Opinion Peblika

Opinion Peblika
Suasana Foto Galian Tanah Tambang C Tanpa Melalui SRKL dan AMDAL di Wakatobi

Kamis, 25 April 2013

VISI POLITIK IMAJINER POLITISI & KEGALAUAN KENDARAAN POLITIK MANIPULATIF

 OLEH : BIA WAKATOBI
 
Biarlah siapa pun orangnya mau mengatakan bahwa, saya selalu berkontemplasi alias beronani dengan perenungan dan pemikiran di berbagai seputar carut marut nya negeriku. Ini masih lebih baik dibandingkan dengan hanya berdiam diri seakan menerima berbagai kebejatan dan seluruh hal yang nyeleneh menyangkut pengelolaan negeriku yang semakin keropos dan akut.

Politik Indonesia pasca Peristiwa Reformasi (1998), yang diprediksi dan diharapkan akan lebih kontributif terhadap perjalanan demokrasi kita, terbukti berlangsung tanpa greget.

Pasca-Reformasi, setelah Gus Dur lengser, implikasi desakralisasi menjadi fenomena umum sangat terasa dalam kehidupan politik yang euforianya penuh gairah.

Tetapi seperti yang kita saksikan dan rasakan bersama, fakta yang terungkap dari pemilu ke pemilu dari pilkada ke pilkada, tampaknya representasi sumber daya politik yang memiliki visi, moralitas publik, dan punya komitmen masih saja jauh panggang dari api. Padaha kita sangat berharap agar muncul Kelas yang notabene memiliki preferensi politik yang tinggi.

Kita pastilah sepakat, siapa pun orangnya, bila merupakan sosok yang bersih-profesional pro kesejahteraan, keberadaannya dibutuhkan di mana pun di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.

Pikiran kontradiktif yang membenturkan figur dan sistem seperti itu, bersifat reduksionis, karena sebetulnya tidak ada persoalan sama sekali dengan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara kita yang berpedoman pada empat pilar: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Seorang pemimpin yang cakap pastilah punya kemampuan berimajinasi untuk menjawab persoalan, tetapi ia pun paham betul bahwa kebijakan bukanlah sesuatu yang sifatnya imajiner.

Ekspektasi kita terhadap rekrutmen sumber daya politik dalam rangka menuju arah baru berpolitik terbilang tinggi. Hal itu diperlihatkan oleh kelas menengah, misalnya, kepedulian mereka terhadap pemimpin yang berkualitas; visioner, bermoral, dan punya komitmen menjadi sesuatu yang nonsens bila pemilu (pileg, pilpres, dan pilkda) berlangsung amburadul karena daftar pemilih yang rawan manipulasi dalam berbagai tingkatan.

Aroma ketidakpercayaan, kecurigaan, keraguan dan kesangsian, menghiasi ruang politik akhir-akhir ini. Aneka pernyataan, protes, demonstrasi dan petisi oleh aneka kelompok masyarakat terhadap pemerintah menghiasi panggung politik harian. Berbagai tuduhan tentang kebohongan, manipulasi, kepalsuan dan ketakjujuran menjadi perdebatan semantik dalam wacana politik mutakhir, yang memengaruhi persepsi, kesadaran, dan opini publik tentang makna demokrasi. Ada kecurigaan publik bahwa selama ini bangsa ini hidup di alam demokrasi tak bertuan, di mana prinsip kekuasaan di tangan rakyat justru dimanipulasi oleh para elite politik yang, dengan memainkan aneka permainan kotor dan konsensus palsu, menyembunyikan kebenaran dari rakyat. Rakyat, yang sejatinya tuan dari sistem demokrasi, kini tak lain dari obyek demokrasi itu sendiri, yang suaranya tak pernah didengar, aspirasinya tak pernah disampaikan, dan keinginannya tak pernah diwujudkan.

Maka, aneka protes, demonstrasi, dan petisi dari aneka kelompok masyarakat terhadap pemerintah akhir-akhir ini dapat dilihat sebagai gejala tumbuhnya kesadaran baru tentang emansipasi demokratis, di mana rakyat ingin menunjukkan fungsi deliberatif sebagai kekuatan korektif penuntun demokrasi yang sejati. Kekuatan rakyat, di satu pihak, tentu menimbulkan ketakutan pada elite-elite politik busuk, tetapi di pihak lain memberikan sebuah harapan akan masa depan politik yang lebih emansipatif.
Hal ini sangat beralasan oleh karena di dalamnya begitu banyak fakta ditutupi, konsensus diselubungi, dan kebenaran disembunyikan yang berakhir Dengan permainan kebenaran para elite politik, dengan memainkan bidak-bidak kepalsuan, manipulasi dan simulasi, serta memosisikan rakyat sebagai yang dihitung, tetapi tak masuk hitungan.

Rakyat diperlakukan sebagai populasi dan tubuh politik tak bernama. Mereka adalah surplus sosial yang dibangun oleh orang-orang tak punya kualifikasi untuk bersuara sehingga memerlukan wakil rakyat untuk menyuarakan aspirasinya. Kedaulatan rakyat selama ini tak lain dari kekuatan tanpa eksistensi, yaitu eksistensi suplemen dari mereka yang dihitung tetapi tak masuk hitungan, yang dibagi tetapi tak punya bagian, yang punya hak suara tetapi tak dapat bersuara.

Konsensus politik selama ini menjadi alat normalitas politik, yang melaluinya dibangun partisi antara apa yang diterima umum dan menjadi ukuran kualifikasi dalam politik serta apa yang tak umum. Konsensus menyingkirkan yang tak umum ini dari ruang politik, sebagai bagian dari yang tak memiliki kualifikasi: itulah rakyat! Karena itu, konsensus politik kian membungkam suara rakyat yang tak umum itu. Esensi politik adalah disensus, yaitu membuat tampak segala yang disembunyikan, menyuarakan segala yang dibungkam, menjadikan terang segala yang gelap. Esensi politik adalah mengganggu yang umum sebagai produk konsensus palsu, dengan menampakkan apa yang disembunyikan dari kamar gelap politik, memberi nama apa yang tak bernama, dan membuat bersuara segala yang dibisukan.

Akan tetapi, fungsi mengganggu ini tak bisa diharapkan pada partai politik karena ia menjadi bagian dari normalitas itu sendiri, dengan segudang kepentingan yang dibangun di balik normalitas itu. Fungsi mengganggu itu kini hanya bisa diharapkan dari demos agar kekuasaan nyata rakyat dapat berfungsi. Fungsi nyata demos adalah menjaga agar ketepercayaan (trust) menjadi fondasi dari demokrasi, dengan secara permanen menyuarakan suara-suara tak umum. Distribusi kekuasaan Demokrasi hanya berfungsi apabila distribusi kekuasaan yang diperebutkan di antara elite politik (pada proses pemilihan umum) diimbangi oleh kekuasaan tandingan dari rakyat dalam aneka bentuknya.

Demokrasi tak hanya urusan legitimasi kekuasaan melalui pemilu jujur dan adil, tetapi urusan kepercayaan yang mampu dibangun terus-menerus di antara penguasa dan yang dikuasai. Ini hanya bisa dicapai dengan mengintensifkan fungsi surveillance warga atas penguasa, yaitu secara permanen mengawasi, memonitor, dan menyelidiki setiap gerak-gerik penguasa.

Saya justru berfikir untuk melakukan langkah melalui demokrasi tandingan, kekuasaan rakyat tak sekadar ditunjukkan secara formal melalui hak suara (right to vote) dalam pemilu, tetapi lebih penting lagi hak bersuara (right to speak). Kepercayaan dibangun di antara penguasa dan yang dikuasai melalui mekanisme ”tekanan permanen” terhadap pemerintah, baik berupa demonstrasi, petisi, atau solidaritas kolektif, sebagai fungsi pengawasan, penyelidikan, penyingkapan, dan penilaian terhadap setiap tindakan mereka.

Demokrasi emansipatif Demokrasi abad informasi dan digital tak bisa lagi bertumpu pada permainan kekuasaan di kalangan para elite politik, yang di dalam kamar-kamar kolaboratif melakukan hitung-hitungan, negosiasi, dan konsensus palsu, tanpa menyertakan rakyat secara nyata. Keterbukaan informasi tak nyaman lagi bagi para elite politik busuk karena kekuatan informasi yang kian dahsyat. Inilah kekuatan dahsyat komunitas virtual seperti WikiLeaks, yang mampu menelanjangi konsensus busuk lintas negara.

Demokrasi hanya bisa dibangun apabila suara antagonis dan tak umum dari rakyat didengar karena itulah esensi dari yang politis. Yang politis ini tak melulu milik partai politik, tetapi segala gerakan bersuara antagonis: gerakan antikorupsi, feminisme, lingkungan, dan subkultur. Akan tetapi, energi antagonisme itu selama ini tak mampu digerakkan oleh partai politik sebagai institusi karena ia mensyaratkan keteguhan pada perjuangan ideologis bukan kekuasaan seperti yang banyak terlihat sekarang. Ironisnya, orang-orang partai justru terperangkap dalam perburuan kekuasaan dengan meminggirkan ideologi: ”Apa pun ideologinya, yang penting kursinya!”

Dalam kondisi demikian, partai sebagai institusi politik tak dapat diharapkan menjadi pilar pembangun yang politis. Harapan yang tersisa adalah pada siapa pun yang mampu menyuarakan pandangan antagonis terhadap kemapanan, melalui penyelidikan, pengawasan, protes, demonstrasi, atau petisi, semata agar makna politik tetap terjaga. Jika tidak, politik tak lebih dari sebuah administrasi kekuasaan dalam kamar gelap demokrasi, di mana setiap konsensus hanya berujung pada obyektivikasi rakyat itu sendiri, yaitu demos yang akan selamanya menjadi yang dihitung tetapi tak pernah masuk hitungan, yang dibicarakan tetapi tak pernah mendapat kesempatan bicara, yang punya hak suara tetapi dibuat tak pernah bersuara.

Lihatlah bahwa betapa visi politik para politisi itu terperangkap secara imajiner yang galau oleh karena, belum persoalan kendaraan politik, hobi menjadi politisi kutu loncat, atau ketidak jelaskan antara visi politik, prinsip politik dan ideologi politik. Hanya karena ambisi meraup dan menangkap momentum politik Legislatif, para kader politisi instan rela berjubel untuk mendapatkan porsi dan nomor jadi, sementara sangat mengabaikan simultansi proses perkaderan. Kalau gak percaya, tengoklah beberapa bagian dari kader politisi di sekeliling Anda dan kita semua saat ini yang dalam waktu beberapa bulan saja sudah Pernah mengunjungi bahkan mempopulerkan diri menjadi bagian dari partai politik tertentu yang hanya karena faktor kepentingan peluang akurasi dan validasi DCS kemudian dengan gampang pindah dan mengumumkan keberadaannya secara instan pula.

Lazimnya, jauh sebelum dilantiknya para legislator, mereka telah menyuguhkan beragam janji politik ke seluruh pusat keramaian, pada jantung kerumunan warga. Di hadapan publik, dengan beragam latar belakang partai, mereka hadir silih berganti, menyuguhkan pandangan dan janji politik yang saling membantai, merangkai retotika. Di belakang layar mereka sajikan strategi politik yang jauh lebih “licin” hingga mampu mengepakkan nurani politik rakyat untuk beralih dari pilihan politik sebelumnya. Begitulah iklim politik yang berjalan di abad 21 ini. Sadis dan memprihatinkan. Seru tapi memilukan.

Setelah kemenangan politik nyata di depan mata, penyakit “masuk angin” mulai menghampiri, daya ingat mulai terganggu, dan sistem kerja otak yang semula berjalan lancar dan cepat, kini, mulai mengalami “kemiringan” (baca: tak memihak), hingga menyebabkan fungsi kerja Batang Otak, Sistem Limbik, dan Neokorteks saling berbenturan tanpa kendali yang memadai.

Saya berkontemplasi dan beronani pemikiran bahwa bagi para legislator, maupun aktor politik lainnya, setidaknya, ada tiga solusi yang dapat dijadikan sebagai alat untuk membendung penyakit “masuk angin” dan “hilang ingatan” di atas, sebelum menjadi akut untuk sekian tahun mendatang.

Pertama, dengan pendekatan patologik-terapeutik. Pada sisi ini, upaya yang mesti dilakukan adalah dengan mendiagnosa jenis penyakit ingatan tersebut, apakah terlampau banyak mengingat sesuatu ataukah secara sengaja melupakan. Jika hanya karena terlampau banyak mengingat, maka terapinya cukup dengan mengingatkan kembali. Namun, bila disebabkan oleh upaya melupakan dengan dengan sengaja, maka diagnosanya harus lebih menohok, keras dan sedikit mengancam.

Kedua, dengan pendekatan pragmatik. Bahwa tidak jarang persoalan “hilang-ingatan” juga disebabkan oleh banyaknya ingatan-ingatan lain. Dalam konteks ini, bila janji politik terlampau banyak, maka besar kemungkinannya akan terjadi proses hilang ingatan secara massif, atau lebih tegasnya, sengaja melupakan janji politik dalam jangka waktu yang cukup panjang. Dalam sudut pandang psikoanalisis, hal ini disebabkan oleh kekeliruan individu dalam memosisikan identitas dirinya pasca menduduki jabatan politik. Buktinya, mereka memakzulkan identitas fungsionalnya seperti siapa saya? dan mengedepankan identitas personalnya seperti apa saya?. Akibatnya, terjadilah kesimpangsiuran atas sikap politisi yang akhirnya menjejakkan kesan negatif kepada publik bahwa politisi hanya mampu memberi janji, namun gagal menuai bukti.

Ketiga, dengan pendekatan etis-politis. Sejauh ini, negara Republik Indonesia diklaim sebagai negara hukum, sehingga segala sesatu harus melalui prosedur yang dibenarkan oleh hukum. Persoalannya kemudian, tidak semua produk hukum itu memiliki semangat nurani pro-rakyat. Misalnya, pembelian PIN Emas jelang pelantikan anggota DPR(D), perjalanan dinas, pengadaan pakaian dinas, Pengadaan kendaraan dinas, dan berbagai pengadaan lainnya. Apakah itu pro-rakyat?

Pada sisi hukum, boleh jadi sudah sesuai mekanisme. Namun pada pertimbangan etis-politis, jelas ini bagian dari problem “lupa-lupa ingat” yang mendekati penyakit “hilang ingatan”. Lupa dari mana asalnya, lalai akan janjinya, dan terakhir, kepekaan nuraninya tergores oleh kemewahan dan fasilitas negara.