Ketika lewat dekat Gunung Thai, Konfusius melihat seorang wanita sedang menangis terisak-isak di sebuah kuburan. Sang Guru pun membelokkan kendaraannya, mendekati orang itu. Ia menitahkan Tze Lu mencari tahu gerangan apa yang terjadi. “Anda meratap seperti orang tertimpa kemalangan bertubi-tubi” kata Tze Lu kepada wanita itu. “Memang benar,“ jawab wanita itu. “Suatu ketika ayah suami saya dibunuh oleh seokor harimau di sini. Suami saya juga di bunuh, dan sekarang anak laki-laki saya mati dengan cara yang sama. Alangkah kejamnya harimau itu. Sang Guru menjadi heran dan bertanya, “Lalu mengapa anda tidak meninggalkan tempat ini? Bukankah sejak dulu anda dapat menetap di daerah lain?” Sang wanita pun menjawab, “Saya tetap memilih tinggal di sini. Sungguhpun banyak harimau, tapi di daerah ini pemerintahannya tidak menindas, tidak seperti di daerah lain.” Sang Guru pun merenung dan akhirnya mengucapkan sebuah petuah. ”Catatlah dan camkan ini anak-anakku bahwa pemerintah yang menindas memang lebih mengerikan daripada harimau.”
Sepenggal kisah Konfusius di atas dicuplik kembali oleh Bertrand Russel sebagaimana dikutip Dahlan Thaib[3]. Esensi nilai moral dari alkisah tersebut ingin merefleksikan bahwa kekuasaan negara yang menindas jauh lebih berbahaya dan menyeramkan dari kejamnya harimau yang telah melumat tiga nyawa orang kesayangan wanita tersebut. Adakah yang salah dengan pilihan wanita itu? Ataukah Sang Guru yang bijak itu terkesan tidak arif dalam kasus ini? Semuanya hanya dapat dijawab dengan berkontemplasi.
Paragrap tersebut hanya untuk mengantarkan sebuah pemafhuman tentang kekuasaan yang bernergi dahsyat. Secara normatif, kekuasaan itu bersifat netral kalau dapat dikelola secara postif berimplikasi pada kemakmuran suatu bangsa begitu pula sebaliknya kalau gagal dikendalikan akan menjerumuskan tatanan bangsa dan potensial mengebiri hak-hak konstitusional warganegara. Salah satu ilmu yang memiliki objek kajian mengenai kekuasaan adalah politik (ilmu politik)[4] disamping Hukum Tata Negara (Kenegaraan). Banyak sarjana yang melihat bahwa kekuasaan sebagai inti dari politik, beranggapan bahwa politik adalah semua kegiatan yang menyangkut masalah merebutkan dan mempertahankan kekuasaan[5]. Joyce Mitchell dalam bukunya Political Analisys and Public Policy berpendapat bahwa Politics is collective decision making or the making of public policies for an entire society (politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijaksanaan umum untuk masyarakat seluruhnya[6]. Sementara itu dalam pandangan Harold Laswell dalam buku Who gets what, when and how menjelaskan bahwa politik itu masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana. Salah seorang teman alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, Asnawy Mubarok, yang sekarang sedang beasiswa studi lanjut Program Pascasarjana Ilmu Politik di Universitas Diponegoro Semarang berpendapat bahwa esensi dari definisi politik adalah seni mengelola kekuasaan negara. Tidak hanya berhenti disitu bahwa anasir utama dari politik yakni kekuatan (power) sehingga kalau dapat meng-create people power maka dengan mudah dapat tatanan politik yang ada baik melalui peraturan hukum yang ada maupun dengan cara melanggar rule of the game itu sendiri. Dengan lain kata politik merupakan seni dan juga ilmu untuk mengelola (meraih) kekuasaan negara secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Pertanyaan filosofisnya, ”Mengapa ada kekuasaan?” Untuk menjawabnya berkelindan dengan teoretis asal mula negara dengan variasi pertanyaan kapan dan bagaimana lahir tidak ada yang tahu, hanya sebatas spekulasi ilmiah. Pasalnya jauh sebelum Yunani telah ada Hamurabi. Terbentuknya negara dengan kekuasaannya dapat dideteksi melalui teori Perjanjian Masyarakat (Du Contract Social). Pada intinya negara terbentuk karena masyarakat mengikatkan diri dalam satu perjanjian untuk membentuk organisasi yang bernama negara dengan mengangkat pemerintahan sebagai pengelolanya.
Semula manusia itu hidup dalam status naturalis yakni suatu keadaan yang tak ada pemerintahannya, masyarakat bebas-sebebasnya yang membuat kondisi masyarakat kacau balau karena yang berlaku hukum rimba (Sebenarnya hal tersebut terjadi kapan tak ada yang tahu). Thomas Hobbes menyebutmnya “Homo Homini Lupus” manusia memakan manusia yg lain seperti srigala. Dalam sebuah ilustrasi sederhana Jika dua orang membutuhkan hal yang sama, akan tetapi hanya satu orang yang memperolehnya, maka mereka akan saling bermusuhan, masing-masing pihak akan mencoba mengganggu dan menindas pihak lain untuk mencapai tujuan demi kelangsungan hidupnya[7] Pandangan ini mengetengahkan bahwa politik tersebut merupakan suatu hal yang tidak terlepas dari kehidupan manusia. Politik masuk ke dalam kegiatan produksi, distribusi dan pemanfaatan sumber daya. Karena sejak dahulu, menurut prinsip ekonomi, kebutuhan manusia tidak terbatas, sementara alat pemenuhan kebutuhan sangat terbatas, maka politiklah (kekuasaan negara) yang kemudian dilihat sebagai salah satu cara untuk mengatasi hal ini.
Selanjutnya lahirlah negara yang lahir karena perjanjian masyarakat yang mana negara tersebut bersifat Totaliter (absolute) sebab masyarakat ingin aman maka semua hak (HAM) harus diserahakan pada negara. Negara bebas melakukan apa saja dengan mandat kekuasaan yang telah diberikan masyarakat kepadanya. Konseptual tersebut dikritisi oleh John Locke yang berargumen dengan persitiwanya sama ada homo homini lupus hanya saja karena negara lahir dari perjanjian masyarakat, maka negara harus demokrasi bukan absolute. HAM yg diserahakan hanya sebagian saja bukan semuanya yakni hak untuk mengatur agar keamanan lebih terjamin. Sedangkan untuk berbicara, hak untuk memilih, hak beragama tetap ada dalam masyarakat.
Dalam referensi kekuasaan, sesuai hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang. Seperti dikemukakan Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan harus selalu dibatasi dengan cara: Pertama, adanya pembatasan kekuasaan organ negara, dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal yang bersifat checks and balances dalam kedudukan yang sederajat yang saling mengimbangi/ mengendalikan; dan kedua: dengan adanya mekanisme pengawasan (control).
Perihal pembagian atau pemencaran kekuasaan ke dalam badan-badan negara yang terpisah, John Locke, membuat konsep tiga lembaga yakni Legislatif Eksekutif termasuk di dalamnya yudikatif dan Federatif[8]. Lain halnya dengan torinya Montesqieu yakni Legislatif, Eksekutif (federatif termasuk di dalamnya) dan Yudikatif. Dikontekskan dengan kondisi actual Indonesia telah memiliki sistem ketatanegaraan tersendiri. Saluran-saluran politik berupa suprastruktur politik tersebut dapat dimasuki setiap warga yang memiliki hak yang sama sebab Indonesia menganut demokrasi[9] dimana setiap orang berhak mendapat kesempatan menduduki jabatan politis tertinggi sekalipun. Hal tersebut kontradiktif dengan negara-negara otoriter yang berbentuk kerajaan (monarkhi) dengan sistem pewarisan (turun-temurun) dalam hal mengisi jabatan politis tertinggi.
Dengan demikian dapat ditarik benang merah bahwa eksistensi sebuah negara untuk menjadi sebuah keniscayaan. Selanjutnya bagamana mengelola kekuasaan negara tentu tidak segenap rakyat mengurusnya tetapi melalui mekanisme perwakilan yang merujuk pada paham kedaulatan rakyat. Agar wakil-wakil rakyat dlm mengelola negara bertindak atas nama rakyat, maka keniscayaan jika wakil-wakil rakyat itu ditentukan sendiri oleh rakyat melalui mekanisme Pemilu sebab rakyat benar-benar berdaulat memiliki otoritas (kekuasaan) tertinggi dalam memilih dan menentukan wakil-wakilnya dalam mengelola kekuasaan negara. Artinya Pemilu sebagai instrument demokrasi untuk melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa (elite politik) menjadi keniscayaan pula. Ingat filosofis padi “Apabila menanam padi maka tumbuh padi dan kemungkinan tumbuh rumput pula, sebaliknya jika menanam rumput hal yang mustahil tumbuh padi”. Pararel analogi itu Pemilu yang di desain demokratis perlu dikontrol mahasiswa maupun elemen-elemen yang peduali lainnya.
Mencermati perkembangan politik aktual hampir tiap hari disuguhi Pemilu baikl tataran lolal (Pilkada) maupun nasional yang pada tahun 2009 akan digelar Pemilu legislative dan Pemilu Presiden. Namun, faktanya banyak kompromi politik praktis. Sebagai tamsil untuk menentukan syarat capres dalam UU Pilpres yang sekarang sedang digodok di DPR sangat kompromistis masih berulang UU No.23 Tahun 2003. Masih hangat dalam ingatan kita tentang kompromi politik syarat capres itu. Sebut saja waktu itu ada 4 figur calon presiden yang berbasis pada partai politik yang berbeda-beda yang semuanya ada titik kelemahannya.
Pertama, Contoh yang mudah dalam rangka ingin menjegal Megawati untuk melaju dalam bursa calon presiden dari PDI Perjuangan dengan menetapkan persyaratan bahwa seorang calon presiden minimal berpendidikan Sarjana. Kedua, Untuk menjegal Akbar Tanjung dari partai Golkar maka dapat dibuat rumusan persyaratan seorang calon presiden haruslah tidak berstatus terdakwa yang diancam dengan 5 tahun penjara. Ketiga, Untuk menjatuhkan langkah Gusdur yang berasal dari partai PKB dibuat rumusan persyaratan seorang calon presiden haruslah tidak sedang menderita cacat fisik maupun cacat mental karena untuk menjadi orang nomor satu haruslah orang yang kesehatannya terjaga agar dapat menjalankan tugas kenegaraannya dengan baik. Keempat, Untuk menjegal Amin Rais dari PAN dapat dibuat rumusan persyaratan seorang calon presiden minimal didukung oleh 20% suara yang ada dikursi DPR. Seperti kita ketahui bersama bahwa PAN dalam pemilu 1999 memperoleh peringkat kelima dan hanya mendapat kursi di DPR sekitar 5%. Namun akhirnya karena adanya kompromi demi kepentingan politik praktis untuk merebut kekuasaan disepakati syarat capres yang minimalis. Sebenarnya kalau mau fair idealnya seorang calon presiden berpendidikan minimal sarjana, tidak berstatus terdakwa, tidak cacat fisik dan didukung oleh suara mayoritas.
Selain kompromi politik praktis sesaat itu, dalam Pemilu selalu diwarnai rona-rona Golput. Menilik sesaat sejarah perkembangan politik Indonesia, ternyata golput sudah ada sejak Pemilu yang pertama yaitu tahun 1955. Golput selalu ada dalam setiap Pemilu. Menarik untuk dikaji bahwa dari tahun ketahun Golput menunjukkan kecenderungan meningkat kecuali pada Pemilu pertama[10].
Pertanyaannya bagaimana korelasi Golput dengan demokratisnya Pemilu? Apakah kuantitas Golput paralel dengan kualitas demokratisnya Pemilu?? Dengan lain kata Golput banyak pemilu tidak demokratis atau jika jumlah sedikit maka Pemilu makin demokratis? Tentu saja perlu kajin mendalam, menurut penulis korelasi (hubungan) Golput dan demokratisnya Pemilu tidak dapat dinilai lbegitu saja dari besar-kecilnya Golput, Namun harus dilihat lebih jeli terkait sistem (aturan) main Pemilu itu sendiri. Manakala sistemnya tidak fair jika jumlah Golputnya sdikit tidaklah demokrtis, apalagi jumlah banyak makin kualitas demokratisnya dipertanyakan. Sebaliknya jika sistemnya fair maka jumlah golput banyak pun akan demokratis apalagi jumlah golputnya sedikit kualitas demokratisnya leboh sip.
Secara konseptual Golput dibagi menjadi tiga sebagai berikut: Pertama, Golput ideologis adalah segala jenis penolakan atas apa pun produk sistem ketatanegaraan hari ini. Golput jenis ini mirip dengan golput era 1970-an,yakni semacam gerakan anti-state, ketika state dianggap hanyalah bagian korporatis dari sejumlah elite terbatas yang tidak punya legitimasi kedaulatan rakyat. Bagi golput ini, UU pemilu, hanyalah merupakan rekayasa segelintir elite untuk melanggengkan kekuasaannya. Kedua, Golput Pragmatis, yakni golput yang berdasarkan kalkulasi rasional betapa ada atau tidak ada pemilu,ikut atau tidak ikut memilih, tidak akan berdampak atas diri si pemilih. Golput seperti ini mirip fardhu khifayah yakni orang-orang yang ikut memilih sudah mewakili suara rakyat secara keseluruhan. Tak heran jika ada orang tetap sibuk mencari nafkah pada hari H Pemilu. Sikapnya setengah2 memandang Pemilu, antara percaya dan tidak percaya. Ketiga, Golput Politis, adalah Golput yang dilakukan akibat pertimbangan politik karena sistemnnya merugikan mereka (percaya negara & Pemilu). Misal saat Gusdur menyatakan golput akibat “kezaliman” KPU dan IDI yang menyatakan tidak memenuhi syarat Capres. Bisa juga Golputnya para pendukung fanatik yang kalah dalam Pilkada putaran I dengan alasan calonnya tidak sesuai aspirasinya maka mereka lebih tidak milih.
Menyoal peran mahasiswa (kampus) dalam politik praktis itu paralel dengan tidak boleh terlibatnya TNI/Polri dalam politik praktis. Tentu saja yang dimaksudkan tak boleh terlibat politik praktis disini tepatnya lagi yakni politik kepartaian untuk merebutkan kekuasaan. Jikalau yang dimaksudkan politik sebagai hak warga negara, apalagi sebagai kewajiban, sudah tentu segenap warga negara bertanggung jawab menyelamatkan ”kapal” Inondesia jika sewaktu-waktu terdera badai supaya tidak tenggelam. Begitu pula mahasiswa bisa berpolitik secara proporsional tetapi tidak perlu terlibat politik praktis yang hanya memperjuangkan kepentingan konstituennya semata.
Sebagai centre of excellence, fungsi mahasiswa menjadi berbahaya jika main mata dengan partai politik. Otoritas ilmiah dan wibawa kampus digerogoti. independensi kaum intelektual akan menjadi the big question? Pada level mahasiswa, sebenarnya hal utama yang dapat dilakukan adalah membentuk paradigma berpikir kritis sebagai dasar pijakan bersikap yang jelas dan tegas menentukan kebijakan yang pro rakyat. Sudah menjadi rahasia umum, eksistensi organisasi kemahasiswaan yang telah menjadi onderbouw partai politik tertentu akan dapat mengubah warna kampus sesuai dengan warna partai, dalam arti orientasi dan kebijakannya. Hal ini sangat berbahaya, karena otoritas keilmuan civitas akademika digadaikan dan kalah dari kepentingan politik praktis. Kampus yang seharusnya menjadi pencerahan peradaban bangsa akan tereduksi oleh ”alat legitimasi” politis partai tertentu.
Proporsionalitas posisi mahasiswa seyogyanya sebagai oposisi permanen pemerintah, kontrol sosial masyarakat, dan selalu membela kepentingan rakyat banyak. Dengan politik praktis, peran ideal mahasiswa akan tersingkirkan. Apalagi ketika partai yang didukungnya berkuasa, praktis mahasiswa dengan politik praktisnya tidak dapat kritis terhadap pemerintah. Dalam kacamata penulis, untuk perbaikan bangsa, peran mahasiswa tidak perlu berpolitik praktis. Untuk memperjuangkan kepentingan politik pro rakyat dengan menggugat ketidakadilan sistem, dapat dilakukan melalui demonstrasi maupun retorika ”ilmiah”, dapat berwacana di media massa atau dalam forum lainnya. Ranah ilmiah inilah yang perlu digencarkan mahasiswa. Apalagi bagai mahasiswa yang memiliki afiliasi Pers Kampus, dengan kompetensi menulis yang dimilikinya menjadi keniscayaan untuk berwacana dengan argumentasi ilmiah mengkritisi setiap policy pemerintah supaya senantiasa terkawal pro rakyat. HIDUP MAHASISWA!!!