Opinion Peblika

Opinion Peblika
Suasana Foto Galian Tanah Tambang C Tanpa Melalui SRKL dan AMDAL di Wakatobi

Senin, 09 Mei 2011

DI INDONESIA CUKUP LIMA PARTAI POLITIK SAJA .....!!"

Oleh : Ali Habiu


 La Ode Muhammad Ali Butuni




Dalam refleksi menyambut hari peringatan perlemen kita DPR Ri ke 65 hari ini senin tanggal 30 Agustus 2010, perlu dibarengi dengan perubahan sistem perpolitikan di Indonesia. Para anggota DPR Ri yang direkrut dari berbagai asal partai pada Pemilu 2009 lalu adalah merupakan refresentasi dari para politisi-politisi indonesia yang dipercaya oleh rakyat untuk mewakili aspirasi dan permasalahan bangsa di perlemen. permasalahan bangsa indonesia saat ini dperhadapkan kepada masalah yang amat pelik dan sudah dalam ujung tanduk kehancuran sebuah negara yang begitu besar dengan terdiri dari puluhan ribu pulau dan berbagai ragam ethnis budaya yang mendiaminya yang saat ini rakyat sudah tidak lagi merasakan keadilan dan persatuan kebangsaan sebagai akibat dari ulah dan tingkah laku politik yang di ciptakan oleh wakil-wakil rakyat yang duduk di parlemen sehingga tidak ada lagi yang mampu mengontrol pola kepemimpinan pemerintahan eksekutif yang cenderung liberalistis dan kapitalistis.
Bangsa Indonesia sesuai dengan pengalaman tata negara indonesia pernah mengalami momentum sama seperti yang di alami oleh bangsa saat ini, yaitu ketika mulai tahun 1953 sampai 1959 negara menganut multi partai dengan jumlah partai sebanyak 28 dan ternyata setelah dievaluasi oleh pemerintahan Soekarno-Hatta pada tahun 1959, multi partai di indonesia saat itu tidak membawa kemudharatan, malah sebaliknya membawa malapetaka dan kehancuran sosial.
Adapun jumlah partai saat itu sesuai UU NO.7/1953 adalah sebagai berikut (sumber buku Tata Negara Indonesia, dengan Prakata Soetjipto, (1960 : 170-171) :
1. Partai nasional Indonesia (PNI)
2. Partai masjumi
3. Partai Nahdatul Ulama
4. Partai Komunis Indonesia (PKI)
5. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
6. Partai keristen Indonesia (parkindo).
7. Partai Khatolik.
8. Partai Sosialis Indonesia (PSI).
9. Partai Islam PERTI (Persatuan Tarikat islam).
10.Partai IPKI (Ikatan Pemuda Komunis Indonesia).
11.Parta Gerakan Pembela Panca Sila (GPP).
12.Partai Rakyat Nasional (PRN).
13.Partai Pembela Persatuan Republik Indonesia (PPRI).
14.Partai Murba.
15.Partai Buruh.
16.Partai Rakyat Indonesia (PRI)
17.Partai Republik Indonesia Merdeka (PRIM)
18.Partai A K U I.
19.Partai A C O M A.
20.Partai Politik Tharikat Islam (PPTK).
21.Partai Persatuan Rakyat Desa.(PRD).
22.Partai R.Soedjono al.Prawiro Soedarso.
23.Partai P.I.R Wongso.
24.Partai P.I.R Hazairin.
25.Partai Permai.
26.Partai BAPERKI.
27.Partai Gerakan Indonesia Raya (GRINDA)
28.Partai Persatuan Daya.

Pada tanggal 29 September 1955 diadakanlah Pemilihan Umum di seluruh Indonesia untuk memilih anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Dan kemudian disusul dengan pemilihan umum untuk anggota-anggota konstituante yang dilangsungkan pada tanggal 15 Desember 1955.
Pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia memperebutkan 257 kursi dan pada waktu itu kursi yang tebanyak diraih oleh Partai PNI=57 kursi, Partai Masjumi=57 Kursi, Partai Nahdatul Ulama=45 Kursi dan Partai Komunias Indonesia=39 kursi, sedangkan yang lainnya paling tinggi 8 kursi diperoleh Partai Syarikat Islam Indonesia dan Partai keristen Indonesia.

I. Manifesto Politik Republik Indonesia
Manifesto Pilitik ini dikeluarkan oleh Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia tentang perincian manifesto Politk republik Indonesia 17 Agustus 1959 sebagai Garis-Garis besar Haluan Negara merupakan perwujudan dari pada Dekrit 5 Juli 1959 yang pada hakekatnya hal ini muncul akibat dari kondisi sosial politik dan stabilisasi kehidupan bangsa dan negara mengalami degradasi akibat dari tidak efektifnya pelaksanaan multi partai di Indonesia, sehingga garis-garis pokok perjuangan yang tertuang dalam "revolusi indonesia" sebagaimana amanah undang-undang dasar 1945 dan Panca Sila sudah mulai banyak yang melenceng dari haluan negara.

Oleh karena itu Bung Karno secara tegas dalam satu bagian yang tertuang dalam pidato Manifesto Politik 17 ASgustus 1959, dikatakan bahwa :

,,Rakyat dimana-mana dibawah kolong langit ini, tidak mau ditindas oleh bangsa-bangsa lain, tidak mau dieksploitir oeh golngan-golongan apapun, meskipun golongan itu dari bangsanya sendiri.

,,Rakyat dimana-mana dibawah kolong langit ini menuntut kebebasan dari kemiskinan, dan kebebsan dari rasa takut, baik yang karena ancaman didalam negeri, maupun yang kerena ancamana dari luara negeri.

,,Rakyat dimana-mana dibawah kolong langit ini mennuntut kebebasan untuk menggerakkan secara konstruktif ia punya aktiviteit-sosial, untuk mempertinggi kebahagianna individu da kebahagiaan masyarakat.
,,Rakyat dimana-mana dibawah kolong langit ini menuntut kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, yaitu menuntut hak-hak yang lazimnya dinamakan demokrasi.

,,Tuntutan-tuntutan rakyat Indonesia demikian jugalah!''.
Tuntutan-tuntutan mengenai keadilan sosial, tuntutan kemerdekaan dan kebebasan, tuntutan demokrasi dan lain-lain sebagainya itu., telah membludak secara revolusioner dalam masa generasi kita sesudah melek berpuluh-puluh taun dalam kalbu kita ;laksana api dalam sekam, dan tuntutan-tuntutan rakyat indonesia inipun harus dijalani secara membludak revolusioner.......

Bungkarno dengan gagah perkasa dalam pidato "Penemuan Kembali Revolusi Kita" pada tanggal 17 Agustus 1959, mengatakan bahwa ada 7 modal nasional yang dimiliki bangsa Indonesia yang bisa menunjang cita-cita perjuangan bangsa, yakni masyarakat adil dan makmur, diantaranya yang ketujuh itu adalah : "kekayaan alam, kekayaan diatas bumi dan kekayaan didalam bumi yang sungguh saya tidak omong kosong ta'ada bandingnya diseluruh dunia ini, ta'ada tandingannya didelapan penjuru angin"

II. Multi Partai di Indonesia setelah Reformasi

I. Dasar Pemikiran
Kemerdekaan berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pikiran dan pendapat merupakan hak asasi manusia yang diakui dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Untuk memperkukuh kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, serta demokratis dan berdasarkan hukum.
Hak asasi tersebut terwujud dalam institusi partai politik. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik[1]mendefinisikan bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa partai politik itu pada pokoknya memiliki kedudukan dan peranan yang sentral dan penting dalam setiap sistem demokrasi. Tidak ada negara demokrasi tanpa partai politik. Karena itu partai politik biasa disebut sebagai pilar demokrasi, karena mereka memainkan peran yang penting sebagai penghubung antara pemerintahan negara (the state)dengan warga negaranya (the citizen).
Indonesia menganut paham paham demokrasi yang artinya kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Yang selanjutnya dijalankan melalui mekanisme pelembagaan yang bernama partai politik. Kemudian partai politik saling berkompetisi secara sehat untuk memperebutkan kekuasaan pemerintahan negara melalui mekanisme pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden.
Dalam demokrasi, partai politik merupakan pilar utama (bukan kedua atau ketiga), karena pucuk kendali roda pemerintahan ada di tangan eksekutif, yaitu presiden dan wakil presiden. Sebagaimana dirumuskan dirumuskan dalam UUD 1945 Pasal 6A ayat (2), bahwa calon presiden dan calon wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Artinya hak itu secara eksklusif─hanya partai politik yang disebut UUD 1945─diberikan kepada partai politik.
Karena itulah, semua demokrasi membutuhkan partai politik yang kuat dan mapan guna menyalurkan berbagai tuntutan warganya, memerintah demi kemaslahatan umum serta memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Sangat rasional argumentasinya jika upaya penguatan partai politik dibangun oleh kesadaran bahwa partai politik merupakan pilar yang perlu dan bahkan sangat penting untuk pembangunan demokrasi suatu bangsa. jadi, derajat pelembagaan partai politik itu sangat menentukan kualitas demokratisasi kehidupan politik suatu negara.
2. Fungsi Partai Politik
Pada umumnya, para ilmuan politik biasa menggambarkan adanya empat fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiardjo, meliputu: (i) sarana komunikasi politik, (ii) sarana sosialisasi politik (political socialization), (iii) sarana rekrutmen politik (political recruitment), dan (iv) pengatur konflik (conflict management). Sementara dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp[7], fungsi partai politik mencakup (i) mobilisasi dan integrasi, (ii) sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting patterns), (iii) sarana rekrutmen politik, dan (iv) sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan.
Dalam UU No. 2 tahun 2008 Tentang Partai Politik, bahwa fungsi Partai Politik adalah sebagai sarana: (i) pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas; (ii) penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat; (iii) penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat; (iv) partisipasi politik warga negara Indonesia; dan (v) rekrutmen politik.
Kesemua fungsi partai politik tersebut sama-sama terkait satu dengan yang lainnya. Sebagai sarana komunikasi politik, partai berperan sangat penting dalam upaya mengartikulasikan kepentingan atau political interests yang terdapat atau kadang-kadang tersembunyi dalam masyarakat. Berbagai kepentingan itu diserap sebaik-baiknya oleh partai politik menjadi ide, visi, dan kebijakan partai politik yang bersangkutan. Setelah itu, ide dan kebijakan atau aspirasi kebijakan itu diadvokasikan sehingga dapat diharapkan mempengaruhi atau menjadi materi dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara.
Terkait dengan komunikasi politik itu, partai politik juga berperan penting dalam melakukan sosialisasi politik. Ide, visi, dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik disosialisasikan kepada konstituen untuk mendapatkan feedback berupa dukungan dari masyarakat luas. Terkait dalam sosialisasi itu partai juga berperan sangat penting dalam rangka pendidikan politik bagi masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Fungsi selanjutnya partai politik adalah sebagai sarana rekrutmen politik. Partai dibentuk memang dimaksudkan menjadi kendaraan yang sah untuk menyeleksi kader-kader pemimpindalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan kesetaraan dan keadilan gender.
Fungsi keempat adalah pengatur dan pengelola konflik. Peranan ini berupa sarana agregasi kepentingan yang berbeda-beda melalui saluran kelembagaan partai politik. Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi pengelola konflik dapat dikaitkan dengan fungsi integrasi partai politik. Partai mengagregasikan dan mengintegrasikan beragam kepentingan itu dengan cara menyalurkannya dengan sebaik-baiknya untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik kenegaraan.
3. Sistem Kepartaian
Dalam demokrasi, partai berada dan beroperasi dalam suatu sistem kepartaian tertentu. Setiap partai merupakan bagian dari sistem kepartaian yang diterapkan di suatu negara. dalam suatu sistem tertentu, partai berinteraksi dengan sekurang-kurangnya satu partai lain atau lebih sesuai dengan konstruksi relasi regulasi yang diberlakukan. Sistem kepartaian memberikan gambaran tentang struktur persaingan di antara sesama partai politik dalam upaya meraih kekuasaan dalam pemerintahan. Sistem kepartaian yang melembaga cenderung meningkatkan stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan.[15]
Untuk melihat sistem kepartaian suatu negara, ada dua pendekatan yang dikenal secara umum. Pertama, melihat partai sebagai unit-unit dan sebagai satu kesatuan yang terlepas dari kesatuan-kesatuan lain. Pendekatan numerik ini pernah dikembangkan Maurice Duverger (1950-an), ilmuwan politik kebangsaan Prancis. Menurut Duverger, sistem kepartaian dapat dilihat dari pola perilaku dan interaksi antarsejumlah partai dalam suatu sistem politik, yang dapat digolongkan menjadi tiga unit, yakni sistem partai tunggal, sistem dwi partai, dan sistem multipartai.[16]
Selain itu, cara lain dapat dijadikan pendekatan yaitu teori yang dikembangkan Giovani Sartori (1976), ilmuwan politik Italia. Menurut Sartori, sistem kepartaian tidak dapat digolongkan menurut jumlah partai atau unit-unit, melainkan jarak ideologi antara partai-partai yang ada, yang didasarkan pada tiga hal, yaitu jumlah kutub (polar), jarak diantara kutub (bipolar), dan arah perilaku politiknya. Sartori juga mengklasifikasikan sistem kepartaian menjadi tiga, yaitu pluralisme sederhana, pluralisme moderat, dan pluralisme ekstrem. Kedua pendekatan ini bisa digunakan untuk melihat sistem kepartain Indonesia di masa lalu, kini, dan mendatang.
4. Penyederhanaan Partai Politik
Sistem kepartaian yang kita bangun haruslah diarahkan untuk terwujudnya sebuah tata kelola sistem pemerintahan presidensil yang didukung oleh jumlah partai yang sedikit di tingkat suprastruktur.
Berkaca pada pengalaman hampir sepuluh tahun paska reformasi, demokrasi Indonesia dengan sistem mulltipartai belum signifikan memberikan harapan bagi pengelolaan tata pemerintahan yang efektif dan efisien. Alasannya karena sistem multipartai telah mengalami perluasan fragmentasi, sehingga mempersulit proses pengambilan setiap keputusan di legislatif. Karena itu, tidak heran bila berbagai pihak mulai mendorong penerapan sistem multipartai sederhana. Persoalannya, bagaimana mendorong proses penyederhanaan partai harus dilakukan?
Alam demokrasi tentu tidak menggunakan larangan secara langsung bagi pendirian partai politik, karena itu hak asasi yang harus dihormati. Pembatasan partai politik dilakukan dengan menerapkan berbagai prosedur sistem pemilu. Secara sah, legal, dan demokratis, sistem pemilu menjadi alat rekayasa yang dapat menyeleksi dan memperkecil jumlah partai politik dalam jangka panjang. Duverger berpendapat, bahwa upaya mendorong penyederhanaan partai politik dapat dilakukan dengan menggunakan sistem distrik. Dengan penerapan sistem distrikdapat mendorong ke arah integrasi partai-partai politik dan mendorong penyederhanaan partai tanpa harus melakukan paksaan. Semetara dalam sistem proporsional cenderung lebih mudah mendorong fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai politik baru. Sistem ini dianggap mempunyai akibat memperbanyak jumlah partai. Dalam sistem distrik, teritori sebuah negara dibagi menjadi sejumlah distrik. Banyaknya jumlah distrik itu sebanyak jumlah anggota parlemen yang akan dipilih. Setiap distrik akan dipilih satu wakil rakyat.
Dalam sistem distrik berlaku prinsip the winner takes all. Partai minoritas tidak akan pernah mendapatkan wakilnya. Katakanlah, dalam sebuah distrik ada sepuluh partai yang ikut serta. Tokoh dari Partai A hanya menang 25%, namun tokoh partai lain memperoleh suara yang lebih kecil. Walau hanya mendapatkan suara 25% suara, distrik itu akan diwakili oleh tokoh partai A. Sembilan tokoh lainnya akan tersingkir.
Metode the winner takes all ini akibatnya menjadi insentif negatif bagi partai kecil. Dalam studi perbandingan, sistem distrik ini memang merangsang partai kecil untuk membubarkan diri, atau menggabungkan diri dengan partai lain, agar menjadi mayoritas. Dalam perjalanan waktu, sistem ini hanya menyisakan dua partai besar saja. Partai kecil lainnya terkubur dengan sendirinya. Kelebihan sistem distrik dalam menyederhanakan jumlah partai karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik (daerah pemilihan) hanya satu, akan mendorong partai-partai untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan dan mengadakan kerjasama. Dengan berkurangnya partai, pada gilirannya akan mempermudah terbentuknya pemerintahan yang stabil dan meningkatkan stabilitas nasional. Selain itu, sistem distrik dapat meningkatkan kualitas keterwakilan karena wakil yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik sehingga hubungan dengan konstituen lebih erat, dan dengan demikian ia akan mendorong untuk memperjuangkan aspirasi mereka. Meskipun diakui sistem distrik diakui dapat menyederhanakan jumlah partai politik, namun untuk saat ini sistem tersebut belum menjadi pilihan bagi Indonesia. Mengingat realitas sosial masyarakat Indonesia yang heterogen sehingga cukup sulit menerapkan sistem distrik. Karena dari golongan-golongan yang ada, golongan minoritas dikhawatirkan tidak terakomodir. Karena itu, pilihan untuk tetap menerapkan sistem proporsional merupakan suatu keputusan yang relevan untuk konteks Indonesia saat ini. Pertanyaannya, apakah dengan menerapkan sistem proporsional jumlah partai politik secara alami dapat terkurangi? Sistem proporsional memiliki mekanisme tersendiri untuk menyederhanakan jumlah partai politik. Penyederhanaan partai politik dalam rangka menghasilkan parlemen dan pemerintahan yang efektif, dalam era reformasi ini perundang-undangan menerapkan Electoral Threshold pada Pemilu 1999 dan 2004, dan terbukti dari 48 partai politik peserta Pemilu 1999 berkurang menjadi 24 partai politik pada Pemilu 2004.
Dalam UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD, Electoral Threshold didefinisikan sebagai ambang batas syarat angka perolehan suara untuk bisa mengikuti pemilu berikutnya. Artinya berapapun kursi yang diperoleh di parlemen, untuk turut kembali dalam pemilihan umum berikutnya harus mencapai angka Electoral Threshold itu. jadi, partai politik yang gagal memperoleh batasan suara minimal berarti gagal untuk mengikuti pemilu berikutnya.

II. Partai – Partai Politik Pemilu Tahun 1971, 1977-1999, 2004 dan 2009
A. Partai Politik Pada Pemilu tahun 1971 diikuti oleh 10 kontestan, yaitu:
1. Partai Katolik
2. Partai Syarikat Islam Indonesia
3. Partai Nahdlatul Ulama
4. Partai Muslimin Indonesia
5. Golongan Karya
6. Partai Kristen Indonesia
7. Partai Musyawarah Rakyat Banyak
8. Partai Nasional Indonesia
9. Partai Islam PERTI
10. Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
B. Partai Politik Pemilu 1977-1997, diikuti oleh 3 kontestan, yakni :
1. Partai Persatuan Pembangunan
2. Golongan Karya
3. Partai Demokrasi Indonesia
C. Partai Politik Pemilu tahun1999, diikuti oleh 48 kontestan, yaitu :
1. Partai Indonesia Baru (PIB)
2. Partai Keristen Nasional Indonesia (PKNI)
3. Partai Nasional Indonesia-Supeni (PNI_Supeni)
4. Partai Aliansi Demokrat Indonesia (PADI)
5. Partai Kebangkitan Muslim Indonesia(PKMI)
6. Partai Ummat Islam (PUI)
7. Partai Kebangkitan Ummat (PKU)
8. Partai Masyumi Baru (PMB)
9. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
10. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)
11. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
12. Partai Abul Yatama (PAY)
13. Partai Kebangsaan Merdeka (PKM)
14. Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB)
15. Partai Amanah Nasional (PAN)
16. Partai Rakyat Demokratik (PRD)
17. Partai Syarikat Indonesia 1905
18. Partai Khatolik Demokrat (PKD)
19. Partai Pilihan Rakyat (PPR)
20. Partai Rakyat Indonesia (PRI)
21. Partai Politik Islam Indonesia Masyumi (PPIIM)
22. Partai Bulan Bintang (PBB)
23. Partai Solidaritas Pekerja (PSP)
24. Partai Keadilan (PK)
25. Partai Nahdatul Ummat (PNU)
26. Partai Nasional Indonesia Front Marhaenis (PNIFM)
27. Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaasn Indonesia (PIPKI)
28. Partai REpublik (PR)
29. Partai islam Demokrat (PID)
30. Partai Nasional Indonesia Masssa Marhaen (PNIMM)
31. Partai Musyawarah Rakyat Banyak
32. Partai Demokrasi Indonesia
33. Partai Golongan Karya
34. Partai Persatuan
35. Partai Kebangkitan Bangsa
36. Partai Uni Demokrasi Indonesia
37. Partai Buruh Nasional
38. Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong
39. Partai Daulat Rakyat
40. Partai Cinta Damai
41. Partai Keadilan dan Persatuan
42. Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia
43. Partai Nasional Bangsa Indonesia
44. Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia
45. Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia
46. Partai Nasional Demokrat
47. Partai Ummat Muslimin Indonesia
48. Partai Pekerja Indonesia

B. Partai Politik Pemilu tahun 2004, diikuti oleh 24 kontestan, yakni :
1. Partai Nasional Indonesia Marhaenisme
2. Partai Buruh Sosial Demokrat
3. Partai Bulan Bintang
4. Partai Merdeka
5. Partai Persatuan Pembangunan
6. Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan
7. Partai Perhimpunan Indonesia Baru
8. Partai Nasional Banteng Kemerdekaan
9. Partai Demokrat
10. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
11. Partai Penegak Demokrasi Indonesia
12. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia
13. Partai Amanat Nasional
14. Partai Karya Peduli Bangsa
15. Partai Kebangkitan Bangsa
16. Partai Keadilan Sejahtera
17. Partai Bintang Reformasi
18. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
19. Partai Damai Sejahtera
20. Partai Golongan Karya
21. Partai Patriot Pancasila
22. Partai Sarikat Indonesia
23. Partai Persatuan Daerah
24. Partai Pelopor
C. Partai Politik Pemilu tahun 2009, diikuti oleh 38 kontestan partai politik nasional dan 6 kontestan partai politik local Aceh, yaitu :
1. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)
2. Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB)*
3. Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI)
4. Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN)
5. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
6. Partai Barisan Nasional (Barnas)
7. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)*
8. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)*
9. Partai Amanat Nasional (PAN)*
10. Partai Perjuangan Indonesia Baru (PIB)
11. Partai Kedaulatan (PK)
12. Partai Persatuan Daerah (PPD)
13. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)*
14. Partai Pemuda Indonesia (PPI)
15. Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNI Marhaenisme)*
16. Partai Demokrasi Pembaruan (PDP)
17. Partai Karya Perjuangan (PKP)
18. Partai Matahari Bangsa (PMB)
19. Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI)*
20. Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK)*
21. Partai Republika Nusantara (RepublikaN)
22. Partai Pelopor*
23. Partai Golongan Karya (Golkar)*
24. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)*
25. Partai Damai Sejahtera (PDS)*
26. Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBK Indonesia
27. Partai Bulan Bintang (PBB)*
28. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)*
29. Partai Bintang Reformasi (PBR)*
30. Partai Patriot
31. Partai Demokrat*
32. Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI)
33. Partai Indonesia Sejahtera (PIS)
34. Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU)
35. Partai Merdeka
36. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI)
37. Partai Sarikat Indonesia (PSI)
38. Partai Buruh

III. Konsistensi Kebangsaan.
Perjalanan kebangsaan Indonesia yang sudah hampir uzur ini tepatnya sudah berjalan 61 tahun amanya sebagai bangsa yang besar, hidup dan tumbuh ditengah-tengah perjuangan yang keras oleh para pendiri negara dan para pahlawan bangsa untuk merebut kemerdekaan bangsa Indonesia 17 Agustus 1945, tak boleh kita lupakan begitu saja. Kita bukan bangsa tempe ataupun bangsa penghianat, sebab kita masih anak-anak bangsa masih sadar sepenuhnya bahwa perjalanan ketatanegaraan Indonesia sejak tahun 1945 sampai dengan runtuhnya rezin Soeharto merupaka suatu pelajaran yang sangat berharga untuk dapat dijadikan proto tipe embrioritas perjuangan kebangsaan saat ini.

Munculnya era reformasi bukan suatu kejadian biasa, namun lebih jauh secara substansi politik kawasan asia raya adalah tak lain merupakan hasil rekayasa tingkat tinggi para intelijen asing khususnya CIA dalam bagaimana cara mereka bisa merebut bangsa Indonesia dibawah kendali tangan mereka melalui penciptaan liberalisme dan kapitalisme. Sejak tahun 1952 Bung Karno sangat mengetahui adanya keinginan Amerika Serikat untuk menguasai Indonesia secara politik ekonomi mengingat sejak tahun 1930-an Amerika Serikat ketika menguasai beberapa bagian wilayah di asia tenggara sudah sangat menginginkan masuk ke Indonesia. Untungnya bangsa ini masih dibawah sistem imperialisme Belanda sehingga keinginan Amerika Serikat untuk menguasai Indonesia terhalang oleh Belanda dan sekutu-sekutunya. Amerika Serikat sangat berkeinginan menguasai Ibu pertiwi mengingat bahwa kekayaan sumber daya alam negeri ini cukup menggiurkan dan merupakan incaran negara super power dan bangsa-bangsa lain di dunia. Oleh karena itu peranan intelijen Amerika Serikat sejak tahun 1950-an terhadap infiltrasi dan indoktrinasi politik sudah di lakukan, untung saja Bung Karno sebagai seorang tokoh yang masih percaya kekuatan supranatural dan para metafisis telah mendapatkan petunjuk-petunjuk dari para ahli kebatinan dalam lingkungan Istana Negara untuk selalu mengwaspadai sepak terjang intelijen CIA.

Soekarno dalam menjalankan sistem politik nasakomnya di Indonesia membonceng kekuatan blok timur mulai dari Uni Sovyet sampai ke Republik Rakyat Cina. Dengan membonceng kekuatan intelijen blok timur inilah, Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya tak dapa leluasa menjalankan politik infiltrasi dan intervensinya ke Bangsa Indonesia walaupun pada akhirnya Bung Karno juga jebol kekuatannya menjelang peristiwa G-30-S PKI karena adanya penghianatan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat dilingkungan pemerintahannya. Pemahaman politik dalam mempertahankan keutuhan bangsa dan negara Indonesia Bung Karno ternyata diam-diam diwariskan ke Soeharto. Siapa yang tak kenal Soeharto sebagai satu-satunya kepala negara dikawasan asia yang paling ditakuti dengan kemampuan strategi toritorial yang diciptakannya dalam melindungi tumpah dara Indonesia. Namun juga akhirnya runtuh menjelan tahun 1996 lalu akibat adanya penghianatan dalam batang tubuh pemerintahannya termasuk juga penghianatan yang muncul dari kalangan para intelektual kita yang memegang lembaga-lembaga perwakilan dari Amerika Serikat, meraka tak sadar telah masuk dalam jebakan sistem infiltrasi intelijen CIA guna menguasai Indonesia.
Maka tercapailah maksud infiltrasi intelijen CIA dalam masa reformasi di Indonesia, tanpa kita sadari sistem multi partai dan sistem pemilihan langsung merupakan hasil rekayasa tingkat tinggi dari operasi intelijen Amerika Serikat. Apa akibatnya bagi negara kita? Sekarang kita hidup berbangsa dan bernegara seperti tak ada lagi kemudi yang tetap, disana sini terjadi perombakan, disana sini terjadi perubahan, namun pada kenyataanya semua perombakan dan perubahan sistem tata negara kita sudah jauh melenceng dari sistem tata negara yang pernah diciptakan oleh para pendiri bangsa ini. Oleh karena itu ternyata sistem multi partai di Indonesia hanya membawa kesengsaraan bagi rakyat kita. Selain itu juga akan membawa kita bermimpin untuk mendapatkan pejabat-pejabat korup baik jajaran pemerintahan maupun legislatif. Mengapa demikian? sebab rakyat Indonesia masih hampir terdapat 74% mengalami hidup dengan kemiskinan, sehingga pada saat pemilihan umum, pemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif suara mereka, hati nurani mereka masih bisa dibeli dengan rupiah dengan cukup 50 ribu, 100 ribu bahkan 300 ribu perkepala. Bahkan  unsur-unsur petugas pelaksana KPUD sampai ke PPS bisa juga di beli dengan rupiah. Akibatnya suara rakyat di Indonesia tergadaikan. Suatu kenyataan ironis  terjadi saat ini yang menghasilkan pemimpin-pemimpin asal jadi dengan tidak memiliki kematangan politik, inteletual dan pengalaman yang baik. Pada akhirnya sistem pemilihan langsung ini akan menghasilkan para pemimpin yang asal muasalnya  keturunannya tidak jelas, bahkan  bisa dari kalangan yang memiliki genetikal perompak, bajak laut, PKI, bahkan penghianat bangsapun...,bisa terpilih oleh rakyat kita.  Inilah dampak-dampak yang harus diterima oleh negeri ini akibat dari sistem pemilihan langsung di Indonesia  yang mana hanya mereka para calon pemilu yang memiliki uang dan memiliki kekayaan yang bisa meraih suara terbanyak. Maka dengan demikian suara rakyat miskin dapat dibeli di Idonesia.  Sungguh suatu keadaan yang ironis dan mengharukan nama besar bangsa ini....
Para tokoh masyarakat, para politisi, para intelektual kampus, para stake holder yang mengelola lembaga non goverment, para legislator  kian terjebak setelah masa reformasi. Dianggapnya masa reformasi adalah era kekebasan berdemokrasi sebebas-bebasnya dengan ikut merujuk referensi negara-negara lain, bahkan era reformasi dijadikan sebagai wahana balas dendam atas rezim soeharto yang mengekang kehidupan politik rakyat terbelenggu. Itu kata mereka  dari sebagian tokoh  yang mengatasnamakan suara rakyat dengan lantang tanpa rasa miris sedikitpun  menginginkan perubahan tatanan kehidupan bangsa dan negara berubah. Tanpa mereka sadari bahwa merubah suatau tatanan kebangsaan itu tidak semudah membalik telapak tangan, mengandung resiko hebat dan ketidak pastian yang  pada akhirnya akan menerpa sistem ketata negaraan yang selama ini sudah berjalan baik dan tertib. Tanpa mereka sadari bahwa tuntutan mereka itu merupakan pola-pola indoktrinasi hasil rekayasa tingkat tinggi para intelijen asing khususnya CIA untuk merusak dan melemahkan sistem pemerintahan di indonesia. Dan barulah sekarang mereka sebagian telah sadar, namun sudah terlambat. Dimana-mana saat ini dalam sistem tata negara kita sudah mengalami kritisasi baik ditingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi sampai ke tingkat pusat. Apa yang patut kita banggakan saat ini dalam melihat tatanan pemerintahan yang ada saat ini, dimana-mana kita memiliki kelemahan. para pejabat, para pengolah negara sudah kebanyakan tidak konsisten lagi dengan amanah kerakyatan, mereka saat ini lebih cenderung untuk memperkaya diri masing-masing. Sistem intelijen negara kita juga semakin lemah yang tadinya diharapkan melalui kerja mereka dapat mengontrol kinerja pejabat dan sistem pertahanan dan keamanan negara. Kelemahan ini muncul sebagai akibat dari adanya tekana-tekanan politik dari dalam parlemen yang tidak menginginkan perananan intelijen negara aktif sebagaimana masa soeharto. Maka muara dari itu semua muncullah Multi Partai. Pemunculan multi partai ini digagas dengan mulus oleh para intelektual dan politisi kita mulai dari perlemen hingga luar perlemen. Mereka dengan menjual "atas nama rakyat" dan "atas nama demokrasi" menciptakan berbagai corak warna dan nama partai-partai baru. Padahal tanpa mereka sadari bahwa Multi Partai di Indonesia pernah ada dan pada akhirnya gagal karena setelah disimpulkan ternyata Multi Partai ketika itu (1951-1959) hanya membawa kesengsaraan rakyat,  stabilisasi nasional terancam dan menguntungkan segelintir orang-orang tertentu saja yang punya kapital dan dekat dengan kekuasaan.
Pidato Bung Karno pada Manifesto Politik 17 Agustus 1949, menyebutkan bahwa : Kepribadian bangsa Indonesia ialah "Gotong Royong"  Panca Sila adalah penjelmaan kepribadian bangsa Indonesia.  Maka jika Panca Sila itu "diperas" menjadilah ia "Tri Sila" , yakni : Ketuhanan, Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi.  dan jika "Tri Sila" ini "diperas" lagi menjadilah ia "Eka Sila", yakni Gotong Royong". Gotong Royong disini adalah tidak statis seperti kekeluargaan saja, namun lebih jauh Gotong Royong yang dinamis yang berkarya, hacancut-taliwanda, Gotong Royong ,,Holopis-Kuntul-Baris".

 Pemahaman Gotong Royong ini, kemudian dimasa Soeharto dimaknai dengan perwarnaan sistem perpolitikan negara, yakni sejak tahun 1973 ditetapkanlah cukup tiga partai di Indonesia, yakni : Ketuhanan (PPP), Sosio Nasionalisme (Golkar) dan Sosio Demokrasi (PDI) dengan masing-masing partai berazaskan : azas tunggal yakni Panca Sila dan UUD-45.

Dalam mencermati kondisi sistem politik, sosial, budaya dan kemasyarakatan bangsa dan negara Indonesia maka Partai Politik cukup paling banyak 5 (lima) partai saja. Dengan berdasarkan pengalaman sejarah dan tatanan yang telah tercipta dalam konvensi negara, maka partai-partai tersebut dimaksudkan adalah : PPP. PDIP, P.Golkar, Partai DEmokrat untuk menampung aspirasi golongan pembaharu dan Partai Nasional Demokrat untuk menampung golongan-golongan baik agama atau komunitas yang tidak tertampung dalam 4 partai tersebut. Wallahu a'lam..., ini menurut analisis pandangan kami sebagai warga negara indonesia****


Tidak ada komentar: