OLEH :CUCUK SUPARNO
(03 AGUSTUS 2011, 09:03:29 WIB0
KabarIndonesia - Setelah hampir dua periode berkuasa, Partai Demokrat seolah menjadi tiran baru era reformasi. Prestasi pemerintahan di segala bidang, berjalan seiring dengan laku-buruk politiknya.
Bahkan laku-buruk cenderung lebih dominan ketimbang prestasi yang sejujurnya hanya kamuflase untuk mengibarkan citraan diri (baca; Susilo Bambang Yudhoyono). Jika demikian, Demokrat adalah miniatur Orde Baru dengan Golkar-nya?
Diakui atau tidak, Orde Baru (Orba) identik dengan Soeharto dan Partai Golkar sedangkan orde reformasi identik dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Partai Demokratnya. Meski banyak partai lain di dua era itu, ternyata sekedar meramaikan geriak politik agar tidak terkesan adanya single majority. Dalam skala kualitas yang berbeda, baik kedua orde itu memiliki tiran dengan perilaku politik sama, berorientasi kekuasaan dan meninggikan figur sebagai pusat kekuasaan (baca; pusat moral hukum). Soeharto adalah ‘raja’ Orde Baru sedangkan SBY adalah ‘raja’ di era reformasi. Sekali lagi, meski dalam skala kualitas yang berbeda!
Menyimak perkembangan sosial-politik dan hukum dalam lima tahun terakhir, saya semakin ‘yakin’ jika pemerintahan Demokrat adalah miniatur Orde Baru. Dari cara SBY dan kabinetnya memperlakukan anasir hukum, politik, pendidikan, ekonomi, kebudayaan, keamanan memiliki ciri mirip dengan cara Soeharto. Hanya kompleksitas persoalan dan terbukanya arus informasi membuat SBY harus memiliki ‘stamina ganda’ untuk menerapkan pola Orba.
Bisa jadi, kekacauan di ranah politik, hukum, ekonomi, dan pendidikan merupakan bias kembalinya praktek Orba dalam cara-laku SBY dengan Partai Demokratnya. Di sukai atau tidak, jika era Soeharto saya sering menyebut rejim otoriter-penuh sedangkan era SBY adalah rejim otoriter-setengah hati. Artinya, SBY masih ragu menjalani tingkah otoriternya karena situasi sosial kekinian yang sangat berbeda daripada situasi era Soeharto berkuasa. Tetapi esensi cara menjalankan kekuasaannya, di beberapa anasir terkesan copy-paste Orba.
Sentral Figur
Geliat persoalan kekinian mengindikasikan hadirnya kembali praktek Orde Baru dengan kualitas reformatif. Ya! Orde Baru yang berasimilasi dengan problematika masyarakat modern. Simaklah, situasi hukum di negeri ini, meskipun jargon selalu digemborkan bahkan supremasi hukum harus ditegakkan. Kenyataannya, hukum kian menjadi mainan mengasyikkan. Banyak masalah hukum yang di-create –oleh penguasa—demi kepentingan tertentu. Demokrasi hukum semakin semu ketika pemerintah tebang pilih dalam penyelesaian masalah hukum Di jaman Orba, mirip dengan jargon; asal kepentingan Soeharto dan kroninya selamat!
Di ranah keamanan nasional, sikap reaktif aparat terasa semakin kental. Kebebasan reformatif yang disambut hangat publik, harus tersendat oleh ketidaksanggupan penguasa menerima imbas kebebasan itu. Misalnya, penguasa (baca; SBY) harus meminta intelejen negara (BIN) mengawasi lalu lintas percakapan dunia maya. Juga pembungkaman berbagai organisasi massa serta mahasiswa dengan cara-cara yang ‘elegan’ sehingga tidak terkesan otoriter. Di jaman Orba, siapa mencoba subversib pasti disikat. Sedangkan di era SBY, siapa berani subversib, didekati, dan diberi kursi kekuasaan. Diamlah teriakannya!
Yang lebih kentara, Orba selalu menyandarkan kebijakan kepada sosok sentral yakni Soeharto sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara. Sedangkan era kekuasaan Demokrat selalu menyandarkan kebijakan kepada SBY sebagai kepala negara dan pemerintahan. Jika Soeharto melakukan kamuflase melalui prestasi ekonomi sehingga dijuluki Bapak Pembangunan maka SBY berkamuflase melalui citraan positif sehingga kedodoran di tingkat kenyataan. Citra tentang SBY bagus belum menjamin realitas laku-sosial politiknya bagus.
Menghadirkan anasir laku Orba di era reformasi merupakan pengingkaran yang melukai makna reformasi itu sendiri. Maraknya kasus korupsi, mafia peradilan, mafia pendidikan, gurita kekuasaan politik parpol mengindikasikan kekurangcermatan SBY dalam meng-copy paste Orba. Karena itu, sepatutnya SBY –di penghujung kekuasaannya ini—bercermin, jika model Orde Baru yang dijalankan sudah kadaluarsa dan ditolak publik. Partai Demokrat harus mencari formulasi baru dengan meninggikan praktek demokrasi yang mengedepankan nurani keadilan sosial.
Sementara yang terjadi saat ini, SBY dan Partai Demokrat tak ubahnya seperti rejim otoriter yang penuh janji (baca; citraan) menipu. Negeri ini kini menjadi negeri seribu janji di tengah masyarakat yang terlanjur memahami perilaku buruk penguasa. Sudah menjadi rahasia umum, jika kolega susah dipenjara, teman pasti aman dalam pengejaran, bagi-bagi proyek hal biasa, kepentingan parpol dia atas segalanya. Jika hal ini terus terjadi maka reformasi sesungguhnya telah mati.
Reformasi hanya melahirkan Anggodo, Nazaruddin, Bank Century, Lapindo dan banyak masyarakat kesrakat (jawa; miskin) di gelimang busa janji. Selayaknya SBY dan kroninya instrospeksi bahwa Indonesia membutuhkan cara-pimpin yang egaliter, transparan, dan memiliki etika yang meninggikan nurani masyarakat. Bukan nurani Cikeas yang mirip nurani Cendana.