Opinion Peblika

Opinion Peblika
Suasana Foto Galian Tanah Tambang C Tanpa Melalui SRKL dan AMDAL di Wakatobi

Jumat, 21 Mei 2010

DISTORSI DALAM PENAFSIRAN "OTONOMI BEBAS" ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22/1999 JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 32/2004

Oleh : Ali Habiu


 Konon katanya para pakar bahwa Undang-Undang Nomor  5 Tahun 1974 yang mengatur pokok-pokok Pemerintahan di daerah dianggap tidak sesuai lagi dengan prinsip penyelenggaraan otonomi daerah dan perkembangan keadaan sehingga perlu diganti. Adapun alasannya karena Undang-Undang tersebut bersifat sentralistik yang nota bene campur tangan pemerintah pusat masih lebih dominan disetiap daerah, sehingga eksistensi daerah sebagai suatu wilayah pemerintahan negara untuk mengatur rumah tangganya sendiri dalam kekuasaannya dianggap tidak mutlak; “karena tidak diberi kekuasaan penuh.” Alhasil waktupun bergulir dan kini telah terbit Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah Juncto Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah.
Pada bab I ketentuan Umum, pasal 1 ayat (b) disebutkan bahwa Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah. Dan pada ayat (d) disebutkan yang dimaksud dengan Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut azas desentralisasi.
Pada penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pada butir (f) disebutkan :…….Daerah Provinsi bukan merupakan pemerintahan atasan dari daerah Kabupaten dan daerah Kota. Dengan demikian daerah otonom Provinsi dan daerah Kabupaten dan daerah Kota tidak mempunyai hubungan hierarki.
Selanjutnya pada butir (h) disebutkan bahwa dengan memperhatikan pengalaman penyelenggaraan Otonomi Daerah pada masa lampau yang menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dengan penekanan pada otonomi yang lebih, merupakan kewajiban dari pada hak. Maka dalam undang-undang ini pemberian kewenangan otonomi kepada daerah Kabupaten dan daerah Kota didasarkan pada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
Kewenangan otonomi luas adalah keleluasan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan………,
Distinksi yang ditimbulkan atas penjabaran pasal dan penjelasan undang-undang ini ialah adanya kenafikan penafsiran dari sebagaian kalangan Bupati dan Wali Kota mereka merasa pemerintah sudah memberikan kekuasaan penuh sehingga tanpa disadari menghasilkan sifat akuisme berlebihan.
Sifat akuisme yang berlebihan inilah akan berpretensi munculnya pigur-pigur Bupati ataupun Wali Kota merasa sebagai raja-raja kecil di daerahnya sehingga dia terkadang bersifat feodalistik, diktator dan otoriter dalam memimpin daerahnya tanpa disengaja karena mereka merasa segala kekuasaan ada ditangannya dan berlaku mutlak sehingga dia juga berlaku totaliter, Mengapa hal ini bisa terjadi ?!, karena mereka secara struktural tidak lagi dapat diatur tanpa disadari menghasilkan sifat akuisme berlebihan.
Sifat akuisme yang berlebihan inilah akan berpretensi munculnya pigur-pigur Bupati ataupun Wali Kota yang merasa sebagai raja-raja kecil di daerahnya sehingga dia terkadang bersifat feodalistik, diktator dan otoriter dalam memimpin daerahnya tanpa disengaja karena mereka merasa segala kekuasaan ada di ditangannya dan berlaku mutlak sehingga dia juga berlaku totaliter.
Mengapa hal ini bisa terjadi?!, karena mereka secara struktural tidak lagi dapat diatur tanpa disadari menghasilkan sifat akuisme berlebihan. Sifat akuisme yang berlebihan inilah akan berpretensi munculnya pigur-pigur Bupati ataupun Wali Kota yang merasa sebagai raja-raja kecil di daerahnya sehingga dia terkadang bersifat feodalistik, diktator dan otoriter dalam memimpin DPRD cukup jelas diatur pada pasal 19 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 20034 tetapi pada kenyataannya eksistensi pasal-pasal ini sementara dari sebagai besar kalangan anggota dewan masih mengabaikan karena mereka belum ada kemauan bargaining politik untuk menjalankannya secara efektif.
Konspirasi semacam ini terjadi sebagai dampak dari banyak para anggota dewan baik ditingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota secara relatif direkrut dari kalangan yang tidak mampu terutama yang berasal dari kalangan partai-partai baru yang rata-rata memiliki latar belakang sosial ekonomi rendah sehingga dalam aktivitasnya sering menggunakan jurus “mumpung ada kesempatan sikat” disamping itu juga rata-rata kemampuan intelektual para anggota legislatif kita yang ada di daerah Sulawesi Tenggara saat ini mulai dari Provinsi, Kabupaten dan Kota relatif rendah membuat mereka sebaliknya mudah dibodohi oleh kalangan eksekutif menjadikan kinerja DPRD saat ini tidak bisa diharapkan dan dipercaya lagi.
Selanjutnya dalam penjelasan tersebut disebutkan untuk menjadi Kepala daerah, seseorang diharuskan memenuhi persyaratan tertentu yang intinya agar Kepala daerah selalu bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki etika dan moral, berpengetahuan dan berkemampuan sebagai pemimpin pemerintahan, berwawasan kebangsaan serta mendapatkan kepercayaan rakyat.
Kepala daerah disamping sebagai pimpinan pemerintahan, sekaligus adalah Pimpinan daerah dan pengayom masyarakat sehingga Kepala daerah harus mampu berfikir, bertindak dan bersikap dengan lebih mengutamakan kepentingan bangsa, negara dan masyarakat umum dari pada kepentingan pribadi maupun golongan……...,’
Filosofi persyaratan bagi Kepala daerah tersebut secara teoritis sudah akomodatif tetapi pada kenyataan dalam prakteknya akibat pelaksanaan otonomi luas banyak dijumpai para Bupati dan Wali Kota di tanah air dewasa ini masih menganut prinsip-prinsip kedaerahan dengan lebih mementingkan kepentingan pribadi atau golongan dari pada kepentingan yang lebih luas.
Pengaruh atas adanya muatan kepentingan ini menjadikan distorsi dalam penafsiran Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jauh dari substansi apa yang sesungguhnya diinginkan oleh para inspirator dan konseptor Undang-Undang ini. Begitu besar kekuasaan seorang Bupati atau seorang Wali Kota maka penafsiranpun kadang kala dilakukan secara berlebihan yang mana mereka sudah tidak lagi mengindahkan substansi norma-norma pedoman yang berlaku sebagai dasar konsideran suatu keputusan misalnya Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri atau keputusan Menteri yang relevan untuk senantiasa dipedomani sebagai acuan dalam diktum suatu keputusan.
Sebagai contoh kecil kita bisa lihat ke daerah ini misalnya saja kita mengambil Sampel Kabupaten WAKATOBI; pengangkatan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dijabat oleh pejabat berlatar disiplin ilmu sosial (mantan Guru SLTA), Kepala Dinas Kesbang dijabat oleh pejabat berlatar belakang ilmu sosial (mantan Guru SLTA), Kepala Dinas Kesehatan dijabat oleh pejabat berlatar disiplin ilmu bukan dokter,  Kepala Dinas Perhubungan dijabat oleh pejabat berlatar disiplin bukan transfortasi atau manajemen pembangunan dlsb. Gambaran ini sebagai contoh-contoh kecil dari banyaknya masalah birokratisasi didaerah yang tidak sesuai aturan normatif. Dan hal demikian ini terjadi pula di Kabupaten lain di wilayah Sulawesi Tenggara.
Meskipun disatu pihak ada pembenaran atas penempatan para pejabat tersebut dengan alasan pertimbangan golongan “tak ada lagi yang memenuhi selain itu” tetapi dilain pihak pada hakekatnya kita semua telah melecehkan eksistensi lembaga-lembaga pemerintah di daerah yang nota bene seharusnya dijabat oleh mereka yang memiliki disiplin ilmu sesuai bidang tugas instansional yang dipimpinnya agar benar-benar dalam melaksanakan pelayanan pembangunan kepada masyarakat bisa berjalan efektif, efisien dan transfaran sesuai dengan bidang ahli yang dimilikinya.
Dalam memasuki manajemen baru pemerintahan dengan konsep “Good Governance” penempatan pejabat pada lembaga teknis atau lembaga operasional lainnya benar-benar harus sesuai dengan bidang disiplin ilmu yang dimilikinya “the right man and the right places” sehingga akuntabilitasnya terukur karena dia adalah pejabat profesional. Harga mati pencermatan teori manajemen klasik yang dikembangkan selama ini dengan menganggap bahwa seorang Kepala Dinas cukup saja dia harus seorang generalist dengan lebih banyak menguasai managerial skills dari pada technical skills dan rank and file, ternyata diera modern dewasa ini yang serba dituntut dengan tantangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan pemberian pelayanan optimal kepada masyarakat –--- teori ini tidak lagi berlaku.
Pigur seorang kepala dinas dewasa ini adalah dia seorang profesional artinya dia kuasai managerial skills, juga kuasai technical skills disamping juga ahli pada bidang rank and life (keterampilan teknis) meskipun pada prinsipnya ada tataran manajemen level bawah yang akan melaksanakan keputusannya tetapi dia all in dalam melaksanakan secara refresentasi seluruh tanggungjawab bidang tugasnya sehingga dia mampu menjalankan prinsip-prinsip manajemen modern yang lagi dikembangkan saat ini yakni MBO (management by objective).
Ternyata konsistensi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengalami banyak kendala antara lain, salah satunya disebabkan karena tidak adanya kewenangan Gubernur sebagai kepala daerah provinsi untuk mengatur Bupati sebagai kepala daerah Kabupaten dan Wali Kota sebagai kepala daerah Kota sehingga mereka juga kadang kewalahan dalam menempatkan pejabat karena di daerah Kabupaten atau Kota sudah tidak ada lagi pegawai tertentu yang memenuhi syarat golongan tetapi mereka enggan minta bantuan kepada provinsi karena daerah provinsi bukan merupakan atasan langsung mereka, padahal ditingkat provinsi banyak tenaga-tenaga yang memenuhi syarat bagi keperluan mereka.
Harapan kita semua mudah-mudahan penafsiran-penafsiran yang berlebihan terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak lagi bergulir merusak tatanan pada bidang-bidang lain serta daerah provinsi sulawesi tenggara sebagai daerah otonom yang membawahi Kabupaten dan Kota suatu saat dapat terjalin sinergis hierarkional sehingga saat ini bagi kita semua yang paling kita idamkan adalah munculnya Undang-Undang baru  yang lebih refresentatif bisa mengatur semua kendala-kendala yang banyak kita alami dewasa inibisa terselesaikan dengan baik. Mungkinkah??.... Wallahu’alam bishshawab....****

Tidak ada komentar: