OLEH : AGUNG MUH ISKANDAR
Kota batik Pekalongan di pertengahan tahun 1960an menyambut fajar
dengan kabut tipis , pukul setengah enam pagi polisi muda Royadin yang
belum genap seminggu mendapatkan kenaikan pangkat dari agen polisi
kepala menjadi brigadir polisi sudah berdiri di tepi posnya di kawasan
Soko dengan gagahnya. tiba2 dari arah selatan dan membelok ke barat
sebuah sedan hitam ber plat AB melaju dari arah yang berlawanan dengan
arus becak dan delman . Brigadir Royadin memandang dari kejauhan
,sementara sedan hitam itu melaju perlahan menuju kearahnya. Dengan
sigap ia menyeberang jalan ditepi posnya, ayunan tangan kedepan dengan
posisi membentuk sudut Sembilan puluh derajat menghentikan laju sedan
hitam itu. Sebuah sedan tahun lima puluhan yang amat jarang berlalu di
jalanan pekalongan berhenti dihadapannya.
Saat mobil menepi , brigadir Royadin menghampiri sisi kanan pengemudi dan memberi hormat.
“Selamat pagi!” Brigadir Royadin memberi hormat dengan sikap sempurna .
“Boleh ditunjukan SIM dan STNKnya" perlahan pengendara mobil menurunkan
kaca samping secara penuh.
“Ada apa pak polisi ?” Tanya pria
itu. Brigadir POLISI ini kaget dan gemetaran karena ia mengenali
pengendara mobil sedan itu. Nmun sdh kepalang tanggung ia berusaha
menunjukan posisinya sebagai seorang POLISI dgn sikap sempurna.
“Bapak melangar verbodden , tidak boleh lewat sini, ini satu arah !”
sambil memandangi pria itu yang tak lain adalah Sultan Jogja, Sri Sultan
Hamengkubuwono IX. dan spontan Sri Sultra turun dri kendaraannya dan
menghampiri sang POLISI sambil berucap "Ya saya salah, kamu benar, jadi
gimana?", dgn gugup sang POLISI menjawab ..bapak saya tilang , mohon
maaf!” lalu Sri sultan berkata baik brigadir, tolong di buatkan surat
tilang sesuai prosedur saya akan patuhi.
Dengan tangan gemetar
membuatkan surat tilang, ingin rasanya tidak memberikan surat itu tapi
tidak tahu kenapa ia sebagai polisi tidak boleh memandang beda pelanggar
kesalahan yang terjadi di depan hidungnya. Yang paling membuatnya
sedikit tenang adalah tidak sepatah katapun yang keluar dari mulut Sri
sultan untuk menggunakan kekuasaannya agar tdk di tilang.
setelah surat tilangnya di buat, Sri sultan kembali memacu kendaraannya,
sementara sang brigadir POLISI mulai kebingungan mau di bawa kemana SIM
dan STNK sangka Sultan ini. dan sore hari brigadir kembali ke maskas dan
menyerahkan SIM & STNK Sri Sultan kepada petugas jaga untuk
diproses hukum lebih lanjut.
Saat apel pagi esok harinya ,
suara amarah meledak di markas polisi pekalongan , nama Royadin
diteriakkan berkali kali dari ruang komisaris. Beberapa polisi tergopoh
gopoh menghampirinya dan memintanya menghadap komisaris polisi selaku
kepala kantor.
“Royadin , apa yang kamu lakukan ..sa’enake dewe
..ora mikir ..iki sing mbok tangkep sopo heh..ngawur..ngawur!”
Komisaris mengumpat dalam bahasa jawa , ditangannya ada SIM & STNK
milik Sri Sultan.
“ Sekarang aku mau Tanya , kenapa kamu tidak
lepas saja sinuwun (Sri Sultan) ..biarkan lewat, wong kamu tahu siapa
dia , ngerti nggak kowe sopo sinuwun?” Komisaris tak menurunkan nada
bicaranya.
“ Siap pak , beliau tidak bilang beliau itu siapa , beliau ngaku salah ..dan memang salah!” brigadir Royadin menjawab tegas.
“Ya tapi kan kamu mestinya ngerti siapa dia ..ojo kaku kaku , kok malah
mbok tilang..ngawur ..jan ngawur….Ini bisa panjang , bisa sampai
Menteri !” Derai komisaris. Saat itu kepala polisi dijabat oleh Menteri
Kepolisian Negara.
Brigadir Royadin pasrah , apapun yang dia
lakukan dasarnya adalah posisinya sebagai polisi , yang disumpah untuk
menegakkan peraturan pada siapa saja ..memang Koppeg(keras kepala)
kedengarannya.
Kepala polisi pekalongan berusaha mencari tahu
dimana gerangan sinuwun , masih di Tegalkah atau tempat lain? Tujuannya
cuma satu , mengembalikan rebuwes. Namun tidak seperti saat ini yang
demikian mudahnya bertukar kabar , keberadaa sinuwun tak kunjung
diketahui hingga beberapa hari. Pada akhirnya kepala polisi pekalongan
mengutus beberapa petugas ke Jogja untuk mengembalikan rebuwes tanpa
mengikut sertakan Brigadir Royadin.
Usai mendapat marah ,
Brigadir Royadin bertugas seperti biasa , satu minggu setelah kejadian
penilangan, banyak teman temannya yang mentertawakan bahkan ada isu yang
ia dengar dirinya akan dimutasi ke pinggiran kota pekalongan selatan.
Suatu sore , saat belum habis jam dinas , seorang kurir datang
menghampirinya di persimpangan soko yang memintanya untuk segera kembali
ke kantor. Sesampai di kantor beberapa polisi menggiringnya keruang
komisaris yang saat itu tengah menggengam selembar surat.
“Royadin….minggu depan kamu diminta pindah !” lemas tubuh Royadin , ia
membayangkan harus menempuh jalan menanjak dipinggir kota pekalongan
setiap hari , karena mutasi ini, karena ketegasan sikapnya
dipersimpangan soko .
“ Siap pak !” Royadin menjawab datar.
“Bersama keluargamu semua, dibawa!” pernyataan komisaris mengejutkan ,
untuk apa bawa keluarga ketepi pekalongan selatan , ini hanya merepotkan
diri saja.
“Saya sanggup setiap hari pakai sepeda pak komandan, semua keluarga biar tetap di rumah sekarang !” Brigadir Royadin menawar.
“Ngawur…Kamu sanggup bersepeda pekalongan – Jogja ? pindahmu itu ke
jogja bukan disini, sinuwun yang minta kamu pindah tugas kesana ,
pangkatmu mau dinaikkan satu tingkat.!” Cetus pak komisaris , disodorkan
surat yang ada digengamannya kepada brigadir Royadin.
Surat
itu berisi permintaan bertuliskan tangan yang intinya : “ Mohon
dipindahkan brigadir Royadin ke Jogja , sebagai polisi yang tegas saya
selaku pemimpin Jogjakarta akan menempatkannya di wilayah Jogjakarta
bersama keluarganya dengan meminta kepolisian untuk menaikkan pangkatnya
satu tingkat.” Ditanda tangani sri sultan hamengkubuwono IX.
Tangan brigadir Royadin bergetar , namun ia segera menemukan jawabannya.
Ia tak sangup menolak permntaan orang besar seperti sultan HB IX namun
dia juga harus mempertimbangkan seluruh hidupnya di kota pekalongan .Ia
cinta pekalongan dan tak ingin meninggalkan kota ini .
“ Mohon
bapak sampaikan ke sinuwun , saya berterima kasih, saya tidak bisa
pindah dari pekalongan , ini tanah kelahiran saya , rumah saya .
Sampaikan hormat saya pada beliau ,dan sampaikan permintaan maaf saya
pada beliau atas kelancangan saya !” Brigadir Royadin bergetar , ia tak
memahami betapa luasnya hati sinuwun Sultan HB IX , Amarah hanya
diperolehnya dari sang komisaris namun penghargaan tinggi justru datang
dari orang yang menjadi korban ketegasannya.
July 2010 , saat
saya mendengar kepergian purnawirawan polisi Royadin kepada sang khalik
dari keluarga dipekalongan , saya tak memilki waktu cukup untuk
menghantar kepergiannya . Suaranya yang lirih saat mendekati akhir hayat
masih saja mengiangkan cerita kebanggaannya ini pada semua sanak family
yang berkumpul. Ia pergi meninggalkan kesederhanaan perilaku dan
prinsip kepada keturunannya , sekaligus kepada saya selaku keponakannya.
Idealismenya di kepolisian Pekalongan tetap ia jaga sampai akhir masa
baktinya , pangkatnya tak banyak bergeser terbelenggu idealisme yang
selalu dipegangnya erat erat yaitu ketegasan dan kejujuran .
Hormat amat sangat kepadamu Pak Royadin, Sang Polisi sejati . Dan juga
kepada pahlawan bangsa Sultan Hamengkubuwono IX yang keluasan hatinya
melebihi wilayah negeri ini dari sabang sampai merauke.
SUMBER :
http://www.facebook.com/groups/sultrawatch/permalink/417657358262919/