Opinion Peblika

Opinion Peblika
Suasana Foto Galian Tanah Tambang C Tanpa Melalui SRKL dan AMDAL di Wakatobi

Jumat, 12 April 2013

PENTINGNYA PERHELATAN PEMILU 2014 MELAHIRKAN DPR YANG BERKUALITAS DALAM KONSEP DAN TINDAKAN

OLEH : BIA WAKATOBI

Perhelatan demokrasi terbesar negeri ini akan di langsung kan pada hari Rabu tanggal 9 April 2014 tahun depan, namun saat ini genderang nya sudah mulai terasa dengan munculnya berbagai spanduk dan baliho di berbagai sudut-sudut jalan.

Ada hal yang perlu menjadi perhatian kita semua bahwa seiring dengan semakin banyaknya anggota-anggota DPR yang tersangkut kasus-kasus hukum, partai politik kini dituntut untuk lebih ketat dalam melakukan seleksi. Agaknya memang bukan perkara sulit untuk menjadi seorang anggota legislatif di negara yang masih tengah memuja euforia politik seperti Indonesia ini. Keengganan partai politik untuk menjadikan aspek intelektualitas, kompetensi, dan etika sebagai parameter utama perekrutan caleg turut memberikan andil bagi terpilihnya orang-orang yang tidak memiliki etika dan kualitas kompetensi memadai sebagai anggota legislatif. Lihat saja fenomena anggota DPR tidur di ruang sidang atau mereka pada cakar-cakaran yang di pertontonkan di layar televisi.

Hal itu diperparah oleh minimnya informasi tentang rekam jejak (track record) si caleg yang dapat diakses oleh masyarakat luas padahal informasi menganai rekam jejak caleg sungguh sangat berguna bagi publik untuk melakukan evaluasi dan penilaian apakah layak untuk menitipkan amanah pada caleg yang bersangkutan. Di samping itu, publik pun tentu juga lebih mudah menguji janji kampanye si caleg bila mengetahui jejak rekam caleg bersangkutan selama ini. Kesalahan partai politik dalam merekrut caleg inilah yang kemudian memunculkan keraguan publik terhadap kualitas intelektualitas, kompetensi, dan etika para anggota DPR.

Berbagai realitas miris itu kian menegaskan penilaian publik selama ini bahwa selama ini partai politik cenderung mengutamakan aspek ketokohan semisal artis "publik figure" dan kemampuan finasial semata dalam melakukan perekrutan caleg. Karena itu, di masa mendatang partai politik mutlak harus lebih mempertimbangkan dan mengutamakan aspek intelektualitas, kompetensi, dan etika sebagai parameter utama perekrutan caleg.

Masyarakat sekarang telah “cerdas”. Kita sering mendengar ungkapan semacam itu. Tetapi yang dimaksud dengan cerdas tersebut dalam arti masyarakat tidak mau lagi memberikan suara kepada seorang calon secara cuma-cuma. Tidak ada yang gratis di dunia ini. Begitu adagium terkenal yang seringkali bersliweran di sekitar kita. Sehingga seorang calon politisi pemula yang berambisi masuk dalam dunia yang dikatakan menarik tersebut, mau tidak mau, harus menyediakan dana transaksi politik yang menjadi garansi jitu agar dipilih masyarakat. Ini sudah menjadi hukum tak tertulis bahkan telah menjadi budaya yang termapankan. Dan faktor inilah yang kemungkinan besar menjadi penyebab kenapa para aktivis, pengamat politik, dan para intelektual kampus enggan dan segan untuk turut serta bermain-main dalam arena politik praktis. Disamping memang tidak punya dana, mereka juga pasti tidak sudi melacurkan moral dan intelektualitas diri dengan harga murah. Lebih baik tetap bertahan dikampus dari pada memaksakan diri terseret dalam lingkaran setan tak berujung.

Dengan tradisi rekruitmen calon anggota legislatif semacam itu maka sangat susah untuk memimpikan SDM legislatif yang berkualitas secara moral dan intelektual. Dalam tradisi seperti itu, arena politik praktis sejatinya hanya membutuhkan orang-orang yang berkantong tebal. Dan otomatis nantinya mereka juga tidak akan segan mencari ganti atas sejumlah dana yang telah habis dikeluarkan pada masa pencalonan hingga menjadi anggota legislatif definitif bagaimanapun pola dan caranya. Yang penting uang pribadi bisa kembali. Apalagi jika dana yang dipakai berasal dari pinjaman kepada bank ataupun perseorangan. Jelas calon anggota legislatif semacam itu setelah menjadi aggota definitif tak akan sempat memikirkan program dan kebijakan yang merakyat. Mereka akan lebih sibuk mengakali anggaran dan biasanya akan dipakai sebagai ATM berjamaah. Para wakil rakyat biasanya jenius dalam persoalan ini.

Dengan begitu, rasanya kita akan segera menyepakati bahwa gedung parlemen tidak memerlukan profesor ataupun doktor. Sebab, pada kenyataannya gedung parlemen tidak pernah dipakai untuk melangsungkan perlombaan cerdas cermat. Gedung parlemen hanya memerlukan orang-orang yang mengerti bagaimana bermain dan bersaing memperebutkan kekuasaan. Untuk itu partai disini hanya memerlukan orang-orang yang cerdik, lihai, dan berkantong tebal. Anda tahu, seseorang yang memiliki dana berlebih dan berlimpah akan nampak lebih cerdas dari doktor ataupun profesor. Sebaliknya, seorang profesor jenius sekalipun akan nampak bodoh dihadapan mereka orang-orang berkantong tebal. Jadi begitulah fenomena ganjil dan sepertinya sudah sejak lama menjadi tradisi dalam kehidupan keseharian kita selama ini.

Jika demikian keadaannya maka saya sangsi dunia politik praktis akan menarik bagi para aktivis, pengamat dan para intelektual kampus yang selama ini dikenal memegang dan memiliki idealisme tinggi.

Padahal Hasil survei lembaga Media Survei Nasional (Median) bulan Januari 2013 lalu menunujukkan mayoritas publik mengehendaki kualitas caleg yang berkarakter merakyat, yaitu sebesar 27,4 persen. Sedangkan karakter caleg terbanyak kedua yang dikehendaki rakyat adalah jujur dan bersih sebesar 19,3 persen, disusul dengan karakter cerdas (14 persen).

Survei itu menunjukkan publik cenderung tertarik untuk memberikan suaranya kepada calon anggota legislatif (caleg) yang berkualitas, tidak sekedar populer. Dari survei itu juga terlihat bahwa rakyat lebih menghendaki caleg yang merakyat dan sering turun ke tengah masyarakat ketimbang mereka yang agamis, sholeh, maupun yang cerdas sekalipun.

Suatu isu penting dalam upaya meningkatkan kualitas dan kinerja para wakil rakyat jika calon legislatif terpilih adalah soal bagaimana hubungan antara wakil rakyat dengan konstituennya. Isu ini menjadi sorotan penting, karena apa yang diwakili dengan apa yang mewakilinya adalah hubungan atau relasi yang harus jelas posisi dan kedudukannya.

Fakta bahwa terdapat realitas HUBUNGAN YANG BURUK antara para wakil rakyat dengan basis konstituennya adalah catatan penting untuk bahan penilaian partai terhadap kader yang sedang menjadi wakil rakyat. Masalah ini menimpa hampir semua partai politik dan menjadi masalah inti dalam hal persoalan hubungan antara yang diwakili dan mewakili.

Mewakili kepentingan dan aspirasi konstituen adalah memang benar, tugas seorang wakil rakyat untuk menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat, dan memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya. Pun demikian kerja yang sama juga berlaku bagi anggota DPRD kabupaten/ kota dan propinsi. Hubungan para wakil rakyat dengan konstituen sering kali “ramai” hanya semarak pada saat menjelang pesta demokrasi pemilu akan dilaksanakan. Konstituen acap dibutuhkan sebagai etalase demokrasi yang meramaikan pesta pora demokrasi itu sendiri.

Konstituen belum sepenuhnya menjadi bagian penting sebagai pemegang hak kekuasaan yang menyerahkan dan mempercayakan kekuasaannya dipergunakan oleh para wakil rakyat. Warna kebijakan politik masih belum sepenuhnya merupakan aspirasi warga masyarakat yang setiap tahun bisa dilihat seberapa besar produk-produk politik prorakyat terlahir dalam bentuk undang-undang atau perda yang kontennya berorientasi prorakyat.

Kenyataan ini menjadi pekerjaan rumah untuk memperbaiki bagaimana hubungan yang baik antara yang diwakili dan yang mewakili harus selalu tercermin di dalam produk-produk politik, sikap politik, maupun pandangan-pandangan politiknya terhadap suatu isu. Oleh karena itu, perbaikan kualitas lembaga legislatif seyogianya dimulai dari proses awal penjaringan calon-calon legislatif.****