Opinion Peblika

Opinion Peblika
Suasana Foto Galian Tanah Tambang C Tanpa Melalui SRKL dan AMDAL di Wakatobi

Sabtu, 09 Juli 2011

SPINOZA : ALLAH ATAU ALAM ATAU SUBSTANSI

OLEH : TOM AFRIKA


Spinoza adalah seorang filsuf keturunan Yahudi yang tinggal di Belanda. Kakek dan ayahnya berasal dari Portugal yang lari ke Belanda mencari kebebasan berkeyakinan karena menolak berpindah agama ke agama Katolik.

(Curiga  Mode: ON. Kenapa musti orang Yahudi terus sih yang mendobrak kebekuan pemikiran dunia? Apa karena memang mereka bangsa pilihan Tuhan? Bukan. Jawabannya : Karena kebanyakan dari mereka adalah individu-individu yang tekun dan berpikir terbuka, resah dengan status quo dan tidak pernah lelah mendobrak batas-batas kemampuan berpikir manusia. Beda dengan saudara serumpun mereka orang Arab, yang belum apa-apa sudah memberi pikiran mereka dibelenggu oleh tradisi dan iman. Ingat pepatah Inggris : restlessness is the mother of invention. Dan kaum Yahudi telah membuktikannya berkali-kali.)

Spinoza muda memang dididik dalam ketaatan agama Yahudi sebagaimana lazimnya remaja Yahudi saat itu ia dididik dalam madrasah Yahudi. Namun jiwanya yang bebas tidak sanggup menerima keterkungkungan dogma. Ia lebih senang mempelajari ilmu filsafat. Ia mempelajari filsafat Descartes, seorang rasionalis di jamannya, dan menemukan ketidak-konsistenan di dalam filsafatnya, dan kemudian ia melampaui filsafat Descartes.

Dari jaman pemikir klasik sampai Descartes, para filsuf selalu membicarakan tentang substansi, yaitu apa yang membuat alam semesta dan kehidupan ini mengada. Descartes mempercayai bahwa ada 3 substansi dalam alam semesta ini, yaitu Allah (Deus), jiwa / roh (res cogitans, realitas berpikir), dan materi (res extensa, realitas ber-ruang). Allah dan Jiwa adalah kekal. Manusia adalah mahluk yang berjiwa / roh yang kekal dan memiliki kehendak bebas. Pemikiran tersebut merupakan dasar pemikiran dan keyakinan tiga agama monotheistik juga.

Bagi Spinoza, pemikiran Descartes ini tentu saja menimbulkan ketidak-konsistenan. Sebab apabila selain Allah ada roh manusia yang kekal dan berkehendak bebas, maka kedaulatan Allah dipertanyakan karena kehendak bebas manusia dapat merintangi kedaulatan Allah atas semesta. Jika roh manusia itu kekal, maka kekekalan bukan milik Allah saja. Jika manusia itu memang berkehendak bebas, mengapa mesti ada siksaan neraka kekal?

Kemudian lewat kontemplasi yang rumit yang disusun lewat apriori dan aksioma yang dijabarkan secara geometris, ia
berkesimpulan bahwa segala yang ada dalam alam semesta ini pastilah hanya terdiri dari satu substansi. Lalu apakah substansi yang ia maksud? Subtansi adalah yang ada dalam dirinya sendiri, dan dipahami dalam dirinya sendiri tanpa perlu memahami suatu konsepsi yang lain.

Substansi yang tunggal atau monistik ini yang melahirkan segala yang bentukan yang ada (modus) sebagai sebab dari adanya atribut-atribut yang intrinsik terkandung dalam substansi itu. Ada berbagai atribut dalam substansi ini, hanya saja manusia hanya memahami dua dari sekian atribut substansi yang satu ini, yaitu idea -res cogitans, dan keluasan – res extensa. (Saya sering tergoda untuk membayangkan, apabila Spinoza lahir di jaman Penyatuan Fisika Quantum dan Gravitasi sekarang ini, maka ia akan menambahkan bahwa selain res cogitans dan res extensa, ada setidaknya atribut fisikal lain yang terkandung dalam modus yaitu 4 forsa, yaitu nuklir kuat, nuklir lemah, elekromagnetisme dan gravitasi).

Hanya ada satu kategori dalam pemahaman manusia yang sama dengan kategori substansi yang disodorkan oleh Spinoza, yaitu Allah / Tuhan. Sejenak orang akan bertanya, “Apa bedanya keyakinan Spinoza tentang Allah dengan ajaran agama-agama yang sama-sama mempercayai adalah Allah yang satu?” Nah, disinilah letak permasalahannya. Bagi Spinoza Allah adalah subtansi satu-satunya yang melahirkan kesegalaan yang ada / alam semesta.

Deus sive substantia sive Natura
Allah (atau) adalah substansi (atau) adalah Alam

Atau dengan kata lain : Allah, Alam dan zat pengada segala yang ada adalah satu hakikat yang tak terpisahkan.
Allah atau Alam Semesta adalah satu dan suatu hakekat yang bisa dipertukarkan (interchangeable). Segala-galanya adalah Allah dan Allah adalah totalitas dari kesegalaan yang ada. Pada gilirannya maka manusiapun adalah bagian dari Allah itu sendiri yang dalam keluasannya (res extensa) mewujud dalam alam semesta.

Dengan demikian Spinoza menolak keyakinan akan adanya suatu tuhan yang berpribadi yang mencipta alam semesta, yang menggariskan takdir alam semesta (teleologis), yang terpisah dari alam semesta dan yang bertahta di surga, mem-back up suatu agama, mengangkat nabi-nabi dan membisikinya dengan sabda-sabda yang nantinya dikumpulkan jadi kitab suci.

Spinoza menolak dengan tegas keyakinan kitab suci yang tidak bisa salah. Baginya kitab suci adalah kitab-kitab sastra
buatan manusia yang disakralkan begitu rupa oleh pemercayanya saja. Kebangkitan tubuh Kristus baginya tidak lebih dari kisah-kisah alegoris yang mengisahkan psikologis manusia secara universal. Keyakinan akan adanya tuhan di seberang sana yang mengatur dunia, menjamin suatu kaum dan suatu agama adalah keyakinan kekanak-kanakan yang tidak diperlukan lagi oleh manusia dewasa.

Inilah kenapa ia dihujat habis-habisan baik oleh komunitas Yahudi maupun Kristen di Belanda. Kutukan, caci maki dan hinaan ia terima dengan lapang dada. Ia dikeluarkan dari komunitas Yahudi dimana ia hidup dan dikutuk dengan begitu keras dan kejam. Ia dicap sebagai seorang atheis, sekalipun kata ‘Allah’ bertebaran di sana-sini dalam dalil-dalil filsafatnya. Ironisnya cacian yang begitu kasar dari mulut para rohaniwan justru ia balas dengan kerendahan hati dan moralitas yang tinggi. Inilah yang membuat para pemikir yang berseberangan dengannya sekalipun akan angkat topi. Ia membuktikan bahwa tidak ada korelasi yang kuat antara keber-agama-an dengan etika dan moralitas. Sesorang yang relijius bisa begitu amoral, sebaliknya seorang yang tidak relijius bisa begitu bermoral dan beretika tinggi. Dengan ini maka gugurlah segala ketakutan para pejuang moral agama-agama yang selalu menerapkan dogma demi kepentingan moral.

Apakah yang dengan mengatakan Deus sive natura, berarti alam semesta itu perlu disembah-sembah? Tuhan itu planet dan planet itu tuhan. Tuhan itu matahari dan matahari itu tuhan, begitukah?

Tentu saja yang dimaksud Spinoza tidak sebodoh itu. Inilah yang ia maksud dengan alam semesta:

• Dilihat dari sudut alam, Allah adalah natura naturans, alam yang melahirkan.
• Dilihat dari sudut Allah, alam adalah natura naturata, alam yang dilahirkan.

Jadi alam semesta dan semua yang ada yang bisa dicerap oleh indera ini, termasuk manusia di dalamnya, hanyalah perwujudan (modus) dari atribut res cogitans dan res extensa dari sang Subtansi yang tak terbatas itu.

Paham ini disebut monistik (kesatuan dari segala yang ada) atau pantheist (pan = segala-galanya, theist = allah) yaitu paham yang meyakini bahwa segala-galanya adalah Allah, atau Allah adalah totalitas kesegalaan dari semua yang ada.

Jadi jelas bahwa bagi Einstein, sekalipun ia menyebut tentang Tuhan / Allah namun konsep Tuhan yang ada dibenaknya berbeda dengan tuhan berpribadi ala tiga agama langit itu. Begitu pula ketika Hawking dalam bukunya Riwayat Sang Kala mengatakan "Tuhan", sebenarnya tidak mengacu pada konsep tuhan theistic, melainkan deistik. Baru ketika ia meluncurkan bukunya yang terbaru, tuhan yang dimaksud adalah tuhan theistic.

Ketika para saintis mengatakan Tuhan atau Allah, belum tentu mengacu kepada konsep tuhan theistik ala agama-agama
monotheistik. Justru para saintis yang mengutamakan pendekatan empiris rasionalis menyandarkan pemahaman
ketuhanan mereka kepada konsep ketuhanan ala Spinoza.

Pertanyaan bagi para saintis bukanlah, “Siapa yang mencipta alam semesta?” Karena pertanyaan itu dengan sendirinya tidak didasari oleh pendekatan saintifik. Apa kriteria benar dan salah untuk jawaban dari pertanyaan yang subyektif ini?
Pertanyaan yang seharusnya diajukan kepada para saintis adalah “Bagaimana alam semesta ini tercipta?” itulah pertanyaan yang tepat. Karena pertanyaan itu mengundang suatu jawaban yang mempersyaratkan metoda empiris dan rasional.

Pertanyaan yang seharusnya diajukan kepada para saintis adalah “Bagaimana alam semesta ini tercipta?”, itulah pertanyaan yang tepat. Karena pertanyaan itu mengundang suatu jawaban yang mempersyaratkan metoda empiris dan rasional.

Begitu pula saya, dalam percakapan sehari-hari hampir sama sekali jarang saya menyebut-nyebut kata Tuhan / Allah, karena benak manusia disekitar saya sudah korup. Ketika saya menyebut kata Tuhan / Allah, pikiran mereka akan sontak mengacu kepada tuhan / allah ala agama mereka. Jadi lebih baik saya tidak menyebut-nyebutnya. Untuk itu tidak aneh jika saya disebut si atheist. Ah biarkan saja disebut ‘gila’ oleh orang yang nggak nyadar.