KONTEPLASI PEMIKIRAN FENOMENA NEGARA KLEPTOKRASI BANGSA INDONESIA
OLEH : BIA WAKATOBI
Pagi di minggu hari ini, mencoba bermain dalam kontemplasi pemikiran
tentang negeriku yang hari ini semakin carut marut tanpa kejelasan
sistem demokrasi. Hasil kontemplasi pemikiran saya kemudian tertuju pada
pemaknaan secara gramatikal apa yang disebut dalam istilah kamus
tentang "KLEPTOKRASI". Catatan ini saya ramu dari berbagai sumber yang
bertujuan untuk mensosialisasikannya karena dasar pemahaman bahwa
penggemar Facebook adalah masyarakat mayoritas yang dengan mudah di
akses untuk kemudian dapat menginformasikannya kepada masyarakat lain
yang tidak mengetahuinya.
Hari ini negriku dan juga negeri
anda, Korupsi tak hanya terjadi di lembaga yudikatif, peradilan, tetapi
juga ada di legislatif dan eksekutif. Kondisi ini diketahui pemerintah
maupun rakyat. Namun, pemerintah tak berhasil mengatasinya.
Coba kita cermati bersama sistem peradilan yang dihancurkan secara
sistematis oleh pemangku keadilan, penegak hukum, politisi, pejabat, dan
pengusaha melalui cara-cara memperjualbelikan dan mentransaksikan
keadilan dengan fasilitas mewah.
Ada perbedaan perlakuan
terhadap masyarakat kecil yang mencari keadilan dengan tersangka
korupsi, yang umumnya adalah pejabat, pengusaha, atau politisi. Hampir
dalam semua kasus, petani kecil itu selalu dikalahkan. Pengusaha dan
politisi koruptor selalu menang".
Terbongkarnya kasus suap
yang melibatkan hakim sangat memprihatinkan. Peradilan adalah benteng
terakhir dari proses hukum setelah proses penyidikan di kepolisian dan
penuntutan di kejaksaan. Jika benteng terakhir penjaga keadilan
tergerogoti virus korupsi, tentu akan sulit dibayangkan penegakan hukum
di negeri ini bisa berjalan baik.
Yang jelas, korupsi bersama
telah menjadi suatu model korupsi di negeri ini, yang dalam suatu kasus
korupsi, bukan saja dilakukan satu atau dua orang, melainkan melibatkan
banyak orang. Bahkan dilakukan secara terorganisasi, sehingga kerap juga
disebut korupsi berorganisasi. Dan korupsi berskala besar kerap diambil
lewat keputusan-keputusan bersama yang kompromistis.
Menurut
Jared Diamond dalam buku Gun, Germs and Steel: The Fates of Human
Society (1999), korupsi yang melibatkan banyak orang dalam suatu kasus
lebih sering terjadi di tataran kelompok elite negara yang terdiri dari
pejabat tinggi negara, aparatur birokrasi dan anggota parlemen yang
memegang otoritas publik-rakyat. Korupsi model ini membentuk sosok
sejatinya yang semakin sempurna, dalam negara yang disebut negara
kleptokrasi, dengan politik oligarkis, dan bentuk pemerintahan
plutokrasi.
Kleptokrasi berasal dari bahasa Latin (kleptein dan
cracy), yang berarti mencuri (to steal) atau mengambil paksa sesuatu
yang bukan menjadi hak (to rob). Negara kleptokrasi adalah negara yang
dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan ditandai oleh keserakahan,
ketamakan, dan korupsi merajalela (a government characterized by rampant
greed and corruption), Amich Alhumami (2005).
Istilah
kleptokrasi seperti diuraikan ini menjadi sangat populer setelah
digunakan oleh Stanislav dalam Kleptocracy or Corruption as a System of
Government (1968) yang merujuk pada a ruler or top official whose
primary goal is personal enrichment and who possesses the power to gain
private fortunes while holding public office.
Artinya, sebuah
pemerintahan yang sarat dengan praktek korupsi dan penggunaan kekuasaan
yang bertujuan mencari keuntungan secara tidak halal, sehingga sistem
pemerintahan dan budaya masyarakat pun berada di bawah bayangan para
kleptomaniak, pengidap penyakit kleptomania.
Dalam ilmu
psikologi, kleptomania adalah penyakit jiwa yang mendorong seseorang
mencuri sesuatu, meskipun ia telah memiliki sesuatu yang dicurinya itu.
Karena itu, pengidap penyakit kleptomania dikatakan berwatak sangat
serakah. Negara kleptokrasi adalah negara yang dalam gambaran filsuf
Friederich Nietzsche, ibarat monster yang paling dingin dari yang
terdingin karena beroperasi dengan mencuri harta kekayaan penduduk
dengan bermacam alasan, sehingga elite korup ibarat kera yang saling
menginjak untuk mendapatkan materi dan kekuasaan.
Fenomena
korupsi dalam negara kleptokrasi akan bertambah sempurna jika disokong
oleh budaya politik oligarkis dan sistem pemerintahan plutokrasi.
Oligarki adalah kekuasaan di tangan segelintir orang, politisi dan
pengusaha. Sedangkan plutokrasi adalah pemerintahan yang diatur dan
dikendalikan oleh sekelompok orang kaya yang mengambil keuntungan materi
dari dana yang dikucurkan negara.
Politik oligarkis adalah
suatu konfigurasi politik yang didominasi kelompok elite yang
mengerjakan politik melalui transaksi-transaksi yang saling
menguntungkan di antara elite sendiri. Di dalam konfigurasi politik yang
oligarkis keputusan-keputusan penting kenegaraan ditetapkan oleh para
elite negara secara kolutif dan koruptif, sehingga keberadaan mereka
ibarat di negeri kleptokrasi.
Sebuah negara hancur jika telah
menjelma menjadi negara kleptokrasi yang pemerintahannya dijalankan
secara plutokrasi, yaitu sekelompok orang- orang kaya yang
korup-plutokrat. Dan lebih hancur lagi jika para plutokrat itu
mengendalikan pemerintahan di atas roda politik oligarkis, di mana
keputusan-keputusan kenegaraan selalu bernuansa koluptif dan koruptif
demi keuntungan diri.
Sesungguhnya oligarki dan plutokrasi
telah melekat pada sistem demokrasi di negeri ini baik secara manifes
maupun laten. Keberadaan mereka ibarat penumpang gelap yang berbahaya.
Bagi negara kleptokrasi ala Indonesia pertumbuhan oligarki dan
plutokrasi sudah berjalan secara intra-organisasi dalam bentuk-bentuk
persekongkolan, kroniisme dan nepotisme.
Parpol di negeri ini
telah dirasuki oleh politik oligarkis dan plutokrasi. Ini terlihat dari
tidak adanya satu pun parpol yang memiliki kemampuan keuangan mandiri
dan hidup dari iuran anggota. Dan sudah menjadi rahasia umum, jika
parpol, terutama parpol yang ikut dalam pemerintahan selalu berusaha
menempatkan orang-orangnya pada posisi basah di lembaga pemerintahan dan
BUMN guna menghimpun dana bagi parpol.
Untuk itu, keberadaan
parpol tidak lagi dapat menyentuh fungsi idealnya sebagai pelaksana roda
demokrasi, sebab di dalam sistem politik negara yang oligarkis, parpol
hanya menjadi political crowded (kerubutan politik). Di dalam kerubutan
politik yang oligarkis ini para elite hanya berjuang demi keuntungan
partai dan diri sendiri.
Maka, korupsi di negeri ini pun
menjadi bertambah bak virus menular yang terus mengganas dan berjalan
semakin terorganisasi. Penguasa eksekutif, aparatus birokrasi dan
parlemen terus memperkuat diri menjadi lembaga transaksi-transaksi
kekuasaan dan berkompromi dalam membuat keputusan.
Korupsi pun
berkembang menjadi syndrome-anomy di mana masyarakat tidak lagi
berpandangan negatif terhadap korupsi. Korupsi dianggap sebagai sebuah
budaya baru yang harus dilestarikan. Terjadilah pembiaran dan apatisme
publik terhadap para koruptor. Maka, menguatnya demokrasi dus tumbuhnya
budaya kontrol menjadi sia-sia, karena di samping tidak berdaya terhadap
kolusi antara pemerintah, pengusaha, parpol, dan parlemen, semua
kebobrokan telah dianggap sebagai sebuah perubahan sosial yang wajar.
Semua fenomena di atas disebabkan terjadinya degradasi moralitas yang
parah di tengah masyarakat bangsa. Padahal, moralitas berkontribusi
besar bagi berkembang atau sebaliknya menambah terpelorotnya sebuah
negara ke dalam lembah kleptokrasi, dengan sistem pemerintahan
plutokrasi dan politik yang bernafaskan konfigurasi politik oligarkis.
Persoalannya, bagaimana merevitalisasi moral dan menumbuhkan moralitas
publik. Ini dapat dibangun lewat bentukan budaya tandingan yang berbasis
agama, pengembangan budaya antikorupsi, dan pendidikan norma-norma
serta nilai-nilai luhur dalam masyarakat, terutama di
komunitas-komunitas pendidikan. Itu harus terfokus sebagai gerakan
budaya tandingan berbasis (counter culture) komunitas (community-based
movement). Dan ini semua tentu membutuhkan waktu lama dan stamina yang
prima.
Namun, itu semua menjadi sia-sia jika para pejabat
eksekutif, aparatur birokrasi, parlemen, dan politisi tidak mengubah
perilaku dan menjadi contoh dan pelita hati bagi rakyatnya. Krisis
bangsa akan sulit diselesaikan jika kaum elite negara tetap mengindap
gangguan jiwa, menjadi kleptomaniak dengan stadium yang semakin lanjut.
Sepertinya sudah masanya kita melakukan jihad bagi minoritas yang telah
melakukan tirani mayoritas. Para minoritas ini adalah elit yang dengan
kecerdikan dan kekuasaan yang mereka miliki telah melakukan teror
ekonomi dan hukum atas rakyat miskin negeri ini
Banyaknya
anggota DPR yang terjerat kasus korupsi, menurunkan kepercayaan
masyarakat terhadap kinerja lembaga tersebut. Bila aksi curi uang
rakyat itu tak segera diakhiri, kuatir akan adanya pergeseran sistem
ketatanegaraan Indonesia dari negara demokrasi menjadi kleptokrasi.
Menurut Wikipedia, sebuah negara disebut kleptokrasi apabila ia
diperintah oleh para maling. Hal ini didasarkan pada pemahaman adanya
bentuk administrasi publik yang menggunakan uang yang berasal dari
publik untuk memperkaya diri sendiri. Administrasi publik semacam itu
umumnya tidak jauh dari praktik-praktik kronisme, nepotisme dan
makelarisme.
Dalam konteks yang carut marut demikian, Siapa pun
bisa menuding siapa saja sebagai biangnya. Rakyat bisa menunding
pejabat publik. Pejabat menuding pengusaha yang suka menyogok untuk
memerlancar urusannya. Atau menyalahkan rakyat yang juga gemar menerima
uang saat Pemilu atau mengambighitamkan gaji yang kecil.
Namun,
serumit apa pun lingkaran saling menuding, akar pangkalnya toh bisa
ditelusuri. Dilihat dari sisi pengelolaan negara, akar pangkal makin
liarnya korupsi pastilah bersumber dari Pemerintah. Mengapa? Karena
Pemerintahlah penanggung jawab pengelolaan negara.
Lihat saja
tingkat kesungguhan negara dalam memberantas korupsi. Dari waktu ke
waktu, negara dan para penegak hukum cenderung hanya mengurusi kasus
keroco, kasus kelas teri, dan membiarkan kasus kakap terus
bergentayangan. Sialnya kasus kelas teri itu dicitrakan sebagai kasus
besar yang bernilai hebat.
Beberapa di antaranya yang tergolong
kelas teri itu ialah kasus Gayus Tambunan, wisma atlet Palembang,
Hambalang, kasus Djoko Susilo yang diduga telah merugikan Negara sekitar
Rp 100 miliar, Nazzaruddin, Angelina Sondakh, Anas, Andi Malarangeng,
atau Ibas yang disebut Yulianis menerima 200 ribu dollar US, tapi
dibantah oleh Ibas.
Lho kok disebut kelas teri? Bukankah
miliaran itu besar sekali? Bukankah harta rampokan Djoko Susilo tersebar
ke mana-mana? Apakah 400 miliar harta Nazaruddin yang diduga hasil
pencucian uang boleh dibilang kecil?
Ya, tentu saja semuanya
besar. Bahkan sangat besar bagi orang seperti saya dan sebagian besar
rakyat Indonesia yang tak pernah melihat uang sebanyak itu. Tapi
dibandingkan dengan perampokan triliunan uang negara beberapa waktu lalu
yang terus dilupakan, nampaknya kasus-kasus di atas sangat tidak
sebanding. Terlalu kecil!
Membiarkan Koruptor Kakap
Masih ingat kasus BLBI yang kemudian disusul kasus Bank Centry, bukan?
Masih ingat pula nama-nama koruptor kakap yang terus menerus menghiasi
halaman-halaman muka surat kabar beberapa waktu lalu, bukan? Banyak
media merilis nama koruptor kakap dan jumlah nilai uang yang dilarikan
ke luar negeri.
Sebutlah umpamanya Banjarmasinpost.co.id. Pada
edisi Senin, 4 Juli 2011, ia merilis daftar 45 koruptor yang lari keluar
negeri. Nilai yang mereka larikan sungguh tak terbayangkan. Hampir
semua riliunan rupiah! Sebutlah Sjamsul Nursalim, dalam kasus korupsi
BLBI Bank BDNI. Ia merugikan negara Rp 6,9 triliun dan 96,7 juta dollar
Amerika. Kasus itu sudah masuk proses penyidikan. Namun kasusnya
dihentikan (SP3) oleh Kejaksaan.
Contoh lainnya, Bambang
Sutrisno dalam kasus BLBI Bank Surya. Ia merugikan negara Rp 1,5
triliun. Andrian Kiki Ariawan dalam kasus BLBI Bank Surya, kerugian
negara Rp 1,5 triliun. Eko Adi Putranto dan Sherny Konjongiang dalam
kasus korupsi BLBI Bank BHS. Masing-masing menggondol uang negara dengan
jumlah yang sama Rp 2,659 triliun. Atau David Nusa Wijaya dengan nilai
kerugian negara Rp 1,9 trilun, Edi Tanzil Rp 1,3 triliun, Agus Anwar,
dalam kasus korupsi BLBI Bank Pelita, dengan kerugian negara Rp. 1,9
triliun. Dan banyak lagi.
Pertanyaannya, kalau mereka berada di
luar negeri mengapa Negara terus loyo memburu mereka, padahal Negara
terkesan kuat ketika memburu Nazaruddin? Apakah Negara RI ini masih
memiliki tujuan sebagai Negara normal? Atau apakah Negara RI ini masih
layak disebut sebagai sebuah negara? Ratusan bahkan ribuan Undang-undang
yang terus dihasilkan DPR, untuk apa? Presiden, para Menteri, pejabat
negara lain dan para Pemimpin Partai Politik itu mengurusi apa?****