Opinion Peblika

Opinion Peblika
Suasana Foto Galian Tanah Tambang C Tanpa Melalui SRKL dan AMDAL di Wakatobi

Minggu, 10 Juli 2011

MORATORIUM PENERIMAAN PEGAWAAI NEGERI SIPIL

OLEH : AHMAD RESTU


MORATORIUM penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diusulkan Ketua DPR Marzuki Alie (Radar Lampung,1/7/2011) patut mendapat respons positif. PNS yang selama ini dikenal sebagai birokrasi abadi dalam negara menjadi beban tersendiri dalam anggaran APBN di Indonesia. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN)dan Reformasi Birokrasi (RB) mencatat, jumlah PNS di Indonesia per Mei 2011 mencapai 4.708.330 orang atau 2,03 persen dari jumlah penduduk. Beban APBN per tahun mencapai Rp 180 triliun untuk gaji PNS termasuk pensiunan. Dalam hal ini negara menjadi terbebani dengan kewajiban terhadap PNS yang selama ini terlihat tidak maksimal membawa perubahan bagi manajemen pembangunan negara. Birokrasi PNS juga mencerminkan kinerja yang buruk dalam melayani masyarakat. 
 
Sumber Kompas.com (30/6/2011) menyebutkan menurut Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati, pihaknya mencatat 30 persen hingga 70 persen anggaran yang dialirkan ke daerah digunakan hanya untuk menutup anggaran belanja pegawai. Jadi, tidak ada ruang fiskal untuk membangun infrastruktur. Dana alokasi umum (DAU) dalam APBN 2011 sebesar Rp 225,5 triliun, di mana sebagian besar dialokasikan untuk gaji pegawai. Namun, Sekretaris Menteri PAN dan RB Tasdik Kinanto menegaskan, kendati Kemenkeu mendorong adanya pensiun dini, kementeriannya menilai, jumlah PNS secara nasional masih wajar. Namun, diakui, masih ada masalah dalam kualitas dan distribusi PNS di daerah-daerah. Perekrutan PNS pun selama ini menuai polemik, karena terindikasi penuh kecurangan dan menjadi salah satu penyebab kendala yang dihadapi negara dalam merekrut PNS. 
 
Manajemen perekrutan PNS yang sering mendapat pesanan dari para pemangku pemerintah daerah kerap kali terjadi walaupun susah untuk dibuktikan. Hal ini pun sudah menjadi rahasia umum bagaimana kursi PNS menjadi permainan para pemangku kebijakan baik di daerah maupun di pusat. PNS dan Birokrasi Malas Seringkali terlihat PNS yang membawa dampak buruk bagi manajemen daerah adalah adanya PNS yang memiliki kehendak pemalas. Hal ini terjadi beberapa alasan kenapa Indonesia didapati banyak PNS yang seperti ini. Pertama, PNS direkrut atas dasar pesanan dan masuk dengan uang sogokan yang sudah ditentukan jumlahnya mulai dari Rp 100-250 juta. Oknum pejabat pemerintah daerah pun diuntungkan secara individu. Dalam hal ini kualitas PNS dipertanyakan karena direkrut bukan berdasarkan kemampuan. Kedua, PNS memiliki mindset aman dengan gaji yang tetap diterima walau kinerja sama saja bahkan tidak memberikan kepuasan yang signifikan. 
 
Cara pandang seperti ini semakin mencitrakan PNS adalah birokrasi pemalas yang selalu mendapat gaji seumur hidup dan ditanggung hidup oleh negara. Ketiga, perekrutan PNS kurang direncanakan sehingga negara terbebani akibat banyak PNS yang kurang memiliki fungsi apalagi menjadi kendala dalam kondisi Indonesia sebagai negara berkembang untuk maju. Beberapa contoh yang terjadi dalam perekrutan PNS yang tidak efektif bagi negara seperti banyaknya PNS yang ada dalam lingkungan pemerintah daerah. Staf pegawai yang sering didapati di pemerintahan daerah, yang kebanyakan menganggur dan banyak melakukan aktivitas yang mubazir di jam kerja seperti main catur dan main kartu. 
 
Para pegawai PNS yang direkrut dan membuat struktur birokrasi menjadi gemuk semakin tahun semakin membebani anggaran APBD daerah hingga 70% sehingga keuangan daerah pada akhirnya miskin pembangunan karena habis untuk belanja gaji pegawai. Contoh lain adalah perekrutan TNI, Polisi dan Satpol PP yang sering terdapat kejanggalan dalam manajemen kerja sehingga lebih banyak mengerjakan kegiatan indisental. Seperti polisi akhirnya menjadi preman jalanan yang sering memalak rakyat bak penjahat pungutan liar. 
 
Polisi seharusnya bekerja dalam pemeliharaan keamanan tapi kenyatannya polisi sering menjadi ancaman bagi keamanan masyarakat karena mencari-cari masalah terhadap masyarakat yang berkendaraan. Sering juga kita dapati polisi baku tembak dengan TNI angkatan darat karena gagah-gagahan senjata di ranah sipil. Indonesia yang memiliki letak wilayah geografis lebih luas lautan semestinya tidak perlu merekrut TNI angkatan darat karena sudah ada polisi di darat untuk menjaga wilayah darat. Semestinya TNI yang banyak direkrut adalah TNI angkatan laut yang kenyataannya sering terjadi pelanggaran antar negara di perbatasan laut oleh negara tetangga. 
 
Negara pada akhirnya bertekuk lutut dengan keamanan perbatasan laut dan kekayaan laut yang dirampok asing (lihat pengalaman pembajakan kapal Etiopia dan perebutan pulau antara Malaysia dan Indonesia). Perekrutan Satpol PP pun tidak ubahnya sebagai struktur PNS yang hanya bekerja sebagai antibody pemerintah terhadap demonstransi dan border bagi pemerintah daerah. Satpol PP seringkali dijadikan tameng utama dalam perlindungan pemerintah daerah yang diprotes oleh kelompok masyarakat yang tidak puas dengan kinerja pemerintah. Bahkan Satpol PP lebih banyak melakukan tindakan arogan kepada para pedagang kaki lima yang tidak mempunyai lahan legal untuk mengais rezeki. Semestinya pelajaran pemerintahan kota Solo di bawah kendali Joko Widodo menjadi pelajaran semua kabupaten kota di Indonesia dalam menghadapi para pedagang liar ini. 
 
Optimalisasi Birokrasi PNS Kinerja PNS sangat diharapkan dalam membangun birokrasi yang baik dan optimal dalam peran. Max Weber membagi karakter birokrasi dalam beberapa hal. Pertama pembagian kerja, di mana birokrasi dibagi dalam bagian, fungsi, keahlian dan tanggung jawab yang berbeda. Kedua hirarki wewenang, di mana ada tingkatan-tingkatan wewenang antara jabatan dan bawahan dan memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap bawahan. 
 
Ketiga kemampuan teknis, di mana birokrasi diangkat sesuai dengan kualifikasi yang tepat dan ditunjukkan dengan hasil test dan sertifikat yang benar-benar dilakukan tanpa kecurangan. Keempat karier, di mana birokrasi lebih sering bergantung pada senioritas dan jaminan pekerjaan seumur hidup. 
 
Dalam hal ini kinerja perlu diawasi karena karier yang dijalankan PNS lebih pada sifat tak acuh karena merasa kerja baik atau tidak tetap di gaji oleh negara. PNS dalam tipikal seperti ini lebih bekerja atas dasar penglihatan atasan. Sehingga menurut Weber, PNS seperti ini tidak merasa punya tanggung jawab terhadap rakyat tapi lebih merasa punya tanggung jawab hanya pada atasan di birokrasi. Perekrutan birokrasi PNS harus dibenahi sebagai upaya mereformasi peran. 
 
Usulan moratorium perlu dijadikan evaluasi dan benar-benar dijadikan kesempatan untuk mereformasi kembali perekrutan dan fungsi penempatan birokrasi PNS agar lebih memiliki peran optimal. Selain itu Indonesia perlu belajar banyak dari negara yang sudah menerapkan pendidikan enterprenuer agar semua rakyat tidak hanya ingin menjadi PNS.