Oleh : Laode Ida (Wakil Ketua DPD RI. Artikel ini pandangan pribadi)
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan jajaran kabinetnya tampaknya tersinggung dan resah terkait dengan tuduhan sebagai ‘telah berbohong kepada publik’ yang dilontarkan para pimpinan organisasi keagamaan setelah bertemu di kantor PP Muhammadiyah (10/1/2011). Menurut versi para tokoh moralis itu, hingga kini telah terakumulasi 18 kebohongan (lama dan baru) yang dilakukan pemerintahan SBY.
Dengan tuduhan itu, pastilah SBY dan jajarannya merasa dipermalukan. Pembelaan pun dilakukan melalui konferensi pers, yang intinya ‘menyangkali tuduhan’ itu. Pihak pemerintah hanya mengakui kalau masih ada target program yang belum semuanya dicapai. Dan, pengakuan terhadap ‘gagalnya mencapai target program’ itu juga merupakan bagian dari kejujuran. Tepatnya, menurut versi ini, SBY sudah berupaya menyampaikan informasi dan data yang jujur kepada masyarakat luas.
Perbedaan pandangan seperti itu sebenarnya wajar-wajar saja, karena masing-masing berdasarkan data yang dimiliki. Presiden memiliki data atau angka-angka statistik yang disiapkan oleh para pembantunya. Sementara para tokoh agama, selain berdasarkan pengalaman lapangan berinteraksi dengan komunitas dan termasuk derita serta jeritan dari sebagian umat, juga ditopang oleh sumber-sumber kredibel baik dari kalangan akademisi maupun aktivis.
Kendati begitu, secara teoretik, posisi dan sikap para tokoh agama akan selalu kontras dengan para politisi. Mengapa? Dari segi orientasi, para tokoh agama lebih pada pengejawantahan nilai-nilai kebenaran dan kejujuran berdasarkan ruh ajaran agama yang dianutnya. Mereka merupakan sumbu penerang, panutan dan sekaligus berjuang bagi para umatnya dan masyarakat luas pada umumnya. Dan, ketika menyimpang dari itu semua, maka secara berangsur akan mengalami penurunan kepercayaan dari komunitas yang mereka pimpin dan bimbing; akan kehilangan ketokohan dalam masyarakat. Padahal kepercayaan mayarakat itulah yang menjadi modal dasar dan utama untuk tetap eksis dari waktu ke waktu.
Sementara kalangan politisi, yang dalam konteks ini adalah para elite pemerintah yang sedang disorot oleh para tokoh agama itu, jelas orientasinya adalah kekuasaan, mengesampingkan dimensi moral dalam pandangan dan tindakan. Terlebih lagi bagi mereka yang sudah terlanjur menikmati kekuasaan, pastilah dengan sagala cara berupaya untuk mempertahankan posisi, termasuk dengan cara-cara kasar atau kekerasan untuk menyingkirkan lawan politiknya.
Semua itu dianggap wajar-wajar saja. Apalagi kalau hanya sekedar menyampaikan data atau informasi yang tidak diketahui oleh masyarakat awam alias berbohong, sudah pasti hal itu tak akan pernah dianggap sebagai pelanggaran dalam dunia politik. Setidaknya, bagi para politisi, pernyataan dan sikap yang intinya ‘berbohong’, merupakan suatu cara untuk tetap meyakinkan publik sehingga bisa tetap dipercaya oleh masyarakat awam dan eksis pada kekuasaannya. Sebab bila secara jujur mengakui apa adanya, maka bukan mustahil masyarakat akan menganggap pemerintahan sudah gagal menjalankan tugas dan kewajiban azasinya.
Pertanyaannya kemudian, masih pantaskah kita mempersoalkan kebohongan pemerintahan sementara para figurnya umumnya merupakan politisi? Atau, sebaliknya, bukankah akan lebih simpati bagi Preiden SBY dan jajarannya kalau menerima pernyataan kebohongan sebagai koreksi mendasar untuk kemudian melakukan perbaikan ke depan? Kedua pertanyaan yang saling terkait itu memang penting untuk direnungkan, karena kalau mau jujur diakui, negara ini memang (mulai dari pusat hingga sampai di daerah) merupakan miliki atau dibawah kendali politisi dengan karakter atau orientasinya seperti dijelaskan di atas.
Kebohongan dari para elite penyelenggara negara sudah merupakan konsumsi rutin dan masuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat, sekaligus secara fundamental merusak atau mencemari moralitas rakyat yang semula menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Bahkan, pada tingkat tertentu, akan sangat jarang para penyelenggara negara ini bisa tampil dan eksis kalau tidak terlebih dahulu menipu atau menebar kebohongan.
Cobalah, misalnya, pelajari janji-janji politik saat kampanye para calon pejabat publik (mulai dari presiden, para anggota parlemen, sampai pada kepala daerah), dan kemudian bandingkan dengan realisasi atau kebijakannya setelah menjabat. Pastilah umunya akan menyimpang. Dan, jangan heran kalau untuk menghindar dari kebohongannya, maka para pemimpin (elite politik) itu akan dengan canggih mengungkapkan keberhasilan dengan berbagai data dan argumen kebohongan yang direkayasa secara canggih. Parahnya lagi, walaupun masyarakat sudah mengetahui pemimpinnya berbohong, toh tetap dimaafkan. Inilah barangkali sebagai bagian dari konsekwensi masyarakat kita yang sering terjebak pada sifat dan sikap permisif.
Kondisi seperti itulah, barangkali, yang hendak diperjuangkan oleh para tokoh agama di negeri ini dengan mencoba melontarkan kritik tajam terhadap pemerintahan sekarang ini, dengan istilah kasar “melakukan kebohongan” – sebuah upaya untuk mengembalikan sistem nilai kejujuran sebagai panduan moral dalam mengelola bangsa ini. Sebab seharusnya kita menyadari bahwa tanpa desakan dan campur tangan para figur yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral agama itu untuk mengingatkan para penyelenggara negara, maka bangsa ini akan semakin mengalami demoralisasi publik sebagai konsekwensi dari jebakan kekuasaan politik yang sangat mapan.
Namun persoalannya, mungkin lantaran tidak semua tokoh agama di negeri ini bisa bebas dari kepentingan politik, sehingga pemerintah agak enggan (bahkan resisten) untuk menerimanya secara tulus dan lapang dada.
Jakarta, 15 Januari 2011.
Laode Ida
Laodeida88@yahoo.com
0811184884.
Sumber : http://www.facebook.com/profile.php?id=100000207927858&sk=notes#!/notes/laode-ida-satu-full/kekuasaan-dan-kebohongan/184632354894547