OLEH : SETA BASRI
Integrasi nasional Indonesia. Sejauh ini, apa yang telah ditampakkan oleh kajian sistem sosial dan budaya Indonesia? Bangsa yang ditengarai oleh aneka bifurkasi sosial menurut garis wilayah, etnis, agama, tingkat ekonomi, apakah masih memiliki signifikansi untuk bersatu? Jawabannya adalah ya. Persatuan di Indonesia bukan merupakan sesuatu yang baru oleh sebab consensus nasional utama (Proklamasi 1945) pernah tercetus. Problem krusial di masa-masa kemudian adalah Indonesia terus mencari format-format baru integrasi nasionalnya sendiri.
Bukan Indonesia saja, Negara multikultur yang mengalami permasalahan integrasi nasional. Spanyol, sebagai missal, mengalami masalah integrasi nasional lewat persaingan politik antara etnis Catalan dengan Basque. Lebanon pun memiliki masalah integrasi nasional lewat integrasi agama yang sangat bervariasi (Islam Sunni, Islam Syiah, Kristen Maronit, Kristen Druze). Srilangka punya masalah yang terus berkembang akibat perseteruan antara etnis Sinhala dan Tamil. Tetangga Indonesia seperti Thailand dan Filipina menghadapi masalah integrasi nasional lewat kasus wilayah Pattani dan Moro. Sebab itu, masalah integrasi Negara yang berisikan multikultur bukan Cuma monopoli Indonesia.
Persoalan penting kemudian adalah, bagaimana Indonesia mengidentifikasi pola integrasi nasionalnya untuk kemudian diaplikasikan ke dalam tindakan positif menuju integrasi nasional, baik dari kalangan elit maupun masyarakat kebanyakan. Pertanyaan pentinya kemudian adalah, apa yang sesungguhnya “bergerak” dalam pola integrasi nasional Indonesia?
Beberapa Penjelasan Integrasi Nasional Indonesia
Dalam kasus integrasi nasional Indonesia, terdapat sejumlah penjelasan guna menggambarakan metode terjadinya integrasi nasional. Penjelasan-penjelasan ini memiliki aneka perbedaan titik tekan. Seluruh pendekatan yang tersedia kemudian akan dipertimbangkan keeratan hubungannya dengan metode integrasi nasional Indonesia.
1.Neopatrimonialisme
Pertama adalah penjelasan David Brown tentang metode integrasi Indonesia yang ditentukan elit.1 Brown menggunakan istilah Neo Patrimonialisme dalam kasus integrasi nasional Indonesia. Untuk memahami Neopatrimonialisme, paling jelas dikontraskan dengan apa yang Max Weber maksud dengan Patrimonialisme.
Patrimonialisme adalah “the object of obedience is the personal authority of the individual which he enjoys by virtue of his traditional status. The organized group exercising authority is, in the simplest case, primarily based on relations of personal loyalty, cultivated through a common process of education. The person exercising authority is no a ‘superior’, but a personal ‘chief’. His administrative staff does no consist primarily of officials, but of personal retainers … Wha determines the relations of the administrative staff to the chief is not the impersonal obligations of office, but personal loyalty to the chief.2
Dalam patrimonialisme, sistem pemerintahan terbangun lewat ikatan antara pimpinan pemerintah tertentu (ketua adat, raja, sultan) atau orang berpengaruh di mana ia diangkat ke dalam posisi tertentu di dalam kekuasaan pusat. Orang-orang ini punya pengikut yang mengikutinya berdasarkan loyalitas personal. Jaringan-jaringan patron-klien ini kemudian mengembangkan loyalitas masing-masing yang kedaerahan ke tingkat nasional.
Negara patrimonial sebab itu merupakan puncak dari suatu masyarakat yang dikarakteristikkan oleh hubungan patron-klien tradisional. Negara patrimonial, sebab itu, bergantung pada seberapa besar loyalitas rakyat pada pemimpin lokalnya, dan, loyalitas para pemimpin local kepada pemerintah pusat. Ia mengandalkan stabilitas sistem politik tradisional kedaerahan yang berkembang. Misalnya, ketaatan rakyat Yogyakarta kepada Sultan Hamengkubuwono X dan ketaatan Sultan Hamengkubowono kepada Pemerintah Pusat Republik Indonesia. Atau, dalam kasus Aceh, seberapa besar loyalitas rakyat Aceh kepada Hasan Tiro dan bagaimana sikap Hasan Tiro kepada Pemerintah Pusat Republik Indonesia.
Lalu, apa yang membedakan antara patrimonialisme dengan neopatrimonialisme? Perbedaan utamanya terletak pada perubahan hubungan antara pengikut dan pemimpin. Dalam patrimonialisme, elit patrimonial menyatakan dirinya sebagai kelas istimewa yang mampu menempatkan dirinya sebagai monopol sumber daya sekaligus mengesampingkan massa dari wilayah kuasa dan kesejahteraan. Ini terus terjadi andaikan pemimpin patrimonial mampu menjamin keamanan dan perlindungan yang ia berikan kepada para pengikut.
Dalam neopatrimonialisme, perubahan ikatan tradisional, meningkatnya mobilisasi penduduk (vertical, horizontal), dan tersebarnya harapan akan demokrasi, membuat para elit patrimonial makin sulit memelihara ikatan patron-klien terhadap massanya. Loyalitas dari para pengikut kini berubah dari sekadar perlindungan dan keamanan menjadi bersifat material (kuasa, uang, kemakmuran).
Dalam konteks neopatrimonial, pemimpin massa yang tadinya (secara tradisional) memiliki pengikut loyal, kini mulai bergeser. Mereka tidak stabil lagi dalam menggamit massa-nya sendiri dan kemudian, untuk menyelamatkan posisi, turun ‘tahta’ menjadi broker politik. Pemimpin yang awalnya menguasai monopoli loyalitas massa suatu daerah kini terpecah. Dalam suatu daerah muncul ‘communal leader’ yang berbeda dengan pemimpin tradisional. Pemimpin-pemimpin baru ini mengklaim punya massa tertentu dan bersedia membela mereka baik secara material maupun politik. Inilah pemimpin-pemimpin neopatrimonial. Sebab itu, dalam Negara yang terintegrasi menurut garis neopatrimonial, menjadi penting kajian atas kohesi antar-elit neopatrimonial.
2.Teori Dimensi
Christine Drake mengutarakan tesis tentang 4 faktor yang mendorong integrasi nasional Indonesia.3 Pertama, dimensi politik dan sejarah yang menekankan kepada persamaan nasib selaku rakyat yang terjajah Hindia-Belanda, yang membangun kesadaran bersama mencapai satu tujuan. Kedua, dimensi sosiokultural yang termasuk atribut-atribut budaya yang sama, bahasa yang sama, agama yang sama, dan kemudian membimbing pada ikatan bersama untuk bersatu di dalam Indonesia.
Ketiga, dimensi interaktif, yaitu tingkat kontak yang terbangun antara orang-orang yang diam di wilayah yang kini menjadi Indonesia, di mana mereka satu sama lain saling berkomunikasi lewat perdagangan, transportasi, teleppon, migrasi, dan televise. Keempat, dimensi ekonomi, yaitu kesalingtergantungan ekonomi antar region-region yang ada di Indonesia.
3.Teori Proses Industri
Anthony Harold Birch.4 Birch coba cari jawaban bagaimana kelomopk etnik dan budaya yang saling berbeda mengikat diri ke dalam sebuah masyarakat nasional dan mendirikan Negara nasional. Sebagai proses, integrasi nasional merupakan produk dari kebijakan pemerintah (atau elit) yang disengaja. Integrasi nasional awalnya “tidak direncanakan” lewat proses mobilisasi sosial. Initinya suatu proses bagaimana industrialisasi mengundang pekerja meninggalkan desa asal untuk cari kerja di area industry baru. Perpindahan ini menggerogoti komunitas-komunitas sosial di area pedesaan dan memobilisasi pekerja untuk terserap di masyarakat nasional yang lebih besar. Hubungan kedaerahan menjadi lemah, bahasa dan dialek local makin samar untuk kemudian digantikan bahasan nasional. Budaya local dan kebiasaan kehilangan pendukungnya.
Alat transportasi, juga menyumbang point dalam integrasi nasional. Pembukaan jalan membuat wilayah-wilayah dan penduduk terlebur, berinteraksi, saling pengaruh. Terlebih, media massa kemudian muncul memberikan informasi-informasi baru harian kepada pemirsa yang bisa dicapainya. Anggota-anggota masyarakat yang tadinya berasal dari budaya atau kultur spesifik secara gradual masuk ke dalam terma masyarakat ‘yang lebih luas.’
Empat argumentasi diajukan dalam menjelaskan proses integrasi nasional. Pertama, dalam terminology keniscayaan sejarah. Dalam pandangan Hegel, masa depan umat manusia terletak dalam organisasi yang disebut ‘negara’. Negara merupakan bentuk tertinggi organisasi sosial yang ada di tengah masyarakat. Negara mempersatukan elemen-elemen yang berbeda di level masyarakat ke dalam ‘elemen bersama’ dan sifatnya lebih tinggi.
Kedua, pandangan integrasi nasional sebagai bentuk asimilasi sosial. Integrasi nasional adalah terasimilasinya budaya-budaya yang lebih ‘minor’ kepada budaya yang lebih ‘mayor’. Misalnya, etnis Cina di Indonesia mau tidak mau harus mengasimilasi seluruh atau sebagian dari kultur yang berkembang di Indonesia kebanyakan agar dapat terintegrasi baik di tengah Negara Indonesia. Demikian pula etnis-etnis Arab, agar dapat diterima di Indonesia harus mengasimilasi budaya umum yang berkembang di masyarakat Indonesia. Disintegrasi nasional muncul akibat asimilasi gagal dilakukan.
Ketiga, integrasi nasional muncul akibat pemerintah didasarkan atas perasaan kesatuan nasional. Integrasi nasional tidak akan tercipta jika perasaan tersebut belumlah lagi terbangun. Untuk itu, masalah bahasa persatuan, ideology nasional, merupakan komponen penting di dalam integrasi nasional. Pemerintah memiliki tugas menjamin hal-hal tersebut terselenggara, baik secara teori maupun praktik.
Keempat, integrasi nasional berhubungan dengan masalah representasi politik. Negara yang terbangun dari garis primordial berbeda memiliki sensitivitas tinggi warganegara atas aspek primordial ini. Agama, etnis, region, merupakan unsure primordial yang perlu diperhatikan representasi politiknya. Pimpinan puncak nasional memerlukan kohesi yang membuat representasi elemen primordial yang berlainan tersebut menggapai consensus. Partai-partai politik utamanya mengambil peran dalam integrasi nasional yang berhubungan dengan representasi politik ini.
Bukan Indonesia saja, Negara multikultur yang mengalami permasalahan integrasi nasional. Spanyol, sebagai missal, mengalami masalah integrasi nasional lewat persaingan politik antara etnis Catalan dengan Basque. Lebanon pun memiliki masalah integrasi nasional lewat integrasi agama yang sangat bervariasi (Islam Sunni, Islam Syiah, Kristen Maronit, Kristen Druze). Srilangka punya masalah yang terus berkembang akibat perseteruan antara etnis Sinhala dan Tamil. Tetangga Indonesia seperti Thailand dan Filipina menghadapi masalah integrasi nasional lewat kasus wilayah Pattani dan Moro. Sebab itu, masalah integrasi Negara yang berisikan multikultur bukan Cuma monopoli Indonesia.
Persoalan penting kemudian adalah, bagaimana Indonesia mengidentifikasi pola integrasi nasionalnya untuk kemudian diaplikasikan ke dalam tindakan positif menuju integrasi nasional, baik dari kalangan elit maupun masyarakat kebanyakan. Pertanyaan pentinya kemudian adalah, apa yang sesungguhnya “bergerak” dalam pola integrasi nasional Indonesia?
Beberapa Penjelasan Integrasi Nasional Indonesia
Dalam kasus integrasi nasional Indonesia, terdapat sejumlah penjelasan guna menggambarakan metode terjadinya integrasi nasional. Penjelasan-penjelasan ini memiliki aneka perbedaan titik tekan. Seluruh pendekatan yang tersedia kemudian akan dipertimbangkan keeratan hubungannya dengan metode integrasi nasional Indonesia.
1.Neopatrimonialisme
Pertama adalah penjelasan David Brown tentang metode integrasi Indonesia yang ditentukan elit.1 Brown menggunakan istilah Neo Patrimonialisme dalam kasus integrasi nasional Indonesia. Untuk memahami Neopatrimonialisme, paling jelas dikontraskan dengan apa yang Max Weber maksud dengan Patrimonialisme.
Patrimonialisme adalah “the object of obedience is the personal authority of the individual which he enjoys by virtue of his traditional status. The organized group exercising authority is, in the simplest case, primarily based on relations of personal loyalty, cultivated through a common process of education. The person exercising authority is no a ‘superior’, but a personal ‘chief’. His administrative staff does no consist primarily of officials, but of personal retainers … Wha determines the relations of the administrative staff to the chief is not the impersonal obligations of office, but personal loyalty to the chief.2
Dalam patrimonialisme, sistem pemerintahan terbangun lewat ikatan antara pimpinan pemerintah tertentu (ketua adat, raja, sultan) atau orang berpengaruh di mana ia diangkat ke dalam posisi tertentu di dalam kekuasaan pusat. Orang-orang ini punya pengikut yang mengikutinya berdasarkan loyalitas personal. Jaringan-jaringan patron-klien ini kemudian mengembangkan loyalitas masing-masing yang kedaerahan ke tingkat nasional.
Negara patrimonial sebab itu merupakan puncak dari suatu masyarakat yang dikarakteristikkan oleh hubungan patron-klien tradisional. Negara patrimonial, sebab itu, bergantung pada seberapa besar loyalitas rakyat pada pemimpin lokalnya, dan, loyalitas para pemimpin local kepada pemerintah pusat. Ia mengandalkan stabilitas sistem politik tradisional kedaerahan yang berkembang. Misalnya, ketaatan rakyat Yogyakarta kepada Sultan Hamengkubuwono X dan ketaatan Sultan Hamengkubowono kepada Pemerintah Pusat Republik Indonesia. Atau, dalam kasus Aceh, seberapa besar loyalitas rakyat Aceh kepada Hasan Tiro dan bagaimana sikap Hasan Tiro kepada Pemerintah Pusat Republik Indonesia.
Lalu, apa yang membedakan antara patrimonialisme dengan neopatrimonialisme? Perbedaan utamanya terletak pada perubahan hubungan antara pengikut dan pemimpin. Dalam patrimonialisme, elit patrimonial menyatakan dirinya sebagai kelas istimewa yang mampu menempatkan dirinya sebagai monopol sumber daya sekaligus mengesampingkan massa dari wilayah kuasa dan kesejahteraan. Ini terus terjadi andaikan pemimpin patrimonial mampu menjamin keamanan dan perlindungan yang ia berikan kepada para pengikut.
Dalam neopatrimonialisme, perubahan ikatan tradisional, meningkatnya mobilisasi penduduk (vertical, horizontal), dan tersebarnya harapan akan demokrasi, membuat para elit patrimonial makin sulit memelihara ikatan patron-klien terhadap massanya. Loyalitas dari para pengikut kini berubah dari sekadar perlindungan dan keamanan menjadi bersifat material (kuasa, uang, kemakmuran).
Dalam konteks neopatrimonial, pemimpin massa yang tadinya (secara tradisional) memiliki pengikut loyal, kini mulai bergeser. Mereka tidak stabil lagi dalam menggamit massa-nya sendiri dan kemudian, untuk menyelamatkan posisi, turun ‘tahta’ menjadi broker politik. Pemimpin yang awalnya menguasai monopoli loyalitas massa suatu daerah kini terpecah. Dalam suatu daerah muncul ‘communal leader’ yang berbeda dengan pemimpin tradisional. Pemimpin-pemimpin baru ini mengklaim punya massa tertentu dan bersedia membela mereka baik secara material maupun politik. Inilah pemimpin-pemimpin neopatrimonial. Sebab itu, dalam Negara yang terintegrasi menurut garis neopatrimonial, menjadi penting kajian atas kohesi antar-elit neopatrimonial.
2.Teori Dimensi
Christine Drake mengutarakan tesis tentang 4 faktor yang mendorong integrasi nasional Indonesia.3 Pertama, dimensi politik dan sejarah yang menekankan kepada persamaan nasib selaku rakyat yang terjajah Hindia-Belanda, yang membangun kesadaran bersama mencapai satu tujuan. Kedua, dimensi sosiokultural yang termasuk atribut-atribut budaya yang sama, bahasa yang sama, agama yang sama, dan kemudian membimbing pada ikatan bersama untuk bersatu di dalam Indonesia.
Ketiga, dimensi interaktif, yaitu tingkat kontak yang terbangun antara orang-orang yang diam di wilayah yang kini menjadi Indonesia, di mana mereka satu sama lain saling berkomunikasi lewat perdagangan, transportasi, teleppon, migrasi, dan televise. Keempat, dimensi ekonomi, yaitu kesalingtergantungan ekonomi antar region-region yang ada di Indonesia.
3.Teori Proses Industri
Anthony Harold Birch.4 Birch coba cari jawaban bagaimana kelomopk etnik dan budaya yang saling berbeda mengikat diri ke dalam sebuah masyarakat nasional dan mendirikan Negara nasional. Sebagai proses, integrasi nasional merupakan produk dari kebijakan pemerintah (atau elit) yang disengaja. Integrasi nasional awalnya “tidak direncanakan” lewat proses mobilisasi sosial. Initinya suatu proses bagaimana industrialisasi mengundang pekerja meninggalkan desa asal untuk cari kerja di area industry baru. Perpindahan ini menggerogoti komunitas-komunitas sosial di area pedesaan dan memobilisasi pekerja untuk terserap di masyarakat nasional yang lebih besar. Hubungan kedaerahan menjadi lemah, bahasa dan dialek local makin samar untuk kemudian digantikan bahasan nasional. Budaya local dan kebiasaan kehilangan pendukungnya.
Alat transportasi, juga menyumbang point dalam integrasi nasional. Pembukaan jalan membuat wilayah-wilayah dan penduduk terlebur, berinteraksi, saling pengaruh. Terlebih, media massa kemudian muncul memberikan informasi-informasi baru harian kepada pemirsa yang bisa dicapainya. Anggota-anggota masyarakat yang tadinya berasal dari budaya atau kultur spesifik secara gradual masuk ke dalam terma masyarakat ‘yang lebih luas.’
Empat argumentasi diajukan dalam menjelaskan proses integrasi nasional. Pertama, dalam terminology keniscayaan sejarah. Dalam pandangan Hegel, masa depan umat manusia terletak dalam organisasi yang disebut ‘negara’. Negara merupakan bentuk tertinggi organisasi sosial yang ada di tengah masyarakat. Negara mempersatukan elemen-elemen yang berbeda di level masyarakat ke dalam ‘elemen bersama’ dan sifatnya lebih tinggi.
Kedua, pandangan integrasi nasional sebagai bentuk asimilasi sosial. Integrasi nasional adalah terasimilasinya budaya-budaya yang lebih ‘minor’ kepada budaya yang lebih ‘mayor’. Misalnya, etnis Cina di Indonesia mau tidak mau harus mengasimilasi seluruh atau sebagian dari kultur yang berkembang di Indonesia kebanyakan agar dapat terintegrasi baik di tengah Negara Indonesia. Demikian pula etnis-etnis Arab, agar dapat diterima di Indonesia harus mengasimilasi budaya umum yang berkembang di masyarakat Indonesia. Disintegrasi nasional muncul akibat asimilasi gagal dilakukan.
Ketiga, integrasi nasional muncul akibat pemerintah didasarkan atas perasaan kesatuan nasional. Integrasi nasional tidak akan tercipta jika perasaan tersebut belumlah lagi terbangun. Untuk itu, masalah bahasa persatuan, ideology nasional, merupakan komponen penting di dalam integrasi nasional. Pemerintah memiliki tugas menjamin hal-hal tersebut terselenggara, baik secara teori maupun praktik.
Keempat, integrasi nasional berhubungan dengan masalah representasi politik. Negara yang terbangun dari garis primordial berbeda memiliki sensitivitas tinggi warganegara atas aspek primordial ini. Agama, etnis, region, merupakan unsure primordial yang perlu diperhatikan representasi politiknya. Pimpinan puncak nasional memerlukan kohesi yang membuat representasi elemen primordial yang berlainan tersebut menggapai consensus. Partai-partai politik utamanya mengambil peran dalam integrasi nasional yang berhubungan dengan representasi politik ini.