Berbicara tentang pengembangan atau pemberdayaan sumber daya manusia Indonesia pada hakekatnya kita berbicara mengenai sejauhmana pemerintah memberikan pelayanan dan fasilitas pendidikan kepada warganya, dan sejauhmana ethnologis budaya bangsa dapat dipertahankan sebagai soko guru etika budaya dan moralitas manunsia yang dan berbudi pekerti dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perolehan peningkatan Sumber Daya Manusia melalui pendidikan formal, bukan merupakan satu-satunya sarana untuk mendidik manusia Indonesia menjadi manusia cerdas dan pandai, namun juga tak kalah pentingnya adalah bagaimana proses adaptasi pemberdayaan sosial budaya dimana manusia tersebut dibesarkan atau dibina oleh kedua orang tua atau sanak keluarga dapat mengembangkan kemampuan intelegensia dan moralitas sebagai manusia berbudaya, sehingga setiap individu memiliki identitas diri sebagai manusia Indonesia.
Ciri khas manusia Indonesia sebagai manusia yang berahlak dan berbudaya yang amat tersohor pada zamannya, sekarang sudah semakin sirna ditelan oleh globalisasi perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang menjadikan manusia Indonesia saat ini menjadi homo ekonomikus (Suryadarminta,1982), mereka lupa akan budayanya yang begitu tersohor pada zamannya mengakibatkan prilaku manusia bangsa ini dewasa ini cenderung individualistik. Sejak dekade 1980-an kecenderungan sistem pendidikan kita lebih dominan mengadopsi muatan-muatan kurikulum sistem pendidikan negara Amerika Serikat dan Eropah Barat, padahal produk sistem pendidikan kita waktu itu yang merupakan adaptasi atau asimilasi dari kurikulum Eropah Timur, Eropah Tengah dan Belanda relatif sudah cukup baik dan memuaskan, tinggal saja bagaimana pemerintah menyesuaikan diri sesuai perkembangan zaman. Namun sistem pendidikan yang sudah baik itu dari tahun ke tahun mengalami perubahan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai akibat dari indoktrinasi pemikiran dari para menteri kita ketika itu yang dominan berasal dari lulusan universitas dari Amerika Serikat, sehingga pola-pola westernisasipun berjalan dengan sendirinya, merombak sedikit demi sedikit kurikulum sistem pendidikan nasional sampai mendapatkan kurikulum yang kita rasakan saat ini. Akibatnya para mahasiswa tidak mendapatkan link and match, setiap produk sarjana dari pendidikan tinggi, baik berasal universitas-universitas atau perguruan tinggi negeri/swasta menelorkan sarjana yang tidak siap pakai. Hal ini menandakan bahwa pembinaan Sumber Daya Manusia Indonesia melalui produk alumni pendidikan tinggi tidak dapat memberikan konstribusi secara signifikan terhadap pemberdayaan Sumber Daya manusia itu sendiri dalam memberikan konstribusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Samudro wibawa (2005), membagi masyarakat menjadi dua, masyarakat kapitalistik dan masyarakat pra kapitalistik. Pembagian ini tentu saja sedikit berbau “sara” : bahwa masyarakat itu berkembang kearah kapitalistik, atau bahwa masyarakat kapitalistik itulah masyarakat yang “baik”. Pengamat lain mempunyai kacamata yang agak lebih netral : bahwa masyarakat terbagi ke dalam mereka yang moderen dan mereka yang tradisional. Sekalipun penyebutan seperti ini agak netral, pastilah dia juga menyimpan asumsi, bahwa moderen itu lebih baik dari pada tradisional. Adapula orang yang membagi masyarakat kedalam mereka yang bekerja di sektor formal dan mereka yang bekerja di sektor informal. Lagi-lagi pernyataan inipun implisit mengandung pemahaman, bahwa formal itu bagus dan kedalam situasi itulah masyarakat pada akhirnya harus berada, sedangkan informal itu jelek, kelas dua atau malu-maluin. Karenanya tukang becak harus digusur, pedagang asongan harus ditertibkan.
Keprihatinan tersebut di atas dapat dilanjutkan dengan pernyataan bahwa pilihan kebijakan pemerintah untuk mengembangkan ekonomi selama ini telah menyingkirkan perhatian terhadap pengembangan potensi Sumber Daya Manusia sebagai individu.
Setiap masyarakat, setiap warga negara berhak maju. Hidup memang harus begitu, tidak boleh sebaliknya seperti air yang mengalis kebawa atau seperti uap panas yang mengalis ke atas. Tetapi apakah maju itu ?.
Samudro Wibawa (2005), memberikan kriteria untuk dapat membangun dirinya (membangun sumber daya manusianya) atau agar dapat masyarakat kita disebut sebagai komunitas dalam proses memajukan dirinya, maka berdasarkan pengalaman sejarah----secara individual maupun kolektif, manusia bangsa ini harus mempunyai karakter sebagai berikut :
- Berpikir dan bersikap logis, dalam arti bahwa kita dapat menjaga konsistensi antara tujuan dan cara, atau harus rasional, pragmatis. Sejak terbentuknya negara ini tahun 1945, hanya sedikit diantara warga bangsa ini yang mempunyai karakter seperti ini. Kebanyakan kita adalah orang-orang yang tidakk mempunyai tujuan, tidak punya rencana, membiarkan diri hanyut dalam arus dan mode kehidupan, yang saat ini sbagian besar ditentukan oleh negara-negara Amerika, Eropah dan Jepang. Ini harus kita tinggalkan. Setiap warga negara harus mempunyai tujuan dan bisa memikirkan secara sistematis bagaimana cara mencapainya, dengan dibarengi sikap serius dan pragmatis. Kita harus mampu mengevaluasi kerja kita dan harus mampu merubah tujuan sesuai dengan cita-cita bangsa,
- Disiplin dan kerja keras. Termasuk dalam hal ini adalah hidup secara hemat, jujur, sabar dan bersikap lebih banyak ekstrovert dari pada pemalu dan introvert . Kita juga perlu selekasnya meninggalkan gaya hidup yang gengsi-gengsian, dan projo oriented, menggantinya dengan tujuan dan prestasi oriented.
- Ada kesempatan berkreasi. Masyarakat harus dapat menciptakan suasana social yang memungkikan secara individu untuk menampilkan gagasan dan merealisasikan ide-idenya. Hal ini agak problematis : Ide baru sering kali melawan nilai dan norma sosial. Pada kondisi demikian ini masyarakat harus dapat kompromistis.
- Terjaminnya kualitas. Kesempatan yang diberikan oleh masyarakat kepada individu haruslah diimbangi oleh setiap individu dengan menciptakan kreasi secara kualitas, tidak asal-asalan atau asal jadi. Disiplin, kerja keras dan kesungguhan hati pastilah menghasilkan karya-karya yang berkualitas.
- Kepastian hukum. Masyarakat juga harus dapat menjamin kepastian hukum. Hukum adalah aturan bersama, yang dirumuskan secara bersama, baik berupa undang-undang maupun peraturan pemerintah pada semua tingkat dan antar kelompok masyarakat untuk dipakai buat kepentingan bersama.
- Transparansi proses politik dan birokratik. Kepastian hukum akan lebih terjaga, jika proses pembuatan aturan dan proses pelaksanaannya berlangsung secara kasat mata. Setiap individu harus diberi hak untuk melihat jalannya proses itu, tidak peduli apakah dia akan menggunakan haknya atau tidak.
- Teladan kelompok elit, baik elit politik, ekonomi maupun budaya. Dalam sebuah sistem sosial yang demokratis, transparan dan bebas, sebenarnya kelompok elit tidak memainkan peran yang dominan dalam membentuk dan mengarahkan perkembangan masyarakat.
- Jaminan sosial----hari tua, kesehatan pendidikan. Selain adanya kepastian hukum dan jaminan keamanan bagi setiap warga negara, setiap individu dalam masyarakat kita akan terdorong untuk melakukan atau menciptakan karya-karya kreatif yang berkualitas, jika ada system reward and punishment yang bagus.
Proses sosial yang progressif tersebut di atas hanya dapat berlangsung secara relatif menyenangkan, jika persyaratan di bawah ini dapat dipenuhi, yakni :
- Utang negara maupun utang swasta berada pada tingkat normal. Utang yang berkelebihan akan menyengsarakan masyarakat secara keseluruhan, termasuk rakyat yang tidak berhutang,
- Kondisi sosial, politik dan ekonomi dalam keadaan stabil, tidak dalam arti bahwa kehidupan masyarakat tenang tetapi tertekan.
- Sistem pendidikan dan penelitian yang mantap dengan menciptakan link and match antara pendidikan tinggi dan kerja, sehingga universitas atau perguruan tinggi tidak hanya menghasilkan sarjana berijazah, melainkan sarjana yang siap bekerja atau mampu menciptakan lapangan kerja sendiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar