Ketika kita ingin menyoal atau berbicara tentang keadaan atau potensi Sumber Daya Manusia Indonesia saat ini, maka kita tidak boleh terlepas dengan bagaimana kita berbicara tentang asal muasal patrimonial maupun matrimonial secara genetikal para manusia yang mendiami kepualauan di wilayah Republik Indonesia ini serta bagaimana sebetulnya perhatian pemerintah terhadap sistem pendidikan kita dewasa ini. Bila kita berbicara tentang Potensi Sumber Daya Manusia Indonesia ditinjau dari asal muasal spesifikasi asal mula manusia yang datang mendiami gugusan kepulauan nusantara ini adalah sangat beragam, hal ini ditandai dengan begitu banyaknya latar belakang ethnis dan genetikal asal keturunan manusia yang datang pada zamannya baik berasal dari Asia seperti Johor, Tobelo, Arab, Mongolia, Tibet, Jepang maupun Eropah seperti Portugis dan Belanda mendiami setiap pelosok bumi nusantara ini.
Berdasarkan beberapa dari catatan sejarah mengemukakan bahwa manusia-manusia yang datang ke kepulauan nusantara ini pada zamannya pada umumnya mereka adalah pelarian dari suatu koloni kerajaan yang tak tahan oleh kesewenang-wenangan penguasa Raja di negerinya ketika itu, dan ada pula yang mamang sengaja datang akibat dari kemauan sendiri atau saudagar yang kebetulan terdampar armada atau kapal yang ditumpanginya saat itu. Hal ini diperkirakan terjadi pada abad VIII sebelum masehi (Sarlito Wicaksono,2005).
Dengan menelusuri latar belakang asal penduduk nusantara ini, maka kita bisa melihat bahwa struktur masyarakat Indonesia berasal dari berbagai stratifikasi budaya dan asal keturunan dan genetikal yang membentuk struktur mental dan intelegensia, merupakan potensi Sumber Daya Manusia Indonesia. Bila saja rakyatnya diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan secara layak (gratis) oleh pemerintah dengan biaya murah tetapi sarana dan prasarana pendidikan yang disiapkan oleh pemerintah mempunyai kelengkapan yang memadai, maka dapat dipastikan bahwa manusia–manusia Indonesia suatu saat nanti akan memiliki potensi keilmuan sains dan teknologi yang bisa diandalakan karena pada dasarnya manusia Indonesia memiliki susunan anatomi sel otak yang baik (Supriyana, 2002).
Akan tetapi cerita di atas hanyalah merupakan suatu konsep idealisasi bagaimana sebetulnya bangsa ini bias maju sangat tergantung dari kesiapan sumber daya manusianya. Selama pendudukan belanda 350 tahun sejak tahun 1645 lalu hingga kemerdekaan dicetuskna tahun 1945, bangsa ini tidak memiliki kesempatan untuk rakyatnya memperoleh pendidikan secara umum, kecuali hanya segelincir kecil saja para anak-anak keturunan keluarga priyai, bangsawan, raja, sunan, sultan dan para abdi dalam juga para ningrat atau para amtenar belanda. Sehingga jumlah manusia Indonesia yang memperoleh pendidikan sejak zaman kolonialisme pendudukan belanda hanya terbatas pada golongan tersebut, yang diperkirakan hanya 0,02 % s/d 1,2 % dari total penduduk ketika itu (sarlito Wicaksono, 2005). Oleh karena itu memang dapat dibayangkan sudah bahwa potensi keseluruhan Sumber Daya Manusia Indonesia saat ini boleh dikatakan masih mandul, sebab dengan hanya segelincir saja yang memperoleh pendidikan saat ini yang telah berlangsung selama 350 tahun atau setara tiga generasi, ditambah dengan efektivitas system pendidikan kita baru dimulai awal dekade 1970-an secara merata di seluruh pelosok nusantara walaupun perguruan tinggi negeri ternama seperti UGM, ITB, UNAIR, UNHAS, UNSRI, UI relatif sudah berdiri sejak awal tahun 1960-an, namun dari tahun 1960-an sampai 1970-an baik sistem, aturan adminstratif maupun fasilitas sarana dan prasarana pendidikan kita saat itu masih sangat terbatas, sehingga produk alumninya juga memiliki pengetahuan sangat terbatas.
Memang kebanyakan para pakar pendidikan juga tidak sependapat secara keseluruhan bahwa pembentukan Sumber Daya Manusia Indonesia itu hanya semata mata karena produk pergurun tinggi, karena ada juga masyarakat kita yang hanya bermodalkan izasah SLTA atau ALTP, tetapi karena kemampuan dia untuk ber-otodidak maka dia juga menghasilkan potensi SDM yang bisa dibanggakan dimana lingkungan dia berada baik Regional, Nasional dan Internasional. Hal ini terdapat pada stratifikasi secara individual maupun komunal pada masyarakat golongan strata seni budaya dan sejarah seperti yang terdapat di pulau Bali, Solo, Jogyakarta, Tator, Hal ini diperkuat dengan pernyataan Dayak Monir HT dalam Ati Cahayani (2005) bahwa ada sejumlah nilai, terlepas dari lingkup budaya manapun, yang terkait dengan prestasi (pendidikan).
Masyarakat kita saat ini dengan segenap potensi Sumber Daya manusia yang dimilikinya, tidak pernah akan mampu untuk menciptakan sesuatu penemuan ilmiah secara inharen baik dalam dunia sejarah, arkiologi, astronomi, geofisika, fisika-kimia, biologi, anatomi, sains dan teknologi jika selama itu pemerintah republik ini belum mampu menyediakan suatu lembaga formal yang dapat menjamin dan membiayai eksistensi seseorang pelaku dalam melakukan riset, rekayasa, value engineer dan penulisan-penulisan secara ilmiah. Demikian pula sarana buku-buku dari berbagai penerbit dan penulis yang telah terbit di berbagai belahan dunia harus mampu diciptakan dalam adopsi bahasa Indonesia dan pemerintah bisa mendistribusikan diberbagai perpustakaan baik perpustakaan umum, sekolah maupun perguruan tinggi.
Sistem penerapan kurikulum pendidikan tinggi baik S-1, S-2 maupun S-3 di Indonesia, harus mampu menciptakan kepada anak didik agar menghasilkan manusia-manusia applied sciences bukan pure sciences sebagaimana produk yang dihasilkan perguruan tinggi di Indonesia saat ini atau kombinasi keduanya. Sudah bukan lagi rahasia umum dikalangan S-1 bahwa perolehan angka setiap mata kuliah dengan mendapat nilai A adalah bukan sepenuhnya hasil prestasi mahasiswa melainkan karena adanya campur tangan para dosen dengan menkatrol jumlah lulusan. Dia ingin menunjukkan kepada atasan (Dekan atau Rektor) bahwa yang bersangkutan seolah-olah sudah mampu untuk mengajar (bisa meluluskan mahasiswa di atas 80%) sehingga mendapat skor nilai baik (kredit point) dosen yang bersangkutan pada atasannya. Sementara di lain pihak para mahasiswa kadang kala dia tak mengerti sepenuhnya apa saja manfaat materi kuliah yang telah diajarkan oleh para dosen kepada mereka. Polemik semacam ini ternyata juga telah menembus benteng eksistensi lembaga pendidikan tinggi Universitas Halu Oleo. Disisi lain amat kasaf mata bahwa ada sebagian para mahasiswa program pasca sarjana (S-2) yang berlatar sosial ekonomi baik dan berstatus pejabat dilingkungan pemerintah daerah, masih senang atau terbiasa menerima beres tugas akhir mereka dengan bekerja sama dengan dosen tertentu, yang tanpa merasa risi sedikitpun penelitian tesis yang telah didapatkannya itu dipertanggungjawabkan tanpa canggung didepan majelis sidang yang terdiri dari penguji dan pembimbing dan memperoleh nilai baik. Padahal kalau mau jujur bahwa produk semacam ini adalah pada hakekatnya mematikan potensi SDM yang bersangkutan dan sekaligus melemahkan citra eksistensi lembaga perguruan tinggi Unhalu yang saat ini lagi mau naik daun. Benturan-benturan banyak kepentingan yang telah digambarkan sebagai contoh kecil diatas merupakan produk manusia di abad moderen ini, cenderung materialisme dan homo ekonomikus. Mereka sesungguhnya telah mencederai nilai nilai dan etika budaya bangsanya sendiri. Selama beberapa kutub permasalahan ini belum mampu Pemerintah Republik Indonesia mengaturnya, maka pemerintah jangan harap lebih banyak kepada rakyatnya; bahwa mereka masih belum mempunyai peluang untuk bisa maju. Dan oleh karena itu potensi SDM bangsa ini hanya akan dapat selalu berjalan harisontal dari tahun ke tahun----tidak banyak yang bisa diharapkan dan dibanggakan. Makin hari semakin kita semua anak negeri ini didepak oleh kemajuan bangsa-bangsa lain rumpun tetangga kita.
Malu ahhh….........!!!