Opinion Peblika

Opinion Peblika
Suasana Foto Galian Tanah Tambang C Tanpa Melalui SRKL dan AMDAL di Wakatobi

Rabu, 21 Desember 2011

FENOMENOLOGI SEBAGAI SUATU SIKAP HIDUP : "SELAYANG PANDANG MENGENAI FENOMENOLOGI EDMURD LUSSER dan MARTIN HEIDEGGER


Makalah Presentasi untuk Diskusi di Komunitas “Pergerakan Kebangsaan” 27 Nopember 2011

Oleh: Ito Prajna-Nugroho, S.S[i]

Pengantar: Problem Modernitas sebagai Titik Tolak
Dalam dunia kehidupan sehari-hari, kita larut dan hanyut dalam berbagai kesibukan dunia modern: mulai dari kerja rutin di kantor, memakai kompor dan listrik di rumah, memakai mobil dan motor, jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, asyik berkutat dengan perangkat teknologi-komunikasi termutakhir, sampai ikut berpartisipasi dalam debat politik terkini tentang demokrasi. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa saat ini modernitas dan teknologi telah menjadi totalitas horizon yang melingkupi seluruh hidup kita, dan darinya tidak dapat kita lepas. Tetapi di tengah-tengah semua hingar-bingar hidup modern itu kita perlu sedikit bertanya: Apakah semua hal yang sekarang kita geluti-hidupi sehari-hari itu muncul dan terjadi begitu saja? Apakah dunia modern itu begitu berkuasa sehingga kita tidak bisa lain kecuali tertawan-tersandera dalam horizonnya yang total? Ataukah sebenarnya modernitas itu sendiri sebenarnya tidak lebih dari sebuah cara-pandang dunia tertentu, sebuah model tertentu tentang cara berada manusia, yang juga memiliki sebab-musabab serta asal-usulnya?
Jika kita melangkah sedikit lebih jauh ke dalam sejarah pemikiran manusia (sejarah filsafat) sejak Zaman Antik-Klasik sampai dengan Zaman Modern, dengan segera kita akan melihat bahwa apa yang terealisasikan dalam hidup praktis sehari-hari manusia ternyata pada mulanya berasal dari dunia ide-ide dan gagasan. Idea atau gagasan yang menjelma menjadi realitas inilah yang telah membentuk peradaban bangsa-bangsa dan menggerakkan jalannya sejarah umat manusia. Demikian juga munculnya revolusi industri, kemajuan teknologi, dan system demokrasi-liberal, semuanya tidak lepas dari cara-pandang dunia modern yang muncul di antara abad ke 16 sampai abad ke 18, lewat pemikiran para filsuf seperti Francis Bacon, Berkeley, René Descartes, John Locke, dan Immanuel Kant. Sebagai sebuah reaksi serta kritik-radikal terhadap cara-pandang dunia sebelumnya yang Teosentris (Abad Pertengahan), Zaman Modern menekankan pada kebebasan, otonomi, dan rasionalitas manusia yang khas sebagai individu. Penekanan pada kekhasan manusia sebagai makhluk individual yang rasional dan otonom, inilah yang disebut sebagai cara-pandang dunia modern yang Antroposentris. Segala problematika hidup sehari-hari yang kita geluti saat ini, mulai dari problem tatanan politik trias-politica sampai dengan telpon genggam yang kita pakai, memiliki asal-usulnya di dalam antroposentrisme Zaman Modern dan memperoleh nafasnya dari cita-cita kemajuan Modernisme.
Apa yang pada mulanya adalah gagasan tentang kemajuan manusia yang rasional, setelah menjelma menjadi realitas aktual yang massif-global, ternyata membawa begitu banyak dampak yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya. Apa yang pada mulanya merupakan kisah indah tentang rasionalitas, otonomi, dan kebebasan manusia, ternyata justru berakhir dengan tragedi tentang irrasionalitas, kedangkalan (banalitas) hidup, dan ketergantungan manusia pada teknologi. Inilah yang oleh seorang tokoh Aliran (Mazhab) Frankfurt di tahun 1960an, yaitu Max Horkheimer, disebut sebagai dilemma manusia rasional. Artinya, manusia yang rasional itu dengan semakin berambisi mewujudkan rasionalitasnya, alih-alih menjadi semakin rasional justru sebaliknya malah menjadi semakin tidak-rasional (irrasional). Modernitas ternyata tidak membuat manusia menjadi semakin bebas dan utuh, melainkan justru menjadikan manusia semakin terserak-serak, tanpa-makna, dan begitu tergantung dengan teknologi.
Jauh sebelum Mazhab Frankfurt lewat tokoh seperti Horkheimer, Adorno, dan Habermas, merumuskan problem dunia modern, di awal abad ke-20 (sekitar tahun 1900-1920) dua orang pemikir besar Jerman telah melihat potensi ‘bahaya’ yang terkandung dalam cara-pandang dunia modern. Kandungan bahaya yang melekat di dalam cara-pandang modern inilah yang membuat dua pemikir tersebut menggagas apa yang disebut sebagai Fenomenologi. Fenomenologi, bagi kedua pemikir ini merupakan sebuah terobosan (breakthough) untuk keluar dari keterbatasan jerat kungkungan cara-pandang modern yang bahkan di saat itu telah berpengaruh dengan begitu kuatnya dalam mentalitas manusia modern. Kedua pemikir besar sekaligus fenomenolog itu tidak lain adalah Edmund Husserl (1850-1938) dan Martin Heidegger (1889-1976). Melalui Edmund Husserl dan kemudian diteruskan oleh Martin Heidegger, dapat dikatakan bahwa fenomenologi untuk pertama kalinya tampil sebagai kritik sistematis terhadap Modernisme dengan bertolak dari dalam asumsi-asumsi dasar modernisme itu sendiri. Lewat Husserl dan Heidegger fenomenologi berhasil menunjukkan jalan keluar serta membuka berbagai ruang kemungkinan untuk bergerak melampaui kungkungan dunia modern.
Persoalan Dasar (Grundprobleme) dalam Fenomenologi Husserl dan Heidegger
a. Persoalan Dasar dalam Fenomenologi Husserl
Pada 1900/01 di Jerman terbit suatu karya filsafat yang cukup tebal (2 jilid) yang menyuntikkan semacam nafas baru bagi dunia filsafat dan kebudayaan ketika itu. Karya itu adalah buku Edmund Husserl berjudul Logische Untersuchungen (Penyelidikan-penyelidikan Logika). Sejak terbitnya karya itu, dunia filsafat tidak lagi dengan sebelumnya. Bahkan di Jepang, karya itu segera diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang di tahun 1920. Hampir seluruh pemikir besar di abad ke-20, khususnya para pemikir Jerman dan Prancis, dari yang berposisi politik kiri/Marxis (seperti Karl Löwith, Theodor Adorno, Jürgen Habermas, dan Jean-Paul Sartre) ataupun berposisi politik kanan (seperti Carl Schmitt, Heidegger, dan Ernst Jünger), maupun para pemikir besar kontemporer lainnya (Max Scheler, Karl Jaspers, Hans Jonas, Jan Patôcka, Emmanuel Levinas, Hannah Arendt, Merleau-Ponty, Jacques Derrida), semuanya pernah membaca, mengritik, dan mendalami fenomenologi Husserl.
Kekhasan fenomenologi Husserl terletak dari ketajamannya dalam memperlihatkan dua hal penting: 1) ketajaman Husserl dalam menunjukkan akar permasalahan yang terdapat dalam dunia modern dan ia menembak persis pada asal-muasal munculnya persoalan itu, yaitu: kesalahpahaman dalam memahami sifat dasar dunia dan sifat dasar manusia; 2) ketajaman Husserl dalam memperlihatkan kemungkinan jalan keluar dari segala permasalahan modern tersebut, yaitu melalui apa yang disebutnya sebagai sikap fenomenologis di hadapan realitas.
Dalam buku Logische Untersuchungen (Penyelidikan-penyelidikan Logika) dan Philsophie als strenge Wissenschaft (Filsafat sebagai ilmu yang ketat-rigorus), Husserl memperlihatkan apakah sebetulnya akar/pokok persoalan dari seluruh modernisme. Husserl melihat bahwa Filsafat Modern terjebak ke dalam pembedaan kategoris yang salah-kaprah antara Subjek dan Objek.
Di satu sisi, bagi Husserl Filsafat Modern mengalami gerak subjektivisasi yang kemudian kebablasan. Maksudnya, bagi Husserl Filsafat Modern merupakan sebuah penggelembungan subjektivitas manusia yang kemudian dikemas dengan konsep-konsep seperti ‘rasio’ dan ‘subjek’. Dalam pandangan Husserl, seluruh gerak pemikiran modern sejak Descartes sampai dengan Hegel dan juga John Stuart Mill tidak lain merupakan gerak psikologisasi (subjektivisasi) terhadap seluruh realitas, dan kemudian mendudukkan manusia sebagai Subjek Rasional di atas segala-galanya sebagai pusat seluruh realitas (pengetahuan). Pandangan Husserl ini menjadi dasar baginya untuk menyebut Filsafat Modern sebagai Psikologisme. Psikologisme menjadikan manusia yang sadar itu sebagai awal dari segala sesuatu, dan kemudian seluruh realitas itu pada akhirnya akan kembali kepada kesadaran manusia sendiri. Inilah semangat optimisme modern yang bermaksud menegakkan kedudukan manusia sebagai manusia, namun terjebak ke dalam pemutlakkan atas manusia dan rasionya.
Di sisi lain, Modernisme melepaskan alam dari daya magis-religius-spiritualnya, dan kemudian melihat alam semata-mata sebagai Objek yang dapat dikuasai serta ditundukkan oleh nalar (rasio) manusia. Pandangan Modern yang melihat alam semata-mata sebagai objek, dan objek itu bekerja/bergerak menurut hukum-hukum sebab-akibat yang dapat dikuasai rasio manusia, inilah yang disebut Husserl sebagai Naturalisme. Kecenderungan inilah yang disebut Husserl sebagai gerak objektivisasi (naturalisasi) yang kebablasan dalam Modernisme. Seluruh ilmu pengetahuan dan teknologi modern sebenarnya digerakkan oleh prinsip objektivisasi yang sama. Setiap hal di seluruh ala mini, mulai dari yang paling kecil sampai yang paling besar, dari yang paling privat sampai yang paling publik, semuanya bekerja menurut prinsip sebab-akibat yang dapat dikuasai sepenuhnya oleh nalar manusia, dan dipergunakan demi kepentingan-diri manusia itu sendiri. Pengandaian dasar inilah yang kemudian memunculkan percabangan dan spesialisasi ilmu-ilmu ke dalam berbagai ruang lingkupnya yang sangat spesifik, seperti: ekonomi makro, psikologi, keuangan (akuntansi), manajemen, teknik, dan sebagainya.
Bagi Husserl, tidak ada yang keliru dengan semua ilmu-ilmu tersebut, kecuali jika ilmu-ilmu itu memutlakkan cara kerjanya yang khusus (partikular) menjadi suatu metode yang dianggap berlaku umum (general) dan seolah-olah dapat dipakai kepada bidang lain di luar bidangnya sendiri. Menurut Husserl, pemutlakan modernism atas metodenya sendiri inilah yang disebut sebagai “kesalahpahaman kategoris” (Kategorienmissdeutung) dalam membedakan antara: 1) yang partikular dengan yang universal, 2) yang faktual dengan yang ideal, 3) pengada-pengada yang sifatnya berubah-ubah/tidak tetap dengan Ada yang sifatnya mendasar / fundamental.
Lewat cara baca Husserl atas seluruh gerak pemikiran modern, maka kita dapat melihat di mana persisnya letak persoalan dasar dalam Modernisme. Modernisme bertolak dari pembedaan tegas-keras antara Subjek dan Objek. Pembedaan tegas-keras ini dilakukan pada mulanya untuk memperlihatkan kekhasan dan prioritas atas dimensi Subjektif-individual-personal manusia. Namun, bertolak dari pembedaan ini, Modernisme justru terjebak dalam kecenderungan untuk memutlakkan salah satu kutub saja dari dua kutub Subjek-Objek itu. Entah kemudian terjadi pemutlakkan atas dimensi subjektif manusia (yang membawa pada Subjektivisme/Psikologisme), atau terjadi pemutlakkan atas dimensi objektif alam/dunia (yang membawa pada Materialisme/Naturalisme).
Kecenderungan absolutisasi dan relativisasi inilah yang oleh Husserl di dalam karyanya yang lain (karya akhirnya) yaitu buku Krisis der europäishen Wissenschaften und die phänomenologie Transendentale (1936) disebut sebagai Krisis orientasi (ketidakmampuan) dalam ilmu-ilmu dan dunia modern tidak hanya untuk menentukan arah-tujuannya ke depan (telos-nya), tetapi juga krisis orientasi (ketidakmampuan) dalam menetapkan dasar legitimasi yang mendasar (fundamental) bagi ilmu-ilmu dan seluruh dunia modern itu sendiri. Krisis orientasi inilah yang juga menyebabkan mengapa proyek modernitas seluruhnya berubah menjadi suatu bangunan realitas yang tanpa-dasar (Grundloss) dan tanpa-makna (Sinnloss). Bagi Husserl, ke-tanpadasar-an (Grundlossigkeit) dan ketidakbermaknaan (Sinnlossigkeit) modernitas inilah yang juga telah merasuk meresap ke dalam diri serta mentalitas manusia modern sedemikian rupa sehingga bahkan banyak dari manusia modern yang bahkan tercerabut terasing dari dirinya sendiri.
Mengikuti pandangan Husserl, kita dapat mengatakan bahwa krisis orientasi inilah yang menyebabkan mengapa kita selalu melihat adanya fenomena ‘kebablasan’ dalam seluruh proyek modernitas, entah itu dalam hal ilmu pengetahuan, teknologi (lewat teknologisasi ke dalam semua bidang kehidupan), ekonomi (dengan globalisasi dan liberalisasi tanpa batas), ataupun dalam hal politik (lewat demokratisasi yang tanpa reserve) dan kebudayaan (lewat masifikasi budaya yang menghilangkan keberakaran masing-masing kebudayaan).
b. Persoalan Dasar dalam Fenomenologi Heidegger
Ketajaman dan keampuhan fenomenologi Husserl dalam menunjuk dan memperlihatkan dasar persoalan modernitas inilah yang menjadi salah satu daya tarik terkuat fenomenologi bagi para pemikir, ahli politik, kaum religius, maupun para budayawan di seluruh kawasan Eropa, Amerika, dan Asia. Di masa awal kemunculannya, pemikiran fenomenologis Husserl ini ternyata telah menarik minat seorang pemuda-pemikir yang ketika itu, pada 1911, masih terdaftar sebagai mahasiswa filsafat di Universitas Freiburg. Pemuda-mahasiswa itu kurang dari limabelas tahun kemudian akan menegaskan diri sebagai salah satu pemikir-filsuf paling mendalam, paling sering dibahas, sekaligus juga paling kontroversial dalam Sejarah Filsafat. Pemuda itu tidak lain adalah Martin Heidegger.
Keterpesonaan Heidegger pada fenomenologi Husserl menyebabkan karya Husserl “Penyelidikan-penyelidikan Logika” (Logische Untersuchungen) yang dipinjam dari perpustakaan Universitas Freiburg selama dua tahun lebih tersimpan erat di meja studi Heidegger, dan menjadi monopoli, hanya dibaca, oleh Heidegger sendiri. Bagi Heidegger, karya Husserl ini telah berhasil meretas kebuntuan metodologis dalam cara pandang dunia modern yang terlalu subjektif-rasionalistik.
Kita telah melihat bahwa bagi Husserl, seluruh dasar persoalan Modernisme terletak pada kesalahpahaman/kekeliruan dalam melihat hubungan antara manusia (sebagai Subjek) dengan dunia (sebagai Objek). Kesalahpahaman ini bertolak dari salah-kaprah mendasar dalam memahami sifat dasar manusia dan juga sifat dasar manusia. Singkatnya, bagi Husserl problem dunia modern terletak pada persoalan seputar cara bagaimana manusia dan dunia itu dilihat serta dipahami. Persoalan tentang cara bagaimana sesuatu itu dipahami, dalam bidang filsafat, termasuk ke dalam problem epistemologi (pembahasan sistematis tentang struktur dan hakikat pengetahuan). Epistemologi berkaitan erat dengan metodologi, sebab dalam epistemologi kebenaran dari pengetahuan berkaitan erat dengan cara bagaimana kita memahami realitas. Oleh sebab itu, dengan menekankan pada cara bagaimana sifat dasar manusia dan dunia dapat dipahami, Husserl mengarahkan fenomenologi kepada bidang epistemologi.
Martin Heidegger, dengan mengikuti prinsip-prinsip dasar Husserl, akan meradikalkan persoalan fenomenologi kepada problem ontologi. Ontologi berkenaan dengan persoalan seputar dasar paling mendasar dan menyeluruh dari segala yang ada (dalam bahasa Yunani, to on berarti ‘yang ada’). Maka ontologi berkaitan erat dengan persoalan seputar struktur paling mendasar (fundamental) dari realitas sebagai suatu totalitas/keseluruhan dari segala yang ada. Martin Heidegger akan melihat bahwa bukan hanya Modernisme (sebagaimana dipahami Husserl) yang sebenarnya bermasalah, melainkan lebih dari itu seluruh sejarah filsafat sendiri sejak Sokrates dan Platon sampai dengan Hegel memuat kesalahpahaman mendasar tentang kesejatian dari realitas. Kesalahpahaman mendasar sepanjang sejarah filsafat dalam melihat kesejatian dari realitas inilah yang kemudian menyebabkan manusia modern tidak lagi dapat melihat realitas yang sesungguhnya. Modernisme, bagi Heidegger menyamaratakan begitu saja secara banal (dangkal) antara: 1) realitas sebagaimana yang dipikirkan dengan realitas sebagaimana adanya, 2) Apa yang bersifat boleh-jadi/berubah-ubah/kontingen (dalam bahasa Heidegger disebut “pengada”/ seienden / beings) dengan apa yang paling mendasar atau fundamental (dalam bahasa Heidegger disebut sebagai Ada / Sein / Being).
Perbedaan derajat kualitas yang terdapat di dalam struktur dasar keseluruhan realitas antara apa yang paling mendasar dan apa yang sekadar merupakan konstruksi sementara pemahaman manusia, inilah yang oleh Heidegger disebut sebagai Perbedaan Ontologis (ontologische Differenz). Bagi Heidegger, seluruh pemahaman dan pengetahuan kita tentang dunia mengandaikan bahwa realitas itu sendiri memiliki suatu Dasar (Grund) yang fundamental dan menyeluruh, yang melaluinya pemahaman kita terbentuk. Dasar paling menyeluruh dan paling mendasar dari realitas sebagai suatu keseluruhan inilah yang oleh Heidegger disebut sebagai Ada atau Being/Sein. Bagi Heidegger, manusia selalu hanya menangkap atau mengetahui satu aspek saja dari keseluruhan realitas itu, dan tidak pernah bisa mengetahui seluruhnya secara total. Satu aspek tertentu/terbatas yang selalu kita tangkap dalam persepsi dan pengetahuan kita itulah yang disebut sebagai pengada-pengada atau beings / seienden. Maka bagi Heidegger, realitas dalam dirinya sendiri selalu memuat Perbedaan Ontologis (ontologische Differenz) antara Ada (Being/Sein) dengan pengada-pengada (beings/seienden). Inilah sifat dasar realitas/dunia yang selalu kita hidupi dan geluti.
Persoalannya bagi Heidegger, filsafat dan juga ilmu-ilmu pengetahuan, selalu mengandaikan bahwa pikiran kita, nalar kita, kehendak kita, kesadaran kita, semuanya seolah-olah bersifat menyeluruh dan cukup-diri (self-sufficient). Maka manusia (khususnya manusia modern) selalu mengandaikan bahwa pikiran dan kesadaran kita bisa menguasai atau mencaplok seluruh realitas dengan sepenuh-penuhnya. Padahal, pikiran dan nalar manusia sendiri hanya merupakan satu bagian kecil dari keseluruhan realitas yang tidak terbatas itu. Persis di sinilah Heidegger akan menghantam telak Modernisme dan seluruh sejarah pemikiran-peradaban Barat.
Heidegger melihat bahwa pemikiran-peradaban Barat sejak Zaman Antik-Klasik memiliki kecenderungan untuk menjadikan nalar (rasio) yang sifatnya terbatas dan subjektif itu sebagai titik pusat (titik Archimedes) dalam memahami seluruh realitas. Dengan menganggap nalar atau ratio sebagai sesuatu yang cukup-diri dan sempurna, manusia telah memutlakkan apa yang terbatas dan sementara menjadi sesuatu yang tidak-terbatas dan abadi. Maka kecenderungan di Zaman Modern untuk menjatuhkan seluruh realitas semata-mata ke dalam kesadaran subjektif manusia sebenarnya tidaklah mengherankan. Sebab, sejak awal peradaban-pemikiran Barat manusia telah selalu cenderung menyempitkan seluruh realitas semata-mata ke dalam kesadarannya sendiri saja. Akibatnya, manusia modern tidak lagi dapat membedakan antara: 1) cara-pandang dunia yang terbatas-tertentu dengan dunia itu sendiri yang tidak terbatas, 2) metode dalam memahami realitas dengan realitas yang sesungguhnya itu sendiri, 3) pikiran/anggapan kita tentang apa yang ada dengan apa yang ada itu sendiri, 4) pengada-pengada yang bersifat mentak dengan Ada itu sendiri yang bersifat mendasar.
Ketidakmampuan untuk membedakan antara pengada-pengada dengan Ada itu sendiri, inilah yang oleh Heidegger disebut sebagai pelupaan akan Ada (Seinsvergesenheit). Maka, mengikuti cara pandang Heidegger, manusia modern termasuk juga diri kita yang hanyut dalam kesementaraan gemerlap dunia modern, sebenarnya telah selalu melupakan perbedaan antara apa yang hanya sekadar sementara sia-sia dengan apa yang sejati dan sesungguhnya ada. Singkatnya, manusia selalu mengabadikan apa yang sifatnya sementara dan sia-sia, tetapi justru melupakan apa yang sesungguhnya-sejatinya mendasar dan abadi. Bagi Heidegger, di atas pelupaan inilah kita manusia dengan bangga dan yakin membangun kemanusiaan kita.
Melalui kekuatan kritik dan hantamannya terhadap Modernisme dan seluruh Filsafat Barat, juga melalui penekanannya pada dimensi ‘perbedaan’ (Difference) dalam konsep Perbedaan Ontologis (Ontological Difference), Heidegger telah memberikan roh baru serta membukakan jalan bagi munculnya gerakan pemikiran baru yang saat ini sedang hangat-hangatnya dan disebut sebagai Posmodernisme (postmodernism).
Fenomenologi sebagai suatu Cara Melihat dan Sikap Hidup
Setelah cukup panjang melihat persoalan dasar yang dihadapi oleh (dan menjadi titik tolak) fenomenologi Husserl dan Heidegger, kita dapat bertanya lalu apakah fenomenologi itu sendiri?
Di bagian ‘Pengantar’ karyanya Logische Untersuchungen, Husserl sendiri menyebut fenomenologi sebagai suatu kajian deskriptif atas apa yang tampak dan memberikan dirinya (Erscheinungen und die Selbst-gegebenheit) sebagai sesuatu itu sendiri, dengan maksud untuk menyingkapkan struktur-strukturnya yang paling mendasar. Dengan memberikan penekanan pada konsep ‘deskriptif’, ‘yang tampak’, dan ‘memberikan-dirinya’, fenomenologi seperti kata Husserl sendiri menekankan pada dimensi yang paling mendalam dari melihat (Schau).
‘Melihat’ dalam fenomenologi Husserl maupun Heidegger memiliki artinya yang mendalam. ‘Melihat’ bagi Husserl pertama-tama (1) memiliki arti pasif, artinya dengan ‘melihat’ seseorang menunda atau menangguhkan segala pra-sangka, pra-anggapan, pra-konsepsi, dan muatan nilai-nilai yang telah tersimpan di dalam benak serta kesadarannya. Sebab, dengan menunda-menangguhkan segala pra-konsepsi kita tentang sesuatu berarti kita membiarkan sesuatu (realitas) itu sendiri memberikan-diri/menyingkapkan-dirinya bagi kita. Dalam istilah Husserl, sikap pasif seperti ini disebut juga sebagai Epoche atau dalam istilah Jermannya disebut Einklammerung (menempatkan sesuatu di dalam kurung). Sikap ini penting sebab memuat asumsi dasar bahwa kesadaran kita telah selalu terarah (dengan sendirinya) kepada sesuatu (consciousness of something). Inilah yang disebut Husserl sebagai Intensionalitas kesadaran atau sifat dasar kesadaran manusia yang telah selalu terarah pada sesuatu yang lain selain dirinya.
Maka, bagi Husserl, kesadaran kita sebenarnya selalu terbatas (bersifat perspektif / perspectival), sebab realitas selalu hadir bagiku hanya dalam sisinya/dimensinya yang tertentu saja. Realitas atau sesuatu itu selalu lebih luas dan lebih tidak terbatas dari kesadaranku sendiri. Kesadaran manusia merupakan kesadaran akan sesuatu yang selalu lebih dari sesuatu itu sendiri (consciousness of something mora / plus ultra). Tetapi kesadaran kita juga cenderung mau memutlakkan sesuatu/realitas itu semata-mata pada apa yang dapat diketahui oleh nalar saja. Oleh sebab itulah, bagi Husserl, perlu suatu sikap pasif (Epoche) yang menangguhkan terlebih dulu kesadaran nalar kita di hadapan sebuah fakta, sesuatu, atau realitas itu sendiri. Maka ‘melihat’ dalam pengertian Husserl pertama-tama mengandaikan pasivitas kesadaran.
Tetapi ‘melihat’ juga tidak semata-mata pasif, sebab kesadaran yang terarah pada sesuatu itu juga mengandaikan bahwa kesadaran dapat menyingkapkan (Erschlossen) struktur-struktur realitas yang paling mendasar. Kesadaran yang menyingkapkan struktur dasar dari sesuatu dan masuk ke dalam lapisan realitas yang paling mendalam, inilah yang disebut sikap aktif kesadaran atau aktivitas kesadaran. Dalam aktivitasnya ini, penglihatan kita menerobos masuk ke dalam lapisan paling dasar dari sesuatu (Wesen), lapisan paling dasar dari sesuatu yang hanya karenanya sesuatu itu disebut sebagai sesuatu. Cara ‘melihat’ seperti inilah yang disebut sebagai penglihatan yang bersifat langsung-mendasar-intuitif (Wesen-anschauung).
Maka dalam fenomenologi Husserl, ‘melihat’ selalu secara bersamaan mengandaikan artinya yang pasif maupun aktif. ‘Melihat’ dalam fenomenologi Husserl berkaitan erat dengan sifat intensional kesadaran manusia yang selalu sudah terarah pada sesuatu yang lain selain dirinya. ‘Melihat’ dalam fenomenologi Husserl berarti membiarkan (lassen) sesuatu memberikan-dirinya melalui caranya yang tertentu (manner of givenness). Sebab, dunia-kehidupan (Life-world / Lebenswelt) selalu dialami dan dihayati secara berbeda-beda oleh setiap orang sesuai dengan situasi, posisi, cara-berada, pola pikir, dan horizon waktu (temporalitas) dari setiap orang yang juga berbeda-beda. Situasi, posisi, cara berada, pola pikir, dan horizon waktu yang berbeda-beda inilah yang membedakan cara bagaimana realitas itu hadir memberikan-diri (self-given / Selbst-gegeben) bagi setiap orang.
Dalam istilah Husserl sendiri, dunia-kehidupan (Lebenswelt) itu kita alami begitu saja mendahului segala konsepsi, rasionalisasi, refleksi kita atasnya. Ini membuktikan satu hal penting, yaitu: manusia telah selalu terlibat atau melibati-diri di dalam dunianya yang tertentu, suka atau tidak suka, sadar atau tidak sadar. Maka nalar atau kesadaran manusia tidak pernah sungguh-sungguh mutlak dan dapat berkuasa atas segalanya. Kesadaran atau kehidupan manusia telah selalu mengandaikan saling-keterkaitan antara berbagai hal yang membentuk horizon pemahaman manusia (Zusammenhang der Verhaltnis). Horizon yang tidak terbatas yang selalu berada di belakang setiap penglihatan/pemahaman manusia inilah yang oleh Husserl disebut sebagai Pra-refleksivitas.
Maka, bagi Husserl, dengan memperlihatkan dimensi pra-reflektif hidup manusia ini, ia mau memperlihatkan bahwa kekhasan manusia terletak bukan pada kemampuan (daya) nalar-rasionalnya belaka, melainkan juga pada kemampuan (daya) manusia untuk menegaskan-diri dan memaknai hidupnya di hadapan hamparan realitas yang tidak terbatas itu. Saat atau momen di mana manusia menegaskan-diri itulah yang disebut dengan Refleksi. Dalam refleksi manusia memaknai rentang hidup dan rentang waktunya yang tertentu, meskipun ia sadar bahwa momen penegasan-diri dan momen pemaknaan-diri itu bersifat sementara saja. Ia sadar bahwa di hadapan arus waktu dan gempuran realitas yang menerpa kesadarannya itu (Erlebnisstrom) ia tidak lebih dari sebuah titik yang terbatas di tengah-tengah samudra waktu yang tidak terbatas. Dalam fenomenologi, refleksi selalu telah mengandaikan pra-refleksivitas. Demikian juga pra-refleksivitas selalu telah mengandaikan kemampuan refleksi yang tertentu.
Dengan demikian, dalam fenomenologi Husserl, persoalannya tidak terletak pada bagaimana manusia dapat mengetahui dan mencari sebab-akibat dari realitas. Fenomenologi Husserl lebih menekankan pada kemampuan manusia untuk memaknai hidupnya dengan bersikap ‘tepat’ di hadapan realitas. Dengan memaknai manusia memberikan dasar bagi seluruh cara beradanya, sesuai dengan cara bagaimana realitas dan kehidupan itu sendiri memberikan diri bagi si manusia yang bersangkutan. Maka manusia dalam fenomenologi Husserl adalah: 1) manusia yang menyadari bahwa ia sendiri bersifat terbatas namun terarah pada suatu cakrawala ketidakterbatasan, 2) manusia yang menyadari bahwa ia selalu mengalir di dalam arus waktu dan peristiwa (Erlebnisstrom) namun juga telah selalu dituntut untuk memutuskan dan menegaskan-diri, 3) manusia yang menyadari bahwa penegasan-diri/keputusan dan pemaknaan merupakan titik pusat yang menentukan kualitas dirinya sebagai manusia.
Pengandaian yang kurang lebih sama juga sebenarnya termuat di dalam fenomenologi Heidegger. ‘Melihat’ dalam pengertian Heidegger berarti juga membiarkan Ada (realitas) itu sendiri menyingkapkan-dirinya. Hanya apa yang pada Husserl semata-mata dipahami sebagai momen pemaknaan, pada Heidegger lebih diartikan dengan lebih eksplisit sebagai penafsiran (Auslegung). Bagi Heidegger, manusia di hadapan dunia telah selalu menafsirkan dunianya sebagai sesuatu, dan inilah cara berada manusia yang paling mendasar. Dengan menfsirkan ia menegaskan diri, dunia, dan cara beradanya yang tertentu. Sebab, manusia telah selalu berada-di-dalam-dunia (Being-in-the world / In-der-Welt-sein) yang tertentu, dan hanya manusia juga yang dapat menamai/memaknai/menafsirkan dunia sebagai ‘dunia’.
Bagi Heidegger,manusia adalah sesuatu yang tergeletak-di-sana (Da-sein). Manusia selalu sudah menemukan dirinya menjadi satu dengan dunia, dan terlibat di dalam dunia yang hadir bagi dirinya untuk dimanfaatkan/dilibati (Zuhandenes). Inilah yang olehnya disebut sebagai Faktisitas manusia. Faktisitas manusia menunjukkan dua hal penting: 1) manusia telah selalu mengandaikan keberakarakan (Bodenstandigkeit) pada darah (Blut) dan tanah (Böden) yang tertentu, 2) manusia telah selalu terarah kepada masa depan yang paling niscaya bagi dirinya, yaitu kematiannya (Sein zum Tode).
Dua dimensi penting inilah yang telah selalu dilupakan oleh modernitas dengan segala kebaruan, gemerlap, dan kecanggihan yang ditawarkannya. Bagi Heidegger, dua dimensi mendasar manusia ini sangatlah penting, sebab memperlihatkan fakta bahwa manusia selalu bertolak dari suatu ketersituasian/keterbatasan yang tertentu (Befindlichkeit), dan terarah kepada cakrawala kemungkinan di depannya yang tidak terbatas (Möglichkeit).
Bagi Heidegger, modernitas lewat teknologinya telah membuat manusia terlupa akan keterbatasan sekaligus ketidakterbatasannya ini. Modernitas membatasi cara pandang manusia sedemikian rupa, sehingga ia tidak lagi menyadari keberakarannya dan keterarahannya pada ketidakterbatasan makna. Manusia modern, bagi Heidegger, adalah manusia yang tercerabut dari akarnya, sekaligus juga buta akan arah langkahnya ke depan.
Penutup
Dari sedikit uraian terbatas tentang Husserl dan Heidegger di atas, maka kita dapat melihat bahwa fenomenologi menekankan pentingnya relasi di antara keterbatasan dan ketidakterbatasan, relasi di antara keterserakan-diri dan penegasan-diri, relasi di antara pra-refleksivitas dan refleksivitas, relasi di antara keterbukaan dan keberakaran, relasi di antara pergulatan-diri dan pemaknaan-diri. Singkatnya, bagi fenomenologi, apa yang penting tidaklah terletak entah pada diri manusia itu sendiri, ataupun pada dunia itu sendiri. Bagi fenomenologi yang lebih penting adalah relasi kemungkinan dan pemaknaan di antara manusia dengan dunia.
Dengan menekankan pada dimensi relasional tersebut, fenomenologi lebih menekankan sikap (attitude/Einstellung) dan bentuk penghayatan/pemaknaan kita di hadapan realitas. Sebab, sikap atau kemampuan pemaknaan yang tertentu di hadapan realitas itulah yang menentukan kualitas diri kita masing-masing sebagai manusia.
Sebagai catatan akhir, perlu disebutkan bahwa dengan menekankan pada sikap dan pola penghayatan di depan realitas, fenomenologi dapat dikatakan telah mengarahkan kembali problem filsafat dari sekadar persoalan mengenai metode pengetahuan yang bersifat khusus, teknis, dan spesialistik (seperti terjadi dalam Filsafat Modern/Modernisme) kepada persoalan mengenai cara berada dan sikap hidup (way-of-Life) seperti yang dipahami dalam Filsafat Antik-Klasik mulai dari Phytagoras, Platon, Aristoteles, hingga ke Stoisisme. ***

[i] Ito adalah Sarjana Filsafat lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Ia menulis skripsi mengenai persoalan-persoalan pokok fenomenologi Husserl di tahap awalnya dengan judul Logika dalam Fenomenologi Husserl (2009), di bawah bimbingan Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, SJ. Ia mempertahankan skripsi tersebut dengan hasil ‘Sempurna’ di hadapan pembimbingnya dan Prof. Dr. Alex Lanur, OFM. Ia telah mempublikasikan berbagai hasil penelitiannya antara lain di Jurnal Filsafat Driyarkara dan Majalah Kebudayaan BASIS. Tulisan terakhirnya dimuat dalam buku kumpulan tulisan mengenai filsuf Prancis Jean-Paul Sartre, dengan judul “Diri dan Ketiadaan dalam Filsafat Sartre” (Lihat A Setyo Wibowo (ed.), Filsafat Eksistensialisme Jean-Paul Sartre, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2011). Saat ini selain mengajar mata kuliah Sejarah Filsafat di Sekolah Tinggi Teologi Apostolos, ia juga sedang menyelesaikan Tesis Magisternya dengan tema seputar fenomenologi dan problem transendensi. Pada Semester Genap 2011-212 ia, bersama dengan Dr. A. Setyo Wibowo, ditugaskan untuk memberikan kuliah mengenai “Stoisisme dan Problem Askese” di almamaternya STF Driyarkara.

Sumber :
http://www.pergerakankebangsaan.org/?p=1073

Sabtu, 26 November 2011

REDUPNYA MATAHARI DI WAKATOBI


Opini
25 Nopember 2011

Sumiman Udu *)
Di tengah dinginnya udara dingin Kota Leiden Negeri Belanda, saya melangkahkan kaki menuju perpusatakaan Universitas Leiden, salah satu universitas kebanggaan negeri kincir angin. 

Di ruangan yang mendukung tumbuhnya generasi muda bangsa inilah, anak-anak Belanda banyak menghabiskan waktunya. Begitu pula dengan para guru. Mereka banyak duduk membaca dan mempersiapkan materinya sebelum mengajar. Pemerintah sangat peduli dengan masa depan generasi mudanya, membiayai kuliah, biaya hidup, serta upaya bagaimana anak-anak muda mereka dapat bersaing dengan berbagai bangsa di dunia. Guru-guru mereka diberi ruang untuk bekerja secara professional, tanpa tekanan, dan intimidasi terlebih dari pemerintah dan partai politik. Saat itulah, saya termenung, “pantaslah Negara ini bisa maju,” saya membatin dalam hati.

Ketika itu pula, tiba-tiba kerinduan saya memuncak pada kampung halaman Wakatobi – Indonesia, maka beberapa media elektronikpun dibuka. Betapa terkejutnya saya, ketika situs Baubau Pos melaporkan kondisi negeri. Kesedihan muncul, saya teringat ketika Jepang kalah perang melawan Sekutu pada perang dunia kedua, perdana menteri Jepang yang memerintah waktu itu hanya bertanya, “Masih berapa orang guru yang tersisa?” ia tidak bertanya berapa harta dan industri yang selamat. Itulah pertanyaan seorang negarawan besar yang akhirnya mampu membangun bangsanya hanya dalam waktu kurang dari 30 tahun. Sekutu memperkirakan bahwa dampak bom atom Hirosima dan Nagasaki akan membuat Jepang terpuruk dan membutuhkan waktu 100 sampai 150 tahun untuk bangkit kembali.

Guru, itu yang ada dipikirannya. Tentunya kita harus bertanya, mengapa? Mengapa ia harus mempertanyakan tentang guru? Bukan politikus, bukan pedagang, bukan teknokrat? Dan bukan para tentara. Mengapa? Perhatian perdana menteri Jepang waktu itu, tertuju kepada guru, tentu beliau punya alasan yang kuat. Bahwa masa depan bangsanya tidak akan terletak pada sejarah bangsanya yang kalah perang, tetapi masa depan bangsanya terletak pada pundak generasi mudanya. Kualitas generasi muda itu akan ditentukan oleh kualitas mutu pendidikannya. Guru, sang matahari, memberikan peran yang strategis untuk mendidik generasi mudanya. Masa depan Jepang tergantung dari kualitas kinerja guru. Begitulah kira-kira cara pemikiran yang dibangun oleh seorang negarawan Jepang waktu itu. Guru, menjadi sangat penting di tengah keterpurukan akibat kalah telak dalam perang dunia kedua.
Pikiranku kemudian tertuju pada nasib guru yang dilansir oleh Bau-bau Pos. Kisah perdana mentri Jepang ini tentunya sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Wakatobi. Guru, sang matahari, yang akan menyinari generasi muda di negeri ini, seharusnya tetap diberi kesempatan untuk mengajar dan mendidik generasi muda Wakatobi tanpa harus dibuat redup oleh kebijakan-kebijakan yang dapat mengurangi kinerja guru-guru. Kebijakan-kebijakan yang didasari oleh adanya dendam politik, hanya karena tidak searah dengan penguasa waktu pemilu, tidak perlu dikedepankan. Kebijakan kau yang sangat jauh dari pemikiran sang negarawan Jepang yang sangat menghargai guru.

Kalau matahari itu sudah mulai redup, maka kebangkitan Wakatobi akan jauh dari harapan untuk bisa bangkit seperti Jepang menjadi daerah yang maju. Mengapa? Karena guru-guru yang menjadi matahari yang mendidik anak-anak Wakatobi itu akan mengajar dalam kondisi stress. Ini sangat berbahaya!!!, sebab guru-guru yang sudah berat dalam menjalankan tugasnya, kemudian diperberat masalahnya dengan mutasi yang cenderung bernuasa politik, mutasi ke tempat yang baru dan dengan masalah baru.

Menurut saya, saat ini masyarakat Wakatobi hendaknya merenungkan kebijakan dan pernyataan pertama perdana menteri Jepang; yang menjunjung tinggi harkat dan martabat guru, karena hanya dengan kinerja guru yang bagus itulah, bangsa Jepang dapat maju sebagai bangsa yang diakui oleh dunia. Bentuk renungan tersebut adalah dukungan bahwa semestinya pemerintah dan masyarakat Wakatobi memberi ruang kepada guru-guru, sehingga guru-guru mengajar lebih baik harus dapat mewujud. Pemerintah dan pelaku politik Wakatobi hendaknya berlaku lebih rasional dalam melakukan mutasi pada guru-guru. Yang seharusnya dilakukan adalah konsentrasi dalam peningkatan kualitas guru melalui pelatihan (baik formal maupun nonformal), pemberian intesif, studi banding, atau memberikan dana untuk mengikuti pendidikan S2 dan S3 di berbagai universitas yang ada di dunia. Penyegaran seharusnya jangan dilakukan melalui pemutasian yang penuh dengan nuansa politik, tetapi harus lebih bersifat professional.

Redupnya sang matahari ini akan berdampak dalam kehidupan masyarakat Wakatobi di masa depan. Karena anak-anak Wakatobi tidak punya harapan yang banyak untuk membangun Wakatobi dari segi pengolahan Sumber Daya Alam, karena Wakatobi tidak memiliki itu. Satu-satunya harapan untuk mengubah Wakatobi menjadi negeri yang maju adalah memajukan Sumber Daya Manusianya. Yang berkompeten dan berperan tentang itu adalah guru, sang matahari. Gurulah yang menjadi pahlawan kebangkitan dari berbagai kebudayaan di dunia. Gurulah yang mengubah masyarakat dari pesimis menjadi optimis, dari bodoh menjadi pintar, dari kegelapan ke dunia terang benderang. Gurulah yang menjadi tulang punggung peradaban di dunia.

Walaupun demikian, saya berpikir dan berharap pada penguasa Wakatobi hari ini, agar mereka memberi suasana yang nyaman dalam memberi ruang kepada guru-guru untuk bekerja secara professional. Tetapi kalau itu tidak ada, maka sang matahari ini akan mengalami masa-masa redup yang panjang. Jika itu terjadi, maka masyarakat harus bersiap untuk membakar lilin yang akan menerangi kegelapan itu. Generasi muda Wakatobi harus bersatu untuk merebut masa depan mereka, untuk berjuang mendapatkan hak-haknya sebagai warga dunia yang berhak atas pendidikan yang layak. Pendidikan yang akan membawa mereka menjadi warga dunia yang sejajar dengan bangsa-bangsa besar di dunia. Generasi muda Wakatobi yang memiliki kemerdekaan dan kebebasan dalam menyuarakan dan mewujudkan cita-cita dan impian mereka menjadi warga dunia yang memiliki sikap optimis yang panjang.

Lilin itu harus dibakar untuk menerangi kegelapan, merebut masa depan, merebut kemerdekaan dan untuk membakar seluruh kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh kelompok tertentu yang memiliki pemikiran untuk menciptakan kebodohan dan ketertindasan masyarakat Wakatobi. Kebijakan yang mengarah kepada upaya untuk melemahkan generasi muda Wakatobi, melemahkan daya saing, melemahkan kinerja, dan melanggengkan kebodohan, harus kita lawan.

Untuk itu, sang matahari tidak boleh redup menghadapi semua ini, karena tanggung jawabnya adalah menerangi generasi muda Wakatobi. Generasi Wakatobi membutuhkan bantuan seluruh masyarakat Wakatobi. Di bawah kepemimpinan Hugua diharapkan mampu memperbaiki kinerja guru-guru sehingga mampu mengantarkan anak-anak Wakatobi ke kompetisi global. Kebijakan diharapkan mampu mendorong tumbuhnya generasi muda Wakatobi yang optimis, mandiri, dan kuat dalam menuju persaingan di era global bukan kebijakan yang meredupkan kemajuan generasi muda Wakatobi. Lebih-lebih yang membiarkan kebodohan dan kemiskinan, jangan biarkan kebijakan yang salah melemahkan nilai tawar masyarakat Wakatobi, sehingga asetnya mudah diambil alih oleh yang lain.

Janganlah berpikir bahwa kekuasaan akan langgeng? Tidak, dunia tetap berputar! Ingatlah, bahwa kekuasaan tidak selamanya dapat dimiliki. Mari, rebut dan cetaklah sejarah yang indah dan dapat membantu manusia menuju kebangkitan kemanusiaan. Sejarah akan mencatat seluruh apa yang terjadi hari ini. Mungkin saja, di suatu saat nanti akan tumbuh lagi generasi Wakatobi yang akan memimpin, harapan selalu ada. Ucapkan “terima kasih” yang akan memberi kita ruang untuk kemajuan Wakatobi. Jangan sebarkan dendam dan kebencian di tengah masyarakat, sehingga melahirkan ketidakadilan, karena itu akan berdampak pada kegelapan generasi muda Wakatobi.
Ketika disadari bahwa imaji sudah terlalu jauh, aku tersadar dan berkata, “Bangkitlah matahariku! Bangkitlah! Negeri ini menunggu pengabdianmu. Kejahatan tidak akan mampu melawan perubahan yang kerap terjadi, sebab hanya perubahan itulah yang kekal di atas dunia ini. Di ketenanganmu mengajar, pembelajaran masa depan Wakatobi itu akan diraih. Para ahli, para politikus, ahli hukum, dan semuanya bermula tumbuh, dan semua disemai di tanganmu. Karena kaulah matahari kebangkitan di Wakatobi. Maka tetap tegarlah dalam setiap angin kencang yang menggoyahkan langkahmu. Masyarakat Wakatobi dan Tuhan selalu menyertaimu, amin.”

Kutengadahkan wajahku, mataku tertuju pada perempuan bule yang cantik di depanku, yang sibuk mengurus buku-buku di depannya. Kutatap jam komputerku, ternyata sudah menunjukkan pukul 21.30 malam, dan itu menunjukkan bahwa 30 menit lagi perpustakaan canggih itu akan tutup. Akhirnya saya pun menutup komputerku bersiap untuk pulang ke apartemenku.***

*) Generasi Muda Wakatobi, Studi di Negeri Belanda

Kamis, 24 November 2011

JENDERAL BESAR" ITU AKHIRNYA DI GELANDANG KE POLDA

OLEH : LANDOKE NDOKE
‎LM Syahrial, pemimpin organisasi ilegal BKN (Badan Kehormatan Negara) hari ini, Rabu (23/11) pukul 11.00 WITA akhirnya dijemput paksa oleh pihak berwajib di 'markas'nya, kompleks perumahan Medibrata, Kelurahan Bukit Wolio Indah Kota Bau Bau. Pria yang mengaku dan mengangkat diri sebagai jenderal-besar di kalangan anak buahnya itu kini digelandang ke Polda Kendari, setelah beberapa saat transit di Polres Baubau. Penangkapan ini berkaitan dengan dugaan aksi pemerasan dan penipuan Bank Indonesia (BI) Cabang Kendari yang dilakukan oleh pria yang juga mengklaim diri sebagai presiden tersebut. Syahdan, Syahrial, atas nama Presiden meminta kucuran dana dari Bank tersebut di tahun 2010.

Kiprah Sang Jenderal gadungan dan organisasinya (BKN) memang sempat menghebohkan beberapa saat lalu. Sempat diangkat menjadi berita headline oleh beberapa media lokal dan dan diliput media nasional. Pada Senin siang, (12/09) Tim gabungan dari Polres, Kodim dan Kesbangpol Kota Bau-Bau Sulawesi Tenggara melakukan penggerebekan di markas Syahrial. Namun, walaupun dianggap telah melakukan pelanggaran, Syahrial belum ditahan. Malah, beberapa statemen pimpinan organisasi ini bahkan menganggap jika aparat kemanan telah melakukan provokasi terhadap masyarakat atas keberadaan mereka.(http://www.indosiar.com/fokus/aparat-gerebek-organisasi-ilegal_91937.html)

Aksi tipu-tipu dan pemerasan juga sempat diendus dilakukan oleh anak buah Si Jenderal Besar berpangkat Brigadir Jenderal di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Tasrino Buton si anak buah tersebut, mendatangi bagian protokol Kabupaten Sikka guna meminta izin bertemu Bupati pada Rabu (27/7). Saat melapor, ia mengaku berpangkat brigjen, dan sebagai pimpinan Badan Kehormatan Negara RI (BKNRI) bertempat di Sikka. Untung saja, pihak kepolisian tidak percaya begitu saja. Kapolres Sikka Ajun Komisaris Besar Ghiri Prawijaya melalui Kasat Reskrim Ajun Komisaris Arif Sadikin menduga kuat Tasrino akan melakukan tindak pidana di Sikka. (http://www.metrotvnews.com/read/news/2011/07/28/59233/Brigjen-Gadungan-Ditangkap-Polisi).

NB: Catatan Ndoke: Kasian ya Buton...makin banyak saja yang mengidap sakit jiwa...


    • La Ode Haji Polondu

      ‎2 minggu lalu saya juga ditelpon oleh beberapa Kepala Daerah di Papua yg mempertanyakan ttg Keberadaan Badan Kehormatan Negara pimpinan Pak LM. Syahrial tsb, krn dlm suratnya apabila tdk mengindahkan surat dari BKN tsb maka Bupati/Walikota akan tau sendiri akibatnya. Mungkin karena saya jg msh bernama Ode sehingga saya ditanyakan ttg itu krn Pak LM. Syahrial menulis namanya dalam Suratnya La Ode Muhammad Syahrial. Tapi saya hanya bilang agar surat itu tdk usah dihiraukan mungkin itu kerjanya orang iseng atau orang stress, apalagi kedudukan Badan Kehormatan Negara (BKN) ada di Bau2 dan suratnya pun tertanggal dan dikeluarkan di Bau2. Saya bilang kpd Bupati/Walikota bhw tdk usah percaya krn Republik ini diatur dan dikendalikan dari Jakarta bukan dikendalikan di Bau2. Bikin malu saja orang Sultra itu Pak LM. Syahrial. Baguslah kalau sdh ditangkap...
sumber : http://www.facebook.com/groups/265863310132646/?notif_t=group_activity

Kamis, 27 Oktober 2011

KPUD BUTON DITUNTUT PERTANGGUNGJAWABAN DANA PILKADA !

OLEH : ODE TONGKY
 
 
Kendari-ozzonradio.com–Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara, diminta mempertanggungjawabkan lebih dahulu penggunaan dana pemilihan kepala daerah (pilkada) pertama Kabupaten Buton senilai Rp. 8,5 miliar, sebelum menyelenggarakan pilkada ulang, minggu 23/10.

“Sebelum menyelenggarakan pilkada ulang sesuai perinta
h Mahkamah Konstitusi (MK), lima anggota KPU harus lebih dahulu mempertanggungjawabkan dana yang digunakan pada pilkada sebelumnya yang tidak menghasilkan apa-apa,” kata penjabat Bupati Buton, Nasruan di Kendari, Minggu.

Menurutnya, permintaan agar KPU lebih dahulu mempertanggungjawabkan dana pilkada pertama itu bukan hanya keinginannya sendiri sebagai penjabat bupati, melainkan aspirasi dari sebagian masyarakat Buton termasuk para pasangan calon bupati-wakil bupati yang sudah ikut pilkada petama maupun yang belum.

“Sebanyak 11 pasangan calon bupati – wakil bupati yang diputuskan MK agar diverifikasi ulang keabsahan berkas administrasi pencalonannya, menolak untuk diverifikasi lima anggota KPU Buton yang dianggap melanggar undang-undang oleh MK,” katanya.

Nasruan mengatakan pemerintah kabupaten Buton, tidak mungkin bisa mencairkan dana pilkada ulang, sebelum lima anggota KPU Buton yang terbukti melanggar undang-undang menurut MK tersebut mepertanggungjawabkan dana pilkada sebelumnya.

“Lima anggota KPU yang sengaja melabrak undang-undang dalam menyelenggarakan proses pilkada Buton, bukan hanya merugikan keuangan negara akan tetapi juga sangat merugikan masyarakat Buton secara keseluruhan,” katanya.

Oleh karena itu kata dia, sebelum KPU Buton menyelenggarakan pilkada ulang, lima anggotanya harus mempertanggungjawabkan lebih dahulu tindakan pelanggaran undang-undang yang mereka lakukan.

“Sesuai ketentuan undang-undang, jika ada anggota KPU di tingkat kabupaten dan kota yang terindikasi melanggar undang-undang, harus diproses melalui badan kehormatan yang dibentuk KPU Provinsi. Kita harapkan KPU Provinsi Sultra segera membentuk badan kehormatan itu, agar tindakan pelanggaran lima anggota KPU Buton bisa diselediki kebenarannya,” katanya.

KPU Buton sendiri sudah menetapkan jadwal tahapan verifikasi faktual berkas administrasi pasangan calon bupati – wakil bupati tanggal 14 sampai 16 November 2011. Sedangkan jadwal pemungutan suara ulang akan digelar tanggal 15 Desember 2011.

Seharusnya kata Nasruan, KPU Sultra lebih mengutamakan pembentukkan Badan Kehormatan (BK), guna menyelidiki dugaan pelanggaran undang-undang yang dilakukan lima anggota KPU Buton dalam pilkada sebelumnya, dari pada mendorong KPU Buton mempercepat penyelenggaraan pilkada ulang.

“Pada pilkada sebelumnya, uang negara yang dihabiskan secara sia-sia mencapai Rp. 8,5 miliar lebih. Agar masalah yang sama tidak terjadi lagi, sebaiknya lima anggota KPU Buton diperiksa lebih dahulu oleh Badan Kehormatan, dan jika terbukti melanggar agar diganti,” katanya.

Ia mengatakan sebagai penjabat bupati yang diberi amanah untuk memfasilitasi terpilihnya bupati definitif, dirinya tidak ingin ada masalah dalam penyelenggaraan pilkada ulang Kabupaten Buton, sesuai putusan Mahkamah Konstutisi (MK).

“Saya kira penyelenggaraan pilkada yang bersih dan transparan, bukan hanya harapan saya, tapi juga menjadi harapan seluruh masyarakat Buton,” katanya.

Sementara itu, Ketua KPU Sultra, Mas’uddin dalam keterangan terpisah mengatakan pihaknya sudah merencanakan pembentukan badan kehormatan KPU, guna menyelidiki pelanggaran undang-undang oleh lima anggota KPU Buton.

Meski demikian, tahapan pilkada ulang Kabupaten Buton yang sudah dijadwalkan oleh KPU Buton juga akan tetap jalan.

“Setelah badan kehormatan terbentuk, akan segera melaksanakan tugasnya, sementara proses tahapan pilkada juga terus jalan,” katanya.

Jika dalam pemeriksaan badan kehormatan ditemukan adanya bukti pelanggaran kode etik oleh lima anggota KPU Buton, kata dia, maka atas rekomendasi badan kehormatan, kelima anggota KPU tersebut bisa segera diganti. (K-5)

Sabtu, 20 Agustus 2011

BUNG, SAYA LEBIH SUKA NEGERI INI BUBAR !

OLEH : ARIE BOEDIMAN LA EDE

FIKSI | 20 August 2011 | 00:30 912 87 24 dari 26 Kompasianer menilai aktual


Bung!
apa yang sesungguhnya sedang terlintas dalam pikiranmu
apa yang sesungguhnya sedang kau pendam dalam hatimu
apa pula yang sesungguhnya sedang kau rencanakan terhadap negeri ini
sementara itu sekian banyak mata-mata, mulut-mulut, telinga-telinga beserta kepala-kepalanya
semakin
semakin
dari beribu-ribu semakin diantara kemungkinan dan ketidakmungkinan telah tidak memiliki hati lagi

Bung!
pembiaran-pembiaran yang kau biarkan melintas di depan matamu semakin mempertegas tentang ketidakmampuanmu menahkodai bangsa ini.
padahal dengan kapasitasmu sebagai seorang kepala pemerintahan bukan sebagai ketua paguyuban arisan tingkat erte. seharusnya kau bisa melakukan apa saja untuk menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang beradab.
tapi,
apa yang telah kau lakukan?
jawabnya tidak ada!
jika ada, tetap tidak berarti apa-apa

Bung!
apa yang sesungguhnya kau pertahankan dan sedang kau pertaruhkan?
kau tidak sedang berdagang
kau tidak sedang berjudi disebuah meja rolet
kau juga tidak sedang bekerja sebagai kepala pegadaian
lantas,
kenapa kau melakukan jual beli dalam berbagai kesempatanmu?
kenapa kau diberbagai penampilanmu seakan-akan kau sebagai seorang bandar togel?
kenapa pula kau melakukan tugasmu sebagaimana seorang tengkulak?

Bung!
saya tidak perlu lagi basa-basimu yang semakin basi itu
saya juga sangat tidak memerlukan lagi berbagai retorika yang bercabang-cabang darimu
saya pun sangat tidak ingin melihatmu lagi berdiri di mimbar itu
karena kau tidak sedang menjadi imam saya
saya pun tidak sedang menjadi jama’ahmu dalam sebuah pengajian
sekali saya katakan tidak tetap tidak!
tidak bagimu
tidak pula bagi orang-orang yang merapat dan menetek di bawah ketiakmu

Bung!
bagi saya kau adalah seorang yang lalai
pun, kesembronoan dalam kepemimpinanmu adalah simbol ketidakbecusanmu
mata saya
hati saya
mengatakan kebenaran
yang tegak
yang utuh
tidak hanya sekadar nilai yang tak bermakna

Bung!
saya tidak sedang berbasa-basi
sayapun tidak sedang berandai-andai
saya sedang menggunakan hak-hak mutlak saya sebagai warga negara
karena,
saya sangat yakin dengan tegaknya sebuah kebenaran
yang hakiki
yang absolut
yang terikat kokoh dalam perjanjian kemanusiaan di jiwa saya
yang bersemayam bersama Maharaja di hati saya

Bung!
negeri ini semakin tidak berada ditempatnya
walau dianggap bahwa negeri ini telah enampuluh enam tahun ada
ya, ada! karena ada seremonial tahunannnya
ada pada lomba panjat batang pinang
ada pada lomba makan krupuk, lari karung, makan kelereng dan mainin balon-balon
sungguh,
saya tidak sedang merasa bahwa negeri ini ada
karena di negeri ini kebiadaban dipelihara dalam sebuah rumah kaca
saya juga tidak merasa bahwa negeri ini ada pemimpinnya
jika ada,
saya harus katakan bahwa pemimpinnya yang ada itu tidak punya nyali meng-Indonesia-kan Indonesia

Bung,
“saya lebih suka negeri ini bubar!”
daripada saya melihatmu terus menerus berdiri disitu
yang menumpuk bangkai-bangkai di istana menara gadingmu
yang kau kumpulkan untuk kau ajak bersenggama dikebiadaban-kebiadaban ala bangsa barbar
yang kau jadikan sumber kekuatan dalam memupuk dan menegakkan kekuasaanmu
yang kau jadikan tameng-tameng guna mempertahankan kekuasaanmu yang semakin majal
; tidak dan tak lebih dari itu!
.
Mencari INDONESIA Baru!
20/08/2011
129818307431393609

Jumat, 12 Agustus 2011

DEMOKRAT DAN MINIATUR ORBA

OLEH :CUCUK SUPARNO
              (03 AGUSTUS 2011, 09:03:29 WIB0



KabarIndonesia - Setelah hampir dua periode berkuasa, Partai Demokrat seolah menjadi tiran baru era reformasi. Prestasi pemerintahan di segala bidang, berjalan seiring dengan laku-buruk politiknya.
Bahkan laku-buruk cenderung lebih dominan ketimbang prestasi yang sejujurnya hanya kamuflase untuk mengibarkan citraan diri (baca; Susilo Bambang Yudhoyono). Jika demikian, Demokrat adalah miniatur Orde Baru dengan Golkar-nya?

Diakui atau tidak, Orde Baru (Orba) identik dengan Soeharto dan Partai Golkar sedangkan orde reformasi identik dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Partai Demokratnya. Meski banyak partai lain di dua era itu, ternyata sekedar meramaikan geriak politik agar tidak terkesan adanya single majority. Dalam skala kualitas yang berbeda, baik kedua orde itu memiliki tiran dengan perilaku politik sama, berorientasi kekuasaan dan meninggikan figur sebagai pusat kekuasaan (baca; pusat moral hukum). Soeharto adalah ‘raja’ Orde Baru sedangkan SBY adalah ‘raja’ di era reformasi. Sekali lagi, meski dalam skala kualitas yang berbeda!

Menyimak perkembangan sosial-politik dan hukum dalam lima tahun terakhir, saya semakin ‘yakin’ jika pemerintahan Demokrat adalah miniatur Orde Baru. Dari cara SBY dan kabinetnya memperlakukan anasir hukum, politik, pendidikan, ekonomi, kebudayaan, keamanan memiliki ciri mirip dengan cara Soeharto. Hanya kompleksitas persoalan dan terbukanya arus informasi membuat SBY harus memiliki ‘stamina ganda’ untuk menerapkan pola Orba.

Bisa jadi, kekacauan di ranah politik, hukum, ekonomi, dan pendidikan merupakan bias kembalinya praktek Orba dalam cara-laku SBY dengan Partai Demokratnya. Di sukai atau tidak, jika era Soeharto saya sering menyebut rejim otoriter-penuh sedangkan era SBY adalah rejim otoriter-setengah hati. Artinya, SBY masih ragu menjalani tingkah otoriternya karena situasi sosial kekinian yang sangat berbeda daripada situasi era Soeharto berkuasa. Tetapi esensi cara menjalankan kekuasaannya, di beberapa anasir terkesan copy-paste Orba.

Sentral Figur

Geliat persoalan kekinian mengindikasikan hadirnya kembali praktek Orde Baru dengan kualitas reformatif. Ya! Orde Baru yang berasimilasi dengan problematika masyarakat modern. Simaklah, situasi hukum di negeri ini, meskipun jargon selalu digemborkan bahkan supremasi hukum harus ditegakkan. Kenyataannya, hukum kian menjadi mainan mengasyikkan. Banyak masalah hukum yang di-create –oleh penguasa—demi kepentingan tertentu. Demokrasi hukum semakin semu ketika pemerintah tebang pilih dalam penyelesaian masalah hukum Di jaman Orba, mirip dengan jargon; asal kepentingan Soeharto dan kroninya selamat!

Di ranah keamanan nasional, sikap reaktif aparat terasa semakin kental. Kebebasan reformatif yang disambut hangat publik, harus tersendat oleh ketidaksanggupan penguasa menerima imbas kebebasan itu. Misalnya, penguasa (baca; SBY) harus meminta intelejen negara (BIN) mengawasi lalu lintas percakapan dunia maya. Juga pembungkaman berbagai organisasi massa serta mahasiswa dengan cara-cara yang ‘elegan’ sehingga tidak terkesan otoriter. Di jaman Orba, siapa mencoba subversib pasti disikat. Sedangkan di era SBY, siapa berani subversib, didekati, dan diberi kursi kekuasaan. Diamlah teriakannya!

Yang lebih kentara, Orba selalu menyandarkan kebijakan kepada sosok sentral yakni Soeharto sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara. Sedangkan era kekuasaan Demokrat selalu menyandarkan kebijakan kepada SBY sebagai kepala negara dan pemerintahan. Jika Soeharto melakukan kamuflase melalui prestasi ekonomi sehingga dijuluki Bapak Pembangunan maka SBY berkamuflase melalui citraan positif sehingga kedodoran di tingkat kenyataan. Citra tentang SBY bagus belum menjamin realitas laku-sosial politiknya bagus.

Menghadirkan anasir laku Orba di era reformasi merupakan pengingkaran yang melukai makna reformasi itu sendiri. Maraknya kasus korupsi, mafia peradilan, mafia pendidikan, gurita kekuasaan politik parpol mengindikasikan kekurangcermatan SBY dalam meng-copy paste Orba. Karena itu, sepatutnya SBY –di penghujung kekuasaannya ini—bercermin, jika model Orde Baru yang dijalankan sudah kadaluarsa dan ditolak publik. Partai Demokrat harus mencari formulasi baru dengan meninggikan praktek demokrasi yang mengedepankan nurani keadilan sosial.

Sementara yang terjadi saat ini, SBY dan Partai Demokrat tak ubahnya seperti rejim otoriter yang penuh janji (baca; citraan) menipu. Negeri ini kini menjadi negeri seribu janji di tengah masyarakat yang terlanjur memahami perilaku buruk penguasa. Sudah menjadi rahasia umum, jika kolega susah dipenjara, teman pasti aman dalam pengejaran, bagi-bagi proyek hal biasa, kepentingan parpol dia atas segalanya. Jika hal ini terus terjadi maka reformasi sesungguhnya telah mati.
Reformasi hanya melahirkan Anggodo, Nazaruddin, Bank Century, Lapindo dan banyak masyarakat kesrakat (jawa; miskin) di gelimang busa janji. Selayaknya SBY dan kroninya instrospeksi bahwa Indonesia membutuhkan cara-pimpin yang egaliter, transparan, dan memiliki etika yang meninggikan nurani masyarakat. Bukan nurani Cikeas yang mirip nurani Cendana.

Sabtu, 06 Agustus 2011

MELUASKAN PARTISIPASI AKTIF POLITIK WARGA (Catatan dari Diskusi Konvensi Masyarakat Sipil Kendari)

OLEH : ERWIN USMAN
 
 
 
Tahapan Pemilukada Kota Kendari untuk memilih pasangan Walikota dan Wakil Walikota periode 2012-2017 sudah tidak lama lagi. Sejumlah pihak, merespon momen politik ini dengan lakukan serangkain kegiatan. Diantaranya mendorong secara lebih luas adanya partisipasi politik rakyat melalui perbaikan proses rekruitmen Kepala Daerah dengan Program Konvensi Masyarakat Sipil.
Saat dialog, diskusi dan buka puasa bersama yang digagas Koalisi Masyarakat Sipil Kendari pada Sabtu, 6 Agustus 2011 di kantor WALHI Sultra yang juga ditunjuk sebagai Sekber Koalisi gagasan Konvensi ini didedah.


Dalam dialog membahas Tantangan dan Peluang Program Konvensi Masyarakat Sipil untuk Wujudkan Pemilukada yang Berkualitas di Pemilukada Kota Kendari 2012 dilakukan dengan narasumberi: Sam Abdul Jalil, SE (Ketua KPUD Kota Kendari), Drs. Peribadi, MSi (Akademisi Unhalu) dan Anselmus AR Masiku, SH (Direktur LBH Kendari). Adapun moderator Asyriani, MSi dari Koalisi.


Dalam forum tersebut, Peribadi memaparkan bahwa kualitas partisipatoris masyarakat sipil untuk membenahi kualitas demokrasi, khususnya di momen penentuan kepala daerah, dapat diwujudkan dengan dua jalan.

 
 
 
Pertama, tindakan reformis. Membenahi sistem rekruitment pemimpin daerah dan nasional. Ini membutuhkan pembenahan serius di tubuh partai politik yang ada. Juga gerakan sosial untuk mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan yang populis, pendidikan politik rakyat yang terencana baik, serta kontrol agar tercipta pemimpin-pemimpin yang tidak karbitan.


"Perlu dibangun suatu kesepahaman yang disebut oleh para antropolog sebagai 'Kesepakatan Tujuan'. Artinya, masyarakat luas duduk bersama untuk menciptakan sebuah mekanisme rekruitment pemimpin daerahnya, berikut instrumen penghukumnya, jika sang pemimpin tidak becus dalam mengemban amanah rakyat. Program Tidak Pilih Politisi Busuk mesti dipadukan dengan gagasan Konvensi," urainya.


Kedua, pilihan yang tersedia, revolusi sosial. Masyarakat sipil bisa mulai dengan lakukan pemboikotan alias tidak usah datang memilih dalam setiap tahap pemilihan umum. Ada delegitimasi sosial. Agar masyarakat tidak selalu jadi sarana mobilisasi politik untuk legitimasi proses pemilu/kada yang menyisakan banyak persoalan.


"Kedua pilihan di atas mengandung resiko dan kebaikannya masing-masing. Tinggal lagi dibutuhkan kesepakatan sosial dari semua elemen. Gagasan Konvensi yang didorong kawan-kawan Koalisi patut untuk dimajukan gagasannya. Agar ada check and balance dari proses rekuitment Kepala Daerah," urai Peribadi yang juga sehari-hari menjadi staf pengajar di FISIP Universitas Haluoleo Kendari.


Adapun Anselmus menyampaikan, bahwa menyoal proses rekrruitment pemimpin daerah maupun nasional dalam proses Pemilu/Kada, kritik terbesarnya pada peran parpol dan penyelenggara pemilu.


Menurut Ansel, dalam demokrasi yang substantif, parpol sejatinya memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu (1) sebagai sarana "sekolah politik" untuk melahirkan kader-kader politik yang kelak menduduki jabatan-jabatan politik; (2) pendidikan politik pada rakyat banyak tanpa berhenti hanya di momen Pemilu/kada.


"Kenyataan saat ini fungsi-fungsi utama parpol tersebut tidak berjalan sesuai semestinya. Parpol terjebak dalam iramanya sendiri. Rekruitmen kepemimpinan daerah/nasional lebih banyak dilakukan secara instant. Rakyat sebagai pemegang kedauatan tertinggi sulit untuk mendapatkan akses, pencerdasan dan informasi politik di parpol, kecuali untuk anggota parpol bersangkutan, itupun terbatas adanya. Sebab, elit parpol yang dominan perannya" demikian Anselmus memaparkan.


Ansel mengkritik keras sikap elitis dari elit parpol saat ini. Termasuk fenomena tidak adanya oposisi yang melembaga dan kuat di parpol saat ini untuk mendidik rakyat berpolitik secara benar. Parpol dengan gampang menunjuk seorang kepala daerah yang sedang menjabat untuk langsung jadi ketua umum partainya di banyak daerah. Memotong mekanisme pengkaderan yang harusnya jadi barometer.


"Tentang oposisi, menurut saya, aneh konfigurasi politik parpol kita saat ini. Di pusat, misalkan PDIP menyatakan sebagai parpol oposisi, tapi di daerah, malah menjadi pemegang kekuasaan pemerintahan, misalnya jadi kepala daerah. Ini oposisi atau disposisi," ujarnya setengah bergurau.


Adapun Syam Abdul Jalil dalam diskusi lebih banyak memberi masukan untuk penguatan kerja lembaga penyelenggara Pemilukada disemua level. Baik KPUD, PPS, PPK maupun KPPS di kelurahan/desa. Termasuk peran Panwas/Bawaslu dan lembaga pemantau Pemilu. Pengalaman setiap Pemilukada yang berbiaya tinggi (high cost) menurut Syam mesti dilakukan koreksi mendalam. Perangkat Undang-undang yang tersedia saat ini mesti dipertegas lagi aturan terkait dengan tahapan Pemilukada dan peran-peran aktif masyarakat sipil untuk menjadikan Pemilukada berlangsung efektif dan efisien.


"Saya setuju dengan gagasan-gagasan maju dari masyarakat sipil seperti program Konvensi ini, agar proses rekruitmen pemimpin daerah di era otonomi daerah saat ini bisa lebih tersambung dengan kepentingan masyarakat di level bawah. Artinya, jauh-jauh hari ada proses cukup panjang untuk sosialisasi dan membangun kesepahaman sosial di level bawah. Selain juga untuk mencerdaskan masyarakat pemilih, agar bisa lebih kritis dan cermat dalam menentukan pemimpinnya. Pemilukada yang membutuhkan waktu panjang dan biaya yang besar, mestinya sudah harus dirubah ke depan," ungkap Ketua KPUD Kota Kendari ini.


Syam Abdul Jalil juga setuju agar masyarakat sipil mendorong adanya transformasi sosial agar pemimpin yang lahir dari proses pemilukada bisa punya integritas, kapasitas dan kemampuan menjawab apsirasi masyarakat secara profesional.


Diskusi dihadiri sekitar 50-an peserta. Dari kalangan pelajar, mahasiswa, aktivis NGO, Jurnalis, anggota KPUD, serta pemerhati sosial politik di Sulawesi Tenggara. Diakhir diskusi, para peserta rata-rata setuju untuk membantu mendorong gagasan Konvensi ini untuk dapat dijalankan dengan pelibatan aktif warga di level kelurahan. Catatan kritis lainnya diberikan peserta, agar program ini sedapat mungkin memberi ruang dan perhatian yang cukup besar bagi pelibatan kaum perempuan dalam prosesnya. Agar tercipta keadilan gender.


Program Konvensi Masyarakat Sipil ini digagas oleh sejumlah lembaga di bawah payung Koalisi Masyarakat Sipil Kota Kendari. Lembaga yang tergabung: Perkumpulan JURDIL Sultra, YPSHK, WALHI Sultra, MEDIKRA dan The Constructive. Didukung TIFA Foundation Jakarta.


Program mulai dijalankan sejak bulan Juni 2011 dan akan berakhir sekitar bulan Mei 2012. Program dilakukan di 64 kelurahan dan 10 kecamatan di Kota Kendari. Masyarakat sipil, media massa, penyelenggara Pemilukada, aparatur keamanan, DPRD, parpol, serta aparat pemerintah merupakan mitra strategis dalam program ini.


Diperkirakan tahapan Pemilukada Kota Kendari akan mulai sekitar akhir Desember 2011. Dan pemilihan berlangsung sekitar bulan Juli 2012.**



Kendari, 6-8-2011.

@Erwin Usman/Koordinator Koalisi