyarakat Terbuka” (Open Society) ditingkat global dengan membentuk lembaga-lembaga filantropi, seperti : “Open Society Institute” dan “National Soros Foundation”. Kiprahnya dibidang filantropi dengan sebuah konsep idealisme menjadikannya Soros terkenal dan memperoleh nama baik, walaupun sesungguhnya dia adalah seorang spekulator yang kerjanya dapat disamakan dengan “perampokan” yang mampu memanfaatkan kelemahan-kelemahan sistem pasar yang dikritiknya sendiri.
  Yang menjadi masalah bagi Soros adalah kapitalisme Laissez Faire telah menyebabkan banyak kesalahan-kesalahan yang menimbulkan banyak masalah bagi masyarakat, lingkungan hidup dan kemananan dunia. Kapitalisme Laissez Faire sebagai suatu realitas telah menjadi momok yang mengancam kehadiran masyarakat terbuka. Nilai dari pandangan Soros ini ialah bahwa krisis Kapitalisme Global itu pada akhirnya ditulis oleh pendukung Kapitalsme itu sendiri yang menginginkan suatu perubahan.
   Soros percaya bahwa kita semua mampu menciptakan suatu Masyarakat Terbuka secara Global atau Open Society for Global selangkah demi selangkah demi untuk kepentingan perekonomian masyarakat dunia.
Perlu diacungkan seribu jempol buat Soros, mengingat keberanian dia dalam mengkritisi Kapitalisme, padahal sesunggguhnya dia adalah seorang Liberal, Praktisi Kapitalis, Pro Demokrasi dan Pelaku Kapitalisme
itu sendiri-------walaupun semua orang menuduhnya sebagai seorang munafik.
 Bila Soros berpendapat bahwa Kapitalisme dewasa ini sedang dalam masa krisis, karena dia tengah membahayakan masyarakat terbuka karena dia menilainya bahwa praktek Kapitalisme telah menciptakan suatu jenis “Masyarakat Tertutup” yang diindikasikan semacam Masyarakat Komunis atau Masyarakat Fasisme-----yang menurut Karl Popper adalah sebagai “Musuh-Musuh Kapitalisme”, dimana Kapitalisme saat ini telah memasukan ajaran kontra produktif dari ajaran murni Kapitalisme. Dan pemikiran Soros ini telah menuai kontroversial dibanyak kalangan, sehingga dirasa perlu ditelaah untuk mendapat penjelasan konkret.
Maka Bagi Francis Fukuyama dalam bukunya ; “The Great Disruption” : Human Nature and Rereconstitution of Social Order (1999), melihat bahwa masyarakat Kapitalis moderen lebih banyak menguras modal sosial dari pada penghasilannya. Dia melihat bahwa saat ini jangkauan kepercayaan antara manusia semakin sempit, kejahatan semakin merajalela, ikatan keluarga semakin longgar.  Selain itu dia melihat bahwa akibat dari Kapitalisme bagi negara-negara maju saat ini telah menghambur-hamburkan modal sosial masing-masing tetapi mereka tidak mampu membangunnya kembali.  Hal ini menunjukkan bahwa saat ini masyarakat ditakdirkan semakin kaya dari sisi materi, tetapi semakin miskin dari sisi moral seiring dengan perkembangan waktu.
Dia melihat bahwa Guncangan Besar “The Great Disruption” tidak secara otomatis akan memulihkan dirinya sendiri, yang mana masyarakat harus menyadari bahwa kehidupan berkelompok telah pudar dan cara manusia bertingkah laku akan merusak dirinya sendiri
Dia mengatakan bahwa pandangan ahli ekonomi seperti misalnya Albert Hirschman, menyebutkan bahwa sudah banyak sekali pemikiran yang saling bertentangan mengenai apakah meluasnya Kapitalisme moderen yang didorong oleh tekhnologi dapat menguntungkan atau merugikan bagi kehidupan moral ?, sementara para pemikir masa lampau melihat bahwa persediaan modal sosial dapat dibentuk dengan perekonomian bertekhnologi paling moderen.  Kapitalisme memperkuat proses ini ; dengan meletakkan kepentingan pribadi di atas kewajiban moral dan dengan terus menghasilkan penemuan baru yang mengganti satu tekhnologi dengan tekhnologi baru. Kapitalisme telah menghancurkan ikatan-ikatan sosial yang telah dibangun selama berabad-abad dalam masyarakat manusia dan tidak menyiapkan apapaun kecuali kepentingan pribadi sebagai perekat masyarakat.
Francis Fukuyama melihat bahwa masyarakat moderen tidak benar-benar tercerai berai, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Soros. Tapi semata-mata karena hidup di atas sejenis modal sosial dari masa lampau yang dihabiskannya tapi tidak pernah diganti. Penentu proses kemunduran ini adalah sekularisasi dunia karena jika agama merupakan sumber utama bagi tindakan moral, maka menurunnya peran agama ditengah-tengah modernisasi dunia berarti berakhirnya tatanan sosial.
Dia mengatakan bahwa terlepas dari kenyataan bahwa Kapitalisme belum runtuh atau mengikis dirinya sendiri. Kita dapat menerima kenyataan bahwa Kapitalisme sering merupakan kekuatan yang menghancurkan dan mengguncang, memecah belah loyalitas dan kewajiban menurut adat istiadat. Namun Kapitalisme juga menciptakan ketertiban dan mengembangkan norma-norma baru sebagai penganti norma-norma yang telah dihancurkannya. Bahkan, ada kemungkinan besar bahwa Kapita-lisme adalah penghasil norma-norma yang berguna dan kerana itu dia merupakan sebuah kekuatan moral dalam masyarakat moderen.
Francis Fukuyama pada akhirnya menyimpulkan bahwa, kita saat ini sebaiknya mengambil posisi ditengah-tengah-------bahwa kemajuan Kapi-talisme secara serentak memperbaiki prilaku moral sekaligus juga  mencederai prilaku moral . Peralihan dari hasrat ke kepentingan pribadi bukanlah hasil bersih, Masyarakat yang ditimbulkan oleh masyarakat Kapitalis menyangkut hubungan moral tidaklah terletak pada hakikat pertukaran ekonomi itu sendiri. Tetapi masalahnya terletak pada tekhnologi dan perubahan tekhnologi. Kapitalisme demikian dinamis, menjadi sumber kehancuran kreatif, sehingga terus-menerus mengubah makna pertukaran dalam masyarakat manusia. Hal ini berlaku baik bagi pertukaran ekonomi maupun pertukaran modal dan merupakan sumber guncangan besar.
Lain halnya bagi Danah Zohar dan Ian Marshall dalam bukunya :  “Spritual Capital “: Wealth We Can By Using Our Rational, Emotional An Spritual Intelligence To Transform Ourselves And  Corporate (2004), mengemukakan bahwa  Spritual Capital merupakan komponen utama dari Kapitalisme yang berkelanjutan dan merupakan komponen dari kelestarian individu-individu dari organisasi yang berfungsi dalam sebuah masyarakat yang terbuka dan kapitalis. Spritual Capital memperlihatkan kepada semua orang bahwa bagaimana mereka bisa mengakses, menarik dan menanamkan makna dan nilai terdalam dalam hidup, keluarga, komunitas dalam organisasi mereka untuk menjamin keberlanjutan.  Akan tetapi karena Kapitalisme tradisional  bersipat bebas nilai dan tidak memiliki dimensi moral, maka kaum skeptis mungkin merasa ragu-ragu apakah sistem Spritual Capital itu masih tetap akan merupakan Kapitalisme jika kita menambahkan komponen tersebut didalamnnya. Dia menanyakan bahwa tidakkah masyarakat Kapitalis memiliki nilai-nilai dalam kepedulian moral bagi masyarakat yang lebih luas akan membatasi kebebasan dan fleksibilitas yang demikian vital bagi esensi Kapitalisme itu sendiri dan bagi sebuah masyarakat terbuka.
Danah Zohar dan Ian Marshall melihat bahwa usaha-usaha pada masa silam utuk mengontrol, mengatasi atau mengganti Kapitalisme yang semuanya termotivasi oleh hasrat untuk membatasi akses-aksesnya dan membuatnya lebih bertanggungjwawab secara sosial, tidak menawarkan hasil-hasil yang membesarkan hati. Marxisme, Sosialisme, Keynesialisme dan jalan ketiga eropah telah gagal menyaingi dinanisme dan kemampuan menciptakan kekayaan materil  yang dimiliki Kapitalisme pasar bebas. Cita-cita sosial yang menyertai konsep-konsep itu, dalam beberapa kasus membatasi kebebasan individu dan organisasi yang sangat diperlukan bagi masyarakat terbuga (Open Society).  Namun Danah Zohar dan Ian Marshall melihat terdapat penyebab yang sangat mencolok dari kegagalan-kegagalan ini, yakni konsep ini gagal memahami hakekat sistem dan ekonomi masyarakat terbuka (Open Society), dan upaya-upaya melakukan perbaikan oleh sistem-sistem itu ternyata telah mendatangkan kerusakan pada sistem yang ingin diperbaiki itu. Dia melihat bahwa konsep-konsep yang ditawarkan oleh para ahli ekonomi tidak sanggup memperbaiki kerusakan moral manusia.
Danah Zohar dan Ian Marshall mengatakan bahwa argumentasi Spritual Capital memiliki, peran vital dalam Kapitalisme yang berkelanjutan adalah berdasarkan pernyataan bahwa sebuah masukan berupa nilai dan hati nurani merupakan unsur yang wajib bagi terwujudnya kemampuan mengatur diri dari sistem manusiawi yang berkelanjutan. Spritual Capital merupakan nilai-nilai yang sangat transpersonal  yang menghasilkan sikap dan kecerdasan spiritual sehingga Spritual Capital begitu vital bagi keberlanjutan individu, organisasi dan masyarakat terbuka.
Dia mengatakan bahwa Spritual Capital mampu memperbaiki moralitas manusia karena Spritual Capital adalah sejenis ukuran kecerdasan yang mencakup kesadaran akan tujuan dan pandangan bersama mengenai hal yang paling berarti dalam hidup manusia, yakni memanfaatkan sumber-sumber daya dalam jiwa manusia.
Danah Zohar dan Ian Marshall mendukung upaya untuk mencapai keuntungan bisnis dengan mengembangkan Spritual Quontient (SQ) yang memungkinkan bisnis untuk beroperasi sebagai suatu sistem adaptif kompleks dalam jangka panjang dan visioner pada lingkungan yang mudah berubah, karena Para pemimpin harus terlebih dahulu mengenal inner voice-nya yakni panggilan spiritual yang paling dalam dalam misi pribadinya dalam hidup ini untuk mengiformasikan kepada orang lain supaya dapat juga orang lain tersebut mengenal inner voice-nya, sehingga seseorang dapat berhasil dalam dunia usahanya. Karena menurut Dia bahwa bisnis bukan sekedar sebagai sarana mencari keuntungan tetapi melainkan juga sebagai bentuk ibadah dan pelayanan kepada sesama manusia. Paradigma ini akan melahirkan individu yang akan memiliki Spritual Commitment yang mana orang-orang ini akan menemukan keindahan di saat mereka bekerja, karena Spritual Capital memberikan kerangka moral dan motivasi.  Perusahaan yang memiliki Spritual Capital adalah perusahaan yang menempatkan tujuan dan strategi mereka dalam konteks makna dan nilai yang lebih luas, mawas diri, terbimbing nilai dan visi, memiliki kesadaran holisme yang tinggi, peduli pada lingkungan interal dan eksternal perusahaan, menghargai keragaman sudut pandang, berani tampil, selalu berpikir positif dalam situasi buruk apapun, mengembangkan kerendahatian dan penuh dedikasi terhadap kemanusiaan.
Dengan demikian Danah Zohar dan Ian Marshall dalam teorinya tentang Spritual Capital (SC) terlah menjawab keragu-raguan Soros dalam melihat perkembangan Kapitalisme dewasa ini sedang dalam masa krisis, karena dia tengah membahayakan masyarakat terbuka yakni adanya praktek  Kapitalisme telah mencipatakan suatu jenis “Masyarakat Tertutup” yang diindikasikan semacam Masyarakat Komunis atau Masyarakat Fasisme.
Demikian juga Danah Zohar dan Ian Marshall telah menjawab orientasi Francis Fukuyama yang melihat bahwa Dia memandang saat ini jangkauan kepercayaan antara manusia semakin sempit, kejahatan semakin merajalela, ikatan keluarga semakin longgar.  Selain itu Francis Fukuyama melihat bahwa akibat dari Kapitalisme bagi negara-negara maju saat ini telah menghambur-hamburkan modal sosial masing-masing tetapi mereka tidak mampu membangunnya kembali.  Hal ini menunjukkan bahwa saat ini masyarakat ditakdirkan semakin kaya dari sisi materi, tetapi semakin muskin dari sisi moral seiring dengan perkembangan waktu.
Dia melihat bahwa Guncangan Besar “The Great Disruption” tidak secara otomatis akan memulihkan dirinya sendiri, yang mana masyarakat harus menyadari bahwa kehidupan berkelompok telah pudar dan cara manusia bertingkah laku akan merusak dirinya sendiri. Danah Zohar dan Ian Marshaal telah menjawab keraguan-raguan ini dengan melalui konsep pengembangan Spritual Capital bagi setiap pebisnis dalam masyarakat terbuka (Open Society) yakni kehidupan kelompok akan makin kompak, kejahatan semakin tak memiliki tempat, ikatan keluarga akan semakin humanis dan pada akhirnya Kapitalisme semakin memiliki etika dan moral.***