Opinion Peblika

Opinion Peblika
Suasana Foto Galian Tanah Tambang C Tanpa Melalui SRKL dan AMDAL di Wakatobi

Selasa, 21 Juni 2011

KONFLIK-KONFLIK VERTIKAL DI INDONESIA


OLEH : SETA BASRI


Konflik-konflik vertikal di Indonesia. Dalam hidup berbangsa, pembangunan consensus kerap tidak bisa dicapai secara mudah. Konflik merupakan factor yang memicu dinamika hubungan antarkelompok sebelum consensus dibangun. Konsensus yang terbangun pun kerap menjadi “mentah” oleh terjadinya konflik.

Konflik sesungguhnya termanifestasikan ke dalam 2 bentuk. Pertama, konflik yang berlangsung secara damai dan tidak membutuhkan cost material seperti kerusuhan, kehilangan jiwa, cedera fisik, dan sejenisnya. Konflik seperti ini justru inheren dalam kehidupan bernegara, terutama dalam praktek-praktek demokrasi liberal. Kedua, konflik yang termanifestasi ke dalam vandalism dan violence. Konflik-konflik seperti ini yang kerap menggelisahkan mayoritas masyarakat dan para pemimpin Indonesia.

Konflik dalam bentuk yang pertama (damai) utamanya berlangsung di level elit, saat negosiasi politik berlangsung. Konflik tersebut dilokalisasi di dalam gedung parlemen ataupun saluran-saluran demokrasi yang ada seperti pers, partai politik, LSM, organisasi kemasyarakatan, dan tokoh-tokoh public. Sebaliknya, konflik dalam pengertian yang kedua terjadi di dataran horizontal, biasanya berupa benturan antara rakyat versus rakyat, di mana yang menjadi korban adalah rakyat pula. Bahkan tidak jarang, konflik di dataran horizontal merupakan kembangan sistematis dari konflik di level elit. Masih teringat tragedy 1966 di mana massa rakyat di pulau Jawa (juga Bali) melakukan pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia. Konflik tersebut merupakan kembangan dari konflik politik di tingkat elit antara elit antikomunis versus prokomunis.

Konflik yang hendak kita bicarakan lebih terletak di bentuk yang kedua, konflik yang disertai vandalism dan violence. Konflik-konflik seperti ini banyak sekali menggejala di masyarakat Indonesia yang katanya “ramah” itu. Saling bunuh dan rusak antarsuku bangsa terjadi hampir di sekujur pulau-pulau nusantara, dari Sumatera, Kalimantan, Jawa, Maluku, bahkan Jakarta sendiri. Kajian atas sistem sosial dan budaya Indonesia tidak lah lengkap tanpa satu kajian serius atas akar-akar kemunculan dari konflik dalam bentuk kedua ini.

‘Roots of Conflict’ secara Teori

Konflik-konflik yang terjadi di Indonesia umumnya berkembang di sekeliling kemajemukan masyarakat Indonesia. Warna suku bangsa, etnis, agama, dan pelapisan sosial kerap mewarnai konflik-konflik violence dan vandal yang muncul. Konflik yang berakar pada wacana primordialisme ini umum terjadi dalam konflik antara suku bangsa Madura, Melayu, dan Dayak di Kalimantan, antara Islam dan Kristen di Maluku dan Palu (Sulawesi Tengah), Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, Konflik Aceh, pembantaian 1966 di Jawa dan Bali, dan sejenisnya.

Sebab itu, sebelum bahasan atas masing-masing konflik dilakukan, terlebih dahulu dibeberkan sejumlah teori yang langsung menjelaskan suatu situasi konflik. Dari teori tersebut, sebab musabab dari konflik yang terjadi di Indonesia akan dipetakan. Ini merupakan sumbangan bagi pemahaman peserta mata kuliah bahwa kendati integrasi nasional telah dibakukan, di arus bawah (juga level elit) consensus nasional sesungguhnya masih terus berproses untuk menjadi.

Patrick Baron, Claire Q. Smith, dan Michael Woolcock membedakan 4 cara pandang dalam melihat fenomena konflik violence dan vandal. Keempat cara pandang tersebut adalah sosiologis, politik, politik-ekonomi, dan antropologi.1

Pendekatan Sosiologis. Dalam cara pandang sosiologis, konflik dikaitkan dengan masalah primordial. Ia menekankan pada keunikan dan keberadaan budaya yang satu sama lain saling terbatas serta kelompok yang menaunginya. Mereka menjelaskan konflik dalam istilah kekuatan psikologi dan budaya dalam mana individu di dalam kelompok memahami diri dan pihak lain.

Termasuk ke dalam pendekatan sosiologis ini adalah masalah prasangka dan stereotip. Prasangka mengacu pada sikap bermusuhan yang ditujukan terhadap suatu kelompok atas dasar dugaan bahwa kelompok tersebut mempunyai cirri yang tidak menyenangkan.2 Ia disebut prasangka akibat dugaan yang dianut orang yang berprasangka tidak didasarkan pada pengetahuan, pengalaman ataupun bukti yang cukup memadai. Misalnya, prasangka bahwa perempuan itu lemah, cerewet, merepotkan, dan sejenisnya merupakan sejumlah contoh.

Sementara itu stereotip adalah citra yang kaku mengenai suatu kelompok rasa tau budaya yang dianut tanpa memperhatikan kebenaran citra tersebut. Stereotip biasanya diaplikasikan kepada suatu ras atau suku bangsa, sementara prasangka lebih kepada individu dan kelompok sosial yang lebih kecil. Stereotip dapat berupa dua, yaitu positif dan negative. Sisi positif misalnya pandangan bahwa orang Cina dan Padang pintar berdagang, orang Bugis dan Makassar pelaut pemberani, orang Jawa mampu hidup di mana saja, dan sejenisnya. Sementara stereotip negative misalnya pandangan bahwa orang Polandia itu kotor, bodoh, dan kasar, orang Batak itu kasar dan ‘besar mulut’, atau orang Kawanua gemar pesta dan boros.

Pendekatan Sosiologi-Politik. Pendekatan ini menggariskan pandangan pada sifat etnis yang sudah terbangun secara sosial dan kekerapan konflik yang kemudian muncul punya basis instrumental. Basis ini kemudian menjadi mekanisme bagi individu dan kelompok untuk memenuhi kepentingan mereka. Suku bangsa merupakan suatu bentuk jadi yang diperoleh lewat proses. Suku bangsa merupakan proses menjadi yang tercipta akibat adanya gerakan di masyarakat tersebut. Misalnya, Jong Sumatranen Bond 1920-an di Indonesia, terbentuk akibat keinginan peleburan etnis Sumatera yang berbeda-beda (Batak, Padang, Palembang, Aceh) ke dalam satu suku bangsa saja: Sumatera.

Pada perkembangannya, kelompok sosial yang terbentuk bukan lagi pada sesuatu yang “given” semisal suku bangsa Batak, Minangkabau, atau Betawi, tetapi dialiri oleh factor politik, baik yang bercorak positif maupun negative. Sebab itu, dalam pendekatan Sosiologi-Politik ini dikenal adanya 2 arus pergerakan. Pertama, penekanan pada peran dari elit intelektual dan politik dalam membentuk dan memelihara konsepsi diri dan kelompok. Budaya, untuk sebagian, merupakan derivasi (turunan) dari power relation (hubungan kekuasaan) yang dominan di dalam suatu komunitas, sebab itu formasi budaya dan dinamika yang kemudian berkembang merupakan pengejawantahan dari struktur kekuasaan yang ada.

Ekonomi Politik. Pendekatan ekonomi-politik menggeser titik perhatian atas fenomena konflik dari sisi actor individual kea rah sturktur-struktur masyarakat yang memberikan insentif material. Kelangkaan dan kesulitan distribusi kemakmuran merupakan titik tekan pendekatan ini. Bagi pendekatan ini, selama ada kondisi dominasi dan eksploitasi dalam masyarakat, perdamaian tidak pernah akan muncul. Perbedaan distribusi pendapatan, ketimpangan horizontal, dan perbedaan akses atas kekuasaan dan sumber daya, merupakan titik kajian dari pendekatan ekonomi-politik terhadap konflik vandal dan violence.

Pendekatan Antropologis. Sesuai namanya, pendekatan antropologis terhadap konflik focus pada aspek manusia. Utamanya perhatian pada adanya atau ketiadaan mekanisme penyelesaian konflik dalam masyarakat. Akar-akar konflik yang biasanya muncul menurut tesis pendekatan ini adalah perbatasan wilayah kelompok, kepemilikan, sumber air, kepemimpinan, dan dinamika keluarga seperti prosedur warisan, pertikaian rumah tangga, dan hubungan antara laki-laki dan perempuan.

Pendekatan antropologis yang menekankan aspek manusia punya keuntungan. Pertama, mereka lebih focus pada “how to solve conflict” dengan mengajukan pertanyaan seperti apakah factor penyebab konflik itu keragaman agama, etnis, bahasa, distribusi sumber daya, atau masalah yang berkaitan dengan factor geografis? Kedua, mereka menolak penjelasan konflik yang “state-centric”. Orang Dayak, Maluku, Madura, mungkin saja mengaku sebagai sebangsa Indonesia, tetapi mengapa konflik tetap muncul?

Keempat pendekatan di atas berguna dalam menyelidiki konflik-konflik yang berkembang di Indonesia. Terkadang, beberapa pendekatan saling bertumpang-tindih tatkala kita menjelaskan suatu fenomena konflik di Indonesia. Ini tidak bisa terhindarkan akibat konflik antara manusia bukanlah sesuatu yang sederhana dan monofaktor.

Konflik Aceh

Konflik yang terjadi di Aceh punya akar sejarah yang panjang.3 Akar konflik tersebut berkaitan erat dengan relasi kekuasaan antara pemerintah pusat dengan sebagian rakyat Aceh. Sebab itu, masalah yang terjadi di Aceh terutama bersifat ekonomi-politik dan sosiologi-politik.

Dahulu, Teungku Daud Beure’uh turut mendukung kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Untuk itu, negosiasi antara ia dengan pemerintah pusat adalah otonomi politik dengan penyelenggaraan syariat Islam. Namun, setelah merdeka Aceh tiada diberikan otonomi tersebut dan malah diintegrasikan ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Kekecewaan ini kemudian muncul dalam bentuk pembentukan tentara Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Aceh pada tahun 1953. Pemberontakan tersebut usai tanggal 26 Mei 1959 saat Aceh diberi status Daerah Istimewa dengan otonomi luas, utamanya dalam bidang adat, agama, dan pendidikan.

Selain masalah kekecewaan pada pemerintah pusat, konflik di Aceh juga muncul akibat peminggiran identitas cultural masyarakat Aceh. Sebagai sebuah komunitas, Aceh telah punya konsep yang mapan tentang budaya mereka (terkait agama Islam) yang berkembang sejak masa kerajaan Samudera Pasai. Identifikasi cultural masyarakat Aceh yang dilekatkan pada agama Islam ini kemudian mendorong negosiasi politik antara pimpinan Aceh dengan pemerintah awal Indonesia untuk menyelenggarakan syariat Islam.

Pada perkembangannya, pemerintah pusat menerbitkan UU No.5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No.5 tahun 1979 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Desa. Dengan kedua UU tersebut, kekhasan sosio-kultural Aceh tereliminasi. Struktur modern berupa RT, RW, Dusun, Desa, Kecamatan, Kabupaten, dan Provinsi harus diterapkan di Aceh menggantikan lembaga-lembaga adat yang telah ada sejak lama.4 Untuk menjamin terselenggaranya UU tersebut, pemerintah pusat menciptakan jaringan elit local yang jadi perpanjangan tangan dari elit pusat.

Selain identitas cultural, Aceh pun mengeluhkan masalah eksploitasi dan ketimpangan ekonomi. Penekanan pemerintah Orde Baru pada pertumbuhan ekonomi mendorong eksploitasi besar-besaran pabrik LNG Arun dan pupuk Iskandar Muda. Dengan eksploitasi tersebut, Indonesia mampu keluar selaku eksportir LNG terbesar dunia dan 90% hasil pupuk pabrik di Aceh ini digunakan untuk ekspor.

Eksploitasi kekayaan alam ini kemudian mendatangkan masalah tatkala terjadi minimalisasi pengembalian ke Aceh. Tahun 1993, dari hasil LNG Aceh pemerintah punya beroleh 6.664 trilyun rupiah, sementara yang kembali ke Aceh adalah 453,9 milyar rupiah. Minimnya pengembalian ini semakin parah tatkala dilakukan survey BPS tahun 1993, bahwa Aceh memiliki desa termiskin terbesar di Indonesia yaitu 2.275 desa. Ini ironis dengan banyaknya industry besar yang berada di Aceh.

Pembangunan pabrik eksploitasi alam mendatangkan kaum pendatang ke Aceh, utamanya dari Jawa, di mana orang-orangnya lebih professional ketimbang Aceh. Gerakan Aceh Merdeka memperoleh dukungan luas dari ketimpangan etnis yang terjadi ini. Masyarakat Aceh mulai menyadari hasil tambang (gas dan minyak) hasil bumi mereka lebih banyak yang dibawa ke Jakarta ketimbang dikembalikan ke Aceh.

Muara dari factor-faktor pendorong konflik di Aceh tersebut bermuara pada konflik militer GAM versus Pemerintah Pusat, dan di lapangan adalah ABRI (saat itu) versus GAM. Aceh masuk ke dalam Daerah Operasi Militer (DOM). Kondisi ini bukannya melemahkan GAM, justru sebaliknya, memperkuat justifikasi “eksploitasi” pusat (Jakarta) terhadap daerah.

Konflik Papua

Konflik Papua relative mirip dengan akar konflik yang terjadi di Aceh, terutama karakternya yang berhadapan dengan pemerintah pusat. Papua masuk ke wilayah Indonesia pada 1 Mei 1963 berdasarkan penjanjian yang ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dengan Belanda di New York pada 15 Agustus 1962. Kedaulatan Indonesia atas Papua kembali ditegaskan lewat Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) yang berlangsung pada Juli-Agustus 1969. Sejak saat itu Papua terus dilanda gejolak separatism hingga kini.

Jika di Aceh ada GAM, maka di Papua ada OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang berdiri tahun 1964.5 Gerakan awal OPM terjadi tahun 1965 di Ransiki, Manokwari, tatkala Indonesia tengah berada dalam krisis politik 1965-1966. Aktitivitas umum OPM adalah maneuver-manuver sporadic guna menyerang pos-pos polisi dan tentara, sabotase sarana vital dan strategis seperti Freeport, menyerang transmigran, atau penghasutan massa.

Esther Heidbuchel menyebutkan, lewat sejumlah perkembangan yang ia identifikasi, maka konflik Papua dapat dirunut kepada factor-faktor berikut :6
  • Kurang mulusnya pelaksanaan Pepera yang pernah diadakan Indonesia tatkala mengambil alih Papua dari Belanda,
  • Pelanggaran Hak Asasi Manusia, baik yang dilakukan pasukan Indonesia, utamanya dalam penegakkan hukum atas mereka,
  • Pengabaikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat asli Papua. Ini termasuk marginalisasi sosial ekonomi mereka serta terbentuknya stereotip orang Papua itu ‘bodoh’ dan ‘gemar mabuk.’

Dalam perkembangan kemudian, masih menurut Heidbuchel, terbaginya komposisi penyelesaian konflik 3 jalan. Jalan pertama adalah Merdeka dan ini dimotori oleh OPM. Komposisi dari mereka yang pro kemerdekaan adalah rakyat biasa yang berpendidikan rendah, OPM, sebagian kecil elit Papua yang terdidik. Jalan kedua, pro Indonesia dengan status quo. Kelompok ini didukung oleh kaum migrant (orang-orang dari luar Papua), sebagian elit Papua yang terdidik, serta sebagian elit di pemerintah pusat. Jalan ketiga adalah Otonomi Khusus, yang didukung oleh mayoritas elit Papua, mayoritas elit pemerintah pusat, komunitas-komunitas agama, dan LSM.