PENTINGNYA PERHELATAN PEMILU 2014 MELAHIRKAN DPR YANG BERKUALITAS DALAM KONSEP DAN TINDAKAN
OLEH : BIA WAKATOBI
Perhelatan demokrasi terbesar negeri ini akan di langsung kan pada hari
Rabu tanggal 9 April 2014 tahun depan, namun saat ini genderang nya
sudah mulai terasa dengan munculnya berbagai spanduk dan baliho di
berbagai sudut-sudut jalan.
Ada hal yang perlu menjadi
perhatian kita semua bahwa seiring dengan semakin banyaknya
anggota-anggota DPR yang tersangkut kasus-kasus hukum, partai politik
kini dituntut untuk lebih ketat dalam melakukan seleksi. Agaknya memang
bukan perkara sulit untuk menjadi seorang anggota legislatif di negara
yang masih tengah memuja euforia politik seperti Indonesia ini.
Keengganan partai politik untuk menjadikan aspek intelektualitas,
kompetensi, dan etika sebagai parameter utama perekrutan caleg turut
memberikan andil bagi terpilihnya orang-orang yang tidak memiliki etika
dan kualitas kompetensi memadai sebagai anggota legislatif. Lihat saja
fenomena anggota DPR tidur di ruang sidang atau mereka pada
cakar-cakaran yang di pertontonkan di layar televisi.
Hal itu
diperparah oleh minimnya informasi tentang rekam jejak (track record) si
caleg yang dapat diakses oleh masyarakat luas padahal informasi
menganai rekam jejak caleg sungguh sangat berguna bagi publik untuk
melakukan evaluasi dan penilaian apakah layak untuk menitipkan amanah
pada caleg yang bersangkutan. Di samping itu, publik pun tentu juga
lebih mudah menguji janji kampanye si caleg bila mengetahui jejak rekam
caleg bersangkutan selama ini. Kesalahan partai politik dalam merekrut
caleg inilah yang kemudian memunculkan keraguan publik terhadap kualitas
intelektualitas, kompetensi, dan etika para anggota DPR.
Berbagai realitas miris itu kian menegaskan penilaian publik selama ini
bahwa selama ini partai politik cenderung mengutamakan aspek ketokohan
semisal artis "publik figure" dan kemampuan finasial semata dalam
melakukan perekrutan caleg. Karena itu, di masa mendatang partai politik
mutlak harus lebih mempertimbangkan dan mengutamakan aspek
intelektualitas, kompetensi, dan etika sebagai parameter utama
perekrutan caleg.
Masyarakat sekarang telah “cerdas”. Kita
sering mendengar ungkapan semacam itu. Tetapi yang dimaksud dengan
cerdas tersebut dalam arti masyarakat tidak mau lagi memberikan suara
kepada seorang calon secara cuma-cuma. Tidak ada yang gratis di dunia
ini. Begitu adagium terkenal yang seringkali bersliweran di sekitar
kita. Sehingga seorang calon politisi pemula yang berambisi masuk dalam
dunia yang dikatakan menarik tersebut, mau tidak mau, harus menyediakan
dana transaksi politik yang menjadi garansi jitu agar dipilih
masyarakat. Ini sudah menjadi hukum tak tertulis bahkan telah menjadi
budaya yang termapankan. Dan faktor inilah yang kemungkinan besar
menjadi penyebab kenapa para aktivis, pengamat politik, dan para
intelektual kampus enggan dan segan untuk turut serta bermain-main dalam
arena politik praktis. Disamping memang tidak punya dana, mereka juga
pasti tidak sudi melacurkan moral dan intelektualitas diri dengan harga
murah. Lebih baik tetap bertahan dikampus dari pada memaksakan diri
terseret dalam lingkaran setan tak berujung.
Dengan tradisi
rekruitmen calon anggota legislatif semacam itu maka sangat susah untuk
memimpikan SDM legislatif yang berkualitas secara moral dan
intelektual. Dalam tradisi seperti itu, arena politik praktis sejatinya
hanya membutuhkan orang-orang yang berkantong tebal. Dan otomatis
nantinya mereka juga tidak akan segan mencari ganti atas sejumlah dana
yang telah habis dikeluarkan pada masa pencalonan hingga menjadi anggota
legislatif definitif bagaimanapun pola dan caranya. Yang penting uang
pribadi bisa kembali. Apalagi jika dana yang dipakai berasal dari
pinjaman kepada bank ataupun perseorangan. Jelas calon anggota
legislatif semacam itu setelah menjadi aggota definitif tak akan sempat
memikirkan program dan kebijakan yang merakyat. Mereka akan lebih sibuk
mengakali anggaran dan biasanya akan dipakai sebagai ATM berjamaah. Para
wakil rakyat biasanya jenius dalam persoalan ini.
Dengan
begitu, rasanya kita akan segera menyepakati bahwa gedung parlemen tidak
memerlukan profesor ataupun doktor. Sebab, pada kenyataannya gedung
parlemen tidak pernah dipakai untuk melangsungkan perlombaan cerdas
cermat. Gedung parlemen hanya memerlukan orang-orang yang mengerti
bagaimana bermain dan bersaing memperebutkan kekuasaan. Untuk itu partai
disini hanya memerlukan orang-orang yang cerdik, lihai, dan berkantong
tebal. Anda tahu, seseorang yang memiliki dana berlebih dan berlimpah
akan nampak lebih cerdas dari doktor ataupun profesor. Sebaliknya,
seorang profesor jenius sekalipun akan nampak bodoh dihadapan mereka
orang-orang berkantong tebal. Jadi begitulah fenomena ganjil dan
sepertinya sudah sejak lama menjadi tradisi dalam kehidupan keseharian
kita selama ini.
Jika demikian keadaannya maka saya sangsi
dunia politik praktis akan menarik bagi para aktivis, pengamat dan para
intelektual kampus yang selama ini dikenal memegang dan memiliki
idealisme tinggi.
Padahal Hasil survei lembaga Media Survei
Nasional (Median) bulan Januari 2013 lalu menunujukkan mayoritas publik
mengehendaki kualitas caleg yang berkarakter merakyat, yaitu sebesar
27,4 persen. Sedangkan karakter caleg terbanyak kedua yang dikehendaki
rakyat adalah jujur dan bersih sebesar 19,3 persen, disusul dengan
karakter cerdas (14 persen).
Survei itu menunjukkan publik
cenderung tertarik untuk memberikan suaranya kepada calon anggota
legislatif (caleg) yang berkualitas, tidak sekedar populer. Dari survei
itu juga terlihat bahwa rakyat lebih menghendaki caleg yang merakyat
dan sering turun ke tengah masyarakat ketimbang mereka yang agamis,
sholeh, maupun yang cerdas sekalipun.
Suatu isu penting dalam
upaya meningkatkan kualitas dan kinerja para wakil rakyat jika calon
legislatif terpilih adalah soal bagaimana hubungan antara wakil rakyat
dengan konstituennya. Isu ini menjadi sorotan penting, karena apa yang
diwakili dengan apa yang mewakilinya adalah hubungan atau relasi yang
harus jelas posisi dan kedudukannya.
Fakta bahwa terdapat
realitas HUBUNGAN YANG BURUK antara para wakil rakyat dengan basis
konstituennya adalah catatan penting untuk bahan penilaian partai
terhadap kader yang sedang menjadi wakil rakyat. Masalah ini menimpa
hampir semua partai politik dan menjadi masalah inti dalam hal persoalan
hubungan antara yang diwakili dan mewakili.
Mewakili
kepentingan dan aspirasi konstituen adalah memang benar, tugas seorang
wakil rakyat untuk menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti
aspirasi dan pengaduan masyarakat, dan memberikan pertanggungjawaban
secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya. Pun
demikian kerja yang sama juga berlaku bagi anggota DPRD kabupaten/ kota
dan propinsi. Hubungan para wakil rakyat dengan konstituen sering kali
“ramai” hanya semarak pada saat menjelang pesta demokrasi pemilu akan
dilaksanakan. Konstituen acap dibutuhkan sebagai etalase demokrasi yang
meramaikan pesta pora demokrasi itu sendiri.
Konstituen belum
sepenuhnya menjadi bagian penting sebagai pemegang hak kekuasaan yang
menyerahkan dan mempercayakan kekuasaannya dipergunakan oleh para wakil
rakyat. Warna kebijakan politik masih belum sepenuhnya merupakan
aspirasi warga masyarakat yang setiap tahun bisa dilihat seberapa besar
produk-produk politik prorakyat terlahir dalam bentuk undang-undang atau
perda yang kontennya berorientasi prorakyat.
Kenyataan ini
menjadi pekerjaan rumah untuk memperbaiki bagaimana hubungan yang baik
antara yang diwakili dan yang mewakili harus selalu tercermin di dalam
produk-produk politik, sikap politik, maupun pandangan-pandangan
politiknya terhadap suatu isu. Oleh karena itu, perbaikan kualitas
lembaga legislatif seyogianya dimulai dari proses awal penjaringan
calon-calon legislatif.****