OLEH : ARIEF TURATNO,
WARTAWAN SENIOR)
Posted on 21/12/2014 | 10:28
Publik
sepertinya terkaget-kaget ketika PPATK menemukan dan mengumumkan tentang
rekening gendut sejumlah pejabat daerah. Mereka umumnya para oknum kepala
daerah baik yang masih menjabat maupun yang sudah lengser. Dan kabarnya yang
dianggap cukup fenomenal adalah rekening gendut yang dimiliki Foke atau mantan
Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo. Mungkin saja selain Foke masih ada pejabat
lain yang memiliki rekening gendut setara, atau bahkan lebih dari yang
dimilikinya, Hanya saja PPATK belum menemukannya, atau sudah mendapatkannya,
tetapi belum sempat mengeksposnya. Pertanyaan dan persoalannya adalah mengapa
mereka bisa punya rekening gendut? Kemudian apakah harta yang dimilikinya hasil
korupsi?
Tentang
rekening gendut yang dimiliki para pejabat apakah hasil halal atau lewat
korupsi pihak terkait masih belum menjelaskannya. Hanya yang muncul ke
permukaan barulah dugaan, bahwa rekening raksasa yang dimiliki mereka mungkin
saja hasil kejahatan korupsi. Untuk ini PPATK bersama KPK masih menelusuri
asal-usul rekening itu, dan merekam jejak mengapa para pejabat dapat memiliki
uang sebanyak itu. Sekarang pertanyaannya adalah mengapa baru sekarang masalah
semacam itu dipersoalkan? Dan mengapa para anggota dewan di daerah mereka diam,
atau mendiamkan permasalahan tersebut?
Seperti
kita ketahui, bahwa fungsi pokok anggota dewan ada tiga macam, yakni Pertama,
fungsi legislasi (bersama eksekutif membuat peraturan daerah), Kedua, fungsi
budgetering (membuat atau mengesahkan APBD), dan yang Ketiga adalah fungsi
pengawasan, yakni mengawasi jalannya pemerintahan yang dilakukan eksekutif.
Dalam slogan selalu didengungkan tentang pengawasan melekat (Waskat) yang
mereka lakukan. Kenyataannya? Inilah yang membuat public kerap bertanya-tanya,
dan sering dibuat kecewa terhadap kinerja dewan. Sebab fungsi pengawasan yang
mestinya harus mereka jalankan dengan benar dan maksimal, kenyataannya fungsi
itu hanya sekedar melekat di baju atau papan nama.
Mungkin
saja mereka—para anggota dewan—- berdalih bahwa perbuatan menyimpang yang
dilakukan oknum eksekutif sangat tertutup alias rahasia, sehingga sulit
mendeteksinya. Benarkan? Tentu saja pernyataan dan dalih seperti itu perlu
pembuktian lebih lanjut. Mengapa? Lihat saja kasus dugaan korupsi yang
melibatkan Ketua DPD I Partai Golkar Jawa Barat (Jabar) Riyanto MS Syafiuddin
atau yang akrab dipanggil Yance, yang sekarang ditangani Kejaksaan. Kasus itu
sebenarnya sangat terbuka karena soal mark up pembebasan lahan untuk proyek
PLTU di Indramayu, yang dikenal dengan sebutan kasus Sumur Adem hampir semua
orang tahu.Dan anggota dewan sebagai pengawas eksekutif di daerahnya,
mestinya mereka harus lebih tahu daripada orang biasa. Nyatanya?
Kasus
tersebut terjadi tahun 2004, di saat Yance masih menjadi Bupati Indramayu,
faktanya baru dieksekusi kejaksaan dengan menahannya baru-baru ini. Dan selama
itu pula kalangan dewan diam. Pertanyaannya adalah apakah diamnya mereka karena
sudah sama-sama tahu? Entahlah, tetapi dengan kejadian tersebut public telah
memberi stigma jelek kepada kalangan dewan di daerah, dan menuding mereka tidak
mampu menjalankan fungsi pengawasan dengan baik. Dan kasus Yance, hanyalah
salah satu contoh saja. Kasus serupa pastinya sangat banyak, dan lagi-lagi
public menuding dewan di daerah kerjanya hanya tidur saja.Sebab kalau mereka
melek maka PPATK tidak akan mudah menemukan para pejabat berkening gendut.
Juga,
sekiranya dewan sudah menjalankan funsinya dengan baik dan benar
pemerintah tentu tidak perlu repot-repot membentuk KPK. Bahkan polisi dan
kejaksaan tidak perlu blusukan mengorek borok-borok pejabat. Pokoknya, jika
fungsi pengawasan telah berjalan semustinya, maka tidak akan banyak kita
temukan pejabat berekening gendut. Dan seandainya kerja dewan hanya tidur di
kantor, tentu tidak banyak lagi kasus korupsi yang melibatkan eksekutif. (Arief Turatno, wartawan senior)
Sumber
: