Opinion Peblika

Opinion Peblika
Suasana Foto Galian Tanah Tambang C Tanpa Melalui SRKL dan AMDAL di Wakatobi

Minggu, 16 Januari 2011

JASA GAYUS DALAM (MENGUNGKAP) KEBOBROKAN NEGARA

Oleh :  Laode Ida (Sosiolog, Wakil Ketua DPD RI)


Gayus Tambunan adalah fenomena yang unik dalam sejarah tersangka korupsi di bangsa ini. Bukan saja usianya yang berusia 30-an dengan status kepegawaian pada golongan tiga, sementara ‘penghasilan haram’ dari aktivitasnya sebagai mafia pajak sangat banyak, melainkan karena kehebatannya dalam memperdaya para penegak hukum mulai dari jajaran kepolisian, kejaksaan, pengadilan, keimigrasian – dan mungkin juga terhadap KPK yang akan berjanji akan segera menanganinya. Betapa tidak. Ia, dalam proses-proses hukumnya hingga saat ini, bagaikan selebriti yang sedang berekreasi saja, menikmati bagian dari kekayaannya sambil bertindak sebagai sinter-klas – membagi-bagi harta hasil rampasannya kepada oknum dari pihak berwenang.

Barangkali, andai saja ‘para pemburu berita’ tidak cermat memantau kebebasan Gayus itu, maka penyimpangan para pihak yang berwenang tak akan terungkap. Putra Batak itu pun tak akan sepopuler sekarang. Tepatnya, Gayus hanya akan menjadi terpidana biasa. Artinya, kendati ia bebas berkeliaran karena “dibijaksanai” oleh oknum berwenang, publik tak akan mengetahuinya. Dan, ini pulalah yang jadi “keunggulan” Gayus, yakni mampu mengungkap kebobrokan para penegak hukum dalam memperlakukan dengan mengambil keuntungan materi dari para terpidana korupsi. Tepatnya, sang lulusan STAN itu memiliki jasa besar dalam mengungkap kejahatan para mafia hukum di negeri ini.

Fenomena proses-proses dari Gayus ini, memberikan beberapa pelajaran dan sekaligus catatn kritis bagi para penegak hukum di bangsa ini, termasuk juga bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pertama, adanya diskriminasi dalam penegakkan hukum. Yang merasakan penderitaan fisik dan psikis setelah melakukan kejahatan hanyalah mereka-mereka yang secara sosiologis tergolong ‘wong cilik’, yang tidak memiliki uang untuk menyuap para petugas yang berwenang (mulai dari polisi, jaksa, hakim sampai pada petugas penjara). Soalnya, bukan rahasia lagi, bila yang jadi narapidana dari kalangan rakyat kecil, kendati derajat kesalahannya tidak seperti penjahat berdasi seperti Gayus itu, mereka harus mau disiksa secara fisik dan psikis baik sebelum masuk maupun berada dalam penjara.

Sementata bagi para pelaku kejahatan kelas kakap, setelah merampok uang negara yang sesungguhnya merupakan bagian dari hak rakyat itu, bilik penjara sebenarnya hanya merupakan status simbolik saja, karena pada kenyataannya mereka tengah menikmati masa libur yang indah. Soalnya, para petugas yang berwenang tahu dan sadar betul bahwa sang tersangka, terdakwa atau narapidana, bisa dijadikan ATM yang setiap saat bisa ditarik uangnya. Harga paspor dengan identitas diri yang palsu dari Gayus dengan hanmpir satu milyar itu, merupakan bukti tak terbantahkan.

Dan, pihak narapidana korupsi pun tahun bahwa para petugas itu juga adalah manusia biasa yang haus atau rakus dengan materi. Tepatnya, berada dalam proses-proses hukum atau di rutan, adalah saat yang paling tepat untuk sama-sama menikmati uang hasil rampok, dengan cara berbagi dengan para petugas yang terkait sehingga sang narapidana bisa terus berada dalam suasana selalu enjoy. Dengan kata lain, para petugfas yang berwenang, kalau mau jujur diakui, sungguh sangat mengharap agar selalu adanya narapidana korupsi, karena sudah pasti akan kecipratan hasil korupsinya pada mereka.

Kedua, negara ini telah dirusak dari dalam oleh para pihak yang berada di jajaran penegak hukum. Tampaknya, mereka bukan saja sekedar menikmati uang hasil korupsi dari para narapidana, melainkan juga menjadi bagian dsari sindikat kejahatan itu sendiri. Betapa tidak. Gayus, demikian beberapa tahanan akibat korupsi lainnya, keluar masuk secara bebas dari tahanan kepolisian. Pastilah petugas polisi tahu semua itu, tapi membiarkannya.

Demikian juga dengan pihak kementerian hukum dan HAM, instansi yang mengeluarkan paspor palsu untuk Gayus (dan mungkin juga narapidana lain hanya saja belum terungkap). Dan anehnya, justru Manteri Hukum dan HAM melindungi jajaran sebagai “tidak bersalah” dengan menyatakan bahwa jajaran imigrasi sudah bekerja dengan baik. Sehingga kecuruigaan pun muncul: jangan-jangan Menteri Hukum dan HAM itu juga mendapat porsi dari hasil rampokan Gayus.

Ketiga, fenomena Gayus adalah bukti pembiaran negara atas kejahatan yang dilakukan oleh aparatnya sendiri. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sungguh sudah terbukti sebagai tidak mampu membverantas mafia hukum. Bahkan, kalau terus mempertahankan jajaran pejabat dan atau aparatnya yang sudah secara telanjang ditonton oleh masyarakat luas sebagai terlibat sindikat penghancuran dari dalam negara ini, maka jangan mengeluh dan menyalahkan pihak lain kalau rakyat bangsa ini kian rendah penghargaannya terhadap pimpinan yang sudah dipilih secara langsung itu.

Kelompok kerja pemberantasan mafia hukum tampaknya juga sudah gagal menjalankan tugasnya. Atau, pada tingkat tertentu mungkin saja hanya digunakan sebagai bagian dari upaya pencitraan bahwa rezim ini sungguh-sungguh ingin memberantas korupsi dan mafia hukum, padahal sesungguhnya hanya menghabiskan sebagian uang negara sebagai konsekwensi dari anggaran lembaga berikut aktivitasnya. Apalagi gugus tugas ini tidak memiliki kewenangan untuk mengeksekusi, hanya merupakan instrumen untuk memberikan kajian dan laporan kepada presiden.

Semasih Presiden SBY tidak melakukan pembenahan mendasar di dalam seluruh jajaran penegak hukum,maka kita semua jangan pernah berharap bangsa ini akan menjadi lebih baik. Apalagi secara teoretik kondisi bangsa ini sekarang sebenarnya sudah masuk kategori negara gagal (the failed state), yang akan semakin sulit diperbaiki kalau pimpinannya masih tetap serba ragu, tuidak mau atau tidak mampu melakukan berbagai langkah pasti untuk perbaikan itu.

Jakarta, 14 Januari 2011

Sumber : http://www.facebook.com/?ref=home#!/note.php?note_id=184754628215653