VISI POLITIK IMAJINER POLITISI & KEGALAUAN KENDARAAN POLITIK MANIPULATIF
OLEH : BIA WAKATOBI
Biarlah siapa pun orangnya mau mengatakan bahwa, saya selalu
berkontemplasi alias beronani dengan perenungan dan pemikiran di
berbagai seputar carut marut nya negeriku. Ini masih lebih baik
dibandingkan dengan hanya berdiam diri seakan menerima berbagai
kebejatan dan seluruh hal yang nyeleneh menyangkut pengelolaan negeriku
yang semakin keropos dan akut.
Politik Indonesia pasca
Peristiwa Reformasi (1998), yang diprediksi dan diharapkan akan lebih
kontributif terhadap perjalanan demokrasi kita, terbukti berlangsung
tanpa greget.
Pasca-Reformasi, setelah Gus Dur lengser,
implikasi desakralisasi menjadi fenomena umum sangat terasa dalam
kehidupan politik yang euforianya penuh gairah.
Tetapi seperti
yang kita saksikan dan rasakan bersama, fakta yang terungkap dari
pemilu ke pemilu dari pilkada ke pilkada, tampaknya representasi sumber
daya politik yang memiliki visi, moralitas publik, dan punya komitmen
masih saja jauh panggang dari api. Padaha kita sangat berharap agar
muncul Kelas yang notabene memiliki preferensi politik yang tinggi.
Kita pastilah sepakat, siapa pun orangnya, bila merupakan sosok yang
bersih-profesional pro kesejahteraan, keberadaannya dibutuhkan di mana
pun di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Pikiran
kontradiktif yang membenturkan figur dan sistem seperti itu, bersifat
reduksionis, karena sebetulnya tidak ada persoalan sama sekali dengan
sistem kehidupan berbangsa dan bernegara kita yang berpedoman pada empat
pilar: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Seorang pemimpin yang cakap pastilah punya kemampuan berimajinasi untuk
menjawab persoalan, tetapi ia pun paham betul bahwa kebijakan bukanlah
sesuatu yang sifatnya imajiner.
Ekspektasi kita terhadap
rekrutmen sumber daya politik dalam rangka menuju arah baru berpolitik
terbilang tinggi. Hal itu diperlihatkan oleh kelas menengah, misalnya,
kepedulian mereka terhadap pemimpin yang berkualitas; visioner,
bermoral, dan punya komitmen menjadi sesuatu yang nonsens bila pemilu
(pileg, pilpres, dan pilkda) berlangsung amburadul karena daftar pemilih
yang rawan manipulasi dalam berbagai tingkatan.
Aroma
ketidakpercayaan, kecurigaan, keraguan dan kesangsian, menghiasi ruang
politik akhir-akhir ini. Aneka pernyataan, protes, demonstrasi dan
petisi oleh aneka kelompok masyarakat terhadap pemerintah menghiasi
panggung politik harian. Berbagai tuduhan tentang kebohongan,
manipulasi, kepalsuan dan ketakjujuran menjadi perdebatan semantik dalam
wacana politik mutakhir, yang memengaruhi persepsi, kesadaran, dan
opini publik tentang makna demokrasi. Ada kecurigaan publik bahwa selama
ini bangsa ini hidup di alam demokrasi tak bertuan, di mana prinsip
kekuasaan di tangan rakyat justru dimanipulasi oleh para elite politik
yang, dengan memainkan aneka permainan kotor dan konsensus palsu,
menyembunyikan kebenaran dari rakyat. Rakyat, yang sejatinya tuan dari
sistem demokrasi, kini tak lain dari obyek demokrasi itu sendiri, yang
suaranya tak pernah didengar, aspirasinya tak pernah disampaikan, dan
keinginannya tak pernah diwujudkan.
Maka, aneka protes,
demonstrasi, dan petisi dari aneka kelompok masyarakat terhadap
pemerintah akhir-akhir ini dapat dilihat sebagai gejala tumbuhnya
kesadaran baru tentang emansipasi demokratis, di mana rakyat ingin
menunjukkan fungsi deliberatif sebagai kekuatan korektif penuntun
demokrasi yang sejati. Kekuatan rakyat, di satu pihak, tentu menimbulkan
ketakutan pada elite-elite politik busuk, tetapi di pihak lain
memberikan sebuah harapan akan masa depan politik yang lebih
emansipatif.
Hal ini sangat beralasan oleh karena di dalamnya
begitu banyak fakta ditutupi, konsensus diselubungi, dan kebenaran
disembunyikan yang berakhir Dengan permainan kebenaran para elite
politik, dengan memainkan bidak-bidak kepalsuan, manipulasi dan
simulasi, serta memosisikan rakyat sebagai yang dihitung, tetapi tak
masuk hitungan.
Rakyat diperlakukan sebagai populasi dan tubuh
politik tak bernama. Mereka adalah surplus sosial yang dibangun oleh
orang-orang tak punya kualifikasi untuk bersuara sehingga memerlukan
wakil rakyat untuk menyuarakan aspirasinya. Kedaulatan rakyat selama ini
tak lain dari kekuatan tanpa eksistensi, yaitu eksistensi suplemen dari
mereka yang dihitung tetapi tak masuk hitungan, yang dibagi tetapi tak
punya bagian, yang punya hak suara tetapi tak dapat bersuara.
Konsensus politik selama ini menjadi alat normalitas politik, yang
melaluinya dibangun partisi antara apa yang diterima umum dan menjadi
ukuran kualifikasi dalam politik serta apa yang tak umum. Konsensus
menyingkirkan yang tak umum ini dari ruang politik, sebagai bagian dari
yang tak memiliki kualifikasi: itulah rakyat! Karena itu, konsensus
politik kian membungkam suara rakyat yang tak umum itu. Esensi politik
adalah disensus, yaitu membuat tampak segala yang disembunyikan,
menyuarakan segala yang dibungkam, menjadikan terang segala yang gelap.
Esensi politik adalah mengganggu yang umum sebagai produk konsensus
palsu, dengan menampakkan apa yang disembunyikan dari kamar gelap
politik, memberi nama apa yang tak bernama, dan membuat bersuara segala
yang dibisukan.
Akan tetapi, fungsi mengganggu ini tak bisa
diharapkan pada partai politik karena ia menjadi bagian dari normalitas
itu sendiri, dengan segudang kepentingan yang dibangun di balik
normalitas itu. Fungsi mengganggu itu kini hanya bisa diharapkan dari
demos agar kekuasaan nyata rakyat dapat berfungsi. Fungsi nyata demos
adalah menjaga agar ketepercayaan (trust) menjadi fondasi dari
demokrasi, dengan secara permanen menyuarakan suara-suara tak umum.
Distribusi kekuasaan Demokrasi hanya berfungsi apabila distribusi
kekuasaan yang diperebutkan di antara elite politik (pada proses
pemilihan umum) diimbangi oleh kekuasaan tandingan dari rakyat dalam
aneka bentuknya.
Demokrasi tak hanya urusan legitimasi
kekuasaan melalui pemilu jujur dan adil, tetapi urusan kepercayaan yang
mampu dibangun terus-menerus di antara penguasa dan yang dikuasai. Ini
hanya bisa dicapai dengan mengintensifkan fungsi surveillance warga atas
penguasa, yaitu secara permanen mengawasi, memonitor, dan menyelidiki
setiap gerak-gerik penguasa.
Saya justru berfikir untuk
melakukan langkah melalui demokrasi tandingan, kekuasaan rakyat tak
sekadar ditunjukkan secara formal melalui hak suara (right to vote)
dalam pemilu, tetapi lebih penting lagi hak bersuara (right to speak).
Kepercayaan dibangun di antara penguasa dan yang dikuasai melalui
mekanisme ”tekanan permanen” terhadap pemerintah, baik berupa
demonstrasi, petisi, atau solidaritas kolektif, sebagai fungsi
pengawasan, penyelidikan, penyingkapan, dan penilaian terhadap setiap
tindakan mereka.
Demokrasi emansipatif Demokrasi abad
informasi dan digital tak bisa lagi bertumpu pada permainan kekuasaan di
kalangan para elite politik, yang di dalam kamar-kamar kolaboratif
melakukan hitung-hitungan, negosiasi, dan konsensus palsu, tanpa
menyertakan rakyat secara nyata. Keterbukaan informasi tak nyaman lagi
bagi para elite politik busuk karena kekuatan informasi yang kian
dahsyat. Inilah kekuatan dahsyat komunitas virtual seperti WikiLeaks,
yang mampu menelanjangi konsensus busuk lintas negara.
Demokrasi hanya bisa dibangun apabila suara antagonis dan tak umum dari
rakyat didengar karena itulah esensi dari yang politis. Yang politis
ini tak melulu milik partai politik, tetapi segala gerakan bersuara
antagonis: gerakan antikorupsi, feminisme, lingkungan, dan subkultur.
Akan tetapi, energi antagonisme itu selama ini tak mampu digerakkan oleh
partai politik sebagai institusi karena ia mensyaratkan keteguhan pada
perjuangan ideologis bukan kekuasaan seperti yang banyak terlihat
sekarang. Ironisnya, orang-orang partai justru terperangkap dalam
perburuan kekuasaan dengan meminggirkan ideologi: ”Apa pun ideologinya,
yang penting kursinya!”
Dalam kondisi demikian, partai sebagai
institusi politik tak dapat diharapkan menjadi pilar pembangun yang
politis. Harapan yang tersisa adalah pada siapa pun yang mampu
menyuarakan pandangan antagonis terhadap kemapanan, melalui
penyelidikan, pengawasan, protes, demonstrasi, atau petisi, semata agar
makna politik tetap terjaga. Jika tidak, politik tak lebih dari sebuah
administrasi kekuasaan dalam kamar gelap demokrasi, di mana setiap
konsensus hanya berujung pada obyektivikasi rakyat itu sendiri, yaitu
demos yang akan selamanya menjadi yang dihitung tetapi tak pernah masuk
hitungan, yang dibicarakan tetapi tak pernah mendapat kesempatan bicara,
yang punya hak suara tetapi dibuat tak pernah bersuara.
Lihatlah bahwa betapa visi politik para politisi itu terperangkap
secara imajiner yang galau oleh karena, belum persoalan kendaraan
politik, hobi menjadi politisi kutu loncat, atau ketidak jelaskan antara
visi politik, prinsip politik dan ideologi politik. Hanya karena ambisi
meraup dan menangkap momentum politik Legislatif, para kader politisi
instan rela berjubel untuk mendapatkan porsi dan nomor jadi, sementara
sangat mengabaikan simultansi proses perkaderan. Kalau gak percaya,
tengoklah beberapa bagian dari kader politisi di sekeliling Anda dan
kita semua saat ini yang dalam waktu beberapa bulan saja sudah Pernah
mengunjungi bahkan mempopulerkan diri menjadi bagian dari partai politik
tertentu yang hanya karena faktor kepentingan peluang akurasi dan
validasi DCS kemudian dengan gampang pindah dan mengumumkan
keberadaannya secara instan pula.
Lazimnya, jauh sebelum
dilantiknya para legislator, mereka telah menyuguhkan beragam janji
politik ke seluruh pusat keramaian, pada jantung kerumunan warga. Di
hadapan publik, dengan beragam latar belakang partai, mereka hadir silih
berganti, menyuguhkan pandangan dan janji politik yang saling
membantai, merangkai retotika. Di belakang layar mereka sajikan
strategi politik yang jauh lebih “licin” hingga mampu mengepakkan
nurani politik rakyat untuk beralih dari pilihan politik sebelumnya.
Begitulah iklim politik yang berjalan di abad 21 ini. Sadis dan
memprihatinkan. Seru tapi memilukan.
Setelah kemenangan politik
nyata di depan mata, penyakit “masuk angin” mulai menghampiri, daya
ingat mulai terganggu, dan sistem kerja otak yang semula berjalan lancar
dan cepat, kini, mulai mengalami “kemiringan” (baca: tak memihak),
hingga menyebabkan fungsi kerja Batang Otak, Sistem Limbik, dan
Neokorteks saling berbenturan tanpa kendali yang memadai.
Saya
berkontemplasi dan beronani pemikiran bahwa bagi para legislator, maupun
aktor politik lainnya, setidaknya, ada tiga solusi yang dapat dijadikan
sebagai alat untuk membendung penyakit “masuk angin” dan “hilang
ingatan” di atas, sebelum menjadi akut untuk sekian tahun mendatang.
Pertama, dengan pendekatan patologik-terapeutik. Pada sisi ini, upaya
yang mesti dilakukan adalah dengan mendiagnosa jenis penyakit ingatan
tersebut, apakah terlampau banyak mengingat sesuatu ataukah secara
sengaja melupakan. Jika hanya karena terlampau banyak mengingat, maka
terapinya cukup dengan mengingatkan kembali. Namun, bila disebabkan oleh
upaya melupakan dengan dengan sengaja, maka diagnosanya harus lebih
menohok, keras dan sedikit mengancam.
Kedua, dengan pendekatan
pragmatik. Bahwa tidak jarang persoalan “hilang-ingatan” juga disebabkan
oleh banyaknya ingatan-ingatan lain. Dalam konteks ini, bila janji
politik terlampau banyak, maka besar kemungkinannya akan terjadi proses
hilang ingatan secara massif, atau lebih tegasnya, sengaja melupakan
janji politik dalam jangka waktu yang cukup panjang. Dalam sudut pandang
psikoanalisis, hal ini disebabkan oleh kekeliruan individu dalam
memosisikan identitas dirinya pasca menduduki jabatan politik. Buktinya,
mereka memakzulkan identitas fungsionalnya seperti siapa saya? dan
mengedepankan identitas personalnya seperti apa saya?. Akibatnya,
terjadilah kesimpangsiuran atas sikap politisi yang akhirnya menjejakkan
kesan negatif kepada publik bahwa politisi hanya mampu memberi janji,
namun gagal menuai bukti.
Ketiga, dengan pendekatan
etis-politis. Sejauh ini, negara Republik Indonesia diklaim sebagai
negara hukum, sehingga segala sesatu harus melalui prosedur yang
dibenarkan oleh hukum. Persoalannya kemudian, tidak semua produk hukum
itu memiliki semangat nurani pro-rakyat. Misalnya, pembelian PIN Emas
jelang pelantikan anggota DPR(D), perjalanan dinas, pengadaan pakaian
dinas, Pengadaan kendaraan dinas, dan berbagai pengadaan lainnya. Apakah
itu pro-rakyat?
Pada sisi hukum, boleh jadi sudah sesuai
mekanisme. Namun pada pertimbangan etis-politis, jelas ini bagian dari
problem “lupa-lupa ingat” yang mendekati penyakit “hilang ingatan”. Lupa
dari mana asalnya, lalai akan janjinya, dan terakhir, kepekaan
nuraninya tergores oleh kemewahan dan fasilitas negara.