Opinion Peblika

Opinion Peblika
Suasana Foto Galian Tanah Tambang C Tanpa Melalui SRKL dan AMDAL di Wakatobi

Senin, 03 Mei 2010

PELAYARAN NIAGA ORANG BUTON PADA ABAD XX

Oleh : A n w a r

Abstrak: 
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang latarbelakang pelayaran niaga, peta jalur pelayaran niaga abad XX, teknologi navigasi yang digunakan, komoditi perdagangan, dan perkembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Buton. Kategori penelitian adalah historis yang menggunakan pendekatan sosial ekonomi yang dianalisis secara kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, wawancara, pengamatan, dan studi dokumen. Temuan penelitian adalah sebagai berikut. Pertama, pelayaran niaga orang Buton didorong oleh letak geografis yang strategis pada jalur pelayaran, keadaan alam yang tidak mendukung untuk pertanian, dan falsafah hidup yang menjunjung tinggi semangat kebaharian. Kedua, peta jalur pelayaran meliputi segenap pelabuhan di Nusantara dan manca negara. Ketiga, teknologi navigasi berkembang dari sistem tradisional ke sistem modern. Keempat, barang komoditi ekspor meliputi agel, damar, rotan, kopra, teripang, jambu mete, kayu, dan berbagai hasil laut; sedangkan barang komoditi impor adalah keramik, tekstil, dan barang elektronik. Kelima, tingkat kehidupan sosial ekonomi masyarakat Buton sebagai akibat kegiatan pelayaran niaga semakin baik. Kata Kunci: Pelayaran Niaga, Orang Buton, teknologi navigasi, jalur pelayaran, komoditi ekspor dan impor, sosial ekonomi. *) Hasil penelitian dibiayai oleh PSI Lemlit Universitas Terbuka Jakarta 1998 **) Dosen Sejarah pada FKIP Universitas Haluoleo Kendari dan sedang menempuh Program S3 di PPS UPI Bandung. 

PENDAHULUAN 
1.1 Latar Belakang 
Orang Buton (yang meliputi berbagai sub-etnis: Wolio, Wanci, Tomia, Binongko, dan Kulisusu) adalah salah satu suku bangsa di Sulawesi Tenggara yang mendiami Kepulauan Buton dan sekitarnya. Di Kawasan Timur Indonesia, mereka dikenal sebagai masyarakat maritim bersama-sama dengan orang Bugis/Makassar dan Mandar. Oleh karena itu, Zuhdi (1997) menyebutnya BBM: Bugis, Butun (Buton), dan Mandar, ketiganya sebagai suku bangsa maritim. Mereka secara bersama-sama menjelajahi perairan Nusantara bahkan sampai ke luar batas-batas wilayah Nusantara (Ligvoet, 1877; Heeren, 1972), seperti ke Pantai Marege (Australia), Mindanao (Phlipina), Malaysia, Singapura dan bahkan sampai ke Cina (Tamburaka, 1996). Secara faktual peran mereka di bidang pelayaran niaga tidak dapat disangsikan lagi, misalnya di beberapa daerah Nusantara ditemukan pemukiman/kampung Buton di pesisir pantai, seperti: Tanjung Buton di Kepulauan Natuna, di Luwuk Sulawesi Tengah, Ternate, Mindanao/Philipina (Tamburaka, 1996). Pemukiman mereka itu merupakan salah satu indikator kemajuan pelayarannya sejak zaman pra-kolonial, dan mengalami kemunduran selama masa kolonial karena adanya pembatasan dalam beberapa dimensi pelayaran. Atas tingginya dinamika masyarakat Buton untuk mencari nafkah di luar daerahnya, Barlian (1994) membagi mereka atas tiga kategori, yaitu (1) pedagang, (2) pelayar, dan (3) perantau. Ketiganya pada dasarnya adalah pelayar, dan dalam melakukan kegiatannya mereka menggunakan alat transportasi laut. Dengan melihat fenomena pelayaran nampak bahwa orang Buton periode ini memiliki ciri yang berbeda dengan orang Buton periode sebelumnya, dan periode yang yang terakhir mewarnai perkembangan sampai pada akhir abad ke-20. Beberapa variabel yang terkait dengan pelayaran niaga mereka meliputi faktor geografis yang dikelilingi oleh laut, keadaan alam (yang gersang, terletak pada jalur pelayaran niaga, dan falsafah hidup orang Buton tentang pelayaran dan perdagangan; peta jalur pelayaran termasuk pola pemukiman di daerah perantauan, kemampuan teknologi navigasi yang dimiliki seperti pembuatan perahu dan sistem pelayaran; barang komoditi ekspor dan impor, serta perkembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Buton sebagai akibat aktivitas pelayaran yang akhir-akhir ini cenderung mengalami peningkatan. 
1.2 Fokus Penelitian 
Secara operasional fokus penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Apa yang melatarbelakangi pelayaran niaga orang Buton? (2) Bagaimana peta jalur pelayaran niaga orang Buton termasuk peta persebaran dan pola pemukiman orang Buton di luar wilayah Kabupaten Buton baik di wilayah Indonesia, maupun di luar negeri? (3) Bagaimana teknologi navigasi yang digunakan dalam kegiatan pelayaran niaga orang Buton, termasuk jenis dan ukuran perahu? (4) Apa saja barang komoditi perdagangan mereka baik ekspor maupun impor, termasuk sistem perdagangan yang digunakan? (5) Bagimana perkembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Buton sebagai akibat kegiatan pelayaran niaga mereka? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahi perkembangan pelayaran niaga orang Buton pada abad XX. Secara operasional tujuan tersebut adalah untuk mengetahui: (1) latar belakang pelayaran niaga orang Buton, (2) peta jalur pelayaran niaga orang Buton abad XX, (3) teknologi navigasi yang digunakan dalam kegiatan pelayaran, (4) barang komoditi perdagangannya, dan (5) perkembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Buton. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah (1) dari segi teoritis penelitian ini diharapkan dapat mengungkap temuan yang memperkaya literatur sejarah nasional, khususnya dimensi sejarah perekonomian sehingga dapat dijadikan bahan acuan para peneliti selanjutnya yang mengkaji dimensi yang sama. (2) bagi pemerintah Daerah, kiranya dapat mempertimbangkan penelitian ini dalam rangka pembinaan masyarakat pelayar/maritim, dan pengembangan sektor industri dan perdagangan, serta perhubunagn laut yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Buton. 

2. Tinjauan Pustaka  
2.1 Konsep Kemaritiman Indonesia
Istilah maritim dari bahasa Inggris maritime berarti: maritim atau bahari. Dari kata ini kemudian lahir istilah maritime fower yaitu negara maritim atau negara samudera. Konsep maritim dalam penelitian ini adalah segala aktivitas pelayaran dan perniagaan/perdagangan yang berhubungan dengan kelautan atau disebut pelayaran niaga. Pelayaran dapat dikelompokkan dalam dua golongan yaitu (1) pelayaran niaga, (2) pelayaran non niaga. Istilah pelayaran niaga menurt Salim (1994) adalah usaha jasa dalam bidang penyediaan ruangan pada angkutan air atau angkutan laut untuk kepentingan mengangkut muatan penumpang dan barang dagangan dari suatu tempat ke tempat lain. Usaha pelayaran niaga sering disebut commercial shipping, sedangkan perusahaan pelayaran yang mengusahakan kapal disebut shipping company. Pelayaran niaga dibagi atas pelayaran nasional (domestik) dan pelayaran internasional. Pembagian lain yang berdasarkan atas wilayah operasi, terdiri atas: (1) pelayaran rakyat atau dikenal dengan armada semut, (2) pelayaran lokal yaitu tidak lebih radius 200 mil, (3) pelayaran pantai (coastal shipping)atau pelayaran nusantara, dan (4) pelayaran samudera (ocean going shipping). Semangat bahari bangsa Indonesia sudah ada sejak zaman kuno, sehingga lahir istilah "Zaman Bahari" yang sinonim dengan zaman kuno (Poesponegoro, 1984). Kenyataan tersebut akhirnya lahir konsep dari nenek moyang kita "Kuasailah lautan Indonesia sebagai syarat untuk menuju kebesaran bangsa dan negara, kemudian sebagai dasar untuk menguasai pelayaran dan ekonomi dunia" (Wonsonohadi, 1957). Kenyataan tersebut mendapat pengakuan dari Raffles seorang berkebangsaan Inggris menyatakan bangsa Indonesia sebagai pelaut-pelaut yang terlatih dan berpengalaman (Cansil, 1984). Seorang berkebangsaan Inggris lainnya Sir Walther Releigh pada abad ke-16 menyatakan "siapa yang menguasai lautan, dialah yang menguasai kekayaan dunia dan oleh karenanya dia juga menguasai dunia itu" (Poesponegoro, 1984). Kemahiran bangsa Indonesia di laut terdapat di sepanjang sejarah sehingga lahir semboyan Angkatan Laut RI Jalesveva Jayamahe, artinya: di Laut kita jaya (Wonsonohadi, 1957). Sebagai salah satu cara untuk merealisasikan semboyan itu, maka Lowis (1983) menyatakan "Perahu atau kapal telah meningkatkan peranan dalam peristiwa dunia baik pada masa damai maupun perang". Hasil penelitian Anwar (1989) berhasil mengidentifikasi 11 jenis alat transportasi laut tradisional di daerah Kendari. Demikian pula hasil penelitian yang sama menyimpulkan bahwa nama dan bentuk perahu pribumi tersebut telah banyak mendapat pengaruh asing (Persia, Portugis, Belanda, dan Inggris), akan tetapi tidak sedikit pula istilah maritim pribumi yang telah diadopsi oleh bangsa asing termasuk Eropa. Karya Lindbland (1997) tentang situasi perdagangan luar Jawa pada Abad XIX dintaranya menyebut pelayaran niaga orang Bugis dari Makassar ke Singapura dan Malaysia serta beberapa daerah lainnya di Nusantara. Diungkapkan juga peranan Makassar sebagai pusat perdagangan orang Bugis, dan volume perdagangan antara Sulawesi dan Singapura. Pelayaran orang Bugis ini terkait langsung dengan pelayaran orang Buton yang banyak mensuplai komoditi ke Makassar yang selanjutnya dibawa oleh para pelayar Bugis. Demikian pula, peranan Maluku sebagai pusat perdagangan (suplai) rempah-rempah sejak zaman VOC (Purwaka, 1993). Keadaan itu menempatkan Buton sebagai jalur pelayaran sehingga semakin memotivasi orang Buton untuk mengembangkan pelayaran niaga antara Maluku dengan wilayah lain di Nusantara. Pada mulanya saudagar yang berdagang ke negeri seberang menyediakan kapalnya sendiri untuk mengangkut barang dagangannya, juga memimpin sendiri kapalnya atau bertindak sebagai nahkoda (Purba, 1997). Kemudian berkembang seperti sekarang yaitu: (1) pengusaha kapal yang menyediakan jasa transportasi,(2) saudagar yang memanfaatkan jasa transportasi yang disediakan oleh pengusaha kapal, dan (3) nakhoda sebagai pegawai pengusaha kapal, bertugas memimpin kapal dan juga sebagai wakil pengusaha kapal di pelabuhan/kota lain untuk mengurus keperluan kapal. 
2.2 Hasil-Hasil Penelitian Tentang Pelayaran Niaga Indonesia 
Kajian tentang kegiatan pelayaran niaga telah dibahas oleh beberapa orang peneliti, diantaranya karya Lapian (1987) menjelaskan aktivitas bajak laut pada abad ke-19 yang dikatakannya spesifik karena teknik pelayaran pada saat itu mengalami perubahan, kegiatan bajak laut merupakan masalah yang wajar terjadi pada masyarakat maritim. Hal ini terjadi karena memang ada hubungan langsung antara kegiatan bajak laut dengan naiknya konjungtur setempat. Poelinggoman (1991) yang melakukan kajian tentang Proteksi dan Perdagangan Bebas di Makassar pada Awal Abad ke-19, menyebutkan tentang perdagangan laut di Makassar yang terkait dengan kedudukan Makassar sebagai kota pelabuhan terbesar di kawasan timur Indonesia. Makassar menjadi titik temu perdagangan laut antara wilayah barat (Kalimantan, Jawa, Sumatera, Malaka, Asia Selatan, dan Eropa) dengan timur (Maluku dan Irian Jaya) dan utara (Philipina, Jepang, dan Cina) serta wilayah selatan (Nusatenggara dan Australia). Selanjutnya dikatakan, sejak VOC menguasai bandar ini, maka kegiatan perdagangan menunjukkan kecenderungan yang menurun bahkan hingga tahun 1846 sebagai periode kemerosotan hingga mencapai titik kesunyian. Dengan fakta ini Belanda berusaha meningkatkan peran pelabuhan Makassar guna kepentingan kolonialnya. Susanto Zuhdi (1991) dalam Tesisnya membahas tentang Perkembangan Pelabuhan Cilacap Jawa Tengah 1830-1940, yang meliputi kebijakan pemerintah kolonial Belanda, persaingan antarpelabuhan, ekspor-impor, dan penetrasi ekonomi Jepang. Penelitian Edi Sedyawati dkk (1992) tentang Tuban: Kota Pelabuhan di Jalur Sutera, antara lain mengungkapkan kondisi sosiografis dan perkembangannya meliputi kondisi eksternal dan internal, lingkungan fisik, wilayah pantai dan pedalaman, serta hubungan dengan negara-negara lain. Kegiatan perdagangan dan kelompok sosial meliputi pedagang, barang-barang dagangan. Indriyanto (1995) yang mengkaji tentang Pelabuhan Rembang 1820-1900 mengungkapkan tentang tradisi kemaritiman Rembang dan posisi strategis pelabuhan Rembang sejak masa Majapahit sampai 1900-an. Posisi pelabuhan Rembang berada pada salah satu lokasi dalam jaringan perdagangan laut di pantai utara Jawa yang sekaligus menghubungkan dengan pelabuhan-pelabuhan lain di luar Jawa. Sejak dikuasai oleh Belanda pada dasawarsa kedua abad ke-19 sistem pengelolaan berjalan secara sederhana karena kondisi keuangan yang terbatas. Akibat kebijakan politik perdagangan laut yang diterapkan pemerintah kolonial tahun 1859 menyebabkan turunnya nilai ekspor. Bergesernya pintu ekspor-impor di pantai utara Jawa ke pelabuhan-pelabuhan Batavia, Semarang, Surabaya dan Cirebon menyebabkan Rembang hanya sebagai pelabuhan komplemen. Kajian Sulistiyono (1994) tentang "Perkembangan Pelabuhan Cirebon dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Kota Cirebon 1859-1930" mengungkapkan antara lain bahwa perkembangan pelabuhan Cirebon yang terkait dengan berkembangnya ekspor-impor, pertambahan penduduk, dan sempitnya lahan pertanian mengakibatkan sektor pertanian semakin tidak populer dan melahirkan profesi baru di perkotaan yaitu para pedagang dan pelayar yang justru makin populer. Penelitian Anwar (1989) tentang "Teknologi Transportasi Laut Tradisional di Daerah Kendari" antara lain mengungkapkan tentang jenis-jenis perahu dan ukurannya yang digunakan oleh para pelayar yang memasuki pelabuhan di daerah Kendari. Selanjutnya diungkapkan pula suku bangsa termasuk Buton dan jenis barang dagangan yang dibawah oleh para pelayar niaga yang memasuki wilayah Kendari sejak abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Segenap karya sejarawan tersebut belum ada yang secara khusus mengungkapkan tentang pelayaran niaga orang Buton selama periode abad ke-20. Dengan mencermati karya tersebut terlihat bahwa posisi pelayaran niaga orang Buton semakin penting karena posisi geografisnya yang strategis pada jalur pelayaran nusantara dan dunia yang menghubungkan Kawasan Timur Indonesia (Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku dan Irian) dengan kawasan Barat Indonesia (Makassar, Jawa, Kalimantan, dan Sumatera) serta pelayaran dunia yaitu antara India, Malaka, Singapura dengan Philipina dan Australia. Sumber tertulis dan fenomena yang ada dewasa ini menunjukkan bahwa selain suku Bugis/Makassar yang memegang peranan penting dalam pelayaran niaga, maka orang Buton juga dikenal sebagai salah satu suku bangsa yang gemar berlayar dan berdagang dari satu pulau ke pulau lain di Nusantara, seperti diungkapkan Zuhdi (1997) yang mengutip pendapat Fox dan mengajukan suatu konsep akronim BBM (Bugis, Butun, Mandar). Ia menyatakan bahwa ketiga suku bangsa itu memiliki peran yang cukup besar dalam pelayaran niaga di Kawasan Timur Indonesia. Negarakertagama (1365) menyebut Buton dalam satu rangkaian dengan Makassar, Banggai dan pulau-pulau lain di bagian timur sebagai daerah yang sudah berhubungan dengan Majapahit (Zuhdi, 1994). Sumber tertua tentang pelayaran niaga orang Buton menyatakan bahwa pada awal abad ke-10 sampai ke-13 Kerajaan Butun (Buton) di timur laut Mindanao telah mempunyai hubungan dagang dengan Cina, Campa, dan Borneo (Zuhdi, 1997). Selanjutnya, sumber lain menunjukkan bahwa perdagangan keramik pada abad ke-10 melalui perairan timur Sulawesi terus ke selatan ke Selat Buton atau Selat Tiworo menuju Sulawesi Selatan (Zuhdi, 1997). Berdasarkan berbagai sumber tersebut, maka cukup beralasan untuk menggali lebih jauh tentang salah satu sisi sejarah kemaritiman orang Buton khususnya pelayaran niaga dalam abad terakhir ini yang merupakan suatu efisode sejarah yang masih dapat menyajikan fakta otentik tentang berbagai dimensi pelayaran niaga orang Buton, baik di daerah asalnya maupun di luar wilayah administratif Kabupaten Buton, bahkan sampai ke luar batas administratif wilayah negara Republik Indonesia. 

3. Metode Penelitian 
3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian 
Penelitian ini merupakan penelitian sejarah yang menggunakan pendekatan sosial ekonomi dan bersifat kualitatif. Karenanya, fokus kajiannya banyak mengadopsi istilah dan konsep sosial ekonomi. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 1998. 
3.2 Teknik Pengumpulan Data 
Pengumpulan data dilakukan dalam 4 cara, yaitu (1) studi kepustakaan, (2) wawancara dengan para pelaku pelayaran niaga dan pejabat yang terkait dengan pelayaran dan perdagangan, (3) pengamatan, dan (4) studi dokumen.
3.3 Teknik Analisis Data 
Untuk memperoleh data yang akurat, maka peneliti membuat catatan lapangan yang selanjutnya disederhanakan/disempurnakan dan diberi kode data dan masalah. Pengkodean data dilakukan berdasarkan hasil kritik yang dilakukan, data yang sesuai dipisahkan dengan kode tertentu dari data yang tidak sesuai dengan masalah penelitian atau data yang diragukan kebenarannya. Data yang diperoleh selanjutnya diuji secara triangulasi metode, peneliti, dan sumber data (Patton, 1980). Oleh karena itu, peran pembantu peneliti dimanfaatkan khususnya dalam melakukan triangulasi peneliti atau pencarian sumber-sumber sejarah. Setelah dilakukan uji triangulasi, selanjutnya dibuatlah analisis secara kualitatif model Spradley (1980) yaitu analisis domain, analisis taksonomi, dan analisis komponensial dengan membuat penggolongan dan periodisasi data secara sistematis. Sebagai tahap akhir ialah pembuatan laporan atau kisah sejarah. 
4. Hasil Penelitian 
4.1 Latar Belakang Pelayaran Niaga Orang Buton 
4.1.1 Faktor Geografis Wilayah Buton (Kabupaten Buton Sekarang) 
meliputi sebagain kecil Jaziran Tenggara Pulau Sulawesi Kawasan Selatan Pulau Buton, Kawasan Selatan Pulau Muna, Pulau Kabaena, gugusan pulau kecil yang tersebar di kawasan barat dan timur Pulau Buton. Wilayah ini berada pada posisi astronomi antara 4,30 derajat Lintang Selatan dan 6 derajat Lintang Selatan, dan atau antara 120,30 Bujur Timur dan 125 Bujur Timur (Anonim, 1997). Berdasarkan posisi georafis dan astronomi tersebut, maka wilayah Buton ini berada pada jalur pelayaran dan perdagangan Nusantara serta mancanegara, yang menghubungkan antara kawasan barat dan timur Nusantara, dan antara Benua Asia (Asia Tenggara dan Selatan) dengan Benua Australia dan Oceania. Posisi ini telah berlangsung lama sejak abad ke-16 saat awal berkembangnya perdagangan rempah-rempah di Maluku yang menjadi komoditi perdagangan internasional. Kemudian wilayah Wakatobi (Buton Kepulauan) juga menjadi salah satu pusat produksi rempah-rempat (cengkeh dan pala). Hal tersebut ditandai dengan adanya istilah "timpu pala" dalam periode yang sama. 
4.1.2 Keadaan Alam 
Sebagian besar wilayah daratan Kepulauan Buton merupakan daerah berbukit. Permukaan tanah umumnya berbatu-batu, dengan profil tanah yang agak dangkal. Luas perairan sebesar 47.727 M2, dengan berbagai jenis kekayaan laut berupa ikan, teripang, japing-japing, lola, agar-agar, dan berbagai hasil laut lainnya merupakan daya dorong penduduknya untuk memanfaatkan laut dalam memenuhi kehidupannya.
4.1.3 Falsafah Hidup Orang Buton Tentang Pelayaran dan Perdagangan 
Bagi sebagian orang Buton pelayaran merupakan suatu kebutuhan, karena mereka hidup dikelilingi oleh laut yaitu sebagian besar penduduk Kabupaten Buton bermukim di pulau-pulau kecil atau di pesisir pantai. Mereka sejak kecil telah bersahabat dengan lingkungannya yaitu perairan, sehingga masyarakat memusatkan perhatiannya kepada pelayaran niaga. Semangat kebaharian orang Buton tercermin dari motto yang merupakan falsafah hidup berlayar dalam Bahasa Kulisusu berbunyi "Key tekaarakoako pangaawa, hinamo imoiko betobansule mpendua" yang artinya "kalau layar sudah terkembang, maka tidak baik untuk kembali sebelum tiba di tempat tujuan." Keberanian Orang Buton berlayar diakui oleh orang Bugis yang juga dikenal sebagai pelayar ulung di Kawasan Timur Nusantara ini. Salah seorang informan (Pelayar Bugis) menyatakan bahwa para pelayar Buton berani berlayar tanpa modal uang, setelah sampai di wilayah orang, perahunya di dok kemudian mereka mencari modal dengan jalan berkebun (memetik bunga cengkeh dan mengolah minyak kayu putih di Ambon), mengolah kelapa menjadi kopra, dan mengolah kayu dan rotan di Maluku, lalu menjadi nelayan; hasil inilah kemudian dijadikan modal/muatan perahu. Demikian pula dalam pelayaran, mereka dapat berlayar dalam waktu lama, karena perbekalan mereka dapat tahan lama seperti "kasoami", "kengku" (makanan pokok/khas mereka), dan jagung. Pelayaran niaga orang Buton bukan hanya dilakukan oleh para pemuda dan orang tua, tetapi hampir merata untuk segenap lapisan masyarakat termasuk pemuda/remaja yang masih duduk di bangku sekolah/perguruan tinggi, dan pegawai negeri. 4.2 Peta Pelayaran Niaga dan Pola Pemukiman Orang Buton 
Peta jalur pelayaran orang Buton dapat digolongkan pada empat arah angin, yaitu barat, timur, utara, dan selatan. Pertama, pelayaran menuju barat dari Kepulauan Buton kemudian menyusuri Selat Selayar menuju Selat Madura hingga tiba di pelabuhan Gresik atau Probolinggo, dan selanjutnya ada yang terus menuju Singapura, Johor, Pulau Pinang di Malaysia Barat. Dalam pelayaran keluar negeri mereka menggunakan perahu soppe. Memasuki negara asing itu umumnya dilakukan dengan cara ilegal. Pelayaran ke Cina diungkapkan oleh seorang nahkoda yang pernah berlayar ke Cina selama 12 kali pelayaran dan oleh informan lain yang merupakan salah seorang "sawinya" (ABK) yang mengaku telah melakukan pelayaran ke Cina sebanyak 8 kali pelayaran. Mereka menggunakan perahu layar tanpa mesin, melalui rute dari Buton-Selat Selayar-Selat Karimata-Laut Cina Selatan dengan menyusuri Pesisir Timur Semenanjung Malaysia-Pesisir Timur Thailand, menyeberangi Teluk Siam, ke Pesisir Selatan Kamboja, menyusuri pesisir Timur Vietnam-Hongkong sampai ke daratan Cina (Kanton, Shanghai dan menyusuri sungai sampai di Peking). Di Negeri Cina mereka tinggal selama 4-6 bulan bekerja di perkebunan kapas sambil menunggu angin utara untuk kembali ke Buton dengan rute seperti tersebut atau melalui rute Cina-Kepulauan Jepang-Kepulauan Philipina-Laut Sulawesi-Kepulaun Maluku/Pesisir Timur Sulawesi-sampai kembali di Buton. Kedua, pelayaran menuju timur ke Maluku, Irian Jaya, dan Kepulauan Pasifik seperti ke Negara Palau. Pelayaran menuju kawasan ini dimulai dari Kepulauan Buton melalui Kepulauan Maluku, Irian Jaya, Papua Nugini, dan beberapa negara di Kawasan Pasifik Selatan seperti Kepulauan Palau, Samoa, dan Kaledonia Baru. Ketiga, pelayaran menuju utara ke Sulawesi Tengah (Banggai dan Toli-Toli), Sulawesi Utara (Gorontalo, Bitung, dan Manado), sebagian diantara mereka langsung ke Malaysia Timur melalui Tarakan, Nunukan (Kalimantan Timur), ke Kalimantan Utara melalui Sabah (Tawau, Lahaddatuk, dan Sandakan), sampai ke Brunai Darussalam. Di beberapa wilayah ditemukan pemukiman etnis Buton termasuk di dalamnya suku Muna. Mereka bekerja dalam berbagai sektor kehidupan bahkan diantara mereka telah ada yang menjadi warga negara Malaysia. Sebagian lagi menuju ke Philipina Selatan melalui Kepulauan Sulawesi Utara dan Maluku. Keempat, pelayaran menuju ke selatan melalui rute Kepulauan Buton, Flores, Solor, Sumbawa, Kupang, Dili, dan bahkan diantara mereka tidak sedikit melakukan pelayaran sampai ke perairan Benua Ausralia atau dipantai Utara Benua Australia. Pola jaringan pelayaran resmi dari dan ke Bau-Bau sebagai pelabuhan utama di daerah Buton, pada akhir abad ke-20 ini tergambar dalam Tabel 1 berikut. Tabel 1 Pola Jaringan Angkutan Laut Dalam/Luar Negeri dari Pelabuhan Bau-Bau Tahun 1997 No. Jaringan Tujuan 1. Antar Pulau di Propinsi Sulawesi Tenggara a. Bau-Bau - Wanci - Tomia - Kaledupa - Binongko b. Bau-Bau - Raha – Kendari c. Bau-Bau - Kabaena d. Bau-Bau - Kasipute e. Bau-Bau – Boepinang 2. Antar Pulau di Luar Propinsi a. Bau-Bau - Maluku b. Bau-Bau - Irian Jaya c. Bau-Bau - Sulawesi Tengah d. Bau-Bau - Sulawesi Utara e. Bau-Bau - Sulawesi Selatan f.. Bau-Bau - Jawa Timur g. Bau-Bau - Jakarta h. Bau-Bau - Riau - Sumut i. Bau-Bau - NTB - Bali j. Bau-Bau - NTT - Timtim 3. Antar Negara a a. Bau-Bau - Davao (Philipina) Sumber: Kantor Pelabuhan Bau-Bau 1997 Pola pemukiman mereka umumnya tidak jauh dari pelabuhan, dan hidup berdampingan dengan pemukiman orang Bugis/Makassar. Mereka bermukim dengan sistem koloni yaitu pola pemukiman berkelompok sesuai dengan etnisnya, tidak berbaur secara bebas dengan penduduk etnik lainnya. Tetapi mereka dapat hidup berdampingan dengan koloni (perkampungan) Orang Bugis/Makassar. Ini dapat diterima karena kedua etnik ini memiliki persamaan latar belakang sosial ekonomi yaitu sistem mata pencaharian sebagai pelayar/nelayan dan pedagang. 
4.3 Teknologi Navigasi 
4.3.1 Teknologi Navigasi yang Digunakan 
Para pelayar Buton sebelum ditemukannya menggunakan tanda-tanda alam dan perasaan. Tanda-tanda alam tersebut antara lain adalah bentuk awan, keadaan langit, warna dan jenis air laut, pantulan sinar matahari atau cahaya bulan, letak bintang di langit, hembusan angin, letak pulau, gunung, tanjung, teluk, dan selat. Dengan intuisi mereka dapat mengetahui jika akan ada bahaya yang mengancam. Inilah yang dijadikan sebagai pengganti kompas dalam pelayaran mereka. Pelayar Buton (Suku Tomia) mengenal istilah "pilotase" yaitu seorang navigator dapat memperhitungkan posisinya cukup dengan melihat berbagai tanda alam yang tampak di darat, "rawe" yaitu kotoran di laut, dan kabut di udara. Seorang navigator dapat melakukan perhitungan deduksi dengan melihat kedudukan matahari, bulan, dan bintang. Perkembangan pelayaran niaga orang Buton sejalan dengan ditemukannya teknik berlayar "opal pabelo" (bahasa Tomia) atau "apala" (bahasa Kulisusu) yang sebelumnya hanya dikenal teknik berlayar "bangunturu" (bahasa Tomia) atau "pasamba" (bahasa Kulisusu) dan teknik "peletanga" (bahasa Tomia). "Bangunturu/pasamba" adalah teknik berlayar lurus yaitu arah angin datang dari belakang. "Peletanga" pelayaran dengan posisi menyilang dan membentuk sudut antara 90-180 derajat. Berlayar "pabelo/apala" (opal) adalah teknik berlayar bersiku-siku sampai di tempat tujuan. Dalam teknik "apala" ini diperlukan keahlian dalam mengarahkan haluan sebab arah angin datang hampir dari muka (membentuk sudut antara 0-90 derajat). Demikian pula penggunaan pompa untuk mengeluarkan air dari dalam perahu yang sebelumnya digunakan "timba" ("kalobi" dari bahasa Tomia dari tempurung kelapa atau dari "hollu" sebagai wadah penyimpanan air), peralatan tali temali yang semula dari sabut kelapa berubah menjadi tali plastik dan kawat. Perubahan bahan layar yang sebelumnya terbuat dari "agel" yang disebut "karoro" berubah menjadi bahan dari kain dan nilon. Jangkar kayu/batu berubah menjadi jangkar besi. Dikenal pula aturan pelayaran niaga yang dalam etnis Kaledupa disebut "Te Atoro Nulangkea" (Aturan Pelayaran). Ada kecenderungan perahu layar orang Buton tidak dicat sebagaimana halnya perahu layar suku bangsa lainnya. Fenomena ini merupakan ciri khas perahu layar orang Buton yang dapat dikenali dari jauh. Akan tetapi sampai penelitian ini berakhir belum ditemukan alasan secara pasti motif yang menyebabkan mereka tidak memberi cat pada perahunya, kecuali pada akhir abad XX khususnya pada tahun 1980-an mereka mulai memberikan cat perahunya dalam berbagai motif warna. 
4.3.2 Jenis Perahu/Kapal Pada awal abad XX 
perahu para pelayar niaga orang Buton umumnya jenis "koli-koli", "jarangka", "pajala", "soppe", dan "Lambo". Pada tahun 1960-an muncul jenis kapal yang disebut "palari" yang diadopsi dari jenis perahu Bugis/Makasaar. Jenis perahu ini memiliki kapasitas angkut 80 ton ke atas. Kehadiran jenis perahu ini lebih mendinamiskan perkembangan teknologi pembuatan perahu di Buton sehingga lahir jenis "pajala" bertiang dua yang memakai layar pembantu di bagian depan yang berbentuk segi tiga yang disebut "jipu" (layar jip). Pada periode yang sama muncul pula jenis kapal "nade" yang bersal dari Sumatera. Bentuknya mirip dengan "lambo", hanya bentuk layarnya yang berbeda. Dalam perkembangannya, mereka cenderung mengubah bentuk layar "lambo" menjadi" layar "nade" karena lebih praktis, yaitu hanya memakai satu tiang layar tanpa ada yang membentang di atas yang disebut "cangking". Kapasitas angkut dan organisasi personilnya sama dengan yang di "lambo". Perkembangan bentuk badan perahu dari semula model "wangka panta kadera" (buritannya seperti bentuk kursi yang bersiku) kemudian lahirnya inovasi model "wangka panta bebe" (buritannya bentuk ekor bebek), kemudian terakhir lahir "panta sekoci". Perubahan ini dimaksudkan untuk mempermudah pemasangan mesin perahu/kapal. Pada tahun 1974 mulailah diperkenalkan perahu layar yang bertenaga mesin (PLM). Secara umum jumlah dan jenis sarana transportasi laut di Daerah Tk. II Buton dapat dirinci seperti tergambar dalam Tabel 2. Tabel 2 Banyakanya Kendaraan Laut menurut Jenisnya Tahun 1994-1996 No. Jenis Kendaraan Laut 1994 1995 1996 1. Kapal Penangkap Ikan 93 143 193 2. Kapal Motor 222 250 77 3. Perahu Lambo Bermotor 151 190 71 4. Perahu Lambo Tidak Bermotor 432 399 71 5. Perahu Layar Motor 248 222 13 6. Jarangka 1.303 1.195 53 7. Soppe 614 613 54 8. Jonson 222 140 58 9. Speed Boat 17 8 9 10. Sampan 6.745 6.919 7.500 11. Pincara 2 33 5 12. Katinting 201 Jumlah 10.049 10.112 10.004 Sumber: Kabupaten Buton Dalam Angka, 1996 Tabel tersebut menunjukkan bahwa alat transportasi yang merupakan inovasi seperti kapal motor dan kapal penangkap ikan mengalami peningkatan, sebaliknya alat transportasi yang bersifat tradisional seperti perahu lambo tidak bermotor mengalami penurunan. 
4.3.3 Tempat Pembuatan Perahu/Kapal 
Umumnya pembuatan perahu dilakukan di daerah Buton sendiri yaitu pada daerah-daerah sekitar pelabuhan tepatnya pada lokasi satker-satker sekarang ini. Bahan baku perahu yang tersedia di daerah Buton sendiri berupa kayu bitti, bintangor, dan kayu lain yang tahan dengan air laut. Tentang pengadaan perahu, pada mulanya para tukanglah yang memilih dan mengadakan kayu untuk bahan baku, namun dalam perkembangan terakhir perahu tersebut dapat dipesan kepada pengolah kayu yang umumnya telah menyiapkan khusus untuk kebutuhan ini. Para tukang/pembuat perahu selain ada di darat juga ada yang di laut yang bernama "juragang". Tidak sedikit "juragang" yang memiliki fungsi ganda, yaitu selain dapat menjalankan perahu juga dapat membuat dan memelihara perahu. Bahkan "juragang" juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai dukun karena umumnya mereka ini memiliki berbagai pengetahuan dan pengalaman yang bersifat mistik-religius. 

4.4 Barang Komoditi 
4.4.1 Barang Komoditi Ekspor 
Barang komoditi ekspor yang dibawa oleh para pelayar niaga Buton adalah rotan, damar, agel, kopra, cengkeh, pala, teripang, dan berbagai hasil laut lainnya. Komoditas rotan, damar, kopra, cengkeh, pala, kulit binatang, dan teripang diekspor ke Singapura dan Malaysia, sedangkan ke Cina diekspor agel dan teripang. Sejak tahun 1926 dimulai perdagangan kopra, cengkeh, dan pala dari Kepulauan Maluku ke kawasan Barat Nusantara sampai ke Singapura dan Malaysia. Pada mulanya perdagangan tersebut mendapat rintangan dari pemerintah Belanda, karena keuntungannya berlipat ganda sehingga para pelayar harus melakukan pelayaran secara ilegal khususnya ke Singapura dan Malaysia. Fenomena tersebut berlanjut sampai akhir abad XX ini, di mana para pelayar niaga orang Buton tetap melakukan pelayaran niaga ke Singapura, Malaysia, Philipina, dan Australia serta wilayah Pasifik lainnya. 
4.4.2 Barang Komoditi Impor 
Pada wal abad XX barang komoditi impor dari mancanegara masih terbatas pada keramik dan tekstil. Kemudian pada pertengahan abad XX meningkat baik volume maupun jenis barang termasuk berbagai jenis elektronik. Keramik (guci, mangkuk, dan piring) didatangkan dari Cina dan Thailand yang ditukar/imbal beli dengan agel dan kopra. Hal ini berlangsung sampai pertengahan abad XX. Elektronik, tekstil yang lebih dikenal dengan akronim RB (Rombengan) didatangkan dari Singapura dan Malaysia (Johor, Pulau Penang, dan Tawau di Sabah) secara ilegal. Barang-barang komoditi impor dijual di wilayah Buton, Kendari, Muna, Sulawesi Tengah, Maluku, Irian Jaya, Nusa Tenggara Timur, dan Timor-Timur. 
4.5 Perekembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Buton 
Akibat Pelayaran Niaga Hasil keuntungan yang diperoleh dari usaha pelayaran ini cukup memuaskan, sehingga mengakibatkan meningkatnya taraf hidup masyarakat pelayar di daerah Buton. Hal ini ditandai dengan banyaknya putra-putri mereka yang merantau untuk sekolah baik di Kendari, Ujung Pandang dan berbagai kota di Pulau Jawa, bahkan ke luar negeri, seperti Singapura dan Malaysia. Dewasa ini diantara generasi muda (putra-putri) pelayar ini telah banyak yang memegang posisi penting dalam pemerintahan dan dunia usaha. Data Statitik Kabupaten Buton (1996) menunjukkan bahwa sub-sektor transportasi laut memberikan sumbangan terhadap PDRB Kabupaten Buton rata-rata 1,33%, suatu angka yang tidak kecil jika dibanding dengan berbagai sub-sektor usaha lainnya. Indikator tersebut membuktikan bahwa perkembangan pelayaran niaga orang Buton berpengaruh terhadap kehidupan sosialnya yang diperkuat dengan data statistik tentang peningkatan jenis alat transportasi laut ke arah yang lebih modern dan kapasitas muatan yang semakin meningkat. Demikian pula arus bongkar muat barang dari berbagai pelabuhan satker yang mengalami peningkatan. 

5. Kesimpulan 
Pelayaran niaga orang Buton didorong oleh letak geografis yang strategis pada jalur pelayaran dan perdagangan nusantara dan internasional, keadaan alam yang berbukit dan berbatu sehingga kurang mendukung untuk pertanian, dan falsafah hidup mereka yang menjunjung tinggi semangat kebaharian. Peta jalur pelayaran meliputi segenap pelabuhan di Nusantara dan manca negara seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Cina (Kanton, Shanghai, dan Peking), dan Philipina Selatan. Pelayaran untuk penangkapan hasil laut mencapai perairan Australia dan negara-negara Oceania. Persebaran orang Buton ditemukan hampir di setiap pelabuhan tersebut. Barang komoditi ekspor pada mulanya terbatas pada agel, damar, rotan, kopra, dan teripang; kemudian berkembang ke jambu mete, kayu, dan berbagai hasil laut. Sedangkan barang komoditi impor adalah keramik dan tekstil, kemudian berkembang ke berbagai jenis barang elektronik termasuk mesin kapal dan sepeda motor. Perkembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Buton sebagai akibat kegiatan pelayaran niaga terlihat dari sumbangan sub-sektor transportasi laut dalam PDRB Kabupaten Buton sebesar 1,33% dan peningkatan jumlah dan volume perahu/kapal yang menjadi milik orang Buton.