Opinion Peblika

Opinion Peblika
Suasana Foto Galian Tanah Tambang C Tanpa Melalui SRKL dan AMDAL di Wakatobi

Senin, 09 Mei 2011

AROGANSI PEMERINTAH YANG BERTINDAK SEWENANG-WENANG TERHADAP SIMBOL-SIMBOL BUDAYA BUTON : “JANGAN REPRESENTASIKAN SULTAN DENGAN WALIKOTA”

OLEH : FORUM PEMERHATI BUDAYA BUTON
      (Menanggapi pernyataan Sekot dan Asisten III Kota Baubau di Media Massa).

 
Aksi damai yang dilakukan oleh Forum Pemerhati Budaya Buton (FPBB) pada tanggal 2 Mei 2011 merupakan reaksi dari masyarakat Buton terhadap serangkaian hal yang telah melenceng dari tatanan budaya masyarakat Buton. Pertama-tama dipicu oleh apa yang telah di kenakan oleh Amirul Tamim dan Nur Alam saat berkunjung ke Masjid Agung Keraton Buton dengan menggunakan pakaian yang semestinya dikenakan oleh seorang Sultan dan diabadikan melalui melalui gambar-gambar mereka pada sekian banyak baliho di kota Baubau. Hal ini mungkin saja merupakan sesuatu yang akan selalu dianggap benar oleh orang-orang yang mendukung pandangan ini, walaupun kami yakin bertentangan dengan hati nuraninya. Utamanya dari birokrasi, seperti sekda Kota Baubau Bapak Suhufan. Hal ini dikuatkan oleh Asisten III Konstantinus Bukide yang mengatakan Walikota adalah Representasi Penggati Sultan, tetapi beliau tidak mengaku telah melontarkan kalimat ini. Beliau mengaku bahwa hanya mengatakan Walikota selalu direpresentasikan sebagai Sultan. Sekarang yang menjadi pertanyaan dapatkah Walikota sebagai representasi Sultan? Kalau ini benar pantas saja pemerintah kota menyematkan semua atribut Sultan kepada Amirul dan Nur Alam termasuk tempat duduk Sultan saat sholat jum’at di Masjid Agung Keraton Buton. Dengan demikian masyarakat tidak perlu heran kalau ini terjadi, tapi masyarakat punya hak untuk menyuarakan pendapatnya dan juga wajib memelihara simbol-simbol budaya jika pemerintah tidak berkeinginan untuk memeliharanya.

Pantaskah Walikota merepresentasikan Sultan?, Sultan pada dasarnya adalah Khalifatu Khamis yang merupakan amirul mu’minin. Sekarang jika dikatakan sebagai representasi Sultan apakah Walikota pemimpin negeri ini? Bukankah Kesultanan Buton yang dulu saat ini wilayahnya terbagi atas Kota dan beberapa Kabupaten yang di jabat oleh seorang Walikota dan beberapa orang Bupati?. Yang merupakan reprensentasikan Sultan apakah Walikota Baubau?, Sultan Woliokah atau Sultan Buton?. Atas dasar apa ? lagi pula diatas Walikota masih ada Gubernur dan diatas Gubernur masih ada Presiden? Siapa sebenarnya yang tepat merepresentasikan Sultan? Walikota, Bupati, Gubernur, atau Presiden kah? Sementara di zaman Kesultanan, Sultan merupan Top Leader, tak ada jabatan di atas Sultan. Jadi representasi ini tidak tepat. Ini lebih tepat dikatakan salah alamat dan tidak tepat sasaran. Apa lagi dengan alasan seperti yang dikatakan pak Konstantinus untuk memelihara budaya leluhur agar tidak terlupakan, tanpa representasi inipun budaya leluhur tetap terpelihara. Ini juga merupakan komentar yang sama sekali tidak beralasan.

Apa yang dikatakan oleh Asisten III kota Baubau : “Setahu saya dalam melaksanakan shalat jum’at itu tidak dibeda-bedakan dimata Allah kan sama, nah falsafah Buton juga mengatakan Ndaindamo Sara Somanamo Agama. Jadi saya kira tidak ada budaya yang dilecehkan”. Kalau toh Konstantinus memahaminya demikian tak ada perbedaan dalam shalat Jum’at kenapa kita sebagai masyarakat umum atau para pejabat tidak bisa mengisi tempat duduk para Khatib atau Moji di saff awal? Katanya tidak dibeda-bedakan, toh kalau ini kita lakukan dianggap telah mencederai budaya masyarakat Buton. Atau beberapa jum’at yang akan datang kita nyerobot saja tempat duduk moji dan khatib masjid Agung Keraton Buton dengan alasan pak Asisten III telah menyampaikan dalam shalat jum’at tak ada perbedaan di mata Allah. Jika terjadi hal demikian maka Konstantinus harus bertanggungjawab. Beliau juga menggunakan falsafah Ndaindamo Sara Somanamo Agama juga tidak tepat dengan konteksnya. Hingga akan menimbulkan salah pemahaman bagi masyarakat.

Bapak Sekot Baubau juga mengatakan: “Pada dasarnya tempat itu dipersiapkan untuk kaogesa dalam hal ini seorang pemimpin, Nah sekarang sudah tidak ada Sultan, maka siapapun pemimpin datang di Baubau boleh duduk disitu. Kalau memang tidak ada pemimpin yang pantas duduk disitu hanya mokimu”. Pernyataan ini pula bertentangan dengan apa yang dipahami oleh Sara Kidhina, melalui konfirmasi kami kepada dua orang Tungguna Aba yakni Maa Yurifal dan Maa Fuadhi mereka mengatakan tidak memberikan keluasan Gubernur untuk duduk ditempat itu karena itu hanya untuk Sultan Buton bukan yang lain.Yang menjadi pertanyaan pemahaman Suhufan kah yang benar atau pemahaman Sara Kidhina? Sesuatu yang sangat membingungkan, lembaga adat yang resmi saja seperti Sara Kidhina sudah mengatakan hal ini tidak pantas sementara pemkot menganggap hal ini boleh-boleh saja. Pantas saja pemkot mengadakan interfensi terhadap Sara Kidina dengan memberi kesempatan kepada Gubernur untuk duduk di tempat shalat Sultan. Padahal Sara Kidhina sudah membentangkan sajadah disaf awal untuk Gubernur dan rombongan, apa ini bukan itervensi?. Semestinya Pemerintah Kota harus bertanggung jawab terhadap peristiwa ini, jangan hanya saling melempar bola. Bukan Sekotlah yang menyurulah, oknum tetentulah. Coba tujukanlah sikap-sikap yang menujukan kewibawaan dan tanggung jawab pemerintah. Inipula merupakan gambaran sitem birokrasi daerah ini yang carut marut.


Kini jelas buat kita semua tempat ini disiapkan untuk Sultan bukan yang lain. Dahulu memang diisi oleh mokimu jika Sultan tidak datang shalat di Masjid Agung Keraton Buton tetapi ini telah diatur dengan ketat oleh adat. Hal ini juga tidak sejalan dengan pernyataan Konstantinus yang mengatakan Amirul merupakan representasi Sultan, jika Amirul merupakan representasi Sultan maka kenapa yang mengisinya adalah Nur Alam? Ataukah Amirul sebagai represntasi Sultan gugur ketika Nur Alam datang ke Buton? Dan akan kembali dengan sendirinya pada Walikota jika Gubernur telah meninggalkan Buton. Bagaimana pula jika yang datang itu presiden? Kalau konsep seperti ini yang dianut maka budaya negeri ini akan carut marut, tidak konsisten. Kita semestinya belajar banyak dari berbagai tempat di nusantara. Bagaimana Ternate menjaga budayanya, saff awal di masjid Kesultanan Ternate yang disipkan untuk Kesultanan Buton tak pernah diisi jika tidak ada utusan dari Kesultanan Buton. Ternate menghargai Buton, tapi apa yang terjadi Buton tidak dapat menghargai diri sendiri. Amat menyedihkan.

Suhufan juga menuturkan “Terkait pakaian yang dipakai Gubernur dan Walikota dibuat untuk dipakai bukan untuk dipajang. Menurutnya masyarakat Buton harus bangga sebab budayanya harus diangkat dan dilestrikan. Kalau pakaian itu hanya disimpan tidak dipakai bagaimana orang tau kalau seperti itu baju adat kita. Kalau ini dipersoalkan, saya kira ini merupakan hal yang diadaadakan”. Taukah Suhufan pakaian apa yang dikenakan oleh Gubernur dan Walikota? Apakah itu hanya sekedar pakaian adat? Itu adalah pakaian seorang Sultan, tak ada orang lain yang menggunakan atribut ini, dilengkapi pula dengan tongkat. Mari berpikir yang jernih, pantaskah Walikota dan Gubernur memakai pakaian ini? mari kita mengambil contoh dekat pada masyarakat Buton. Pakaian samasili Kumbaea khususnya bagi para ibu-ibu yang menghadiri acara posuo atau nikahan yang dikenakan oleh golongan kaomu tapi tidak dipakai untuk walaka. Apa yang terjadi jika dipakai oleh ibu-ibu dari turunan walaka? Tentunya kaomu akan protes, karena tidak dilegitimasi oleh budaya. Beginilah cara masyarakat memilihara budayanya. Lalu apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Baubau untuk memelihara tatanan budaya Buton? Apakah dengan cara menyematkan sembarangan atribut bagi orang-orang yang tidak tepat?

Budaya itu mestinya dipertahankan tidak hanya diperkenalkan kepada masyarakat luas tanpa harus konsisten dengan aturan-aturan yang melekat padanya. Jadi jika kita ingin mempertahankan budaya maka harus konsisten sesuai aturan mainnya tidak hanya asal mempertahankan yang nantinya kehilangan esensi. Kalau begini pandangan pa Suhufan hanya ingin memperkenalkan dan tidak mengikuti aturan mainya jelas esensi budaya itu sendri tak dapat dipertahankan melainkan difahami bebas untuk digunakan sekehendak dan sesuai keinginan dan kepentingan. Maka dengan sendirinya budaya itu menjadi tak sakral dan kehilanagan esensi. Sebagai bahan perbandingan tak ada orang seberani Gubernur dan Walikota yang mengenakan pakaian Sultan. Suharto, Harmoko bahkan Gubernur Ali Mazi tidak pernah disematkan kepada mereka pakaian Sultan Buton. Ataukah ini bukti Walikota sebagai pengganti atau represntasi Sultan? Siapakah yang merepresntasikan Sultan, Walikota atau Gubernur? Kalau Walikota kenapa Gubernur menggunakannya pakaian Sultan juga? Atau kah keduanya representasi Sultan karena keduanya menggunakan atribut-atribut Sultan Buton? Inilah fenomena carut marutnya budaya Buton. Singkatnya orang Buton tak dapat memelihara budayanya sendiri. 

Menurut Safulin, seorang khatib Masjid Agung Keraton Buton, mengatakan bahwa pakaian yang dipakai Nur Alam bukan corak pakaian Sultan, dan Pakaian Sultan seperti termuat dalam salah satu head lines dalam surat kabar lokal yang dimuat tgl 7 Mei 2011. Malah dipakai Nur Alam menjadi kebanggaan bagi masyarakat Buton. Dan Saudara Ali Arham sebagai Kabid Nilai Budaya, Keseniandan Purbakala mengatakan saya hanya menyampaikan apakah bisa sholat disana (masjid Keraton Buton) dan Gubernur diperbolehkan katanya.
Apa yang dikatakan oleh Bapak Safulin adalah kebohongan besar, terkesan saudara Safulin tidak memahami hal ini. Taukah saudara Safulin, lepi-lepi dan bewe patawala yang digunakan serta jubah hitam dan tongkat berkepala emas, apakah bukan pakaian Sultan? Safulin sangat tidak memahami budaya, kami sarankan agar Safulin sebagai khatib Masjid Agung Keraton Buton banyak-banyak belajar budaya Buton. Pernyataan Safulin ini sangat tidak mencerminkan sebagai perangkat Masjid Agung Keraton Buton dan sekaligus mencoreng nama baik Sara’ Kidhia. Sebaiknya Safulin mengundurkan diri dari Khatib Masjid Agung Keraton Buton karena apa yang dikatannya di media massa sangat tidak mencerminkan sebagai khatib yang sarat dengan pengetahuan budaya. Perlukah kami harus menunjukan foto-foto dari Oputa yi Malige dan Oputa yi Baadia yang pernah menggunakan pakaian ini? Sungguh pernyataan Safulin sangatlah tidak berdasar, amatlah memalukan jika ada orang tidak paham dengan hal ini mau berbicara tentang pakaian Sultan sementara Safulin sendiri tidak paham. Sedangkan pernyataan Ali Arham bertentangan dengan keterangan resmi yang kami peroleh dari Sara’ Kidhina, menurut Sara’ Kidhina Saudara Ali Arham meminta izin agar Gubernur dapat sholat di tempat Sultan. Pernyataan siapa yang benar? Ali Arhamkah? Atau Sara’ Kidhina? Kami menghimbau mari kita jujur pada masyarakat Buton. Apa jadinya bila Buton dibangung dengan cara seperti ini.

Akhirnya kami menghimbau kepada masyarakat Buton secara keseluruhan untuk mempertahankan seluruh simbol-simbol budaya yang kita milki. Jangan kita menjualnya terlalu murah, dan jangan pula kita menyematkannya pada sembarang orang hanya karena demi kepentingan politik, karena kita sudah memilki tatanan dan aturan main. Begitu pula dengan para pengambil kebijakan tanya hati nurani anda semua, apakah anda tidak sadar dengan apa yang anda ucapkan dan yang anda telah lakukan? Tanya hati nurani anda, apa ini merupakan sesuatu yang benar, tidak melenceng dari tatanan budaya Buton? Sadarlah wahai para pengambil kebijakan. Jangan persalahkan kami selaku masyarakat Buton dari empat bharata dan 72 kadie untuk melakukan aksi dengan gelombang yang lebih beasar lagi dalam memelihara simbol-simbol budaya Buton. Masyarakat tidak akan diam, kami terus akan berjuang menentang arogansi pemerintah yang bertindak sewenang-wenang terhadap simbol-simbol budaya Buton.*****


Sumber : 

 http://www.facebook.com/home.php?sk=group_205454282815345&ap=1#!/home.php?sk=group_196514377036944&notif_t=group_activity