Web Blog Opinion Publika Indonesia milik Umar Bakri, Pemerhati Masalah Sosial, Politik dan Pembangunan. Mari Gabung Bersama Web Blog ini Dalam Upaya Sosial Kontrol Untuk Pemberian Masukan Kepada Masyarakat, Pemerintah dan Para Penyelenggara Negara di Indonesia.
Kamis, 25 April 2013
Senin, 22 April 2013
BBM Naik, Dalih APBN Hemat Vs Penghianatan Kepada Rakyat Tuk Melindungi Kapitalis Migas.
OLEH : BIA WAKATOBI
Kenaikan BBM pada bulan Mei mendatang merupakan penghianatan Kepada
Rakyat dan merupakan perlindungan kepada Kapitalis yang berarti hanya
mencari-cari sudut pandang secara korelatif yang dipaksakan.
Rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi pada Mei
mendatang secara jujur sangatlah tidak adil karena ada anggaran lain
yang selama ini turut membebani APBN.
Dalam APBN Tahun 2013,
anggaran sebesar 117,7 Triliun yang meliputi anggaran untuk membayar
cicilan bunga utang sebesar 113,243 triliun dan cicilan pokok utang
58,405 triliun harus nya dipandang akan mengalami perbaikan secara
signifikan bagi geliat perekonomian sebab mengalami peningkatan
dibanding APBN tahun 2012 sebesar 167,5 triliun, belum termasuk belanja
birokrasi pemerintah sebesar Rp400,3 Triliun.
Tapi, mengapa
anggaran sebesar ini tidak pernah dipersoalkan. Mengapa yang selalu
dipersoalkan dan dipersepsikan sebagai beban APBN hanya anggaran subsidi
BBM termasuk subsidi energi. Hal ini penting oleh karena anggaran
subsidi BBM termasuk subsidi energi merupakan kebutuhan vital yang
menggerakan roda perekonomian masyarakat. Seharusnya Ketika terjadi
penyelewengan, yang dilakukan pemerintah adalah penegakan hukum secara
adil dan tegas. Artinya seret pialang jahat para kapitalis itu, Bukan
dengan membebani masyarakat lewat kenaikan harga BBM. Sesungguhnya
penghematan sebesar Rp 30 triliun dari kebijakan dual price tidak akan
sebanding dengan dampak inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok yang
harus di tanggung masyarakat.
Kita semua dapat mencermati
bahwa belumlah rencana kenaikan harga BBM di berlakukan, harga-harga
mulai membumbung naik. Bukan itu saja, praktis isue kenaikan harga BBM
menempatkan para pialang kapitalis BBM itu melakukan aksi borong dengan
berbagai kecurangan yang kita semua menyaksikan penayangannya di layar
TV, akhirnya berujung pada kondisi kelangkaan hingga seperti Kalimantan
Timur sebagai daerah penghasil minyak besar, nampak tidak lucu
memunculkan antrean panjang di setiap SPBU.
Dalih subsidi BBM
akan membebani APBN hanyalah kedok semata untuk menutupi tujuan
sesungguhnya yakni demi melayani kepentingan para kapitalis. Karena
Selama ini, para kapitalis di sektor migas kesulitan memasarkan produk
BBM karena harganya masih relatif lebih mahal jika dibandingkan dengan
BBM bersubsidi yang dijual Pertamina. Lewat pencabutan subsidi BBM, maka
harga BBM menjadi terdongrak naik dan kompetitif. Kondisi ini membuka
peluang bisnis bagi para kapitalis migas untuk ikut bermain di sektor
hilir lewat penjualan BBM di SPBU SPBU asing atau sebagaimana di
beritakan di TV bahwa aksi borong para pialang Kapitalis migas ini di
timbun lalu di jual ke perusahaan dengan harga diatas seratus persen.
Rakyat menderita, merupakan potret yang memiris pilu hati nurani rakyat
dan pada sisi yang lain menempatkan kong kali kong para kapitalis migas
untuk secara sistematis mempengaruhi bahkan mengintervensi kekuasaan,
begitupun mekanisme monopolistik tidak juga membuat kita sadar bahwa ada
sisi perjuangan substantif yang harus dikedepankan bernama keberpihakan
terhadap masyarakat kecil.*****
Jumat, 12 April 2013
KONTEPLASI PEMIKIRAN FENOMENA NEGARA KLEPTOKRASI BANGSA INDONESIA
OLEH : BIA WAKATOBI
Pagi di minggu hari ini, mencoba bermain dalam kontemplasi pemikiran
tentang negeriku yang hari ini semakin carut marut tanpa kejelasan
sistem demokrasi. Hasil kontemplasi pemikiran saya kemudian tertuju pada
pemaknaan secara gramatikal apa yang disebut dalam istilah kamus
tentang "KLEPTOKRASI". Catatan ini saya ramu dari berbagai sumber yang
bertujuan untuk mensosialisasikannya karena dasar pemahaman bahwa
penggemar Facebook adalah masyarakat mayoritas yang dengan mudah di
akses untuk kemudian dapat menginformasikannya kepada masyarakat lain
yang tidak mengetahuinya.
Hari ini negriku dan juga negeri
anda, Korupsi tak hanya terjadi di lembaga yudikatif, peradilan, tetapi
juga ada di legislatif dan eksekutif. Kondisi ini diketahui pemerintah
maupun rakyat. Namun, pemerintah tak berhasil mengatasinya.
Coba kita cermati bersama sistem peradilan yang dihancurkan secara
sistematis oleh pemangku keadilan, penegak hukum, politisi, pejabat, dan
pengusaha melalui cara-cara memperjualbelikan dan mentransaksikan
keadilan dengan fasilitas mewah.
Ada perbedaan perlakuan
terhadap masyarakat kecil yang mencari keadilan dengan tersangka
korupsi, yang umumnya adalah pejabat, pengusaha, atau politisi. Hampir
dalam semua kasus, petani kecil itu selalu dikalahkan. Pengusaha dan
politisi koruptor selalu menang".
Terbongkarnya kasus suap
yang melibatkan hakim sangat memprihatinkan. Peradilan adalah benteng
terakhir dari proses hukum setelah proses penyidikan di kepolisian dan
penuntutan di kejaksaan. Jika benteng terakhir penjaga keadilan
tergerogoti virus korupsi, tentu akan sulit dibayangkan penegakan hukum
di negeri ini bisa berjalan baik.
Yang jelas, korupsi bersama
telah menjadi suatu model korupsi di negeri ini, yang dalam suatu kasus
korupsi, bukan saja dilakukan satu atau dua orang, melainkan melibatkan
banyak orang. Bahkan dilakukan secara terorganisasi, sehingga kerap juga
disebut korupsi berorganisasi. Dan korupsi berskala besar kerap diambil
lewat keputusan-keputusan bersama yang kompromistis.
Menurut
Jared Diamond dalam buku Gun, Germs and Steel: The Fates of Human
Society (1999), korupsi yang melibatkan banyak orang dalam suatu kasus
lebih sering terjadi di tataran kelompok elite negara yang terdiri dari
pejabat tinggi negara, aparatur birokrasi dan anggota parlemen yang
memegang otoritas publik-rakyat. Korupsi model ini membentuk sosok
sejatinya yang semakin sempurna, dalam negara yang disebut negara
kleptokrasi, dengan politik oligarkis, dan bentuk pemerintahan
plutokrasi.
Kleptokrasi berasal dari bahasa Latin (kleptein dan
cracy), yang berarti mencuri (to steal) atau mengambil paksa sesuatu
yang bukan menjadi hak (to rob). Negara kleptokrasi adalah negara yang
dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan ditandai oleh keserakahan,
ketamakan, dan korupsi merajalela (a government characterized by rampant
greed and corruption), Amich Alhumami (2005).
Istilah
kleptokrasi seperti diuraikan ini menjadi sangat populer setelah
digunakan oleh Stanislav dalam Kleptocracy or Corruption as a System of
Government (1968) yang merujuk pada a ruler or top official whose
primary goal is personal enrichment and who possesses the power to gain
private fortunes while holding public office.
Artinya, sebuah
pemerintahan yang sarat dengan praktek korupsi dan penggunaan kekuasaan
yang bertujuan mencari keuntungan secara tidak halal, sehingga sistem
pemerintahan dan budaya masyarakat pun berada di bawah bayangan para
kleptomaniak, pengidap penyakit kleptomania.
Dalam ilmu
psikologi, kleptomania adalah penyakit jiwa yang mendorong seseorang
mencuri sesuatu, meskipun ia telah memiliki sesuatu yang dicurinya itu.
Karena itu, pengidap penyakit kleptomania dikatakan berwatak sangat
serakah. Negara kleptokrasi adalah negara yang dalam gambaran filsuf
Friederich Nietzsche, ibarat monster yang paling dingin dari yang
terdingin karena beroperasi dengan mencuri harta kekayaan penduduk
dengan bermacam alasan, sehingga elite korup ibarat kera yang saling
menginjak untuk mendapatkan materi dan kekuasaan.
Fenomena
korupsi dalam negara kleptokrasi akan bertambah sempurna jika disokong
oleh budaya politik oligarkis dan sistem pemerintahan plutokrasi.
Oligarki adalah kekuasaan di tangan segelintir orang, politisi dan
pengusaha. Sedangkan plutokrasi adalah pemerintahan yang diatur dan
dikendalikan oleh sekelompok orang kaya yang mengambil keuntungan materi
dari dana yang dikucurkan negara.
Politik oligarkis adalah
suatu konfigurasi politik yang didominasi kelompok elite yang
mengerjakan politik melalui transaksi-transaksi yang saling
menguntungkan di antara elite sendiri. Di dalam konfigurasi politik yang
oligarkis keputusan-keputusan penting kenegaraan ditetapkan oleh para
elite negara secara kolutif dan koruptif, sehingga keberadaan mereka
ibarat di negeri kleptokrasi.
Sebuah negara hancur jika telah
menjelma menjadi negara kleptokrasi yang pemerintahannya dijalankan
secara plutokrasi, yaitu sekelompok orang- orang kaya yang
korup-plutokrat. Dan lebih hancur lagi jika para plutokrat itu
mengendalikan pemerintahan di atas roda politik oligarkis, di mana
keputusan-keputusan kenegaraan selalu bernuansa koluptif dan koruptif
demi keuntungan diri.
Sesungguhnya oligarki dan plutokrasi
telah melekat pada sistem demokrasi di negeri ini baik secara manifes
maupun laten. Keberadaan mereka ibarat penumpang gelap yang berbahaya.
Bagi negara kleptokrasi ala Indonesia pertumbuhan oligarki dan
plutokrasi sudah berjalan secara intra-organisasi dalam bentuk-bentuk
persekongkolan, kroniisme dan nepotisme.
Parpol di negeri ini
telah dirasuki oleh politik oligarkis dan plutokrasi. Ini terlihat dari
tidak adanya satu pun parpol yang memiliki kemampuan keuangan mandiri
dan hidup dari iuran anggota. Dan sudah menjadi rahasia umum, jika
parpol, terutama parpol yang ikut dalam pemerintahan selalu berusaha
menempatkan orang-orangnya pada posisi basah di lembaga pemerintahan dan
BUMN guna menghimpun dana bagi parpol.
Untuk itu, keberadaan
parpol tidak lagi dapat menyentuh fungsi idealnya sebagai pelaksana roda
demokrasi, sebab di dalam sistem politik negara yang oligarkis, parpol
hanya menjadi political crowded (kerubutan politik). Di dalam kerubutan
politik yang oligarkis ini para elite hanya berjuang demi keuntungan
partai dan diri sendiri.
Maka, korupsi di negeri ini pun
menjadi bertambah bak virus menular yang terus mengganas dan berjalan
semakin terorganisasi. Penguasa eksekutif, aparatus birokrasi dan
parlemen terus memperkuat diri menjadi lembaga transaksi-transaksi
kekuasaan dan berkompromi dalam membuat keputusan.
Korupsi pun
berkembang menjadi syndrome-anomy di mana masyarakat tidak lagi
berpandangan negatif terhadap korupsi. Korupsi dianggap sebagai sebuah
budaya baru yang harus dilestarikan. Terjadilah pembiaran dan apatisme
publik terhadap para koruptor. Maka, menguatnya demokrasi dus tumbuhnya
budaya kontrol menjadi sia-sia, karena di samping tidak berdaya terhadap
kolusi antara pemerintah, pengusaha, parpol, dan parlemen, semua
kebobrokan telah dianggap sebagai sebuah perubahan sosial yang wajar.
Semua fenomena di atas disebabkan terjadinya degradasi moralitas yang
parah di tengah masyarakat bangsa. Padahal, moralitas berkontribusi
besar bagi berkembang atau sebaliknya menambah terpelorotnya sebuah
negara ke dalam lembah kleptokrasi, dengan sistem pemerintahan
plutokrasi dan politik yang bernafaskan konfigurasi politik oligarkis.
Persoalannya, bagaimana merevitalisasi moral dan menumbuhkan moralitas
publik. Ini dapat dibangun lewat bentukan budaya tandingan yang berbasis
agama, pengembangan budaya antikorupsi, dan pendidikan norma-norma
serta nilai-nilai luhur dalam masyarakat, terutama di
komunitas-komunitas pendidikan. Itu harus terfokus sebagai gerakan
budaya tandingan berbasis (counter culture) komunitas (community-based
movement). Dan ini semua tentu membutuhkan waktu lama dan stamina yang
prima.
Namun, itu semua menjadi sia-sia jika para pejabat
eksekutif, aparatur birokrasi, parlemen, dan politisi tidak mengubah
perilaku dan menjadi contoh dan pelita hati bagi rakyatnya. Krisis
bangsa akan sulit diselesaikan jika kaum elite negara tetap mengindap
gangguan jiwa, menjadi kleptomaniak dengan stadium yang semakin lanjut.
Sepertinya sudah masanya kita melakukan jihad bagi minoritas yang telah
melakukan tirani mayoritas. Para minoritas ini adalah elit yang dengan
kecerdikan dan kekuasaan yang mereka miliki telah melakukan teror
ekonomi dan hukum atas rakyat miskin negeri ini
Banyaknya
anggota DPR yang terjerat kasus korupsi, menurunkan kepercayaan
masyarakat terhadap kinerja lembaga tersebut. Bila aksi curi uang
rakyat itu tak segera diakhiri, kuatir akan adanya pergeseran sistem
ketatanegaraan Indonesia dari negara demokrasi menjadi kleptokrasi.
Menurut Wikipedia, sebuah negara disebut kleptokrasi apabila ia
diperintah oleh para maling. Hal ini didasarkan pada pemahaman adanya
bentuk administrasi publik yang menggunakan uang yang berasal dari
publik untuk memperkaya diri sendiri. Administrasi publik semacam itu
umumnya tidak jauh dari praktik-praktik kronisme, nepotisme dan
makelarisme.
Dalam konteks yang carut marut demikian, Siapa pun
bisa menuding siapa saja sebagai biangnya. Rakyat bisa menunding
pejabat publik. Pejabat menuding pengusaha yang suka menyogok untuk
memerlancar urusannya. Atau menyalahkan rakyat yang juga gemar menerima
uang saat Pemilu atau mengambighitamkan gaji yang kecil.
Namun,
serumit apa pun lingkaran saling menuding, akar pangkalnya toh bisa
ditelusuri. Dilihat dari sisi pengelolaan negara, akar pangkal makin
liarnya korupsi pastilah bersumber dari Pemerintah. Mengapa? Karena
Pemerintahlah penanggung jawab pengelolaan negara.
Lihat saja
tingkat kesungguhan negara dalam memberantas korupsi. Dari waktu ke
waktu, negara dan para penegak hukum cenderung hanya mengurusi kasus
keroco, kasus kelas teri, dan membiarkan kasus kakap terus
bergentayangan. Sialnya kasus kelas teri itu dicitrakan sebagai kasus
besar yang bernilai hebat.
Beberapa di antaranya yang tergolong
kelas teri itu ialah kasus Gayus Tambunan, wisma atlet Palembang,
Hambalang, kasus Djoko Susilo yang diduga telah merugikan Negara sekitar
Rp 100 miliar, Nazzaruddin, Angelina Sondakh, Anas, Andi Malarangeng,
atau Ibas yang disebut Yulianis menerima 200 ribu dollar US, tapi
dibantah oleh Ibas.
Lho kok disebut kelas teri? Bukankah
miliaran itu besar sekali? Bukankah harta rampokan Djoko Susilo tersebar
ke mana-mana? Apakah 400 miliar harta Nazaruddin yang diduga hasil
pencucian uang boleh dibilang kecil?
Ya, tentu saja semuanya
besar. Bahkan sangat besar bagi orang seperti saya dan sebagian besar
rakyat Indonesia yang tak pernah melihat uang sebanyak itu. Tapi
dibandingkan dengan perampokan triliunan uang negara beberapa waktu lalu
yang terus dilupakan, nampaknya kasus-kasus di atas sangat tidak
sebanding. Terlalu kecil!
Membiarkan Koruptor Kakap
Masih ingat kasus BLBI yang kemudian disusul kasus Bank Centry, bukan?
Masih ingat pula nama-nama koruptor kakap yang terus menerus menghiasi
halaman-halaman muka surat kabar beberapa waktu lalu, bukan? Banyak
media merilis nama koruptor kakap dan jumlah nilai uang yang dilarikan
ke luar negeri.
Sebutlah umpamanya Banjarmasinpost.co.id. Pada
edisi Senin, 4 Juli 2011, ia merilis daftar 45 koruptor yang lari keluar
negeri. Nilai yang mereka larikan sungguh tak terbayangkan. Hampir
semua riliunan rupiah! Sebutlah Sjamsul Nursalim, dalam kasus korupsi
BLBI Bank BDNI. Ia merugikan negara Rp 6,9 triliun dan 96,7 juta dollar
Amerika. Kasus itu sudah masuk proses penyidikan. Namun kasusnya
dihentikan (SP3) oleh Kejaksaan.
Contoh lainnya, Bambang
Sutrisno dalam kasus BLBI Bank Surya. Ia merugikan negara Rp 1,5
triliun. Andrian Kiki Ariawan dalam kasus BLBI Bank Surya, kerugian
negara Rp 1,5 triliun. Eko Adi Putranto dan Sherny Konjongiang dalam
kasus korupsi BLBI Bank BHS. Masing-masing menggondol uang negara dengan
jumlah yang sama Rp 2,659 triliun. Atau David Nusa Wijaya dengan nilai
kerugian negara Rp 1,9 trilun, Edi Tanzil Rp 1,3 triliun, Agus Anwar,
dalam kasus korupsi BLBI Bank Pelita, dengan kerugian negara Rp. 1,9
triliun. Dan banyak lagi.
Pertanyaannya, kalau mereka berada di
luar negeri mengapa Negara terus loyo memburu mereka, padahal Negara
terkesan kuat ketika memburu Nazaruddin? Apakah Negara RI ini masih
memiliki tujuan sebagai Negara normal? Atau apakah Negara RI ini masih
layak disebut sebagai sebuah negara? Ratusan bahkan ribuan Undang-undang
yang terus dihasilkan DPR, untuk apa? Presiden, para Menteri, pejabat
negara lain dan para Pemimpin Partai Politik itu mengurusi apa?****
PENTINGNYA PERHELATAN PEMILU 2014 MELAHIRKAN DPR YANG BERKUALITAS DALAM KONSEP DAN TINDAKAN
OLEH : BIA WAKATOBI
Perhelatan demokrasi terbesar negeri ini akan di langsung kan pada hari
Rabu tanggal 9 April 2014 tahun depan, namun saat ini genderang nya
sudah mulai terasa dengan munculnya berbagai spanduk dan baliho di
berbagai sudut-sudut jalan.
Ada hal yang perlu menjadi
perhatian kita semua bahwa seiring dengan semakin banyaknya
anggota-anggota DPR yang tersangkut kasus-kasus hukum, partai politik
kini dituntut untuk lebih ketat dalam melakukan seleksi. Agaknya memang
bukan perkara sulit untuk menjadi seorang anggota legislatif di negara
yang masih tengah memuja euforia politik seperti Indonesia ini.
Keengganan partai politik untuk menjadikan aspek intelektualitas,
kompetensi, dan etika sebagai parameter utama perekrutan caleg turut
memberikan andil bagi terpilihnya orang-orang yang tidak memiliki etika
dan kualitas kompetensi memadai sebagai anggota legislatif. Lihat saja
fenomena anggota DPR tidur di ruang sidang atau mereka pada
cakar-cakaran yang di pertontonkan di layar televisi.
Hal itu
diperparah oleh minimnya informasi tentang rekam jejak (track record) si
caleg yang dapat diakses oleh masyarakat luas padahal informasi
menganai rekam jejak caleg sungguh sangat berguna bagi publik untuk
melakukan evaluasi dan penilaian apakah layak untuk menitipkan amanah
pada caleg yang bersangkutan. Di samping itu, publik pun tentu juga
lebih mudah menguji janji kampanye si caleg bila mengetahui jejak rekam
caleg bersangkutan selama ini. Kesalahan partai politik dalam merekrut
caleg inilah yang kemudian memunculkan keraguan publik terhadap kualitas
intelektualitas, kompetensi, dan etika para anggota DPR.
Berbagai realitas miris itu kian menegaskan penilaian publik selama ini
bahwa selama ini partai politik cenderung mengutamakan aspek ketokohan
semisal artis "publik figure" dan kemampuan finasial semata dalam
melakukan perekrutan caleg. Karena itu, di masa mendatang partai politik
mutlak harus lebih mempertimbangkan dan mengutamakan aspek
intelektualitas, kompetensi, dan etika sebagai parameter utama
perekrutan caleg.
Masyarakat sekarang telah “cerdas”. Kita
sering mendengar ungkapan semacam itu. Tetapi yang dimaksud dengan
cerdas tersebut dalam arti masyarakat tidak mau lagi memberikan suara
kepada seorang calon secara cuma-cuma. Tidak ada yang gratis di dunia
ini. Begitu adagium terkenal yang seringkali bersliweran di sekitar
kita. Sehingga seorang calon politisi pemula yang berambisi masuk dalam
dunia yang dikatakan menarik tersebut, mau tidak mau, harus menyediakan
dana transaksi politik yang menjadi garansi jitu agar dipilih
masyarakat. Ini sudah menjadi hukum tak tertulis bahkan telah menjadi
budaya yang termapankan. Dan faktor inilah yang kemungkinan besar
menjadi penyebab kenapa para aktivis, pengamat politik, dan para
intelektual kampus enggan dan segan untuk turut serta bermain-main dalam
arena politik praktis. Disamping memang tidak punya dana, mereka juga
pasti tidak sudi melacurkan moral dan intelektualitas diri dengan harga
murah. Lebih baik tetap bertahan dikampus dari pada memaksakan diri
terseret dalam lingkaran setan tak berujung.
Dengan tradisi
rekruitmen calon anggota legislatif semacam itu maka sangat susah untuk
memimpikan SDM legislatif yang berkualitas secara moral dan
intelektual. Dalam tradisi seperti itu, arena politik praktis sejatinya
hanya membutuhkan orang-orang yang berkantong tebal. Dan otomatis
nantinya mereka juga tidak akan segan mencari ganti atas sejumlah dana
yang telah habis dikeluarkan pada masa pencalonan hingga menjadi anggota
legislatif definitif bagaimanapun pola dan caranya. Yang penting uang
pribadi bisa kembali. Apalagi jika dana yang dipakai berasal dari
pinjaman kepada bank ataupun perseorangan. Jelas calon anggota
legislatif semacam itu setelah menjadi aggota definitif tak akan sempat
memikirkan program dan kebijakan yang merakyat. Mereka akan lebih sibuk
mengakali anggaran dan biasanya akan dipakai sebagai ATM berjamaah. Para
wakil rakyat biasanya jenius dalam persoalan ini.
Dengan
begitu, rasanya kita akan segera menyepakati bahwa gedung parlemen tidak
memerlukan profesor ataupun doktor. Sebab, pada kenyataannya gedung
parlemen tidak pernah dipakai untuk melangsungkan perlombaan cerdas
cermat. Gedung parlemen hanya memerlukan orang-orang yang mengerti
bagaimana bermain dan bersaing memperebutkan kekuasaan. Untuk itu partai
disini hanya memerlukan orang-orang yang cerdik, lihai, dan berkantong
tebal. Anda tahu, seseorang yang memiliki dana berlebih dan berlimpah
akan nampak lebih cerdas dari doktor ataupun profesor. Sebaliknya,
seorang profesor jenius sekalipun akan nampak bodoh dihadapan mereka
orang-orang berkantong tebal. Jadi begitulah fenomena ganjil dan
sepertinya sudah sejak lama menjadi tradisi dalam kehidupan keseharian
kita selama ini.
Jika demikian keadaannya maka saya sangsi
dunia politik praktis akan menarik bagi para aktivis, pengamat dan para
intelektual kampus yang selama ini dikenal memegang dan memiliki
idealisme tinggi.
Padahal Hasil survei lembaga Media Survei
Nasional (Median) bulan Januari 2013 lalu menunujukkan mayoritas publik
mengehendaki kualitas caleg yang berkarakter merakyat, yaitu sebesar
27,4 persen. Sedangkan karakter caleg terbanyak kedua yang dikehendaki
rakyat adalah jujur dan bersih sebesar 19,3 persen, disusul dengan
karakter cerdas (14 persen).
Survei itu menunjukkan publik
cenderung tertarik untuk memberikan suaranya kepada calon anggota
legislatif (caleg) yang berkualitas, tidak sekedar populer. Dari survei
itu juga terlihat bahwa rakyat lebih menghendaki caleg yang merakyat
dan sering turun ke tengah masyarakat ketimbang mereka yang agamis,
sholeh, maupun yang cerdas sekalipun.
Suatu isu penting dalam
upaya meningkatkan kualitas dan kinerja para wakil rakyat jika calon
legislatif terpilih adalah soal bagaimana hubungan antara wakil rakyat
dengan konstituennya. Isu ini menjadi sorotan penting, karena apa yang
diwakili dengan apa yang mewakilinya adalah hubungan atau relasi yang
harus jelas posisi dan kedudukannya.
Fakta bahwa terdapat
realitas HUBUNGAN YANG BURUK antara para wakil rakyat dengan basis
konstituennya adalah catatan penting untuk bahan penilaian partai
terhadap kader yang sedang menjadi wakil rakyat. Masalah ini menimpa
hampir semua partai politik dan menjadi masalah inti dalam hal persoalan
hubungan antara yang diwakili dan mewakili.
Mewakili
kepentingan dan aspirasi konstituen adalah memang benar, tugas seorang
wakil rakyat untuk menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti
aspirasi dan pengaduan masyarakat, dan memberikan pertanggungjawaban
secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya. Pun
demikian kerja yang sama juga berlaku bagi anggota DPRD kabupaten/ kota
dan propinsi. Hubungan para wakil rakyat dengan konstituen sering kali
“ramai” hanya semarak pada saat menjelang pesta demokrasi pemilu akan
dilaksanakan. Konstituen acap dibutuhkan sebagai etalase demokrasi yang
meramaikan pesta pora demokrasi itu sendiri.
Konstituen belum
sepenuhnya menjadi bagian penting sebagai pemegang hak kekuasaan yang
menyerahkan dan mempercayakan kekuasaannya dipergunakan oleh para wakil
rakyat. Warna kebijakan politik masih belum sepenuhnya merupakan
aspirasi warga masyarakat yang setiap tahun bisa dilihat seberapa besar
produk-produk politik prorakyat terlahir dalam bentuk undang-undang atau
perda yang kontennya berorientasi prorakyat.
Kenyataan ini
menjadi pekerjaan rumah untuk memperbaiki bagaimana hubungan yang baik
antara yang diwakili dan yang mewakili harus selalu tercermin di dalam
produk-produk politik, sikap politik, maupun pandangan-pandangan
politiknya terhadap suatu isu. Oleh karena itu, perbaikan kualitas
lembaga legislatif seyogianya dimulai dari proses awal penjaringan
calon-calon legislatif.****
Langganan:
Postingan (Atom)