Opinion Peblika

Opinion Peblika
Suasana Foto Galian Tanah Tambang C Tanpa Melalui SRKL dan AMDAL di Wakatobi

Sabtu, 06 Maret 2010

PROVINSI BUTON RAYA DALAM PRESPEKTIF SEJARAH (Oleh Ali Habiu)

KABUPATEN Buton terletak dikepulauan jazirah tenggara pulau Sulawesi dan secara geografis teletek di bagian selatan khatulistiwa memanjang dari 4º Lintang Utara ke 6º 15" Lintang Selatan dan membentang dari 120º 03" Bujur Barat ke 125º Bujur Timur. Adapun wilayah pemerintahannya meliputi sebagaian Pulau Muna, Buton dan sebagian berada didataran tenggara pulau Sulawesi. Kabupaten Buton sebelah utara barbatas dengan Kabupaten Muna dan laut Maluku dan bagian selatan berbatasan dengan Kota Bau-bau dan Laut Flores sedangkan di sebe;ah timur berbatas dengan Laut Banda dan sebelah barat dengan Teluk Bone. Keberadaan pulau bila ditinjau dari aspek geoteritorial merupakan satu-satunya pulau yang terdapat di Kawasan Tengah Indonesia memungkinkan secara strategis tempat persinggahan kapal-kapal laut seperti kapal perang, kapal penumpang dan kapal barang yang berasal dari wilayah Barat menuju ke wilayah Timur Indonesia dan sebaliknya dengan pertimbangan lebar dan kedalaman pelabuhan dari beberapa dermaga besar yang ada di daerah ini cukup representatif memenuhi standar Navigasi Internasional dan merupakan bagian persinggahan antar wilayah tersebut. Demikian pula berlaku bagi armada kapal-kapal angkutan barang maupun kapal-kapal perang Bangsa Asing yang melintas Kawasan Tengah Indonesia yang berasal dari Laut Hindia masuk melalui Selat Sunda menuju ke Laut Atlantik bisa singgah dipulau ini untuk mengisi bahan bakar, air dan sebagainya. Mengingat prospek potensi pulau ini ketika itu dapat dilihat sebagai suatu daerah yang akan cepat berkembang dikemudian hari maka inplikasi dan hegemoni politik turut mewarnai pemilihan Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara pada masa itu. Sejak terbentuknya Kerajaan Buton yang di perkirakan pada abad XIII lalu sampai ke masa ke Sultanan, dari segi pemerintahannya sangat dihormati oleh daerah-daerah tetangga utamanya masyarakat Bugis-Makassar, karena mereka sadari bahwa hampir sebagian besar pemimpin kerajaan didaerahnya berasal dari keluarga atau anak Raja Buton. Misalnya saja raja Bone I yang bernama Watampone atau Putri Lasem saudara perempuan Si Batara suami Wakaka anak Raden Wijaya dari Majapahit Kemudian Sarewigading Raja Luwu anak Raja Buton I dari Kerajaan Lasalimu (ada 5 kerajaan kecil di Lasalimu sebelum Wakaka), selanjutnya Arung Palakka merupakan anak La Kabaura, seorang panglima perang dari Kesultanan Buton. Oleh Kesultanan Buton, Arung Palakka diberi gelar kerhomatan yakni : Lakina Holiwombo, gelar politis untuk tetap menjalin persaudaran antar Buton, Bone, Luwu dan Gowa. Oleh karena itu setiap pertemuan apapun saja yang diselenggarakan di kerajaan Gowa, Bone ataupun di Luwu para utusan dari Kerajaan Buton atau Kesultanan Buton sangat disegani dan diberi fasilitas pelayanan plus dibanding dengan utusan dari kerajaan kerajaan lainnya. Pada masa setelah kemerdekaan para pemuda pemuda Buton yang telah melanjutkan pendidikannya di Makassar rata rata memiliki kecerdasan dan peradaban yang tinggi sehingga pula mereka disegani dan dihormati diantara sesamanya baik lawan maupun kawan di mana lingkungan mereka berada. Mereka itu terdiri dari para anak Sultan dan pemuka Adat sekaligus dianggap sebagai tokoh tokoh masyarakat Buton pada saat itu antara lain seperti: La Ode Manarfa, La Ode Hadi, La Ode Malim, La Ode Azis, Jaksa La Ode Wasiun, Halim dan lain lain. Oleh karena itu dengan melihat sekilas fenomena ini amatlah jelas kepada kita semua suatu gambaran adanya intensitas perkembangan potensi sumber daya manusia didalam pemerintahan Kesultanan Buton sebagai suatu daerah swatantra yang dapat diidentikkan sebagai suatu daerah provinsi pada saat ini maka secara politik berimplikasi munculnya keraguan dikalangan tokoh tokoh masyarakat Sulawesi Selatan ketika itu yang ada di Makassar. Sebagai dampak atas keraguan ini seluruh aktivitas kegiatan politik tokoh -tokoh Buton yang melanjutkan pendidikannya didaerah ini selalu mendapat perlawanan dan dibekukan. Mereka sebagai tokoh tokoh masyarakat Bugis-Makassar sudah bisa melihat prospek kedepan dari segi pertimbangan SDM para tokoh tokoh Buton yang ada di Makassar saat itu sangat berbahaya terhadap kepentingan Sulawesi Selatan dimasa depan terutama ditinjau dari segi peranan kepentingan geotoritorial dan geopolitik di kawasan Timur Indonesia. Oleh karna itu ketika provinsi Sulawesi telah terpacah pecah menjadi beberapa provinsi dan Sulawesi Bagian Tenggara juga memungkinkan dibentuk menjadi satu provinsi maka dipertengahan tahun 1963 lalu dajukanlah calon ibukota untuk provinsi tersebut, yakni Kota Kendari dan kota Bau-Bau dan selanjutnya beberapa bulan sesudahnya dilakukanlah pemilihan Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara di Jakarta. Alhasil jumlah suara yang didapatkan dari hasil pemilihan suara (baca:referendum) diperoleh saat itu satu suara lebih memilih Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara tempatnya di Kota Bau-Bau, dibandingkan dengan Kota Kendari sebagai Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara, sehingga pimpinan sidang memutuskan da menetapkan Ibu Kota Provinsi Sukawesi Tenggara terdapat di Bau-Bau Buton. Tetapi apa yang terjadi kemudian belum beberapa waktu berselang hasil pemilihan keputusan pemilihan itu doprotes oleh utusan yang mewakili Sulawesi Selatan dengan cara menolak dan tidak mau tanda tangani berita acara hasil pemilihan ketika itu mereka terdiri para tokoh masyarakat dari beberapa kalangan perwira ABRI dari instansi Kodam IV Hasanuddin dan akhirnya pemilihan dianggap gagal dan diundurkan sampai waktu tiga bulan kedepan. Setelah tiga bulan, berlangsung kembali pemilihan Ibu Kota Provinsi dan karena ribut utusan dari wakil-wakil tokoh masyarakat yang berasal dari Sulawesi Selatan kerja sama dengan Kendari menginginkan pemilihan suara dilakukan secara voting dan akhirnya pelaksanaan pemilihan suara dengan secara votingpun disetujui oleh pimpinan sidang dan setalah dihitung jumlah pemilih ternyata tiga suara lebih memenangkan Kendari sebagai Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara dibandingkan dengan suara yang memilih Bau-Bau, Buton. Bisa dibayangkan betapa kecewanya utusan tokoh tokh masyarakat Buton pada waktu itu, tokoh-tokoh masyarakatb seperti La Ode Manarfa, La Ode Hadi, jaksa La Ode Wasiun, La Ode Azis tak dapat menerima rekayasa ini dan akhirnya jaksa La Ode Wasiun stress berat sampai beliau mengibarkan bedera merah putih setengah tiang dihalaman Istana Ilmiah dan mengajak seluruh Masyarakat Buton untuk segera bentuk dan dirikan negara Butuni yang mana keadaan ini telah berlangsung selama beberapa bulan lamanya. Sosok dari seorang jaksa La Ode Wasiun ini adalah seorang parametafisis, dia tahu bahwa ada kebohongan, ada rekayasa politik dibalik semua ini, dia tahu bahwa tokoh-tokoh masyarakat Sulawesi Selatan tidak menginginkan wilayah Buton menjadi basis Ibu Kota Sulawesi Tenggara karena daerah ini berpotensi kedepan menjadi bergaining position pintu gerbang Kawasan Timur Indonesia. Suatu fakta tragedi sejarah yang sangat memilukan hati nurani rakyat Buton pada masa itu, sesungguhnya seluruh masyarakat Buton tidak akan pernah melupakan kejadian ini dan secara apasteriori perjalan sejarah masa lalu telah membuka mata hati kita semua bahwa ternyata selama ini telah terjadi pembohongan publik di daerah ini dan dapat dijadikan sebagai suatu alat legitimasi dalam membentuk suatu peta kekuatan politik atas usaha perkembangan Buton dimasa-masa akan datang. Bahwa kini Kota Kendari dengan keberadan teluknya yang telah dijadikan sebagai suatu ciri khas kebanggannya menjadikannya sebagai Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara ternyata dari perjalanan waktu kewaktu secara linier tidak menunjakkan adanya indikasi eksistensi tingkat pertumbuhan ekonomi daerah ini yang cukup signifikan jika ditinjau dari aspek Product Domectic Regional Bruto (PDRB), atau dengan kata lain PDRB yang dihasilkan daerah ini sangat rendah bila dibandingkan dengan PDRB bagi daerah-daerah kebelakang lainnya di Indonesia. Iklim investasi didaerah inipun juga (baca:Kota Kendari dan sekitarnya) hingga saat ini terkesan lamban karena para investor tak mampu ditunjang oleh suatu kondisi Spesific Environment yang memadai sekalipun pemerintah daerah sesungguhnya sudah cukup memberikan fasilitas. Secara kontekstual masalah ini dapat dilihat pada lemahnya orientasi sistem Bussines Eduqation dan Corss Fungtional Application antar subyek\obyek lingkup para investor sehingga membuat para insvestor takut untuk menanamkan sahamnya secara nyata (real assets) didaerah ini dengan kata lain mereka takut tak kembali modalnya. Dilain pihak akselerasi perkembangan Tata Ruang Kota Kendari dan Pemukiman juga terkesan lamban karena tidak adanya dukungan akses interkoneksitas lingkungan sosial ekonomi antar kawasan pertumbuhan yang relatif mudah dijangkau. Bahkan kini Kota Kendari dengan kebanggaan teluknya itu yang telah dijadikan sebagai basis Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara ternyata dari perjalanannya hingga saat ini tidak dapat menunjukkan secara ambivalen adanya subsistem pertumbuhan ekonomi yang dapat mempengaruhi laju perkembangan pembangunan antar daerah secara merata di wilayah sulawesi tenggara dan sekitarnya.****

Tidak ada komentar: