Opinion Peblika

Opinion Peblika
Suasana Foto Galian Tanah Tambang C Tanpa Melalui SRKL dan AMDAL di Wakatobi

Kamis, 10 Mei 2012

BELAJAR DARI BERINGIN


OLEH : Dr. EDI PURWANTO




Beringin (Ficus spp) adalah pohon yang memiliki nilai khusus bagi orang Timur, dikenal sebagai pohon kehidupan, simbol kekuasaan yang melindungi. Sampai saat ini, masih bisa disaksikan keberadaan sepasang pohon beringin kembar yang selalu menghiasi alun-alun di depan kraton atau rumah jabatan Bupati di Jawa. Persepsi budaya dan spiritualitas ketimuran terhadap beringin berakar dari peran (niche) ekologis beringin di alam. Arsitektur pohonnya yang besar, rimbun dan melebar, merupakan tempat yang nyaman untuk berlindung dan sekaligus lahan mencari makan bagi berbagai jenis burung dan mamalia.
Tuhan menciptakan beringin sebagai lumbung makanan bagi berbagai jenis burung pemakan buah di hutan alam. Beringin merupakan sedikit dari pohon hutan yang mampu memproduksi buah dalam jumlah besar (hingga jutaan), masak dalam waktu yang cepat dan biasanya terjadi secara serempak. Saat musim buah tiba, suasana pagi hari di seputar pohon beringin begitu riuh-rendah oleh suara burung, layaknya sebuah pasar, ramai oleh lalu lintas burung yang hilir-mudik mengambil buah. Uniknya, produksi buah beringin tidak mengikuti aturan musim, beringin terus berbuah, ketika pohon-pohon lain berhenti berbuah. Karena itu, buah beringin berperan sebagai ’jaring pengaman sosial’ bagi burung pemakan buah.
Bukan hanya jumlahnya yang melimpah, kandungan gizinyapun tinggi. Buah beringin kaya akan gula, juga kalsium yang sangat dibutuhkan burung untuk pembentukan tulang dan cangkang telur. Buah beringin disukai burung karena mudah dicerna. Burung menggantungkan sekitar  70 - 85 % jenis pakannya dari beringin. Kelimpahan (jumlah) pohon beringin di dalam suatu blok ekosistem hutan tropika, karena itu, menentukan kelimpahan jenis burung pemakan buah di wilayah blok tersebut.
Sedikitnya ada empat puluh jenis pohon beringin di hutan-hutan alam Sulawesi. Keragaman jenis beringin di suatu hutan, berbanding lurus dengan keragaman jenis lebah penyerbuknya (wasps). Uniknya, setiap jenis lebah penyerbuk, hanya mampu membantu proses penyerbukan beringin jenis tertentu saja. Sehingga apabila suatu jenis lebah punah, akan diikuti oleh kepunahan suatu jenis beringin pula. Hal ini menunjukkan betapa tingginya keterkaitan dan ketergantungan antara tumbuhan dan satwa. Implikasinya, konservasi keragaman hayati di hutan tropika harus dilakukan berdasarkan pendekatan ekosistem.
Sebuah hutan yang satwanya habis oleh kegiatan perburuan, secara perlahan akan diikuti oleh kehancuran hutannya, karena kelangkaan agen penyerbuk maupun penyebar biji. Demikian pula sebuah hutan yang telah gundul, akan diikuti oleh kelangkaan satwanya, karena lenyapnya tempat berteduh (shelter) dan lumbung makanan. Konservasi jenis, seperti konservasi anoa, tarsius, kuskus, rangkong, barung rangkong, kupu-kupu, kayu kuku dan sebagainya, karena itu tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri, melainkan harus dilakukan dengan mempertahankan keutuhan ekosistem hutan secara menyeluruh!
***
Kembali ke beringin. Dari pertumbuhannya dikenal dua jenis beringin. Beringin yang langsung tumbuh dari biji yang bersemai langsung di tanah dan besar sebagai pohon yang mandiri. Kedua adalah beringin pencekik (strangling fig) yang mengawali hidup sebagai parasit (hidup menumpang dari) pohon lain, kemudian setelah besar mematikan pohon inangnya dengan cara mencekik.
Kehidupan beringin pencekik ini berawal dari biji yang dibawa oleh monyet atau burung, biji tersebut kemudian terjatuh dan menyangkut di tajuk sebuah pohon. Setelah bersemai, kemudian menjadi parasit yang menempel di cabang pohon. Sebagai parasit, awalnya beringin kecil ini, memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya dari mengisap zat hara dari pohon inangnya.
Setelah akarnya tertancap kuat pada inangnya, beringin secara perlahan mulai membangun kekuatan, akar-akar sulurnya tumbuh ke bawah dengan merambat dan membelit pohon inangnya, untuk mendapatkan asupan makanan secara langsung dari tanah hutan. Seiring dengan perjalanan waktu, ukuran akar beringinpun semakin besar dan daya cekiknya juga semakin kuat. Kematian pohon inang biasanya disebabkan oleh, (1) belitan akar-akar beringin; (2) terampasnya aliran sumber makanan oleh akar-akar beringin; (3) ternaunginya tajuk pohon inang oleh kerimbunan tajuk beringin.
Kematian pohon inang oleh beringin pencekik, merupakan karikatur yang sempurna terhadap suksesi kekuasaan (dalam dunia manusia) yang dilakukan secara anarkis. Beringin merupakan personifikasi penguasa yang mbalelo terhadap sebuah rejim yang notabene telah berjasa menghidupi dan membesarkan dirinya. Apapun alasanya, penumbangan kekuasaan secara anarkis jelas tidak dapat dibenarkan.
Menariknya disini, beringin tidak menggunakan kekuasan tersebut untuk kepentingan dirinya, melainkan demi misi kemanusiaan yang luhur, yaitu dengan berbuah sebanyak-banyaknya sepanjang musim untuk kemakmuran burung pemakan buah dan penghuni hutan lainnya. Proses perebutan ruang hidup yang begitu tragis, seakan dimaksudkan sebagai upaya untuk mengganti sebuah rejim yang lemah, yang tidak mampu mensejahterakan. Dan akhirnya beringin menunjukan kekuatannya sebagai penguasa yang mampu berbuat banyak bagi sebesar-besarnya kemaslahatan lingkungan hidupnya.
***
Suka atau tidak suka, model suksesi kekuasaan ala beringin sebagaimana tergambar di atas memang terjadi dalam realitas sejarah dan kehidupan keseharian. Yang penting untuk dicatat, bagaimana sang penakluk tersebut kemudian memanfaatkan kekuasaannya. Apabila ia memiliki komitmen yang tinggi memperbaiki keadaan, maka ia akan  sampai di gerbang kejayaan. Sebaliknya, kalau kekuasaan itu hanya untuk memuaskan nafsunya, maka cepat atau lambat, kekuasaan tersebut akan jatuh secara tragis pula.  Kedua cuplikan sejarah di bawah ini dapat dijadikan sebagai cermin.
Ken Arok awalnya adalah seorang pemuda desa yang oleh Brahmana Loh Gawe dititipkan kepada Tunggul Ametung, seorang Akuwu (Bupati) dari Tumapel. Karena kecakapan dan kesaktiannya, Ken Arok kemudian dipercaya menjadi pengawal pribadi Tunggul Ametung. Setelah merasa dirinya kuat, Ken Arok kemudian membunuh Tunggul Ametung dengan sebilah keris karya Empu Gandring.  Setelah Tunggul Ametung tewas, Ken Arok kemudian menikahi Ken Dedes (janda Tunggul Ametung), serta  mengambil alih kekuasaan Tumapel. Kekuasaan Ken Arok yang telah diraih dengan menghalalkan segala cara ini akhirnya menuai batunya, Ken Arok akhirnya dibunuh oleh Anusopati anak Tungul Ametung.
Dalam penggalan sejarah lain, Sutawijaya adalah anak Ki Gede Pemanahan yang sejak kecil diasuh oleh Sultan Pajang yang bernama Hadiwijaya (Jaka Tingkir). Hadiwijaya mendidik dan membesarkan Sutawijaya hingga tumbuh menjadi seorang kesyatria yang mumpuni. Karena jasa Sutawijaya dalam meredam pemberontakan Aryo Penangsang, Bupati Jipang, Hadiwijaya memberi anugerah sebuah lahan luas di Hutan Mentaok.  Sutawijaya kemudian menebang Hutan Mentaok dan membangunnya menjadi sebuah kota yang hingga kini dikenal dengan nama Kota Gede. Di kota inilah, Sutawijaya mulai membangun kekuasaannya. Setelah dirasa cukup besar, Sutawijaya kemudian menantang Hadiwijaya yang notabene adalah ayah angkat yang telah membesarkannya. Alhasil, Sutawijaya berhasil menumbangkan kekuasaan Hadiwijaya, dan kemudian menjadi sultan pertama Kerajaaan Mataram, dengan sebutan Panembahan Senapati.
Panembahan Senopati dalam catatan sejarah dikenal sebagai Sultan yang bijaksana. Dalam Kitab Wedhatama, yang ditulis oleh Sri Mangkunagara IV, yang memerintah Surakarta dari 1857 sampai 1881, Panembahan Senopati digambarkan sebagai sultan yang selalu berjuang demi kesejahteraan rakyatnya (amemangun karyanaktyasing sesama).  Alhasil, berkat keutamaan dalam mengelola kekuasaan, kerajaan Mataram di bawah Panembahan Senopati semakin besar dan kuat, hingga mencapai keemasan di jaman Sultan Agung, yang merupakan cucu dari Panembahan Senopati.
Dalam kedua penggalan sejarah di atas, Ken Arok merupakan figur yang haus kekuasaan, dan besar kemungkinannya, Ken Arok memanfaatkan kekuasaan yang direbutnya hanya untuk memuaskan nafsu kekuasaannya saja, karena itu kekuasan Ken Arok tumbang secara tragis dalam waktu yang relatif cepat. Berbeda dengan Panembahan Senopati yang mampu memanfaatkan kekuasaan demi kemakmuran rakyatnya, ia dikenang sebagai raja yang arif dan bijaksana dan kekuasaan yang diperoleh dapat dipertahankan dalam jangka lama oleh keturunannya.
Dalam konteks kekinian, pemilihan kepala daerah (Bupati dan Gubernur) yang dilakukan secara langsung saat ini tak dipungkiri banyak menimbulkan masalah, karena berbagai dugaan kecurangan yang terjadi selama proses pemilihan. Bisa jadi, memang ada, kepala daerah terpilih yang dulunya menggunakan segala cara demi menaklukan lawan politiknya. Bagi mereka yang berbuat demikian, pergunakanlah kesempatan emas yang anda miliki sekarang untuk bertaubat dengan bekerja keras demi kemakmuran rakyat. Saatnya masyarakat menikmati kemakmuran dalam arti yang sebenar-benarnya, sebagaimana komunitas burung pemakan buah yang menikmati melimpahnya buah pohon beringin, sepanjang musim!