Soros dalam buku “Open Society : Reforming Global Capitalism” (2000) masih tetap berpendapat bahwa Kapitalisme dewasa ini sedang dalam masa krisis, karena dia tengah membahayakan masyarakat terbuka. Namun demikian dalam praktek Soros sebagai seorang Sosialis menilai Kapitalisme itu didasarkaan dalam teori lain yang dianut, yakni tentang “Open Society” (Masyarakat Terbuka) yang dia pahami dari ajaran Karl Popper ketika dia masih menjadi Mahasiswa di “London School of Economics” di inggeris tahun 1952. Soros dalam penilaiannya bahwa praktek Kapitalisme telah mencipatakan suatu jenis “Masyarakat Tertutup” yang diindikasikan semacam Masyarakat Komunis atau Masyarakat Fasisme. Masyarakat ini menurut ajaran Karl Popper adalah sebagai “Musuh-Musuh Kapitalisme”. Jadinya sesungguhnya Kapitalisme saat ini telah memasukan ajaran kontra produktif dari ajaran murni Kapitalisme.
Pemikiran Soros dalam bukunya ini telah menuai kontroversial dibanyak kalangan, sehingga dirasa perlu ditelaah untuk mendapat penjelasan konkret.
Judul lengkap dari buku Soros ini mengandung makna bahwa Kapilalisme yang berada dalam krisis itu telah membahayakan “Masyarakat Terbuka” atau “Open Society”. Disini Soros punya dua orientasi, yakni “Kapitalisme” dan “Masyarakat Terbuka”. Istilah “Open Society” itu bukanlah berasal dari Soros melainkan berasal dari guru intelektual Soros yakni Karl Popper yang telah mengarang buku sebelumnya yang berjudul “Open Society and Its Enemies” (1969) yang menyoal “Masyarakat Terbuka” dan musuh-musuhnya.
Soros dalam bukunya “Open Society : Reforming Global Capitalism, sedang melihat bahwa Kapitalisme global dewasa ini dalam keadaan krisis. Tapi pandangan pokok yang ditemukan Soros adalah bahwa Kapitalisme sekarang ini yakni Kapitalisme yang didasarkan pada pandangan fundamentalisme pasar (market fundamentalism) yang didukung oleh prinsip “Laissez Faire” yang didasarkan pada Filsafat Individualisme dan Darwinisme Sosial. Intinya ialah teori “The Survival of The Fittest” merupakan ideologi dan praktek yang membahayakan Masyarakat Terbuka,
Soros menginginkan agar Kapitalisme itu dalam fenomena krisis terbuka harus segera diakhiri agar tercipta Masyarakat Terbuka yang ideal Soros. Soros menginginkan agar Kapitalisme itu merupakan Kapitalisme Masyarakat Terbuka yang sejalan (kompatibel) dengan demokrasi. Jadi bagi Soros, Masyarakat Terbuka yang di kutif dari teori Karl Popper itu adalah merupakan gagasan primer, sedangkan Kapitalisme merupakan gagasan sekunder. Soros mengangap bahwa Kapitalisme yang benar dan otentik memang bisa menyumbang terhadap Masyarakat Terbuka------tetapi idealisme Soros menginginkan terbentuknya masyarakat kapitalis yang sejati. Sebab sistem Masyarakat Terbuka itu bersifat menggairahkan ,mau berkembang dan cenderung kepada kondisi yang lebih makmur. Sementara itu bagi Soros melihatnya bahwa Kapitalisme saat ini merupakan “ideologi pasar radikal” yang kenyataannya menimbulkan banyak persoalan bagi Masyarakat Terbuka------hal ini Soros mau meluruskannya.
Soros melihat Kapitalisme sekarang ini sudah “salah kaprah” justru Soros melihatnya sebagai perkembangan akhir. Soros ternyata seorang spekulator ekonomi dalam pasar uang dan pasar modal. Sebagai spekulator dia sangat diuntungkan oleh Kapitalisme, bahkan oleh kelamahan Kapitalisme itu sendiri yang tidak mampu menciptakan stabilitas moneter di dunia yang membuatnya berada diantara deretan orang terkaya di dunia. Dengan kekayaan lebih US $10 Milyar kekayaan ini mampu diraihnya hanya dalam tempo 10 tahun melalui dua perusahaannya yakni “Soros Management Fund” dan “Quantum Fund Management” dia mampu meraih keuantungan 4000%.
Sebagai spekulator dia sangat diuntungkan oleh Kapitalisme bahkan oleh kelemahan Kapitalisme itu sendiri yang tak mampu menciptakan stabil;itas moneter di tingkat dunia. Tetapi dibalik keberhasilan dengan memanfaat-kan momentum itu dia juga menghujat sistem Kapitalisme itu secara habis-habisan, sehngga dia banyak manuai kritikan dari para liberal kapitalis itu sendiri, yang mana dia dianggap sebagai orang munafik.
Soros dalam pemaparannya mengklaim bahwa terdapat ciri persamaan antara “Kapitalisme Laissez Faire” dan “Komunisme atau Nazisme”. Iapun menulis bahwa : “Walaupun doktrin Laissez Faire tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Masyarakat Terbuka atau “Open Society” sebagamana ajaran Marxisme - Linimisme, namun kedua doktrin itu punya ciri penting yang sama yakni kesemuanya mencari pembenaran atas klaim mereka dengan berdasarkan dalil-dalil atau imbauan ilmu pengetahuan.. Soros mengatakan bahwa ketika pembenaran akhir sudah melampauai jangkauan kemanusiaan, maka ideologi itu harus mencari pemecahannya melalui pemaksaan visi meraka kepada masyarakat.
Soros juga sering melakukan praktek-praktek bisnis yang melanggar etika bisnis bahkan melangggar hukum. Pada tahun 1997 ketika terjadi krisis moneter di Asia Tenggara, mulai dari Thailand dan menjalar ke Malaisya , Indonesia dan Korea Selatan. Perdana Menteri Muhathir Muhammad menuduh Soros sebagai biang keladi krisis ini yang dilakukan oleh Quantum Fundation Soros, tetapi Soros mengklaim bahwa krisis yang terjadi di kawasan Asis Tenggara itu akibat dari kelemahan dalam sistem moneter Negara-negara itu sendiri.
Soros menganggap bahwa Kapitalisme Laissez Faire sebagai musuh Masyarakat Terbuka..!? Bukankah Masyarakat Terbuka itu sebagai aspirasi liberalisme yang memuja kebebasan individu.
Soros mengatakan bahwa setelah runtuhnya komunis dan fasisme maka yang muncul sebagai Masyarakat Terbuka ialah ideologi kanan ektrim.
Soros dalam meyankinkan kebenaran tentang teorinya yang disebut “Reflexivity” mengenai kebenaran yang harus ditemukan lewat Masyarakat Terbuka, dia mengembangkan melalui epistemologis tersendiri yang digalinya dari pandangan Kapitalisme Laissez Faire
Reflesivitas adalah epistemologis yang menjelaskan relasi antara fakta kebenaran dan realita yakni proses pemahaman melalui mekanisme feed back
Teori reflesivitas dikemukakan sehubungan dengan metodologi pemaha-man gejala ekonomi yang oleh para ahli pemikir ekonomi disamakan saja dengan gejalan alam dalam ilmu-ilmu alam (natural sciences)
Atas dasar epistemologis itu, Soros mengkritik prinsip-prinsip individu-alisme yang memiliki eksesif dalam perekonomian Laissez Faire.
Soros percaya bahwa keberan akhir itu tidak mungkin bisa dicapai karena pengetahuan manusia itu terbatas. Sehingga pemahamam manusiapun tidak sempurna. Akan tetapi pandangan manusia akan menjadi lebih baik dan mendekati kebenaran jika mereka saling tukar menukar pemahaman untuk diuji keabsahannya.
Soros menyimpulkan bahwa perselingkuhan antara gagasan Laissez Faire, Darwinisme Sosial dan Realisme Geopolitik yang dianut oleh Negara Amerika Serikat (Bush) dan Inggeris (Tony Blair) merupakan hambatan bagi terbentuknya masyarakat terbuka. Menurut Karl Popper, dulu Komunisme dan Nazisme merupakan musuh bebuyutan masyarakat terbuka dan menurut murid Kalr Popper yakni George Soros mengatakan bahwa justru ideologi Laissez Faire yang telah menggantikan dua ideologi sebelumnnya yakni Komunis dan Nazisme sebagai musuh masyarakat terbuka.
Soros melihat bahwa Kapitalisme memang berada dalam krisis, Tetapi konsep Masyarakat Terbuka (Open Society) menjanjikan perbaikan dan reformasi Ketidaksempurnaan dapat diperbaiki asalkan didasari dan diakui. Perbaikan itu dapat dilakukan melalui proses trial and error, mengingat adanya keterbatasan manusia dan ketidaksempurnaan manusia dalam menggapai kebenaran akhir. Oleh karena iru kebebasan berpendapat dan perbendaan pendapat harus diberi peluang untuk melakukan koreksi, karena koreksi akan mengarah kepada perbaikan.
Dengan melihat pandangan-pandangan itu, Soros cenderung kealiran Sosialis. Tapi sebenarnya dia adalah seorang Liberal dan Prodemokrasi Dia juga sangat mengesankan sebagai seorang fasifis, tetapi sebenarnya Soros adalah seorang liberal, tetapi dia juga bukan penganut aliran neo-liberal sebagaimana senangnya kepada ideologi fundamentalisme pasar.
Soros sebenarnya berminat kepada filsafat dan menemukan guru intelektualnya pada Karl Popper. Tetapi untuk mendukung kiprahya dibidang filsafat itu, ia merasa butuh banyak uang yang kemudian dicarinya lewat bursa Wall Street New York, sampai ia mampu memiliki kekayaan lebih US $ 10 milyar, walaupun sebagian kekayaannya itu disumbangkan kepada gerakan filantropi.
Dengan kemampuan kekayaan begitu besar Soros mampu membiayai idealismenya untuk menciptakan suatu “Masyarakat Terbuka” (Open Society) ditingkat global dengan membentuk lembaga-lembaga filantropi, seperti : “Open Society Institute” dan “National Soros Foundation”. Kiprahnya dibidang filantropi dengan sebuah konsep idealisme menjadikannya Soros terkenal dan memperoleh nama baik, walaupun sesungguhnya dia adalah seorang spekulator yang kerjanya dapat disamakan dengan “perampokan” yang mampu memanfaatkan kelemahan-kelemahan sistem pasar yang dikritiknya sendiri.
Yang menjadi masalah bagi Soros adalah kapitalisme Laissez Faire telah menyebabkan banyak kesalahan-kesalahan yang menimbulkan banyak masalah bagi masyarakat, lingkungan hidup dan kemananan dunia. Kapitalisme Laissez Faire sebagai suatu realitas telah menjadi momok yang mengancam kehadiran masyarakat terbuka. Nilai dari pandangan Soros ini ialah bahwa krisis Kapitalisme Global itu pada akhirnya ditulis oleh pendukung Kapitalsme itu sendiri yang menginginkan suatu perubahan.
Soros percaya bahwa kita semua mampu menciptakan suatu Masyarakat Terbuka secara Global atau Open Society for Global selangkah demi selangkah demi untuk kepentingan perekonomian masyarakat dunia.
Perlu diacungkan seribu jempol buat Soros, mengingat keberanian dia dalam mengkritisi Kapitalisme, padahal sesunggguhnya dia adalah seorang Liberal, Praktisi Kapitalis, Pro Demokrasi dan Pelaku Kapitalisme
itu sendiri-------walaupun semua orang menuduhnya sebagai seorang munafik.
Bila Soros berpendapat bahwa Kapitalisme dewasa ini sedang dalam masa krisis, karena dia tengah membahayakan masyarakat terbuka karena dia menilainya bahwa praktek Kapitalisme telah menciptakan suatu jenis “Masyarakat Tertutup” yang diindikasikan semacam Masyarakat Komunis atau Masyarakat Fasisme-----yang menurut Karl Popper adalah sebagai “Musuh-Musuh Kapitalisme”, dimana Kapitalisme saat ini telah memasukan ajaran kontra produktif dari ajaran murni Kapitalisme. Dan pemikiran Soros ini telah menuai kontroversial dibanyak kalangan, sehingga dirasa perlu ditelaah untuk mendapat penjelasan konkret.
Maka Bagi Francis Fukuyama dalam bukunya ; “The Great Disruption” : Human Nature and Rereconstitution of Social Order (1999), melihat bahwa masyarakat Kapitalis moderen lebih banyak menguras modal sosial dari pada penghasilannya. Dia melihat bahwa saat ini jangkauan kepercayaan antara manusia semakin sempit, kejahatan semakin merajalela, ikatan keluarga semakin longgar. Selain itu dia melihat bahwa akibat dari Kapitalisme bagi negara-negara maju saat ini telah menghambur-hamburkan modal sosial masing-masing tetapi mereka tidak mampu membangunnya kembali. Hal ini menunjukkan bahwa saat ini masyarakat ditakdirkan semakin kaya dari sisi materi, tetapi semakin miskin dari sisi moral seiring dengan perkembangan waktu.
Dia melihat bahwa Guncangan Besar “The Great Disruption” tidak secara otomatis akan memulihkan dirinya sendiri, yang mana masyarakat harus menyadari bahwa kehidupan berkelompok telah pudar dan cara manusia bertingkah laku akan merusak dirinya sendiri
Dia mengatakan bahwa pandangan ahli ekonomi seperti misalnya Albert Hirschman, menyebutkan bahwa sudah banyak sekali pemikiran yang saling bertentangan mengenai apakah meluasnya Kapitalisme moderen yang didorong oleh tekhnologi dapat menguntungkan atau merugikan bagi kehidupan moral ?, sementara para pemikir masa lampau melihat bahwa persediaan modal sosial dapat dibentuk dengan perekonomian bertekhnologi paling moderen. Kapitalisme memperkuat proses ini ; dengan meletakkan kepentingan pribadi di atas kewajiban moral dan dengan terus menghasilkan penemuan baru yang mengganti satu tekhnologi dengan tekhnologi baru. Kapitalisme telah menghancurkan ikatan-ikatan sosial yang telah dibangun selama berabad-abad dalam masyarakat manusia dan tidak menyiapkan apapaun kecuali kepentingan pribadi sebagai perekat masyarakat.
Francis Fukuyama melihat bahwa masyarakat moderen tidak benar-benar tercerai berai, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Soros. Tapi semata-mata karena hidup di atas sejenis modal sosial dari masa lampau yang dihabiskannya tapi tidak pernah diganti. Penentu proses kemunduran ini adalah sekularisasi dunia karena jika agama merupakan sumber utama bagi tindakan moral, maka menurunnya peran agama ditengah-tengah modernisasi dunia berarti berakhirnya tatanan sosial.
Dia mengatakan bahwa terlepas dari kenyataan bahwa Kapitalisme belum runtuh atau mengikis dirinya sendiri. Kita dapat menerima kenyataan bahwa Kapitalisme sering merupakan kekuatan yang menghancurkan dan mengguncang, memecah belah loyalitas dan kewajiban menurut adat istiadat. Namun Kapitalisme juga menciptakan ketertiban dan mengembangkan norma-norma baru sebagai penganti norma-norma yang telah dihancurkannya. Bahkan, ada kemungkinan besar bahwa Kapita-lisme adalah penghasil norma-norma yang berguna dan kerana itu dia merupakan sebuah kekuatan moral dalam masyarakat moderen.
Francis Fukuyama pada akhirnya menyimpulkan bahwa, kita saat ini sebaiknya mengambil posisi ditengah-tengah-------bahwa kemajuan Kapi-talisme secara serentak memperbaiki prilaku moral sekaligus juga mencederai prilaku moral . Peralihan dari hasrat ke kepentingan pribadi bukanlah hasil bersih, Masyarakat yang ditimbulkan oleh masyarakat Kapitalis menyangkut hubungan moral tidaklah terletak pada hakikat pertukaran ekonomi itu sendiri. Tetapi masalahnya terletak pada tekhnologi dan perubahan tekhnologi. Kapitalisme demikian dinamis, menjadi sumber kehancuran kreatif, sehingga terus-menerus mengubah makna pertukaran dalam masyarakat manusia. Hal ini berlaku baik bagi pertukaran ekonomi maupun pertukaran modal dan merupakan sumber guncangan besar.
Lain halnya bagi Danah Zohar dan Ian Marshall dalam bukunya : “Spritual Capital “: Wealth We Can By Using Our Rational, Emotional An Spritual Intelligence To Transform Ourselves And Corporate (2004), mengemukakan bahwa Spritual Capital merupakan komponen utama dari Kapitalisme yang berkelanjutan dan merupakan komponen dari kelestarian individu-individu dari organisasi yang berfungsi dalam sebuah masyarakat yang terbuka dan kapitalis. Spritual Capital memperlihatkan kepada semua orang bahwa bagaimana mereka bisa mengakses, menarik dan menanamkan makna dan nilai terdalam dalam hidup, keluarga, komunitas dalam organisasi mereka untuk menjamin keberlanjutan. Akan tetapi karena Kapitalisme tradisional bersipat bebas nilai dan tidak memiliki dimensi moral, maka kaum skeptis mungkin merasa ragu-ragu apakah sistem Spritual Capital itu masih tetap akan merupakan Kapitalisme jika kita menambahkan komponen tersebut didalamnnya. Dia menanyakan bahwa tidakkah masyarakat Kapitalis memiliki nilai-nilai dalam kepedulian moral bagi masyarakat yang lebih luas akan membatasi kebebasan dan fleksibilitas yang demikian vital bagi esensi Kapitalisme itu sendiri dan bagi sebuah masyarakat terbuka.
Danah Zohar dan Ian Marshall melihat bahwa usaha-usaha pada masa silam utuk mengontrol, mengatasi atau mengganti Kapitalisme yang semuanya termotivasi oleh hasrat untuk membatasi akses-aksesnya dan membuatnya lebih bertanggungjwawab secara sosial, tidak menawarkan hasil-hasil yang membesarkan hati. Marxisme, Sosialisme, Keynesialisme dan jalan ketiga eropah telah gagal menyaingi dinanisme dan kemampuan menciptakan kekayaan materil yang dimiliki Kapitalisme pasar bebas. Cita-cita sosial yang menyertai konsep-konsep itu, dalam beberapa kasus membatasi kebebasan individu dan organisasi yang sangat diperlukan bagi masyarakat terbuga (Open Society). Namun Danah Zohar dan Ian Marshall melihat terdapat penyebab yang sangat mencolok dari kegagalan-kegagalan ini, yakni konsep ini gagal memahami hakekat sistem dan ekonomi masyarakat terbuka (Open Society), dan upaya-upaya melakukan perbaikan oleh sistem-sistem itu ternyata telah mendatangkan kerusakan pada sistem yang ingin diperbaiki itu. Dia melihat bahwa konsep-konsep yang ditawarkan oleh para ahli ekonomi tidak sanggup memperbaiki kerusakan moral manusia.
Danah Zohar dan Ian Marshall mengatakan bahwa argumentasi Spritual Capital memiliki, peran vital dalam Kapitalisme yang berkelanjutan adalah berdasarkan pernyataan bahwa sebuah masukan berupa nilai dan hati nurani merupakan unsur yang wajib bagi terwujudnya kemampuan mengatur diri dari sistem manusiawi yang berkelanjutan. Spritual Capital merupakan nilai-nilai yang sangat transpersonal yang menghasilkan sikap dan kecerdasan spiritual sehingga Spritual Capital begitu vital bagi keberlanjutan individu, organisasi dan masyarakat terbuka.
Dia mengatakan bahwa Spritual Capital mampu memperbaiki moralitas manusia karena Spritual Capital adalah sejenis ukuran kecerdasan yang mencakup kesadaran akan tujuan dan pandangan bersama mengenai hal yang paling berarti dalam hidup manusia, yakni memanfaatkan sumber-sumber daya dalam jiwa manusia.
Danah Zohar dan Ian Marshall mendukung upaya untuk mencapai keuntungan bisnis dengan mengembangkan Spritual Quontient (SQ) yang memungkinkan bisnis untuk beroperasi sebagai suatu sistem adaptif kompleks dalam jangka panjang dan visioner pada lingkungan yang mudah berubah, karena Para pemimpin harus terlebih dahulu mengenal inner voice-nya yakni panggilan spiritual yang paling dalam dalam misi pribadinya dalam hidup ini untuk mengiformasikan kepada orang lain supaya dapat juga orang lain tersebut mengenal inner voice-nya, sehingga seseorang dapat berhasil dalam dunia usahanya. Karena menurut Dia bahwa bisnis bukan sekedar sebagai sarana mencari keuntungan tetapi melainkan juga sebagai bentuk ibadah dan pelayanan kepada sesama manusia. Paradigma ini akan melahirkan individu yang akan memiliki Spritual Commitment yang mana orang-orang ini akan menemukan keindahan di saat mereka bekerja, karena Spritual Capital memberikan kerangka moral dan motivasi. Perusahaan yang memiliki Spritual Capital adalah perusahaan yang menempatkan tujuan dan strategi mereka dalam konteks makna dan nilai yang lebih luas, mawas diri, terbimbing nilai dan visi, memiliki kesadaran holisme yang tinggi, peduli pada lingkungan interal dan eksternal perusahaan, menghargai keragaman sudut pandang, berani tampil, selalu berpikir positif dalam situasi buruk apapun, mengembangkan kerendahatian dan penuh dedikasi terhadap kemanusiaan.
Dengan demikian Danah Zohar dan Ian Marshall dalam teorinya tentang Spritual Capital (SC) terlah menjawab keragu-raguan Soros dalam melihat perkembangan Kapitalisme dewasa ini sedang dalam masa krisis, karena dia tengah membahayakan masyarakat terbuka yakni adanya praktek Kapitalisme telah mencipatakan suatu jenis “Masyarakat Tertutup” yang diindikasikan semacam Masyarakat Komunis atau Masyarakat Fasisme.
Demikian juga Danah Zohar dan Ian Marshall telah menjawab orientasi Francis Fukuyama yang melihat bahwa Dia memandang saat ini jangkauan kepercayaan antara manusia semakin sempit, kejahatan semakin merajalela, ikatan keluarga semakin longgar. Selain itu Francis Fukuyama melihat bahwa akibat dari Kapitalisme bagi negara-negara maju saat ini telah menghambur-hamburkan modal sosial masing-masing tetapi mereka tidak mampu membangunnya kembali. Hal ini menunjukkan bahwa saat ini masyarakat ditakdirkan semakin kaya dari sisi materi, tetapi semakin muskin dari sisi moral seiring dengan perkembangan waktu.
Dia melihat bahwa Guncangan Besar “The Great Disruption” tidak secara otomatis akan memulihkan dirinya sendiri, yang mana masyarakat harus menyadari bahwa kehidupan berkelompok telah pudar dan cara manusia bertingkah laku akan merusak dirinya sendiri. Danah Zohar dan Ian Marshaal telah menjawab keraguan-raguan ini dengan melalui konsep pengembangan Spritual Capital bagi setiap pebisnis dalam masyarakat terbuka (Open Society) yakni kehidupan kelompok akan makin kompak, kejahatan semakin tak memiliki tempat, ikatan keluarga akan semakin humanis dan pada akhirnya Kapitalisme semakin memiliki etika dan moral.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar