OLEH : ERWIN USMAN Tahapan Pemilukada Kota Kendari untuk memilih pasangan Walikota dan Wakil Walikota periode 2012-2017 sudah tidak lama lagi. Sejumlah pihak, merespon momen politik ini dengan lakukan serangkain kegiatan. Diantaranya mendorong secara lebih luas adanya partisipasi politik rakyat melalui perbaikan proses rekruitmen Kepala Daerah dengan Program Konvensi Masyarakat Sipil.
Saat dialog, diskusi dan buka puasa bersama yang digagas Koalisi Masyarakat Sipil Kendari pada Sabtu, 6 Agustus 2011 di kantor WALHI Sultra yang juga ditunjuk sebagai Sekber Koalisi gagasan Konvensi ini didedah.
Dalam dialog membahas Tantangan dan Peluang Program Konvensi Masyarakat Sipil untuk Wujudkan Pemilukada yang Berkualitas di Pemilukada Kota Kendari 2012 dilakukan dengan narasumberi: Sam Abdul Jalil, SE (Ketua KPUD Kota Kendari), Drs. Peribadi, MSi (Akademisi Unhalu) dan Anselmus AR Masiku, SH (Direktur LBH Kendari). Adapun moderator Asyriani, MSi dari Koalisi.
Dalam forum tersebut, Peribadi memaparkan bahwa kualitas partisipatoris masyarakat sipil untuk membenahi kualitas demokrasi, khususnya di momen penentuan kepala daerah, dapat diwujudkan dengan dua jalan.
Pertama, tindakan reformis. Membenahi sistem rekruitment pemimpin daerah dan nasional. Ini membutuhkan pembenahan serius di tubuh partai politik yang ada. Juga gerakan sosial untuk mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan yang populis, pendidikan politik rakyat yang terencana baik, serta kontrol agar tercipta pemimpin-pemimpin yang tidak karbitan.
"Perlu dibangun suatu kesepahaman yang disebut oleh para antropolog sebagai 'Kesepakatan Tujuan'. Artinya, masyarakat luas duduk bersama untuk menciptakan sebuah mekanisme rekruitment pemimpin daerahnya, berikut instrumen penghukumnya, jika sang pemimpin tidak becus dalam mengemban amanah rakyat. Program Tidak Pilih Politisi Busuk mesti dipadukan dengan gagasan Konvensi," urainya.
Kedua, pilihan yang tersedia, revolusi sosial. Masyarakat sipil bisa mulai dengan lakukan pemboikotan alias tidak usah datang memilih dalam setiap tahap pemilihan umum. Ada delegitimasi sosial. Agar masyarakat tidak selalu jadi sarana mobilisasi politik untuk legitimasi proses pemilu/kada yang menyisakan banyak persoalan.
"Kedua pilihan di atas mengandung resiko dan kebaikannya masing-masing. Tinggal lagi dibutuhkan kesepakatan sosial dari semua elemen. Gagasan Konvensi yang didorong kawan-kawan Koalisi patut untuk dimajukan gagasannya. Agar ada check and balance dari proses rekuitment Kepala Daerah," urai Peribadi yang juga sehari-hari menjadi staf pengajar di FISIP Universitas Haluoleo Kendari.
Adapun Anselmus menyampaikan, bahwa menyoal proses rekrruitment pemimpin daerah maupun nasional dalam proses Pemilu/Kada, kritik terbesarnya pada peran parpol dan penyelenggara pemilu.
Menurut Ansel, dalam demokrasi yang substantif, parpol sejatinya memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu (1) sebagai sarana "sekolah politik" untuk melahirkan kader-kader politik yang kelak menduduki jabatan-jabatan politik; (2) pendidikan politik pada rakyat banyak tanpa berhenti hanya di momen Pemilu/kada.
"Kenyataan saat ini fungsi-fungsi utama parpol tersebut tidak berjalan sesuai semestinya. Parpol terjebak dalam iramanya sendiri. Rekruitmen kepemimpinan daerah/nasional lebih banyak dilakukan secara instant. Rakyat sebagai pemegang kedauatan tertinggi sulit untuk mendapatkan akses, pencerdasan dan informasi politik di parpol, kecuali untuk anggota parpol bersangkutan, itupun terbatas adanya. Sebab, elit parpol yang dominan perannya" demikian Anselmus memaparkan.
Ansel mengkritik keras sikap elitis dari elit parpol saat ini. Termasuk fenomena tidak adanya oposisi yang melembaga dan kuat di parpol saat ini untuk mendidik rakyat berpolitik secara benar. Parpol dengan gampang menunjuk seorang kepala daerah yang sedang menjabat untuk langsung jadi ketua umum partainya di banyak daerah. Memotong mekanisme pengkaderan yang harusnya jadi barometer.
"Tentang oposisi, menurut saya, aneh konfigurasi politik parpol kita saat ini. Di pusat, misalkan PDIP menyatakan sebagai parpol oposisi, tapi di daerah, malah menjadi pemegang kekuasaan pemerintahan, misalnya jadi kepala daerah. Ini oposisi atau disposisi," ujarnya setengah bergurau.
Adapun Syam Abdul Jalil dalam diskusi lebih banyak memberi masukan untuk penguatan kerja lembaga penyelenggara Pemilukada disemua level. Baik KPUD, PPS, PPK maupun KPPS di kelurahan/desa. Termasuk peran Panwas/Bawaslu dan lembaga pemantau Pemilu. Pengalaman setiap Pemilukada yang berbiaya tinggi (high cost) menurut Syam mesti dilakukan koreksi mendalam. Perangkat Undang-undang yang tersedia saat ini mesti dipertegas lagi aturan terkait dengan tahapan Pemilukada dan peran-peran aktif masyarakat sipil untuk menjadikan Pemilukada berlangsung efektif dan efisien.
"Saya setuju dengan gagasan-gagasan maju dari masyarakat sipil seperti program Konvensi ini, agar proses rekruitmen pemimpin daerah di era otonomi daerah saat ini bisa lebih tersambung dengan kepentingan masyarakat di level bawah. Artinya, jauh-jauh hari ada proses cukup panjang untuk sosialisasi dan membangun kesepahaman sosial di level bawah. Selain juga untuk mencerdaskan masyarakat pemilih, agar bisa lebih kritis dan cermat dalam menentukan pemimpinnya. Pemilukada yang membutuhkan waktu panjang dan biaya yang besar, mestinya sudah harus dirubah ke depan," ungkap Ketua KPUD Kota Kendari ini.
Syam Abdul Jalil juga setuju agar masyarakat sipil mendorong adanya transformasi sosial agar pemimpin yang lahir dari proses pemilukada bisa punya integritas, kapasitas dan kemampuan menjawab apsirasi masyarakat secara profesional.
Diskusi dihadiri sekitar 50-an peserta. Dari kalangan pelajar, mahasiswa, aktivis NGO, Jurnalis, anggota KPUD, serta pemerhati sosial politik di Sulawesi Tenggara. Diakhir diskusi, para peserta rata-rata setuju untuk membantu mendorong gagasan Konvensi ini untuk dapat dijalankan dengan pelibatan aktif warga di level kelurahan. Catatan kritis lainnya diberikan peserta, agar program ini sedapat mungkin memberi ruang dan perhatian yang cukup besar bagi pelibatan kaum perempuan dalam prosesnya. Agar tercipta keadilan gender.
Program Konvensi Masyarakat Sipil ini digagas oleh sejumlah lembaga di bawah payung Koalisi Masyarakat Sipil Kota Kendari. Lembaga yang tergabung: Perkumpulan JURDIL Sultra, YPSHK, WALHI Sultra, MEDIKRA dan The Constructive. Didukung TIFA Foundation Jakarta.
Program mulai dijalankan sejak bulan Juni 2011 dan akan berakhir sekitar bulan Mei 2012. Program dilakukan di 64 kelurahan dan 10 kecamatan di Kota Kendari. Masyarakat sipil, media massa, penyelenggara Pemilukada, aparatur keamanan, DPRD, parpol, serta aparat pemerintah merupakan mitra strategis dalam program ini.
Diperkirakan tahapan Pemilukada Kota Kendari akan mulai sekitar akhir Desember 2011. Dan pemilihan berlangsung sekitar bulan Juli 2012.**
Kendari, 6-8-2011.
@Erwin Usman/Koordinator Koalisi
Saat dialog, diskusi dan buka puasa bersama yang digagas Koalisi Masyarakat Sipil Kendari pada Sabtu, 6 Agustus 2011 di kantor WALHI Sultra yang juga ditunjuk sebagai Sekber Koalisi gagasan Konvensi ini didedah.
Dalam dialog membahas Tantangan dan Peluang Program Konvensi Masyarakat Sipil untuk Wujudkan Pemilukada yang Berkualitas di Pemilukada Kota Kendari 2012 dilakukan dengan narasumberi: Sam Abdul Jalil, SE (Ketua KPUD Kota Kendari), Drs. Peribadi, MSi (Akademisi Unhalu) dan Anselmus AR Masiku, SH (Direktur LBH Kendari). Adapun moderator Asyriani, MSi dari Koalisi.
Dalam forum tersebut, Peribadi memaparkan bahwa kualitas partisipatoris masyarakat sipil untuk membenahi kualitas demokrasi, khususnya di momen penentuan kepala daerah, dapat diwujudkan dengan dua jalan.
"Perlu dibangun suatu kesepahaman yang disebut oleh para antropolog sebagai 'Kesepakatan Tujuan'. Artinya, masyarakat luas duduk bersama untuk menciptakan sebuah mekanisme rekruitment pemimpin daerahnya, berikut instrumen penghukumnya, jika sang pemimpin tidak becus dalam mengemban amanah rakyat. Program Tidak Pilih Politisi Busuk mesti dipadukan dengan gagasan Konvensi," urainya.
Kedua, pilihan yang tersedia, revolusi sosial. Masyarakat sipil bisa mulai dengan lakukan pemboikotan alias tidak usah datang memilih dalam setiap tahap pemilihan umum. Ada delegitimasi sosial. Agar masyarakat tidak selalu jadi sarana mobilisasi politik untuk legitimasi proses pemilu/kada yang menyisakan banyak persoalan.
"Kedua pilihan di atas mengandung resiko dan kebaikannya masing-masing. Tinggal lagi dibutuhkan kesepakatan sosial dari semua elemen. Gagasan Konvensi yang didorong kawan-kawan Koalisi patut untuk dimajukan gagasannya. Agar ada check and balance dari proses rekuitment Kepala Daerah," urai Peribadi yang juga sehari-hari menjadi staf pengajar di FISIP Universitas Haluoleo Kendari.
Adapun Anselmus menyampaikan, bahwa menyoal proses rekrruitment pemimpin daerah maupun nasional dalam proses Pemilu/Kada, kritik terbesarnya pada peran parpol dan penyelenggara pemilu.
Menurut Ansel, dalam demokrasi yang substantif, parpol sejatinya memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu (1) sebagai sarana "sekolah politik" untuk melahirkan kader-kader politik yang kelak menduduki jabatan-jabatan politik; (2) pendidikan politik pada rakyat banyak tanpa berhenti hanya di momen Pemilu/kada.
"Kenyataan saat ini fungsi-fungsi utama parpol tersebut tidak berjalan sesuai semestinya. Parpol terjebak dalam iramanya sendiri. Rekruitmen kepemimpinan daerah/nasional lebih banyak dilakukan secara instant. Rakyat sebagai pemegang kedauatan tertinggi sulit untuk mendapatkan akses, pencerdasan dan informasi politik di parpol, kecuali untuk anggota parpol bersangkutan, itupun terbatas adanya. Sebab, elit parpol yang dominan perannya" demikian Anselmus memaparkan.
Ansel mengkritik keras sikap elitis dari elit parpol saat ini. Termasuk fenomena tidak adanya oposisi yang melembaga dan kuat di parpol saat ini untuk mendidik rakyat berpolitik secara benar. Parpol dengan gampang menunjuk seorang kepala daerah yang sedang menjabat untuk langsung jadi ketua umum partainya di banyak daerah. Memotong mekanisme pengkaderan yang harusnya jadi barometer.
"Tentang oposisi, menurut saya, aneh konfigurasi politik parpol kita saat ini. Di pusat, misalkan PDIP menyatakan sebagai parpol oposisi, tapi di daerah, malah menjadi pemegang kekuasaan pemerintahan, misalnya jadi kepala daerah. Ini oposisi atau disposisi," ujarnya setengah bergurau.
Adapun Syam Abdul Jalil dalam diskusi lebih banyak memberi masukan untuk penguatan kerja lembaga penyelenggara Pemilukada disemua level. Baik KPUD, PPS, PPK maupun KPPS di kelurahan/desa. Termasuk peran Panwas/Bawaslu dan lembaga pemantau Pemilu. Pengalaman setiap Pemilukada yang berbiaya tinggi (high cost) menurut Syam mesti dilakukan koreksi mendalam. Perangkat Undang-undang yang tersedia saat ini mesti dipertegas lagi aturan terkait dengan tahapan Pemilukada dan peran-peran aktif masyarakat sipil untuk menjadikan Pemilukada berlangsung efektif dan efisien.
"Saya setuju dengan gagasan-gagasan maju dari masyarakat sipil seperti program Konvensi ini, agar proses rekruitmen pemimpin daerah di era otonomi daerah saat ini bisa lebih tersambung dengan kepentingan masyarakat di level bawah. Artinya, jauh-jauh hari ada proses cukup panjang untuk sosialisasi dan membangun kesepahaman sosial di level bawah. Selain juga untuk mencerdaskan masyarakat pemilih, agar bisa lebih kritis dan cermat dalam menentukan pemimpinnya. Pemilukada yang membutuhkan waktu panjang dan biaya yang besar, mestinya sudah harus dirubah ke depan," ungkap Ketua KPUD Kota Kendari ini.
Syam Abdul Jalil juga setuju agar masyarakat sipil mendorong adanya transformasi sosial agar pemimpin yang lahir dari proses pemilukada bisa punya integritas, kapasitas dan kemampuan menjawab apsirasi masyarakat secara profesional.
Diskusi dihadiri sekitar 50-an peserta. Dari kalangan pelajar, mahasiswa, aktivis NGO, Jurnalis, anggota KPUD, serta pemerhati sosial politik di Sulawesi Tenggara. Diakhir diskusi, para peserta rata-rata setuju untuk membantu mendorong gagasan Konvensi ini untuk dapat dijalankan dengan pelibatan aktif warga di level kelurahan. Catatan kritis lainnya diberikan peserta, agar program ini sedapat mungkin memberi ruang dan perhatian yang cukup besar bagi pelibatan kaum perempuan dalam prosesnya. Agar tercipta keadilan gender.
Program Konvensi Masyarakat Sipil ini digagas oleh sejumlah lembaga di bawah payung Koalisi Masyarakat Sipil Kota Kendari. Lembaga yang tergabung: Perkumpulan JURDIL Sultra, YPSHK, WALHI Sultra, MEDIKRA dan The Constructive. Didukung TIFA Foundation Jakarta.
Program mulai dijalankan sejak bulan Juni 2011 dan akan berakhir sekitar bulan Mei 2012. Program dilakukan di 64 kelurahan dan 10 kecamatan di Kota Kendari. Masyarakat sipil, media massa, penyelenggara Pemilukada, aparatur keamanan, DPRD, parpol, serta aparat pemerintah merupakan mitra strategis dalam program ini.
Diperkirakan tahapan Pemilukada Kota Kendari akan mulai sekitar akhir Desember 2011. Dan pemilihan berlangsung sekitar bulan Juli 2012.**
Kendari, 6-8-2011.
@Erwin Usman/Koordinator Koalisi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar