Opinion Peblika

Opinion Peblika
Suasana Foto Galian Tanah Tambang C Tanpa Melalui SRKL dan AMDAL di Wakatobi

Jumat, 04 Februari 2011

ETIKA ORGANISASIONAL : "KREATIVITAS, IDEALISME DAN ATURAN-ATURAN"

 OLEH : ALI HABIU

Terjadinya korupsi di dalam pemerintahan Amerika Serikat dan terungkapnya rahasia bahwa uang suap dibayarkan untuk pegawai-pegawai asing dan para pelaku bisnis telah mendorong subyek lama menjadi suatu hal yang menarik untuk dikaji, yakni---Etika. Diharapkan persoalan Etika ini bisa menjadi hal yang menggemparkan [Flieger, Howard, 1976], sehingga perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang bisnis dan pemerintah akan mengalami penekanan akibat perselisihan moral karena masalah konsumerasisme sebagai akibat dari kesalahan yang mereka buat [Ways Max, 1974]. 

Kegelisahan ini digambarkan oleh pergerakan sosial yang menuntut responsibilitas sosial, dan menurut MAX WAYS, para menejer, tidak dipersiapkan untuk menghadapi situasi tersebut.
Dari pandangan bisnis, “Responsibilitas Sosial” nampak sebagai persoalan utama bagi manajemen publik [Davis Keith.at.all,1975].. Etika bisa jadi diidentifikasi sebagai suatu sub bagian utama dari pemusatan responsi-bilitas sosial pada umumnya.
Manajemen dalam sektor publik tidak melepaskan suatu tuntutan, khususnya dalam area Etika.
Administrator publik dan pelaksana korporasi, keduanya perlu mem-perluas pengetahuan mereka mengenai Etika-etika sosial dalam menghadapi persoalan-persoalan Etika yang rumit [Fredickson, at.all,1971].
Terjadinya Korupsi di Indonesia dimulai sejak masa kepemimpinan presiden Soharto, diperkirakan mulai terjadi di awal tahun 1980-an ketika perencanaan dan pelaksanaan proyek-proyek mulai dominan menguasai sistem pemerintahan. Dalam kajian sistem sosial politik di Indonesia praktek Korupsi adalah merupakan perbuatan tidak ber Etika karena si pelaku memperkaya diri sendiri, kelompok atau golongan dan karena itu dia mengerogoti hak-hak publik.
Menurut DR.HARYATMOKO, (http://tumasouw.tripod.com). Seorang guru besar ilmu filsafat Universitas Indonesia, mengatakan bahwa banyak pengamat politik berpandangan sinis: Berbicara Etika politik itu seperti berteriak didalam gurun”. “Etika politik itu non sens,” Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan . Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecendrungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara. Dalam konteks ini, bagamana Etika politik bisa berbicara...?
Tujuan Etika politik adalah mengarahkan kehidup baik, bersama dan untuk orang lain dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil (Paul Ricoeur, 1990).
Defenisi Etika politik membantu menganalisa korelasi antara tindakan individual , tindakan kolektif dan struktur-struktur yang ada. Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman Etika politik yang diredusir yang hanya sekedar Etika individual prilaku individu dalam bernegara.
Pengertian Etika politik dalam perspektif Ricoeur mengandung tiga tuntutan, yakni : pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain...; kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan..; ketiga, membangun institusi-institusi yang adil.
Dalam definisi Recoeur, Etika politik tidak hanya menyangkut prilaku individual saja, tetapi terkait dengan tindakan kolektif atau Etika sosial. Dalam Etika individual, kalau orang mempunyai pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Sedangkan dalam Etika politik, yang merupaka Etika Sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya dibutuhkan persetu-juan dari sebanyak mungkin warga negara karena menyangkut tindakan kolektif.
Etika politik, yang hanya puas dengan koherensi norma-normanya dan tidak memperhitungkan real politics, seperti dikatakan Machiavelli, adalah hubungan kekuasaan atau pertarungan kekuatan.?. Masyarakat bukan terdiri dari individu-individu subyek hukum, tetapi terdiri dari kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan saling berlawanan. Politik yang baik adalah politik yang bisa mencapai tujuannya, apapun caranya. Filsuf Italia ini yankin tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksanya. Hanya sesudahnya hukum dan hak akan melegitimasi kekuatan itu. Sisuasi di Indonesia saat ini tidak jauh dari gambaran Machievelli itu. Politik dan moral menjadi dua dunia yang berbeda. Etika politik seakan menjadi tidak relevan. Relevansi Etika politik terletak pada kemampuannya untuk menjinakkan kekuatan itu dan mengatur kepentingan-kepentingan kelompok dengan membangun institusi-institusi yang lebih adil.

Menurut EDWIN BOLING, Korupsi dalam kancah politik usianya setua pemerintahan birokrasi. HOMER mengindikasikan bahwa penyuapan di Amerika Serikat terlihat jelas di antara pegawai-pegawai, hakim-hakim, dan imam atau pendeta-pendeta.
Korupsi akan dapat diperiksa dan dikontrol, jika tidak dieliminasi. DVORIN dan SIMMONS [Dvorin, Eugene P, at.all,1972] telah mengkarakterisasi sifat dasar Etika dari pemerintahan ini dan menjadi responsibilitas Etika bagi siapa yang menjalankannya,
Keputusan-keputusan dalam pemerintahan dengan masyarakat bebas tidak dapat dipisahkan dari pertimbangan Etika.
Pada masyarakat Amerika, keyakinan bahwa suatu Etika akan berpengaruh terhadap kekuasaan telah menjadi sebuah aturan yang disetujui secara umum. Warga Amerika cenderung mempercayai peringatan PLATO bahwa seorang pemimpin dengan pengetahuannya mengenai Kebaikan bebas dari korupsi [Hamer, Jhon, 1973].
Korupsi merupakan sebuah tema yang sangat sering berulang, mendorong Etika-etika menjadi tema yang menuntut perhatian publik.
ARMSTRONG dan GRAHAM merasa bahwa pendidikan prasarjana mesti diperkenalkan kepada orang-orang untuk dapat memahami terhadap undang-undang Etika yang diterbitkan oleh pemerintah.
Etika nampak teridentifikasi sebagai aturan hukum maupun standar-standar perilaku keteladanan.
Terdapat defenisi yang bermacam-macam mengenai Etika diantara para akademisi. Etika didefinisikan sebagai aturan-aturan kelakuan kualitas hubungan antar manusia, sains praktis, sains kelakuan, cabang dari penyelidikan filosofi, kriteria pertimbangan, standar-standar kelakuan yang normatif, dll.
BORKLOY mengilustrasikan bahwa Etika dan nilai-nilai dapat bertentangan. Suatu nilai memperlakukan orang-orang sebagai objek untuk manipulasi dan eksploitasi, sementara Etika memandang seseorang berhak untuk dihargai. Pendekatan ketuhanan terhadap Etika organisasi didukung secara kuat oleh agama penduduk Amerika, Menurut filsafat individualisme Etika memandang seseorang sebagai satuan dari harga nyata. Psikologi kemanusiaan juga memberikan kontribusi yang besar terhadap Etika individualisme.
WAKEFIELD berpendapat bahwa administrasi publik sudah menga-lami kemunduran Etika yang terus menerus pada tahun-tahun belakangan ini. Kemunduran tersebut bersamaan dengan sejumlah gejala-gejala institutional. Kontrol-kontrol internal sebagai suatu sistem nilai diajukan sebagai cara yang tepat untuk mengoreksi situasi Etika
Meskipun lebih jarang, Etika Individualisme telah menerima beberapa kritikan terhadap pendekatan yang tak sesuai mengenai masalah Etika. WALTON membuat penilaian bagi individualisme Etika berikut :
Suatu Etika personal yang direncanakan dari agama-agama tradisional ,terlalu menyederhanakan suatu pendekatan terhadap masalah perilaku professional di dalam suatu organisasi besar.
Perilaku korupsi di dalam organisasi, memperlihatkan bukti yang meyakinkan akan kegagalan Etika individualisme. Ketergantungan pada keintuitifan individu dalam tindakan moral atau pendapat-pendapat Etika rupanya didesain untuk kelanjutan korupsi, kekacauan dan konflik.
AGUSSYAFII, (http://muborok-institute.blogspot.com), mengatakan bahwa jika Etika adalah Ahlak, maka Ahlak menurut Imam Al-Ghazali adalah keadaan batin yang menjadi sumber lahir-nya suatu perbuatan dimana perbuatan itu lahir secara spontan, mudah, tanpa menghitung untung rugi. Orang yang ber Ahlak baik ketika menjumpai orang lain yang perlu ditolong maka ia secara spontan menolongnya tanpa sempat memikirkan resiko.
Ahlak seseorang atau Etika individualisme, disampiang bermodal pemba-waan sejak lahir, juga dibentuk oleh lingkungan dan perjalanan hidupnya.
Nilai-nila Ahlak islam yang universal bersumber dari wahyu, disebut Al- Khair, sementara nilai Ahlak regional bersumber dari budaya setempat, disebut Al-Ma’ruf, atau sesuatu yang diketahui oleh masyarakat sebagai kebaikan dan kepatutan. Sedangkan Ahlak yang bersifat lahir disebut adab, tata krama, sopan santun atau Etika orang berahlak baik secara spontan melakukan kebaikan.
Ahlak universal atau Etika universal berlaku untuk seluruhmanuiia sepanjang zaman. Tetapi, sesuai dengan keragaman manusia , juga dikenal dengan Ahlak yang spesifik, misalnya ahlak pemimpin kepada rakyatnya.
Seorang sdapat menjadi pemimpin dari orang banyak manakala ia memiliki :
(a). Kelebihan dibanding yang lain, yang karena itu ia bisa memberi;
(b). Memiliki keberanian dalam memutuskan sesuatu;
(c). Memikliki kejelian dalam memandang masalah sehingga ia bisa bertindak arif bijaksana.

Secara sosial, pemimpin adalah penguasa, karena ia memikliki otoritas dalam memutuskan sesuatu yang mengikat orang banyak yang dipimpinnya. Akan tetapi menurut Etika keagamaan atau Etika relegiuitas, seorang pemimpin pada hakekatnya adalah pelayan dari orang banyak yang dipimpinnnya.
Dampak dari keputusan seorang pemimpin akan sangat besar implikasinya pada rakyat yang dipimpin. Jika keputusannya tepat, maka kebaikan akan merata kepada rakyatnya.

BOULDING mengidentifikasi suatu “revolusi organisasi” yang menyatakan bahwa dalam pemikiran Etika dan politik ekonomi, sesungguhnya terdapat keterlambatan 100 tahun. BOULDING mencatat pentingnya menganggap pemerintahan sebagai sebuah organisasi yang pada dasarnya tak berbeda dalam struktur dan masalah-masalah dari organisasi lain. Dia juga berpendapat bahwa Etika merupakan komponen utama dari organisasi. GRAHAM berpendapat bahwa adanya kerumitan pemerintahan, maka kewajiban-kewajiban Etika akan sulit untuk dipertahankan.
Pendapat BARNARD tentang Etika individualisme. Persoalan moral yang utama bagi BARNARD adalah melihat undang-undang eksekutif dari kelakuan, bukan norma-norma organisasi, baik di dalam praktek maupun teori. Etika organisasi menurut BARNARD tidak lebih dari undang-undang personal yang dapat digunakan secara kolektif melalui model para pemimpin Sehingga “aturan-aturan” moral menjadi otoritatif karena kekuatan dari para pemimpin yang berkharisma.
Etika individualisme, sebuah Etika organisasi yang lebih cocok dinyatakan dalam teori SIMON. SIMON mengakui bahwa setiap individu memiliki tujuan-tujuan personal yang tak selalu serupa dengan tujuan-tujuan organisasi. Individu-individu membuat keputusan didasarkan pada standar-standar personal, tapi organisasi dapat mengontrol standar-standar dan menetapkan situasi dimana keputusan dibuat.
Teori SIMON mengenai organisasi menyatakan bahwa pengambilan keputusan akan menetapkan tingkatan untuk pengembangan moral dan memberikan arah untuk pengembangan moral, khususnya pada masyarakat yang bermacam-macam, nilai-nilai kompleksitasnya.
Teori-teori PIAGET dan KOHLBERG menjelaskan bagaimana suatu kelompok dapat mempengaruhi moralitas dan Etika. PIAGET meneorikan bahwa tipe-tipe moralitas individu diambil dari tipe-tipe struktur sosial dimana orang-orang terlibat. Dia menyatakan ada 2 model moralitas yaitu moralitas heteronom dan moralitas otonom. Moralitas heteronom menunjukan undang-undang moral menundukkan otoritas orang dewasa (berlaku untuk anak usia antara 4 sampai 8 tahun). Dilain pihak moralitas otonom mengidentifikasikan norma-norma sebagai hasil buatan dari kesepakatan kelompok yang ditujukan untuk perubahan oleh suatu kelompok (dihubungkan untuk anak yang lebih tua dari 8 tahun.).
Meskipun sasaran-sasaran PIAGET adalah anak-anak, namun nampaknya tipe-tipe teorinya mengenai moralitas ini bisa juga digunakan untuk orang-orang dewasa dalam suatu organisasi.
KOHLBERG mengidentifikasi setiap individu relatif memiliki tingkat pengembangan moral. KOHLBERG memberikan enam tingkatan pengem-bangan moral individu berdasarkan pendekatan aturan, yakni :
Tingkatan-1; Aturan disusun pertama karena bergantung pada tekanan internal dan eksternal,
Tingkatan-2; Aturan merupakan alat untuk memberi ganjaran,
Tingkatan-3; Aturan digunakan untuk memperoleh persetujuan sosial,
Tingkatan-4; Aturan memungkinkan penegakan sebuah tata tertib ideal,
Tingkatan-5 dan 6; Aturan memberikan cara untuk pengucapan prinsip-prinsip kolektif.
Pendekatan KOHLBERG dianggap sangat berguna karena pendekatan tersebut mencoba untuk membedakan moralitas dan nilai-nilai yang disebabkan oleh tingkat pengembangannya.
Sekarang ini kita banyak mendengar tentang kemunduran “Etika”di dalam perusahaan-perusahaan dan pemerintahan. Kaum akademis mengajukan program-program khusus untuk melatih siswa-siswa mengenai belajar ber-Etika di dalam sekolah-sekolah profesional. Mengomentari perlunya perhatian ini, PRESTHUS menyatakan :
..........”Pendidikan dan training untuk pegawai-pegawai publik akan memasukan pertimbangan paten dengan memberi materi mengenai persoalan-persoalan normatif dan Etika”. 
Tekanan untuk memperbaiki “Etika” begitu keras. Salah satunya, kongres telah menetapkan Kode Etik Etika untuk dirinya sendiri dan semua personil federal. Dalam tindakan positif lainnya, organisasi-organisasi dan profesi-profesi telah mengadopsi Kode Etik ini.
Meskipun dengan tindakan seperti itu, bisnismen dan pelaksanaan layanan masyarakat merasa ragu-ragu dan kebanyakan dari keragu-raguan tersebut terjadi karena kode etik itu.
Karena tak ada organisasi yang eksis tanpa aturan-aturan, sehingga nampak bahwa masalah utama dari Etika organisasi bukan dari kurangnya aturan-aturan, mungkin masalahnya adalah kurangnya pemenuhan aturan-aturan. Salah satu masalahnya adalah pendefinisian.
LEYS menyatakan bahwa hati nurani mendorong untuk mematuhi “dua macam nilai” :
(a). mematuhi dan mengawetkan hal-hal baik yang telah ada, dan
(b). mencari dan mempertahankan yang belum terealisasi.
Sehingga, moralitas merupakan penegakan terhadap nilai-nilai sebagai gambaran dari yang dinginkan sekali” sementara aturan-aturan kelakuan diidentifikasi sebagai “elemen-elemen dasar dari suatu undang-undang moral”.
Pemimpin media group, Surya Paloh, (http://www.media-indonesia.com), mengatakan bahwa Politik di Indonesia merupakan wilayah yang tidak memperhatikan upaya transparansi kultural menjadi etos. Dunia politik menjadi penentu proses pengelolaan justru terjerumus kedalam prilaku dan orientasi tanpa Etika. Politik Indonesia adalah panggung kepentingan kelompok dan individu yang sangat mengabaikan kepentingan orang banyak. Karena, politik berproses tanpa Etika, ekonomi bergerak tanpa Etika, dan hukum mengabaikan Etika, maka tidak terbentuk apa yang disebut moralitas politik yang baik.
Dalam orientasi terhadap “administrasi publik yang baru”, atau new adminisration piblic, kita telah mengusulkan bahwa suatu sistem normatif mesti didasarkan pada hubungan sosial yang kooperatif. Dalam pandangan ini, kita menganjurkan pelaksanaan demokrasi untuk persoalan-persoalan yang sangat bersifat kemanusiaan. Dalam menjaga cita-cita dari “administrasi publik yang baru”, etos-etos yang normatif dari suatu organisasi harus menerima pemusatan utama bahwa etos-etos normatif mesti ditentukan dengan demokrasi partisipatif. Dengan demikian setiap administrator dituntut untuk ber Etika.****