OLEH : Dr. EDI PURWANTO
Beringin (Ficus spp)
adalah pohon yang memiliki nilai khusus bagi orang Timur, dikenal
sebagai pohon kehidupan, simbol kekuasaan yang melindungi. Sampai saat
ini, masih bisa disaksikan keberadaan sepasang pohon beringin kembar
yang selalu menghiasi alun-alun di depan kraton atau rumah
jabatan Bupati di Jawa. Persepsi budaya dan spiritualitas ketimuran
terhadap beringin berakar dari peran (niche) ekologis beringin di
alam. Arsitektur pohonnya yang besar, rimbun dan melebar, merupakan
tempat yang nyaman untuk berlindung dan sekaligus lahan mencari makan
bagi berbagai jenis burung dan mamalia.
Tuhan menciptakan beringin sebagai lumbung makanan bagi berbagai jenis
burung pemakan buah di hutan alam. Beringin merupakan sedikit dari pohon
hutan yang mampu memproduksi buah dalam jumlah besar (hingga jutaan),
masak dalam waktu yang cepat dan biasanya terjadi secara serempak. Saat
musim buah tiba, suasana pagi hari di seputar pohon beringin begitu
riuh-rendah oleh suara burung, layaknya sebuah pasar, ramai oleh lalu
lintas burung yang hilir-mudik mengambil buah. Uniknya, produksi buah
beringin tidak mengikuti aturan musim, beringin terus berbuah, ketika
pohon-pohon lain berhenti berbuah. Karena itu, buah beringin berperan
sebagai ’jaring pengaman sosial’ bagi burung pemakan buah.
Bukan
hanya jumlahnya yang melimpah, kandungan gizinyapun tinggi. Buah
beringin kaya akan gula, juga kalsium yang sangat dibutuhkan burung
untuk pembentukan tulang dan cangkang telur. Buah beringin disukai
burung karena mudah dicerna. Burung menggantungkan sekitar 70 - 85 %
jenis pakannya dari beringin. Kelimpahan (jumlah) pohon beringin di
dalam suatu blok ekosistem hutan tropika, karena itu, menentukan
kelimpahan jenis burung pemakan buah di wilayah blok tersebut.
Sedikitnya
ada empat puluh jenis pohon beringin di hutan-hutan alam Sulawesi.
Keragaman jenis beringin di suatu hutan, berbanding lurus dengan
keragaman jenis lebah penyerbuknya (wasps). Uniknya, setiap jenis
lebah penyerbuk, hanya mampu membantu proses penyerbukan beringin jenis
tertentu saja. Sehingga apabila suatu jenis lebah punah, akan diikuti
oleh kepunahan suatu jenis beringin pula. Hal ini menunjukkan betapa
tingginya keterkaitan dan ketergantungan antara tumbuhan dan satwa.
Implikasinya, konservasi keragaman hayati di hutan tropika harus
dilakukan berdasarkan pendekatan ekosistem.
Sebuah
hutan yang satwanya habis oleh kegiatan perburuan, secara perlahan akan
diikuti oleh kehancuran hutannya, karena kelangkaan agen penyerbuk
maupun penyebar biji. Demikian pula sebuah hutan yang telah gundul, akan
diikuti oleh kelangkaan satwanya, karena lenyapnya tempat berteduh (shelter)
dan lumbung makanan. Konservasi jenis, seperti konservasi anoa,
tarsius, kuskus, rangkong, barung rangkong, kupu-kupu, kayu kuku dan
sebagainya, karena itu tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri, melainkan
harus dilakukan dengan mempertahankan keutuhan ekosistem hutan secara
menyeluruh!
***
Kembali
ke beringin. Dari pertumbuhannya dikenal dua jenis beringin. Beringin
yang langsung tumbuh dari biji yang bersemai langsung di tanah dan besar
sebagai pohon yang mandiri. Kedua adalah beringin pencekik (strangling fig)
yang mengawali hidup sebagai parasit (hidup menumpang dari) pohon lain,
kemudian setelah besar mematikan pohon inangnya dengan cara mencekik.
Kehidupan
beringin pencekik ini berawal dari biji yang dibawa oleh monyet atau
burung, biji tersebut kemudian terjatuh dan menyangkut di tajuk sebuah
pohon. Setelah bersemai, kemudian menjadi parasit yang menempel di
cabang pohon. Sebagai parasit, awalnya beringin kecil ini, memenuhi
seluruh kebutuhan hidupnya dari mengisap zat hara dari pohon inangnya.
Setelah
akarnya tertancap kuat pada inangnya, beringin secara perlahan mulai
membangun kekuatan, akar-akar sulurnya tumbuh ke bawah dengan merambat
dan membelit pohon inangnya, untuk mendapatkan asupan makanan secara
langsung dari tanah hutan. Seiring dengan perjalanan waktu, ukuran akar
beringinpun semakin besar dan daya cekiknya juga semakin kuat. Kematian
pohon inang biasanya disebabkan oleh, (1) belitan akar-akar beringin; (2) terampasnya aliran sumber makanan oleh akar-akar beringin; (3) ternaunginya tajuk pohon inang oleh kerimbunan tajuk beringin.
Kematian
pohon inang oleh beringin pencekik, merupakan karikatur yang sempurna
terhadap suksesi kekuasaan (dalam dunia manusia) yang dilakukan secara
anarkis. Beringin merupakan personifikasi penguasa yang mbalelo terhadap sebuah rejim yang notabene
telah berjasa menghidupi dan membesarkan dirinya. Apapun alasanya,
penumbangan kekuasaan secara anarkis jelas tidak dapat dibenarkan.
Menariknya
disini, beringin tidak menggunakan kekuasan tersebut untuk kepentingan
dirinya, melainkan demi misi kemanusiaan yang luhur, yaitu dengan
berbuah sebanyak-banyaknya sepanjang musim untuk kemakmuran burung
pemakan buah dan penghuni hutan lainnya. Proses perebutan ruang hidup
yang begitu tragis, seakan dimaksudkan sebagai upaya untuk mengganti
sebuah rejim yang lemah, yang tidak mampu mensejahterakan. Dan akhirnya
beringin menunjukan kekuatannya sebagai penguasa yang mampu berbuat
banyak bagi sebesar-besarnya kemaslahatan lingkungan hidupnya.
***
Suka atau tidak suka, model suksesi kekuasaan ala
beringin sebagaimana tergambar di atas memang terjadi dalam realitas
sejarah dan kehidupan keseharian. Yang penting untuk dicatat, bagaimana
sang penakluk tersebut kemudian memanfaatkan kekuasaannya. Apabila ia
memiliki komitmen yang tinggi memperbaiki keadaan, maka ia akan sampai
di gerbang kejayaan. Sebaliknya, kalau kekuasaan itu hanya untuk
memuaskan nafsunya, maka cepat atau lambat, kekuasaan tersebut akan
jatuh secara tragis pula. Kedua cuplikan sejarah di bawah ini dapat
dijadikan sebagai cermin.
Ken Arok awalnya adalah seorang pemuda desa yang oleh Brahmana Loh Gawe dititipkan kepada Tunggul Ametung,
seorang Akuwu (Bupati) dari Tumapel. Karena kecakapan dan kesaktiannya,
Ken Arok kemudian dipercaya menjadi pengawal pribadi Tunggul Ametung.
Setelah merasa dirinya kuat, Ken Arok kemudian membunuh Tunggul Ametung
dengan sebilah keris karya Empu Gandring. Setelah Tunggul Ametung tewas, Ken Arok kemudian menikahi Ken Dedes
(janda Tunggul Ametung), serta mengambil alih kekuasaan Tumapel.
Kekuasaan Ken Arok yang telah diraih dengan menghalalkan segala cara ini
akhirnya menuai batunya, Ken Arok akhirnya dibunuh oleh Anusopati anak Tungul Ametung.
Dalam penggalan sejarah lain, Sutawijaya adalah anak Ki Gede Pemanahan yang sejak kecil diasuh oleh Sultan Pajang yang bernama Hadiwijaya (Jaka Tingkir).
Hadiwijaya mendidik dan membesarkan Sutawijaya hingga tumbuh menjadi
seorang kesyatria yang mumpuni. Karena jasa Sutawijaya dalam meredam
pemberontakan Aryo Penangsang, Bupati Jipang, Hadiwijaya
memberi anugerah sebuah lahan luas di Hutan Mentaok. Sutawijaya
kemudian menebang Hutan Mentaok dan membangunnya menjadi sebuah kota
yang hingga kini dikenal dengan nama Kota Gede. Di kota inilah,
Sutawijaya mulai membangun kekuasaannya. Setelah dirasa cukup besar,
Sutawijaya kemudian menantang Hadiwijaya yang notabene adalah
ayah angkat yang telah membesarkannya. Alhasil, Sutawijaya berhasil
menumbangkan kekuasaan Hadiwijaya, dan kemudian menjadi sultan pertama
Kerajaaan Mataram, dengan sebutan Panembahan Senapati.
Panembahan Senopati dalam catatan sejarah dikenal sebagai Sultan yang bijaksana. Dalam Kitab Wedhatama, yang ditulis oleh Sri Mangkunagara IV,
yang memerintah Surakarta dari 1857 sampai 1881, Panembahan Senopati
digambarkan sebagai sultan yang selalu berjuang demi kesejahteraan
rakyatnya (amemangun karyanaktyasing sesama). Alhasil, berkat
keutamaan dalam mengelola kekuasaan, kerajaan Mataram di bawah
Panembahan Senopati semakin besar dan kuat, hingga mencapai keemasan di
jaman Sultan Agung, yang merupakan cucu dari Panembahan Senopati.
Dalam
kedua penggalan sejarah di atas, Ken Arok merupakan figur yang haus
kekuasaan, dan besar kemungkinannya, Ken Arok memanfaatkan kekuasaan
yang direbutnya hanya untuk memuaskan nafsu kekuasaannya saja, karena
itu kekuasan Ken Arok tumbang secara tragis dalam waktu yang relatif
cepat. Berbeda dengan Panembahan Senopati yang mampu memanfaatkan
kekuasaan demi kemakmuran rakyatnya, ia dikenang sebagai raja yang arif
dan bijaksana dan kekuasaan yang diperoleh dapat dipertahankan dalam
jangka lama oleh keturunannya.
Dalam
konteks kekinian, pemilihan kepala daerah (Bupati dan Gubernur) yang
dilakukan secara langsung saat ini tak dipungkiri banyak menimbulkan
masalah, karena berbagai dugaan kecurangan yang terjadi selama proses
pemilihan. Bisa jadi, memang ada, kepala daerah terpilih yang dulunya
menggunakan segala cara demi menaklukan lawan politiknya. Bagi mereka
yang berbuat demikian, pergunakanlah kesempatan emas yang anda miliki
sekarang untuk bertaubat dengan bekerja keras demi kemakmuran rakyat.
Saatnya masyarakat menikmati kemakmuran dalam arti yang
sebenar-benarnya, sebagaimana komunitas burung pemakan buah yang
menikmati melimpahnya buah pohon beringin, sepanjang musim!