JENAZAH SOEHARTO
Oleh : Armin Mustamin Toputiri
Tanggal 28 Januari 2008 — sepuluh tahun setelah turun takhta, 21 Mei 1988 — adalah hari dikebumikannya lelaki kelahiran Kemusuk, Jogyakarta, 08 Juni 1921. Sosok anak kampung yang pernah berkuasa — bisa juga dibaca: “menguasai” — Indonesia selama 32 tahun (11 Maret 1967 hingga 21 Mei 1988).
Sudah lima tahun orang yang pernah mendapat kepercayaan sebagai Presiden RI, enam periode lebih itu, bersemayam di alam sana, di pekuburan — mewah — keluarga di Karang Anyar, Solo, Jawa Tengah, tapi justru oleh banyak kalangan mulai mengungkap rasa kerinduan secara tersendiri padanya. Berbalikan arah dari “kebencian” banyak kalangan di masa akhir-akhir kekuasaannya, hingga ia lengser keprabon, bahkan hingga ajal menjemputnya.
“Kebencian” — kalau mau dikatakan begitu — tentu tak lain dari pada bentuk dan pola kepemimpinannya, yang segolongan pihak menyebutnya otoritarian. Demikian sebaliknya, kerinduan yang datang belakangan, tidak lebih kurang juga karena bentuk dan pola kepemimpinannya. Sebuah kepemimpinan yang dinilai jauh lebih menjamin kepastian, keamanan dan kedamaian. Takarannya dengan coba membandingkan kepemimpinan setelahnya.
Kalau seandainya ingin lebih jauh mengemukakan — tanpa ada maksud mau melebih-lebihkan — bahwa kerinduan itu terletak pada senyumannya yang khas, yang oleh penulis biografinya O.G. Roeder menyebutnya “The Smiling General” (senyum sang Jenderal). Sosok lelaki Jawa yang kalem dengan pembawaan tenang. Tutur katanya terbatas dan terukur, serta bertindak selalu didasari pada perencanaan matang dan terencana.
Selama 32 tahun mengemban jabatan Presiden RI, meski berkantor di istana, tapi memilih bermukim di rumah pribadinya di Jalan Cendana, kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Banyak kebijakan strategis negara dilahirkan di kediaman ini, sehingga “Cendana” — idealnya nama sebuah pohon yang memiliki nilai tinggi karena batangnya harum mewangi — justeru jauh lebih populer untuk menyebut rumah kediaman Jenderal Soeharto, Presiden RI kedua.
Pada masa kekuasaan orde baru, menyebut “cendana” adalah suatu yang seolah sakral, memiliki tuahnya sendiri. Tidak lebih kurang— karena itu tadi — nyaris seluruh kebijakan strategis di negeri ini, lahirnya dari sana. Lantaran itu, kediaman di nomor 8 itu, sangat steril. Melewati jalan Cendana saja tidak boleh sembarang orang, apalagi mau menginjakkan kaki di rumah itu. Demikian keadaannya kala itu, tanpa maksud mau melebih-lebihkan.
***
Di rumah yang begitu sakral itu jugalah, 27 Januari 2008, orang yang pernah begitu lama dan kokoh menakhodai Indonesia, terbujur kaku tak berdaya. Ia telah mangkat, menunggu waktu yang tepat bagi keluarga dan negara untuk mengebumikannya secara abadi. Dan saat itulah — di malam hari itu — saya ikut masuk dan berada di kediaman Cendana, berdiri melafazdkan do’a, tepat depan jenazah mantan penguasa yang akrab disapa Pak Harto.
Sekitar dua tiga menit melafadz do’a di tempat — satu meter dari posisi jenazah — yang disediakan bagi siapapun pelayat. Setelahnya, saya bergeser mundur sekitar dua meter merapat ke dinding, sehingga saya sedikit menjauh sekitar tiga meter dari posisi jenazah. Sekitar setengah jam lebih saya ada berdiri di situ tanpa ada yang mau menegur untuk meninggalkan tempat, padahal jenazah dikawal ketat pasukan baret merah. Sementara pelayat lain — tanpa pandang status dan jabatan — hanya bisa diberi waktu tidak lebih kurang dua sampai tiga menit.
Lima tahun sudah berlalu — hingga saat ini — saya tidak pernah bisa mengerti kenyataan istimewa saya alami malam itu. Lantaran keistimewaan saya dapatkan malam itu, makanya saya memiliki waktu cukup lama berhadapan jenazah Pak Harto dan berada di dalam rumah yang sangat sakral itu. Di saat melafazd do’a, setiap kali pula benak saya diusik renungan kalau sosok jenazah yang sedang berbaring tepat di hadapan saya, adalah manusia disegani bahkan ditakuti. Memiliki kekuasaan penuh selama 32 tahun di bangsa ini, kini saatnya terbujur kaku tanpa lagi ada kuasa sedikitpun.
Renungan saya terlalu jauh melayang, kalau inilah sosok “Jenderal Penuh” (Bintang Lima) yang pernah digelari “Bapak Pembangunan Nasional” ini, kini terbujuk kaku, tak berdaya. Semuanya harus berakhir. Apapun di muka bumi ini ada batasannya. Setinggi dan seerat kuasa ia pernah genggam, tapi masih ada yang lebih Yang Maha Kuasa yang memiliki kekuasaan tab berbatas baginya. Dari-Nya kita datang, maka kepada-Nya pula kita kembali.
Perenungan saya akan hakikat kehidupan seorang hamba, rasanya sudah terlanjur jauh. Kepala saya serasa pening. Dada saya pun serasa sesak. Saya memilih keluar dari rumah, meninggalkan tempat pembaringan jenazah. Tanpa risih, dengan percaya diri sekadarnya, saya memilih bergabung sejumlah kolega Cendana — diantaranya artis Camelia Malik dan Paula Ayustina, Isteri aktor Ongky Alexander— di bawah tenda khusus di teras rumah.
Dari arah bawah tenda inilah, saya leluasa bisa menyaksikan desakan kerumunan orang yang antri bergiliran melayat secara tertib dengan pengawalan ekstra ketat. Diantaranya Bapak Amien Rais, yang dikenal sangat getol berjuang menurunkan Pak Harto dari takhta singgasananya. Dari bawah tenda inilah juga saya bisa leluasa mengamat-amati suasana kediaman Cendana yang sakral. Begitu beruntung saya bisa ada di sini, bisik saya dalam hati.
Di ruang tamu, masih terpajang bingkai lukisan sepasang merpati putih, bersama enam ekor anaknya yang lain — konon personifikasi Pak Harto dan keluarga — yang menjadi ciri khas kediaman Cendana. Alas fikir saya seolah tidak percaya, sebegitu sederhanakah kediaman seorang yang sering disebut memiliki harta trilyunan dollar rupiah ini. Sesederhana inikah tempat dimana seluruh kebijakan strategis nasional, dirancang dan digerakkan, dimana sang sutradaranya kini telah terbaring kaku di dalamnya, tanpa lagi memiliki kuasa sedikit pun.
Makassar, 27 Maret 2011
REP | 27 March 2011 | 01:10 375 7
sumber : http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/03/27/kenangan-melayat-jenazah-pak- harto - di-cendana/
1 dari 2 Kompasianer menilai bermanfaat
13011628272048349374