Bagian Kesatu dari Dua Tulisan
Oleh : Ali Habiu

Wilayah Administrasi Pemerintahan Daerah Kabupaten Buton keadaan tahun 2007, terdiri dari 21 Kecamatan, terdiri dari: Kecamatan Batauga, Kecamatan Batu Atas, Kecamatan Gu, Kecamatan Kadatua, Kecamatan Kapontori, Kecamatan Lakudo, Kecamatan Lasalimu, Kecamatan Lasalimu Selatan, Kecamatan Mawasangka, Kecamatan Mawasangka Timur, Kecamatan Pasar Wajo, Kecamatan Sampolawa, Kecamatan Siompu, Kecamatan Talaga Raya, Kecamatan Mawasangka Tengah, Kecamatan Sangiawambulu, Kecamatan Siompu Barat, Kecamatan Siontapina, Kecamatan Wolowa, Kecamatan Wabula, Kecamatan Lapandewa. Sebelum pemekaran Wilayah Bombana dan Wakatobi masih masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Buton
Jumlah Desa/Kelurahan keadaan tahun 2004 adalah 165 Desa/Kelurahan yang terdiri dari 141 Desa dan 24 Kelurahan. Menurut klasifikasi desa/kelurahan, dari 165 desa/kelurahan di Kabupaten Buton pada tahun 2004 ada sebanyak 144 desa (87,27 %) merupakan desa swadaya dan sisanya 21 desa (12,73 %) merupakan desa swakarya.
Sejak terbentuknya Kerajaan Buton yang diperkirakan terjadi pada Abad 9 lalu sampai kemasa Kesultanan, dari segi pemerintahannya sangat dihormati oleh daerah-daerah tetanggga utamanya masyarakat bugis, makassar karena mereka menyadari bahwa hampir sebagian besar pemimpin kerajaan di daerahnya (Sulawesi Selatan) berasal dari keluarga atau Anak Raja Buton. Misalnya saja Raja Bone I yang bernama Watampone (Arungpone) atau putri Lasem saudara perempuan Sibahtera suami Wakaka adalah anak Raden Wijaya dari Majapahit. Kemudian Sawerigading sebagai Raja Luwuk I merupakan anak Raja Buton I dari kerajaan Lasalimu (ada 5 kerajaan kecil di Lasalimu sebelum Wakakaa), selanjutnya Arung Palakka merupakan anak Lakabaura dari ibunya yang bernama ..... yang tak lain adalah saudara kandung Sultan Hasanuddin. Oleh kesultanan Buton, Arung Palakka diberi gelar kehormatan yakni Lakina Holiwombo, gelar politis untuk tetap menjalin persaudaraan antara Buton, Bone, Luwu Dan Gowa. Oleh karena itu setiap pertemuan apapun saja yang diselenggarakan di Kerajaan Gowa, Bone ataupun Luwu, para utusan dari Kerajaan Buton atau Kesultanan Buton sangat disegani dan diberi fasilitas pelayanan plus dibanding dengan utusan dari kerajaan-kerajaan lainnya.
Pada masa setelah kemerdekaan para pemuda pemuda buton yang telah melanjutnya pendidikannya di Makassar rata-rata memiliki kecerdasan dan peradaban yang tinggi sehingga pula mereka disegani dan dihormati diantara sesamanya baik lawan maupun kawan dimana lingkungan sosial mereka berada. Mereka itu terdiri para anak sultan dan pemuka adat sekaligus pada masa itu dianggap sebagai tokoh-tokoh masyarakat buton, antara lain seperti : La Ode Manarfa, La Ode Hadi, La Ode Malim, La Ode Azis, La Ode Maliki, Jaksa Laode Wasiun, Halim dan lain-lain. Oleh karena itu dengan melihat sekilas fenomena ini amatlah jelas sekilas terlihat oleh kita adanya gambaran intensitas perkembangan potensi sumber daya manusia di dalam pemerintahan kesultanan buton sebagai suatu daerah swatantra yang dapat diidentikkan sebagai suatu daerah provinsi pada zamannya maka secara politik berinplikasi munculnya keraguan dikalangan sebagian tokoh-tokoh masyarakat asal sulawesi selatan ketika itu yang ada di sulawesi tenggara dan di Makassar. Sebagai dampak atas keraguan ini seluruh aktivitas kegiatan politik tokoh-tokoh buton yang melanjutkan pendidikannya di Makassar selalu mendapat perlawanan dan dibekukan. Mereka sebagian para tokoh-tokoh masyarakat Bugis dan Makassar sudah bisa melihat prospek kedepan dari segi pertimbangan SDM para tokoh-tokoh buton yang ada di Makassar saat itu sangat berbahaya terhadap kepentingan sulawesi selatan di masa depan terutama ditinjau dari segi peranan kepentingan geo toritorial dan geo politik di Kawasan Timur Indonesia
Oleh karena itu ketika provinsi sulawesi sudah terpecah-pecah menjadi beberapa provinsi dan sulawesi bagian tenggara juga memungkinkan untuk dibentuk menjadi satu provinsi, maka dipertengahan tahun 1963 lalu diajukanlah calon Ibu Kota untuk provinsi tersebut, yakni Kota Kendari dan Kota Bau-Bau. Beberapa bulan kemudian dilanjutkanlah pemilihan Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara di Jakarta. Alhasil jumlah suara yang didapatkan dari hasil pemilihan suara (baca:referendum) diperoleh saat itu 3 suara lebih memilih Ibu Kota berada di Kota Bau-Bau dibanding dengan Kota Kendari sebagai Ibu Kota provinsi Sulawesi Tenggara, sehingga pemimpin sidang memutuskan dan menetapkan bahwa Ibu Kota Provinsi Sultra terdapat di Bau-Bau Buton. Tetapi apa yang terjadi bahwa hasil keputusan pemilihan melalui referendum itu di protes oleh utusan yang mewakili dari tokoh sulawesi selatan yang ada di Kendari dengan tidak mau tanda tangani Berita Acara hasil pemilihan. Adapun para tokoh dimaksud adalah mereka yang terdiri dari para tokoh masyarakat dari unsur beberapa kalangan perwira ABRI dari instansi KODAM XIV Hasanuddin yang bertugas di Sulawesi Tenggara dan akhirnya hasil pemilihan kemudian dianggap gagal dan dimundurkan sampai waktu 6 bulan ke depan. Setelah 6 bulan maka berlangsung kembali pemilihan Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara dan karena ribut utusan dari wakil-wakil tokoh masyarakat yang berasal dari ethnis sulawesi selatan menginginkan pemilihan suara dilakukan secara footing maka akhirnya pelaksanaan pemilihan suara dengan cara footing disetujui oleh pimpinan sidang di DPR RI dan setelah pemungutan suara berlangsung dan kotak suarapun dihitung ternyata dari jumlah 13 orang peserta pemilihan dari asal tokoh sulawesi tenggara 7 orang (tokoh Kendari-Kolaka) memilih Ibu Kota Sultra berada di Kendari dan 5 orang memilih Ibu Kota sultra berada di Bau-Bau. Bisa dibayangkan betapa kecewanya utusan tokoh-tokoh masyarakat buton (Buton-Muna) pada saat itu; tokoh-tokoh masyarakat seperti La Ode Manarfa, La Ode Hadi, Jaksa La Ode wasiun, La Ode azis tak pada menerima rekayasa ini dan akhirnya jaksa La Ode Wasiun stres berat sampai beliau mengibarkan bendera merah putih setengah tiang selama 3 bulan di depan Istana Ilmiah Buton dan mengajak seluruh masyarakat buton untuk segera bentuk dan dirikan ”NEGARA BUTUNI” dan keadaan ini berlangsung dengan penuh ketegangan. Sosok dari seorang Jaksa La Ode Wasiun adalah seorang parametafisis dia tahu bahwa ada kebohongan, ada rekayasa politik orang-orang asal ethnis Bugis/Makassar dan Tolaki dibalik ini. Dia tahu bahwa tokoh-tokoh masyarakat sulawesi selatan tidak menginginkan pulau Buton menjadi basis Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara karena daerah ini berpotensi kedepan menjadi bergaining position pintu gerbang Kawasan Timur Indonesia. Suatu fakta tragedi sejarah yang sangat memilukan hati nurani rakyat buton pada masa itu, sesungguhnya seluruh masyarakat buton hingga anak cucunya saat ini tidak akan pernah melupakan tragedi tersebut dan secara apasteriori perjalanan sejara masa lalu itu telah membuka mata hati para anak-anak negeri buton masa kini dan bagi kita semua bahwa ternyata selama ini telah terjadi pembohongan publik di daerah ini dan dapat dijadikan sebagai suatu sarana motivasi legitimasi politik dalam membentuk suatu peta kekuatan politik atas usaha mencermati perkembangan buton dimasa masa akan datang.
Bahwa kini Kota Kendari dengan keberadaan teluknya yang telah dijadikan sebagai suatu ciri khas kebanggaan dijadikannya sebagai Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara ternyata dari perjalanan waktu ke waktu secara linier tidak menunjukkan adanya indikasi eksistensi tingkat pertumbuhan ekonomi daerah ini yang cukup signifikan.. Jika ditinjau dari aspek Product Domestic Regional Bruto (PDRB) kabupaten buton atau dengan kata lain PDRB yang dihasilkan oleh daerah ini sangat rendah bila dibandingkan dengan PDRB bagi daerah–daerah kebelakang lainnya di Indonesia. Iklim investasi didaerah inipun juga (baca : Kota Kendari dan Sekitarnya) hingga saat ini terkesan lamban karena para investor tak mampu ditunjang oleh suatu kondisi spesifik basic environment yang memadai sekalipun pemerintah daerah sesunguhnya sudah cukup memberikan fasilitas untuk itu.
Secara kontekstual masalah ini dapat dilihat pada elemanya orientasi sistem ”bussines Education” dan ”Cross Functional Application” antara subyek dan obyek lingkup para investor sehingga membuat para investor takut menanamkan sahamnya secara nyata (real asset) di daerah Kota Kendari ini atau mereka takut tak kembali modalnya.
Di lain pihak akselerasi perkembangan tata ruang Kota Kendari dan permukiman juga terkesan lamban karena tidak adanya dukungan akses interkoneksitas lingkungan sosial ekonomi antar kawasan pertumbuhan yang relatif mudah dijangkau. Bahwa kini Kota Kendari dengan kebanggaan teluknya itu yang telah dijadikan sebagai basis Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara ternyata dari perjalanannya hingga saat ini tak dapat menunjukkan secara ambivalen adanya sub sistem pertumbuhan ekonomi yang dapat mempengaruhi laju perkembangan antar daerah dan antar kawasan secara merata dalam wilayah sulawesi tenggara. ****
*) Penulis adalah Ketua Umum Lembaga Kabali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar