OLEH : ALI HABIU
John Harris dkk (2005) mengatakan bahwa wacana kontemporer tentang politik diberbagai Negara berkembang telah mempertemukan sejumlah orang yang punya pandangan berbeda, Para aktor intelektual dan politik yang idenya berakar dalam nilai-nilai dan asumsi teoritis yang sangat berbeda, berkumpul disekitar pandangan bahwa ada “politik baru” yang mendasar di ruang dan praktek politik lokal. Keadaan itu disebut globalisasi, yakni sejumlah fenomena yang berbeda memasukan, memaukan suatu pelubangan terhadap Negara, Bangsa, yakni bahwa kapasitas pengaturan tertentu telah dikurangi dan dipindahkan ke lembaga-lembaga yang terutama beroperasi pada skala global atau lokal (Jessop 2002, dalam Jon Harries, dkk). Identitas lokal dan identitas politik sekali lagi dikonstruksikan dengan simultan dalam konteks transformasi global (Appadurai,1996). Jadi yang telah diberi label “globalisasi”---- merupakan politik rekonfigurai (Cox, 1977).
Ada pandangan yang berkembang dikalangan LSM dan tokoh politik lokal di daerah ini bahwa untuk memperjuangkan paradigma reformasi dari pada mereka tidak sama sekali berbuat, mendingan mereka secara ramai-ramai dan secara terus menerus melakukan demonstrasi ke kantor-kantor pemerintah agar para pegawai negeri itu dapat memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat. Kalau pegawai negeri dan pejabat ditekan terus menerus oleh mahasiswa, dan mereka akan kehilangan penghasilan tambahan yang lumayan besar yang selama ini mereka terima dari uang sogok, maka pegawai negeri akan melakukan tekanan kepada pemerintah pusat agar menaikkan penghasilan mereka. Dan jika memang tak terpenuhi, maka pegawai negeri akan melakukan mogok kerja di suatu pihak dan membongkar korupsi korupsi besar yang dilakukan “bos’ mereka dipihak lain. “Perlawanan dari dalam” yang dimulai dari perang tehadap “birokrasi” ini dapat menjatuhkan pemerintah (Reformasi Administrasi Pemerintah dalam Samodra Wibawa, 2005).
Dalam kondisi desakan-desakan demonstrasi dengan model semacam ini kelihatannya makin hari semakin tidak menumbuhkan gairah kerja para pegawai negeri yang utamanya sering kali menerima sorotan demontran. Pandangan para demontran bahwa di daerah ini lembaga yang menjadi sarangya koruptor adalah Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara, padahal tidak selamanya kegiatan demontrasi itu bisa menggerakkan pegawai negeri untuk melawan atasan alias “bos”atau bisa berperang melawan “birokrasi.”, malah kejadian sebaliknya para pegawai negeri saat ini lebih memilih melakukan perlawanan dari pada mereka dihina secara terus menerus. Robert T.Geolembiewski dalam Samodra Wibawa (2005), menyatakan bahwa belum saatnya keinginan pada mereka yang punya ilmu dapat merubah konsensus disekitar satu paradigma. Hal ini disebabkan bahwa belum ada argumentasi yang tepat yang dapat menyatukan studi organisasi publik, dimana administrasi publik adalah merupakan bidang studi professional dari pada kemampuan disiplin para cendekiawan ((baca : Mahasiswa) yang seharusnya memfokuskan diri untuk membangun beberapa pendekatan pokok.
Dikhotomi seputar pertentangan antara administrasi dan politik sebetulnya telah berlansung sejak tahun 1960-an (Roberrd.B Derhardt) dan hal ini telah dipisahkan oleh administrasi negara baru.
Creon (1971) mengemukakan gagasan bahwa administrasi negara bukan semata-mata instrument untuk melaksanakan kebijakan politik, tetapi merupakan suatu penentuan cara dimana Negara melihat dunia khususnya dunia politik terhadap posisi mereka sendiri didalamnya. Oleh karena itu apapun namanya gerakan mahasiswa atau gerakan untuk mengatasnakakan gerakan rakyat pencari keadilan untuk merongrong kewibawaan pemerintah didaerah ini, pada dasarnya arsitek penggerak yang berdiri dibelakang layar aksi gerakan itu memiliki kepentingan-kepentingan politik tertentu, pada akhirnya akan hambar begitu saja, mengingat menurut Robert B Denhard bahwa tidak hanya aissue-issue penting yang diputuskan dalam birokrasi (pemerintah), melainkan administrasi negara juga menaruh perhatian terhadap kepentingan publik, berperan signifikan dalam menyusun agenda publik dan membantu menyusun nilai-nilai masyarakat.
Pegawai negeri yang ada di daerah ini dalam bekerja melayani kepentingan publik, dalam bekerja senantiasa mengutamakan efisiensi dan efektivitas pelayanan, dilain pihak penghasilan mereka yang dibayar oleh pemerintah dalam sebulan relative belumlah cukup memuaskan atau mencukupi biaya standard kebutuhan minimal pegawani negeri. Persoalan ini merupakan persoalan Negara yang hingga saat ini pemerintah belum bisa mencari solusi secara bijaksana sehubungan dengan keterbatasan sumber-sumber pendapatan Negara untuk digunakan sebagai belanja pegawai negeri.
Tood Laporte (1971) mengatakan bahwa tujuan didirikannya organisasi publik (baca:pemerintah) adalah untuk mengurangi masalah-masalah ekonomi, sosial dan politik serta membuka peluang kesempatan kerja bagi mereka yang berada didalam (baca : tenaga magang) maupun diluar organisasi (baca : pencari kerja). Sehingga keberadaan institusi pemerintah pada hakekatnya untuk menciptakan standard etis adminsitrasi Negara secara netral dengan menerapkan kebijakan-kebijakan secara merata, dimana pengelola dituntut untuk menciptakan nilai-nilai partisipasi baik secara internal maupun secara eksternal (David K.Hart, 1974).
Tood Laporte (1971) mengatakan bahwa tujuan didirikannya organisasi publik (baca:pemerintah) adalah untuk mengurangi masalah-masalah ekonomi, sosial dan politik serta membuka peluang kesempatan kerja bagi mereka yang berada didalam (baca : tenaga magang) maupun diluar organisasi (baca : pencari kerja). Sehingga keberadaan institusi pemerintah pada hakekatnya untuk menciptakan standard etis adminsitrasi Negara secara netral dengan menerapkan kebijakan-kebijakan secara merata, dimana pengelola dituntut untuk menciptakan nilai-nilai partisipasi baik secara internal maupun secara eksternal (David K.Hart, 1974).
Aktivitas demontrasi yang bergejolak dewasa ini sebagai paradigma reformasi dan bergerak pada institusi pemerintah dapat dibendung tentunya dengan cara malakukan tiga pilihan tindakan (Ambar Teguh Sulistiyani, 2002), yakni (a) memonitor perubahan variabel-variabel lingkungan, (b) bereaksi terhadapnya atau menganti-sipasi perubahan-perubahan apa yang terjadi dan (c) merencanakan berbagai tanggapan.
Salah satu cara yang paling ampuh dalam menghalau para demonstran yang berusaha mengganggu ketenteraman lingkungan organisasi pemerintah daerah ini adalah dengan cara melawan atau melakukan reaksi terhadap gerakan mereka. Pegawai negeri sipil yang ada di daerah ini sudah saatnya bersatu dan merubah paradigma pandangan bahwa kita bukanlah pegawai negeri yang selalu diliputi rasa takut atau pengecut karena adanya pretensi Peraturan Pemerintah nomor 30 tahun 1982 tentang Larangan PNS dan Kewajiban PNS---- takut nanti diturunkan pangkat atau dicabut haknya sebagai pegawai negeri. Semestinya pegawai negeri sebagai aparat birokrasi sudah harus mampu mempertahankan jati dirinya sebagai pegawai Negara yang juga dilindungi oleh undang-undang sepanjang secara normatif melaksanakan tugasnya dimana dia bekerja sehingga siapapun saja yang akan mengganggu ketenteraman dalam melaksanakan tugasnya dia berhak untuk melawan dan mempertahankan demi tergaknya hukum yang berlaku di Negara ini.
Weber dalam Boone dan Bowen dalam Samodra Wibawa (2005) mengatakan bahwa Birokrasi yang moderen bertindak atas dasar wewenang yang sah , yang berbasis pada pertimbangan rasional. Dipihak lain apa yang dilakukan birokrasi tehadap masyarakat hanya akan dipatuhi jika ada aturan hukumnya. Olehnya itu kita harus mampu mempertahankan eksistensi pegawai negeri sebagai aparat birokrasi dan bersatu melawan kesewenang-wenangan, ketidak adilan dan keserakahan para politikus avonturir politik yang bercokol di daerah ini. Dengan demikian kita sebagai pemilik organisasi publik sekaligus sebagai pelayan publik dapat menjalankan fungsi dan tugas kita sebaik baiknya kepada masyarakat di daerah ini. Ambar tegus Sulistiyani (2002) mengatakan bahwa keterlibatan pemerintah dalam hubungan kerja misalnya, berupaya untuk memelihara kepentingan masyarakat, Ketelibatan pemerintah dalam hal ini menuntut kepatuhan dan usaha usaha proaktif pegawai negeri untuk meminimumkan konsekwensi konsekwensi organisasional.
------------ oooo OOO oooo -------------
Kesalahan besar yang dimiliki oleh para pemimpin lokal atau publik pigur kita di kendari sebagai ibu kota provinsi sulawesi tenggara selama ini adalah kurangnya kejujuran dalam pengakuan jati dirinya atau zelf correction. Apa sesungguhnya kelebihan yang mereka miliki untuk menjadi andalan jika mereka dipercaya oleh rakyat untuk memimpin daerah ini.dan juga dimana letak kekurangan yang mereka miliki jika mereka dipercaya oleh rakyat untuk memimpin daerah ini. Mereka tidak pernah lebih dulu mau bertanya sama diri sendiri bahwa mampukah mereka itu untuk menduduki jabatan tertentu berdasarkan biografi sederet pengalaman manajerial, leadership dan strata pendidikan yang mereka miliki baik formal maupun politik, sehingga dengan modal itu mereka dapat memimpin dengan baik daerah ini. Tetapi sesungguhnya kalau kita mau jujur saja bahwa para pemimpin kita yang ada di daerah ini sebenarnya belumlah siap secara moral untuk menjadi pejabat publik sehingga ketika mereka diberi kepercayaan oleh rakyat maka mereka tak dapat berbuat apa-apa malah sebaliknya kebanyakan pejabat yang telah menduduki jabatan tertentu cenderung memilih memperkaya diri sendiri dan keluarganya, kurang memperhatikan pembangunan yang menyentuh hati nurani kerakyatan.
Menurut Dr.John Maxwell dalam Hans Pinzel (2002) mengatakan bahwa tipe kepemimpinan yang paling efektif dan otentik adalah didasarkan pada orangnya.
Kita mungkin sudah berfikir bahwa saat ini orang sudah sadar bahwa dalam memimpin itu membutuhkan berbagai macam pengalaman politik, pengetahuan, manajemen, leadership dan keperibadian yang tangguh. Namun ternyata menurut Hans Finzel (2002) saat ini tetap saja muncul masalah dimana masalah ini sudah ada sejak zaman dulu, yaitu kepemimpinan yang dominant, otokratis, memerintah yang mana kebiasaan ini seringkali diberbuat dari generasi ke generasi.
Lebih jauh Hans Finzel (2002) memberikan setidaknya ada lima alasan mengapa banyak orang pemimpin jatuh kedalam sikap kepemimpinan yang memerintah, yakni (1) Sudah Tradisi ; secara histories kepemimpinan yang otokratis, yang memerintah, telah menjadi metode yang paling umumdipraktekan, (2) Paling Umum ; sekalipun telah banyak ditulis tentang bentuk bentuk kepemimpinan lainnya, kepemimpinan yang memeritah tetap paling umum, (3) Paling Mudah ; adalah jauh lebih mudah untuk sekedar meberitahu orang apa yang mereka harus perbuat, ketimbang mencoba gaya gaya kepemimpinan lain yang jauh lebih efektif, (4) Alami ; karena alsasan tertentu, diori yang alami memilih sikap dominan terhadap yang lain, dan berusaha memupuk kekuasaan yang dapat diberlakukan atas oranglain. Tampaknya sikap kepemimpinan aretinya adalah seseorang “diatas” orang lain, (5) Mencerminkan Kejatuhan manusia ; Iblis memulai masalahnya ketika ia ingin keluar dari surga, maka ia memberontak dan memimpin pemberontak-pemberontak menjadi pengikutnya untuk membawa pemberontakan di dunia.
Pada tahun 1960, Douglas Mc.Gregor menerbitkan buku yang berjudul Human Side of Enterprise, dimana ia paparkan apa yang dikenal sebagai gaya kepemimpinan “Teori X versus Teori Y”. Pada dasarnya, Mc.Gregor percaya bahwa orang sesungguhnya ingin melakukan yang terbaik dalam organisasi, dan kalau dengan tepat dipadukan kedalam kepemilikan sasaran sasaran dalam organisasi yang berangkutan, mereka akan mengendalikan diri sendiri dan melakukan yang terbaik.
Buku ini haruslah dipandang dalam konteks zaman ketika buku ini ditulis. Di tahun 1950-an dan 1960-an, ada suatu penentangan yang luar biasa terhadap gaya-gaya kememimpinan yang otoriter, yang terpusat, yang kuat. Mc.Gregor menunggangi gelombang perubahan sikap itu dimasyarakat dan mengembangkan model-model kepemimpinan Teori X dan Teori Y ini didasarkan pada sikap menghargai terhadap para pekerja dan memberi mereka partisipasi yang jauh lebih besar dalam pengawasan serta pengarahan, dengan pengarahan serta pengendalian yang lebih tidak kaku ditangan para pengawas. Teori X adalah sikap kepemimpinan yang memerintah. Hans Finzel tak habis habisnya berpikir dan merasa heran bahwa 30 tahun kesadaran akan Teori Y serta alternative kepemimpinan lainnya belum juga dapat menembus otak para pemimpin yang keras kepala.
Teori X menfokuskan pada taktik memberikan pengarahan serta mengendalikan lewat penggunaan kewenangan. Teori Y, sebaliknya menfokuskan pada sikap hubungan antar manusia----terpadunya sasaran-sasaran pribadi dengan suksesnya perusahaan.
Teori X :
- Pada dasarnya pekerja itu tidak disukai oleh kebanyakan orang
- Kebanyakan orang tidak ambisius, tidak suka bertanggungjawab, dan me-milih diberikan pengarahan
- Kebanyakan orang sedikit kapasitas kreatifnya untuk memecahkan masalah masalah organisasi
- Motivasi hanya muncul ditingkat fisio-logi serta keamanan
- Kebanyakan orang harus serta dikenda-likan dan seringkali dipaksa untuk men-capai sasaran sasaran organisasi.
Teori Y :
- Bekerja itu sama alaminya seperti bermain, kalau kondisi kondisinya menunjang
- Pengendalian diri seringkali tak dapat digantikan dalam mencapai sasaran sasaran organisasi
- Kapasitas kreatif dalam memecahkan masalah-masalah organisasi sangat tersebar diseluruh tenaga kerja
- Selain ditingkat fisiologi seta keamanan, motivasi juga muncul ditingkat sosial, dan aktualisasi diri
- Orang bisa mengarahkan dirinya sendiri dan kreatif dalam pekerjaannya kalau dimotivasi dengan benar.
Seandainya saja para pejabat publik yang ada di daerah ini mau mengikuti dan mendalami Teori X dan teori Y yang dikembangkan oleh Mc.Gregor (1960) seperti yang diuraikan di atas sebagai zelf correction----meskipun teori ini tak lebih hanya mengatur pekerja, tetapi makna filosopis teori ini dapat dijadikan pengilhaman pribadi pemimpin, dengan demikian maka postulat dapat dipastikan mereka yang telah mendalami substansi Teori X dan teoti Y adalah pigur-pigur pemimpin yang paling dibutuhkan daerah ini.
------------ oooo OOO oooo -------------
Ketertarikan orang terhadap perilaku pemimpin dan proses kepemimpinan tanpaknya terus bertahan dari waktu kewaktu. Banyak penulis telah membuat biografi sejumlah pemimpin di Negara ini, tapi terlalu sedikit bahkan belum ada penulis yang berani membuat biografi para pemimpin di daerah ini. Sekaligus mencoba untuk menganalisisnya mengapa mereka mempunyai prilaku tertentu dan membuat kebijakan tertentu disuatu priode. Perhatian yang besar terhadap kepemimpinan ini tidaklah mengherankan, karena apa yang dilakukan oleh seorang pemimpin dan segala kebijakan yang diputuskannya telah mempengaruhi nasib banyak orang. Dalam tulisan ini kita coba membahas misalnya seorang Gubernur.
Gubernur dipilih sebagai lokus pembicaraan, karena dia merupakan figure pemimpin organisasi publik yang cukup penting di daerah ini. Selain itu kompleksitas lingkungan yang dihadapinyapun tidak lebih rendah disbanding apa yang dihadapi oleh misalnya , bupati atau menteri. Menurut Samodra Wibawa (2005) memimpin dapat didefinisikan secara ringkas sebagai proses mempengaruhi orang lain untuk melakukan prilaku tertentu guna mewujudkan keinginan keinginan orang pertama. Jadi dalam proses ini ada dua orang pihak, yakni satu mempengaruhi, sedang yang lain dipengaruhi; dan ada kepentingan yang ingin diperjuangkan-----paling tidak oleh seorang yang mempengaruhi. Selanjutnya dari proses kepemimpinan ini akan muncul motivasi yang kemudian terekpresikan sebagai tindakan atau sikap.
Dengan demikian “memimpin” merupakan aktivitas yang tidak hanya jadi monopoli seorang pemimpin----baik pemimpin formal maupun non formal----melainkan aktivitas yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Seorang pengusaha dapat “memimpin” seorang pejabat dengan cara memberikan susu tante (sumbangan suka rela tanpa tekanan) atau susu denko (sumbangan suka rela dengan kompromi), misalnya agar pejabat tersebut dapat mengeluarkan Surat keputusan untuk kepentingan usahanya. Keadaan ini persis juga sama sepeti seorang pejabat “memimpin” para pengusaha dengan “menghimbau” mereka untuk menjadi bapak angkat bagi industri kecil dan lain sebagainya.
Seorang pemimpin publik, tarulah misalnya Gubernur, dia semestinya harus memiliki kemampuan manajerial dan leadership yang sudah mampu teruji ketangguhanya-----yang dapat diamati melalui proses kepemimpinan partai politik. Penerapan manajemen kepemimpinan juga harsunya bersifat kondisional, dimana seorang pejabat publik harus mampu memainkan peran seni memimpin dari berbagai tipe yang mesti dimunculkan secara apasteriori dalam mengendalikan organisasinya untuk kepentingan publik. Tapi amat disayangkan pada kenyataannya hampir semua pejabat publik yang ada di daerah ini kadang tidak memiliki kemampuan manejerial dan leadership yang memadai, tapi mereka tak mau jujur mengakuinya, malah sebaliknya menutupi segala kekurangannya dan mengejar ambisi untuk menduduki jabatan publik misalnya seperti Gubernur. ; Apa akibat yang kita rasakan bahwa kualitas kepemimpinan mereka kurang memadai untuk membawa arah perkembangan daerah ini kedepan yang tersistem dalam pola program yang lebih baik dari tahun ke tahun, malah sebaliknya proses politik kekuasan yang lebih dominan ketimbang proses pembangunan masyarakat. Beberapa tipe atau model kepemimpinan yang harus dimiliki oleh seorang pejabat publik antara lain : Patrimonial, Otokrasi, Otoriter, Karismathik dan Demokrasi. Kelima model ini bagi misalnya seorang Gubernur harus dapat memainkan seni peran dengan mengkombinasikan dalam setiap aktivitas organisasi pemerintahan yang dipimpinnya sesuai kondisi yang dibutuhkan.
Muncul pertanyaan :”siapakah Publik itu” !.
Kata “Publik”, biasa diterjemahkan sebagai “umum” dan yang sangat sering dipakai terutama pejabat (Samudra Wibawa, 2005).. Terjemahan ini dapat diterima, akan tetapi masih belum tuntas, karena masih dapat dipertanyakan : siapa yang dimaksud dengan “umum” ?
Menurut Samodra Wibawa (2005) mengatakan bahwa “umum” memiliki makna yang tunggal. Beberapa kemungkinan makna dari kata ini adalah :
• Orang banyak dalam arti tidak sedikit;
• Orang kebanyakan dalam arti rakyat yang buka penentu kebijakan;
• Masyarakat luas, dalam arti tidak hanya satu golongan saja;
• Seluruh Masyarakat, dalam arti buka hanya orang yang tinggall disuatu daerah.
Di pihak lain, “umum” bisa pula diartikan sebagai menyangkut hal yang abstrak, bukannya konkret dalam arti orang atau masyarakat di atas. Dalam pemahaman ini, “umum” bisa berarti :
• Suatu yang berkenaan dengan pemerintah atau negara, bukan hal-hal yang bersangkut paut dengan perorangan atau swasta;
• Hal yang luas atau tidak jelas, bukannya khusus dan tegas;
• Sosial bukannya swasta atau pribadi atau bisnis;
• Yang lazim, bukannya aneh.
Seorang pejabat publik beserta birokrasi jajarannya di daerah ini, bilang pada rakyatnya bahwa pembebasan tanah yang terdapat dikelurahan T untuk sebuah konservasi tambang dilakukan demi kepentingan umum, karena itu para warga negara pemilik tanah dengan iklas merima ganti rugi seribu rupiah saja permeter perseginya. Mereka mengira bahwa tanah mereka akan dipakai untuk tempat bangunan pemerintah atau terminal ataupun pasar. Ternyata belakangan baru mereka menyadari bahwa tanah yang dibeli oleh pemerintah tadi adalah milik perorangan atau kelompok pengusaha tertentu yang juga akan digunakan untuk kepentingan usaha perorangan bukannya untuk kepentingan sosial atau kepentingan umum. Ternyata sang pejabat publik tadi telah melakukan pembohongan publik. Dan hal ini dapat terjadi oleh karena adanya keterlibatan birokrasi secara tidak langsung dalam pembelian sebidang tanah milik rakyat tersebut.
Keterlibatan birokrasi dalam pembuatan kebijakan tempaknya memang tidak terelakan, baik secara praktis maupun secara ideal. Akibatnya birokrasi tidak hanya memegang wewenang teknis administratif melainkan kadang menggenggam kekuasaan politis, yang sering kali malah lebih besar dibanding eksekutif, legislatif maupun yudikatif (Samodra Wibowo, 2005). Para aktivis politik di dalam tubuh legislatif, misalnya harus dipilih dan hanya bertugas untuk jangka waktu tertentu; tetapi birokrasi tidak perlu dipilih melainkan diangkat dan bertugas hampir seumur hidup. Secara demikian dapat dikatakan bahwa birokrat atau aparatur negara atau pegawai negeri adalah “politikus permanent” (Kingsley dalam Albrow, 1989). Tindakan ini menurut Woodrow Wilson (1887) seorang ahli administrasi negara telah mengakui bahwa kekuasaan birokrasi seperti itu tidak berbahaya sepanjang ada mekanisme pertanggungjawaban (Millet dalam Samodra Wibowo, 2005).
Albrow (1989), berpendapat bahwa aparatur atau administrator negara bisa berbenturan dengan demokrasi bila aparatur negara itu tidak mau dikontrol dan beraliansi dengan golongan tertentu serta mempunyai kegiatan seperti kelompok penekan. Dengan demikian untuk dapat mengatasi penekanan-penekanan oleh adanya kepentingan pejabat publik di daerah ini, maka sebaiknya segera dibentuk Public Policy.
Miftah Toha (2005) menerangkan ruang lingkup Public Policy yakni membang-kitkan adanya partisipasi masyarakat untuk bersama-sama memikirkan cara yang baik untuk mengatasi persoalan persoalan masyarakat. Tanpa adanya partisipasi masyarakat dan rakyat banyak, maka Public Policy kurang bermakna. Dalam masyarakat yang tradisional , pemerintah dan urusan-urusan politik menjadi tanggung jawab elit, masyarakat pada umumnya tidak tahu apa yang dikerjakan oleh pemerintah. Public Policy menjadi urusan elit tersebut. Akan tetapi dalam masyarakat moderen, demokratis, dan kekuasaan teringgi di tangan rakyat, maka partisipasi dari masyarakat sangat penting dalam urusan-urusan pemerintahan temasuk didalamnya urusan Public Policy. Peranan lembaga-lembaga sosial seperti LSM, Paguyuban sangat diperlukan untuk mengartikulasikan peran Public Policy dalam kehidupan sosial, politik dan kemasyarakatan di daerah ini dalam menghalau kekuasaan birokrasi yang sewenang-wenang dan tidak berpihak kepada rakyat.****