Opinion Peblika

Opinion Peblika
Suasana Foto Galian Tanah Tambang C Tanpa Melalui SRKL dan AMDAL di Wakatobi

Rabu, 23 Maret 2011

GUNCANGAN BESAR MENYOAL SISTEM MULTI PARTAI DALAM PEMILU 2009 DI INDONESIA

OLEH : ALI HABIU


Salah seorang pemikir Prancis terkenal abad-17 seperti Jean Jacques Rousseau pernah mengatakan bahwa Manusia tidak memiliki kekuasaan untuk memperpanjang hidupnya sendiri, tetapi manusia bisa memperpanjang kehidupan Negara sejauh mereka bisa memberikan konstitusi terbaik.. Berawal dari pemikiran ini Bung Karno mencoba meletakkan dasar-dasar demokratisasi di Indonesia untuk melahirkan sebuah konstitusi Negara yang bisa diterima oleh semua kalangan yakni UUD-45 dan Panca Sila.  Dalam perjalanan sistem ketatanegaraan Indonesia mulai dari proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai  komprerensi meja bundar 23 Agustus 1949, bangsa ini banyak mengalami tantangan baik dari dalam maupun dari luar untuk kembeli mementahkan cita-cita proklamasi itu bermuara pada pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat 27 Desember 1949.  

Pemilihan umum pertama secara langsung dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955 atas dasar Undang-undang No.7 tahun 1953 untuk memilih wakil-wakil rakyat di perlemen.  Pemilihan Umum ketika itu diikuti multi partai dengan tidak kurang dari 28 partai, yakni PNI, Masyumi, NU, PKI, PSII, Parkindo, Partai Katholik, Partai Sosialis Indonesia, Partai Islam PERTI, IPKI, GPP, PRN, PPPRI, Partai Murba, Partai Buruh, PRI, PRIM, AKUI, ACOMA, PPTI, PRD, RSPS, PIR (wongso), PIR (Hazairin), Permai, Baperki, Grinda dan Persatuan Daya untuk  memperebutkan  kursi di parlemen.  

Francis Fukuyama dalam bukunya The Great Disruption, Human Nature and the Reconstitution of Social Order (1999) mengemukakan bahwa salah satu tantangan yang dihadapi oleh demokrasi moderen pada erah informasi ialah bisa tidaknya tatanan sosial dipelihara seraya menghadapi perubahan tekhnologi dan ekonomi. Ada kecenderungan dalam demokrasi liberal masa kini untuk dikuasai oleh faham individualisme diantara semua Negara demokrasi.
Umumnya para politisi ketika itu menganggap bahwa keanekaragaman dalam komposisi masyarakat menjurus ke berkembangnya sistem multi partai. Dimana perbedaan ras, agama atau suku bangsa adalah kuat, golongan-golongan masyarakat lebih cenderung untuk menyelurkan ikatan-ikatan terbatas tadi dalam satu wadah saja. Dianggap bahwa pola multi partai lebih mencerminkan keanekaragaman budaya dan politik dari pada pola dwi partai. Sistem multi partai apalagi jika digandengkan denan sistem pemerintahan perlementer, mempunyai kecenderungan untuk menitik beratkan kekuasaan pada badan legislatif sehingga peranan badan eksekutif sering lemah dan ragu-ragu. Hal ini disebabkan oleh karena tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk membentuk suatu pemerintahan sendiri, terpaksa membentuk koalisi dengan partai-partai lain. Dalam keadaan ini partai yang berkoalisi harus selalu mengadakan musyawarah dan kompromi dengan partai-partai lainnya dan menghadapi kemungkinan  bahwa sewaktu-waktu dukungan dari partai koalisi lainnya dapat ditarik kembali.

Sistem multi partai terjadi pada tiga masa demokrasi, yakni masa demokrasi konstitusional mulai tahun 1945-1954, masa demokrasi terpimpin mulai tahun 1955–1959 dan masa demokrasi panca sila 1960-1976. Banyak partai tidak menguntungkan berkembangnya pemerintahan yang stabil. Semenjak masa demokrasi konstitusional tidak dilaksanakan pemilihan umum meskipun sudah terbentuk  banyak partai ketika itu karena sesuatu gejolak politik dalam negeri. Barulah pada masa demokrasi terpimpin dapat diselenggarakan pemilihan umum secara langsung tahun 1955 membawa penyederhaan dalam jumlah partai dalam arti bahwa dengan jelas telah muncul empat partai besar yakni Masyumi, PNI, NU dan PKI. Pemilihan dimenangkan oleh PNI dan dalam perjalanan pemerintahan ketika itu partai-partai tidak dapat menyelenggarakan fungsinya sebagaimana yang diharapkan akibat partai-partai dipersempit ruang geraknya dalam pemerintahan dan pembangunan.

Pada masa orde baru, partai politik diberi kesempatan untuk bergerak lebih leluasa. Sesudah dilaksanakan pemilihan umum tahun 1971 , dimana Golkar menjadi pemenang pertama yang disusul oleh tiga partai besar NU, Parmusi dan PNI, agaknya partai-partai harus menerima kenyataan bahwa peranan mereka dalam pengambilan keputusan tetap sangat terbatas. Pada tahun 1973 terjadi penyerderhanaan partai, empat partai islam yakni NU. PMI, PSI dan Perti bergagung dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Selain itu lima partai, yakni PNI, Parkindo, partai katolik, partai Murba dan PIPKI bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).  Pada pemilu tahun 1977 telah diikuti dua partai politik yaitu PPP dan PDI serta Golkar. Ketiga partai ini telah berhasil mengikuti empat tahapan pemilu yakni tahun 1977, 1982, 1987, 1992 yang pemenang pertama selalu didominasi oleh Golkar. Selama masa pemerintahan yang didominasi oleh Golkar baik legislatif, yudikatif dan eksekutif juga telah membawa kehidupan bangsa dan negara dalam kondisi stabil, tenteram dan aman baik yang diakibatkan oleh adanua tekanan gangguang dalam negeri maupun luar negeri. Namun ternyata dibanyak kalangan menyayangkan selama masa jayanya pemerintahan Golkar ini demokratisasi kurang berjalan baik, disana sini rakyat banyak mendapat tekanan politik jika mereka tidak mendukung pemerintahan soeharto. Setelah masa reformasi berlalu, pemilu demokratis pertama diadakan pada tahun 1999 diikuti 9 partai politik dan pemilu tahun 2004 dengan melibatkan 13 partai politik, .......dan dimenagkan pertama oleh PDI. Pada Pemilu tahun 2004 dimenankan oleh Partai Demokrat sebagai salah satu partai baru dalam sejarah perpolitikan diindonesia yang mampu memberikan perhatian kepada masyarakat begitu kuat dan meyakinkan sehingga dia mendapat kepercayaan dari rakyat indonesia. Kebebasan dan demokratisasi menjadi barometer program kerja kabinet indonesia bersatu, yang membuat andil atas timbulnya multi partai pada pemilu 2009. Partai-partai abangan bermunculan tanpa ada basis massa yang jelas telah diproklamirkan kedaerah-daerah seluruh indonesia dengan membuka DPW, DPD, DPC dan DPAC serta DPR dengan jumlah partai ini mencapai 70% dari 38 partai politik peserta pemilu tahun 2009. Dengan banyaknya Partai di Indonesia membuat kerumitan tersendiri bagi para penyelenggara Pemilu (KPU) juga pemborosan keuangan negara, namun di lain pihak para politisi pencetus penggagas multi Partai merasa kebagusan, bangga diri karena cita-citanya untuk mempora-porandakan tatanan sistem tata negara Indonesia sudah berada ditangan mereka meskipun pada akhirnya Suara Rakyatlah pada Pemilu tahun 2009 itu yang akan menentukan apakah political will mereka diresfons baik oleh rakyat atau hanyalah sebuah fata morgana ***