Opinion Peblika

Opinion Peblika
Suasana Foto Galian Tanah Tambang C Tanpa Melalui SRKL dan AMDAL di Wakatobi

Rabu, 23 Maret 2011

PENDEKATAN DASAR DASAR KEJUJURAN BAGI PARA PEMIMPIN DAERAH

OLEH : ALI HABIU

Pendekatan kejujuran dalam setiap aktivitas manusia mutlak diperlukan, sebab tanpa kejujuran maka sudah dapat dipastikan bahwa pekerjaan yang dihasilkan akan sarat dengan muatan-muatan kepentingan baik kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompok, golongan atau atasan melalui suatu skenario atau penekanan tertentu.Kejujuran dalam setiap individu manusia hanya dapat diperoleh melalui pendidikan akhlak (moral), budi pekerti serta budaya yang dalam konteks pendidikan saat ini relatif tidak lagi secara signifikan diperoleh materi khusus pendidikan ini. 
Sehingga apa yang terjadi di abad moderen ini bahwa relatif para akademisi atau para sarjana kita dewasa ini yang dicetak oleh perguruan tinggi atau universitas –universitas menghasilkan manusia intelektual yang homo ekonomikus yang mana setiap aktivitasnya dihargai dengan nilai kebendaan, mereka melupakan akal buddhinya atau kejujuran-nya, dari Paryana Suryadipura, dalam Alam Pikiran, 1971. 
Pendidikan agama pada tataran pendidikan religiusitas agama akan mendidik manusia taat pada aturan Tuhan YME dan taat pada aturan Alam Semesta, sehingga dengan demikian hakekat pendidikan agama pada dasarnya mendidik moralitas manusia untuk senantiasa patuh pada rambu-rambu ketuhanan berdasarkan 99 (sembilan puluh sembilan) sifat Tuhan sehingga keberadaan manusia dimuka bumi ini merupakan rahmat bagi seluruh alam jagad raya ini.  Adapun sebagai tolok ukur kepatuhan pada rambu-rambu ketuhanan adalah seorang manusia harus memiliki rasa ke-imanan yang tinggi, ber-akhlak, ber-budi pekerti, berbudaya dan berkemanusiaan atau memanusiawikan manusia dalam hatinya sehingga kehidupan manusia dalam konteksi ini adalah membawa rahmat kebaikan bagi semua manusia di dunia ini. 

Namun demikian pada kenyataannya dalam konteksi kehidupan yang kian moderen yang dialami oleh seluruh kehidupan manusia saat ini, pendidikan agama yang didalami bukan lagi pada tataran religiusitas, melaingkan lebih cenderung sebagai pendalaman teoritis, sehingga pengamalan agama tidak lagi menyentuh seluruh aspek kerohanian atau kebatinan melainkan sebagai bahan hapalan dengan memunculkan fanatisme yang berlebihan. Pada momen ini prilaku kehidupan manusia tidak lagi berdasarkan kerohanian atau kebatinan melainkan secara totalitas berprilaku pada pendalaman syareat dengan seluruh kontrol prilaku manusia berdasarkan akal-pikiran semata, bukan lagi berdasarkan infulsisme atau hati nurani. Mereka tanpa menyadari bahwa kemampuan jangkauan akal-pikiran sangat terbatas dalam menyoal kehiduapan alam semesta ini, sehingga menghasilkan prilaku baik dan buruk berdasarkan kemauan akal pikiran bukan lagi berdasar kemauan ketuhanan atau akal bathin (akal budhi). Pada kondisi demikian ini akan melahirkan prilaku manusia bertindak berdasarkan atas kemauan setan.



LANDASAN AGAMA
Hal yang menyangkut kejujuran dan kebenaran dalam ajaran Kristiani telah dikemukakan oleh Paulus ketika itu dia meluangkan waktu untuk kontak secara intensif dengan orang lain pada jamaat-jamaat yang telah dibinanya, seperti misalnya kepada ummat di Filipi ia menulis :
Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku, lakukanlah itu (karena itu adalah kebaikan). Maka Allah sumber sejahtera akan menyertai kamu (Filipi 4:9)” dari Hans Pinzel (2002). 

Pada paparan Paulus di atas kepada ummatnya di Filipi mengajarkan tentang kebenaran dan kejujuran dalam menjalankan kehidupan ini kepada ummat jemaatnya untuk senantiasa melakukan kebaikan dimana setiap kebaikan yang ditanamkan oleh manusia kepada manusia lainnya maka Tuhan YME akan membalas kebaikan itu. 

Satu lagi kisah Kitab Suci yang dengan fasih membicarakan soal kepemimpinan yang melayani adalah 1 Petrus 5:1-7 : 

“Aku menasehatkan diantara penatua dengan kamu, aku sebagai teman penatua dan saksi penderitaan Kristus ……Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena kamu mau mencari keuntungan, tetapi melainkan hanya semata dengan pengabdian diri” dari Hans Finzel (2002).

Pengertian isi kitab suci ini adalah bahwa kepada manusia diminta untuk bekerja dengan sukarela, ikhlas dan jujur dengan tidak secara paksa dan mencari keuntungan didalamnya tetapi bekerja secara sukarela semata-mata  karena pengabdian kepada Tuhan YME.
Demikian pula dalam ajaran Islami telah pula berkembang banyak hadist-hadist Nabi yang sahih mengajarkan tentang kejujuran dan kebenaran. Demikian pula ajaran-ajaran Allah SWT yang diturunkan melalui Al Qur’anul Qarim telah banyak memperingati ummat manusia di muka bumi untuk senantiasa melakukan kejujuran dalam melakoni kehidupan ini.

Dari Ibnu Umar Rasullullah Alaihissalam, berkata, :
Aku mendengar Rasullullah sallallahu alaihi wassallam, bersabda, : “Kamu semua adalah pengembala dan bertang-gungjawab atas yang digembalakannya. Seorang pemimpin adalah pengembala dan bertanggungjawab atas yang dipimpinnya”..,(Hadist Sahih, Riwayat: Bukhari dan Muslim).
Hadist ini mengingatkan kepada semua manusia akan betapa pentingnya tanggungjawab atas kepemimpinan atau pekerjaan yang diembannya dengan memesan kepada kita semua khususnya para pemimpin untuk hendaknya senantiasa menegakkan  kejujuran.

Pada Al-Qur’an surat Aththolaaq ayat 2 dan 3 :
Artinya: 
“Barang siapa yang jujur dan setia (taqwa), maka Allah akan menunjukkan jalan keluar dan kemudian dikaruniakan rizqi yang tidak disangka-sangka.”

Peringatan yang termuat pada ayat Aththolaq di atas yakni Tuhan YME menyerukan kepada manusia untuk senantiasa jujur dan setia dalam bekerja tanpa harus melakukan pamrih          (memperkaya diri, kelompok atau golongan melalui cara menyelewengkan kekuasaannya), karena sesungguhnya Tuhan YME dia mengetahui segala sesuatu tindakan manusia di muka bumi termasuk ummatnya yang jujur dan Dia akan membalasnya dengan melapangkan rezekiNYA tanpa disangka-sangka.

LANDASAN YURIDIS
Dalam Undang-undang Nomor : 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas KKN secara nyata ditegaskan bahwa seseorang yang berkedudukan sebagai pejabat negara atau pihak lain yang dengan sengaja dalam mengelolah keuangan Negara atau Daerah tidak dilakukan secara jujur dan benar mengakibatkan kerugian Negara atau daerah, maka mereka akan kena sanksi hukum. Hal demikian telah dipertimbangkan bahwa praktek KKN tidak hanya dilakukan antar-Penyelenggara Negara melainkan juga antara Penyelenggara Negara dengan pihak-pihak lain yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta membahayakan eksistensi Negara, sehingga diperlukan landasan hukum untuk pencegahannya.  Dalam bab-I Ketentuan Umum, pasal 1 ayat 2 berbunyi : Penyelenggara Negara yang bersih adalah Penyelenggara Negara yang mentaati asas-asas umum penyelenggaraan Negara dan bebas dari praktek KKN serta perbuatan tercela lainnya. 

Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Kolusi ialah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat suatu Negara. Nepotisme adalah setiap perbuatan Peyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluar-ganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. 

Sehubungan dengan pengontrolan yang dilakukan oleh masyarakat atas para penyelenggara Negara, telah ditegaskan dalam Bab VI Peran Serta Masyarakat, pasal 9 yang meliputi ayat : a). Peran serta masyarakat berupa, Hak mencari, memperoleh dan meberikan informasi tentang penyelenggara negara. b). Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara (ketika mencari informasi). c). Hak menyampaiakan saran dan pendapat serta bertang-gungjawab terhadap kebijakan    penyelenggara negara. d). Hak memperoleh perlidungan hukum (ketika melaporkan kejadian).


Dalam kerangka sistem penyelenggaraan pemerintahan terlihat bahwa sistem pengelolaan keuangan pada dasarnya merupakan sub sistem dari sistem pemerintahan itu sendiri. Sebagaimana sistem keuangan Negara yang diamanatkan dalam pasal 23 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945, aspek pengelolaan keuangan daerah juga merupakan sub sistem yang di atur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang pemerintahan Daerah. Dengan peraturan tersebut diharapkan terdapat keseim bangan yang lebih transfaran dan akuntabel dalam pendistribusian kewenangan, pembiayaan dan penataan sistem pengelolaan keuangan yang lebih baik dalam mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah secara optimal sesuai dinamika dan tuntutan masyarakat yang berkembang, dari Deddy SB, et.al (2004).



PEMERINTAHAN DAERAH
Kepala Daerah adalah pemegang kekuasaan umum penge-lolaan keuangan daerah. Kekuasaan umum pengelolaan keuangan daerah ini meliputi antara lain fungsi perencanaan umum, fungsi penyusunan anggaran, fungsi pemungutan pendapatan, fungsi per-bendaharaan umum serta fungsi pengawasan dan pertanggung-jawaban.
Selaku pejabat pemegang kekuasaan umum pengelolaan keuangan daerah, Kepala Daerah mendelegasikan sebagian atau seluruh kewenangannya kepada Sekretaris Provinsi dan/atau perangkat pengelola keuangan daerah.
Pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggung-jawab dengan memperhatikan azas keadilan dan kepatuhan. 
APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daearah dalam tahun anggaran tertentu. Ketentuan ini menunjukan bahwa APBD merupakan rencana pelaksanaan semua pendapatan daerah dan semua belanja daerah dalam rangka peaksanaan desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. 
APBD, perubahan APBD, perhitungan APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan merupakan dokumen daerah. APBD disusun dengan pendekatan kinerja. Anggaran dengan pendekatan kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari hasil perencanaan alokasi biaya atau infut yang ditetapkan.. Dalam menyusun APBD, penganggaran pengeluaran harus dapat didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup yang sering disebut dengan pendapatan asli daerah yang diperoleh dari pajak, retribusi, perizinan, bagi hasil, dana alokai umum, dana alokasi khusus dan lain-lain.
Ketentuan ini berarti daerah tidak boleh menganggarkan pengeluaran tanpa terlebih dahulu mengenal ketersediaan sumber pemdapatannya dan mendorong daerah untuk meningkatkan efisiensi pengeluarannya.
Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBD apabila tidak tersedia atau tidak cukup tersedia anggaran untuk membiayai kegiatan tersebut.
Semua transaksi keuangan daerah baik penerimaan daerah maupun pengeluaran daerah dilaksanakan melalui Kas daerah. 
Pengawasan atas pelaksanaan APBD dilakukan  oleh DPRD. Pengawasan tersebut tidak bersifat pemeriksaan tetapi pengawasan yang lebih ditujukan untuk menjamin pencapaian sasaran yang telah ditetapkan dalam APBD. 
Peraturan daerah tentang APBD, perubahan APBD dan perhitungan APBD provinsi disampaikan kepada menteri dalam negeri dan otonomi daerah paling lambat 15 hari sesudah ditetapkan. 

Menurut Deddy SB, at all (2002) dalam bukunya:”Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah”, APBD yang disusun oleh pemerintah daerah berdasarkan pendekatan kinerja, memuat di antaranya :.“Bagian pendapatan APBD yang menbiayai belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja pemba-ngunan.” 

Pada umumnya penyimpangan yang terjadi di hampir semua daerah di Indonesia adalah penggunaan pembiayaan dana APBD untuk keperluan belanja dan operasi untuk kepentingan Kepala Daerah. Walaupun sering publik mencermati masalah ini dengan melontarkan kritikan tajam tetapi ketika masalah ini masuk pada lembaga DPRD biasanya masalahnya selesai.  Padahal inilah inti permasalahan yang harus diangkat menjadi topik diskusi mengingat bahwa kasus-kasus serupa ini hampir setiap tahunnya terjadi pada sektor pembiayaan anggaran belanja barang untuk kepentingan pengadaan pakaian kerja Gubernur dan Wakil Gubernur yang sampai saat ini belum mendapat  Reformasi Administrasi secara tuntas. 

Reformasi Administrasi menurut Misbah Hidayat L (2007), dalam bukunya berjudul : “Reformasi Administrasi, Kajian Komperatif Pemerintahan Tiga Presiden”, mengemukakan bahwa “Reformasi adalah perbaikan atau perubahan bentuk, sedangkan administrasi berkaitan dengan organisasi dan manajemen pemerintahan yang mencakup seluruh domain kekuasaan Negara (baca:daerah) yaitu Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif.”  

Reformasi Administrasi menurut Montgomery dalam Misbah Hidayat L (2007), mendifinisikan sebagai “suatu proses politik yang didesain untuk menyesuaikan hubungan antara birokrasi dan elemen-elemen lain dalam masyarakat atau didalam birokrasi itu sendiri dengan kenyataan politik.” *****