Opinion Peblika

Opinion Peblika
Suasana Foto Galian Tanah Tambang C Tanpa Melalui SRKL dan AMDAL di Wakatobi

Kamis, 01 Mei 2014

MENGGAGAS REKONSILIASI ETHNIS MASYARAKAT PULAU WANGI-WANGI WAKATOBI DAN PERANAN LINTAS TOKOH

 OLEH : ALI HABIU


Beberapa tahun lalu yang sempat saya ingat ada sebuah kisah yang perlu dicermati yakni tepatnya terjadi pada hari Minggu 11 syawal 1426 H bertepatan tanggal 13 November 2005 telah dilaksanakan Halal bi Halal masyarakat Wangi-wangi yang berasal dari beberapa paguyuban arisan tergabung dalam Kerukunan Keluarga Wangi-wangi (Kekarwangi) Kendari. Kegiatan Halal bi Halal ini berlangsung di pantai Toronipa kabupaten Konawe adalah merupakan hasil kesepakatan bersama para tokoh-tokoh masyarakat daerah tersebut untuk memenuhi permintaan para ibu-ibu yang tergolong dalam paguyuban arisan Wanci (Arisan Wangi-Wangi Induk) dan arisan Liya-Mandati (Arisan Wangi-Wangi Selatan)  pulau Wangi-wangi. Adapun kisah nyata atau anekdot yang kemudian terjadi dalam kegiatan Halal bi Halal ini, yakni ternyata bahwa para tokoh masyarakat pulau Wangi-wangi yang pada umumnya telah mengetahui dan menyetujui pelaksanaan kegiatan ini tak ada yang muncul satupun dengan berbagai alasan kontroversial.


Tokoh-tokoh kalangan papan atas pulau ini (Wanci dan Mandati dan Liya) yang diharapkan dapat tatap muka untuk silaturrahim secara langsung dengan masyarakatnya tak tampak hadir sehingga membuat kekecewaan tersendiri pada semua masyarakat yang menghadiri acara tersebut.. Sementara itu dilain pihak pada waktu yang bersamaan ditempat yang berbeda, masyarakat yang tergabung dalam Kerukunan Keluarga Kaledupa melaksanakan juga kegiatan Halal bi Halal dengan suasana yang dibuat cukup meriah bertempat di pantai Nambo dimana acara Arisan dibuka sendiri oleh Bapak Drs.H.Yusran Silondae,MSi selaku Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara pada waktu itu yang atas nama mewakili Pemerintah Daerah Sulawesi Tenggara sekaligus memberikan kata sambutannya sebagai motivasi positif bagi kalangan masyarakat Kaledupa yang domisili di Kota Kendari. Turut hadir pada kesempatan itu para tokoh-tokoh masyarakat Kaledupa dari berbagai tingkat golongan mulai dari anggota DPRD sultra, plt. Bupati Wakatobi, Kepala Dinas, Kepala Biro, Asisten III pemerintah provinsi sultra, Dekan, Dosen dan sejumlah Tokoh Pemuda, para Pengusaha serta seluruh masyarakat Kaledupa yang berdomisili di Kota Kendari. Kejadian di pantai Nambo ini patut dicontoh karena meraka telah menggambarkan kepada kita semua betapa solidaritas dan kompaknya ethnis ini. Suatu pembuktian bahwa berbagai heterogenitas budaya antar ethnis Kaledupa saat ini tidak terdapat lagi konflik tata krama budaya. Mereka saat ini sudah berubah begitu jauh-----mereka semua tidak kepingin lagi mau memetingkan atau menonjolkan keakuan masing-masing kelompok ethnis melainkan mereka telah menjalin humanisme hubungan internalitas kelompok sosial dengan menghormati segala perbedaan prilaku ethnis, melengkapi segala kekurangan antara kelompok ethnis dan menjadikannya suatu kekuatan sosial komunitas baru dalam tataran striotipik masyarakat moderen abad ini.


Kisah yang terjadi di pantai Toronipa beberapa tahun lalu tentu sangat jauh dari harapan kita semua sebagai suatu komunitas sosial yang terbanyak di wilayah Wakatobi jika dibanding kisah yang terjadi di pantai Nambo. Kisah di pantai Toronipa telah menggambarkan secara tak langsung kepada kita semua bahwa sebenarnya ada kerapuhan...., ada kegelisahan..., ada keangkuhan....., ada kemunafikan diantara berbagai lapis depan tataran para tokoh-tokoh masyarakat Wangi-wangi sehingga telah terjadi perbedaan prilaku tata karma yang begitu prinsipil menimbulkan striotipik prilaku sosial yang sangat berbeda sebagaimana yang kita harapkan selama ini------ternyata mereka semua boleh dikata munafik tidak pernah menjalin hubungan kerja sama yang harmonis diantara sesama warga masyarakatnya di kepulauan wangi-wangi. Disharmonisasi ini terjadi postulat bisa disebabkan oleh adanya perbedaan penafsiran budaya dalam suatu kelompok masyarakat tertentu akibat desakan perubahan stratifikasi sosial ekonomi dimana kehidupan sebagian warganya yang telah mapan tingkat sosial ekonominya sangat mencolok. Juga budaya kolonialisme, feodalisme yang berlebihan membentuk watak tentatif, sementara dilain pihak banyak warga dari kelompok ethnis marginal dalam lingkungan semua ethnis di kepulauan wangi-wangi yang kehidupannya masih relatif miskin dengan berbagai stratifikasi sosial tidak pernah mendapat perhatian serius, malah kelompok ini cenderung terisolasi dalam berbagai aktivitas sosial..

Patut amat disayangkan ketidak hadiran para tokoh masyarakat yang mewakili antar ethnis di pulau Wangi-wangi ini, mengingat momen ini hanya terjadi sekali setahun dan merupakan wadah sambung rasa dalam mempererat tali silaturrahmi antar ethnis sekaligus sebagai wadah bearing storming antara individu para tokoh papan atas daerah ini dalam upaya mengikis habis distorsi perbedaan tata krama budaya yang telah mengakar selama ini dengan memperkokoh uhuwa islamiah dan amar ma’ruf nahi mungkar.

Rupanya polarisasi paham separatisme atas produk penjajahan Belanda serta culture pattern ketika resim distrik yang berpusat di wanci yang sudah diterapkan oleh pemerintahan Kesultanan Buton pada zamannya telah ikut andil dalam membentuk prilaku tata krama budaya amburadul sebagaian masyarakat di daerah ini. Bisa jadi sebagai balas dendam dimana dalam pergaulan sehari-hari pembentukan prilaku ini diwujudkan dengan selalu ingin menonjolkan diri dalam kelompok sosialnya. Keadaan ini akan nampak sekali terlihat pada aktivitas pergaulan sosial kemasyarakatan antar ethnis pada daerah-daerah tertentu cenderung lebih kelompokisme. Gejalanya bisa diamati dalam berbagai aspek kehidupan kemasyarakatan, yang kemudian akan menimbulkan distinksi kelompok kaya, kelompok miskin, kelompok pejabat, kelompok pedagang, kelompok politikus, kelompok pejabat dlsb. Kondisi semacam ini tidak mampu dihapuskan oleh pengaruh intelektualitas seseorang. Malah justru sebaliknya dalam tata krama pergaulan sehari-hari yang terjadi adalah semakin tinggi pendidikan seseorang ataupun integritas pribadi seseorang semakin jauh jurang pemisah antar simiskin dan sikaya, Fenomena ini tak mungkin bisa di hilangkan tanpa ada rasa kesadaran dan kepedulian semua pihak untuk merubahnya. Hendaknya semua pihak diharapkan dapat instrospeksi diri masing-masing untuk lebih terbuka dengan berani merubah sifat dan prilaku domain dan tata krama (moralitas) sosial yang buruk secara kolektif dan mulai membangun humanisme yang lebih baik.
Pengangkatan jati diri ethnis dengan melakukan perubahan-perubahan budaya prilaku karena merasa sebagai orang hebat, merasa sebagai pejabat, merasa sebagai orang terkaya atau terpandang karena telah sukses dalam kehidupan ini, merasa sebagai politikus handal karena telah menjadi ketua partai atau anggota DPRD, merasa sebagai orang terpintar karena telah menyandang gelar Doktor atau Professor dan lain sebagainya-----lantas mereka merasa sebagai satu-satunya individu atau golongan ethnis tertentu yang bisa merubah paradigma sejarah budaya. Sangatlah mustahil hal itu bisa dilakukan sebab bisa jadi penggelapan sejarah budaya dan penciptaan degradasi konflik psikologis antar ethnis semakin hari semakin berkepanjangan.

Penciptaan kelas-kelas (class action) dalam tata pergaulan sosial kemasyarakatan kepulauan wangi-wangi akan menimbulkan semakin jauhnya jurang pemisah antar yang kaya dan miskin, antar yang berpendidikan tinggi dengan masyarakat biasa dan antar pejabat dan pegawai rendahan serta antara pedagang kaya dan pedagang asongan. Kondisi ini bila dibiarkan terus berkembang, kelak akan membuahkan kontinuitas konflik sosial yang dapat meruntuhkan idealisme komunitas ethnis dalam seluruh lingsup sosial di kepulaua wangi-wangi.
Sejarah budaya telah mencatat bahwa pada masa kejayaan kesultanan Buton hanya satu-satunya penguasa yang mendapat 3 (tiga) gelar kekuasaan pada pulau Wangi-wangi ini yakni terdapat pada penguasa desa Liya Togo. Adapun gelar yang dianugrahkan oleh Sultan Buton kepada penguasa di desa ini, yakni sebagai : Raja Liya (meantu’u Liya), Lakina Liya dan Bobeto Mancuana. Oleh karena itu konon diriwayatkan dalam sejarah bahwa ketika terjadi acara-acara rapat pemerintahan pada zamannya yang bertempat di dalam benteng keraton Liya, masing-masing utusan baik dari Kaledupa, Tomia, Binongko, Wanci, Mandati dan Kapota karena meraka hanya memiliki 1 (satu) gelar yakni Meantu’u atau Lakina, maka semua utusan duduk bersilah di bawah altar sementara Raja Liya (meantu’u liya) duduk pada tempat yang lebih tinggi bersamaan dengan sultan Buton atau utusannya. Berdasarkan sinopsis ini semestinyalah ethnis Liya ini bisa jadi suri tauladan dilingkungannya karena memiliki hirarkhi genetikal kepemimpinan yang baik. Namun patut disayangkan bahwa dalam kehidupan kemasyarakatan kelompok sosial ethnis ini kurang begitu mapan tingkat ekonominya sehingga mereka kurang terkenal. Akibatnya jumlah kader sangat terbatas dalam semua strata bidang kehidupan, khususnya dalam konteks kehidupan sosial politik dan sosial kemasyarakatan di Sulawesi Tenggara.
Secara realitas, ethnis yang lebih menonjol kehidupan sosial ekonomi di Sulawesi Tenggara ialah ethnis Wanci (Wangi-Wangi Induk).  Hampir sebagian jabatan strategis di pemerintahan ketika itu mulai wakil Wali Kota Bau-Bau, Wakil Bupati Buton, Asisten II Pemerintah provinsi Sultra, Dekan fakultas Pertanian Unhalu, Pembantu rektor Unidayan dan saat ini para guru besar di Universitas Halu Oleo dan Angoota DPRD Provinsi dlsb dipegang oleh ethnis ini. Selain itu hampir sebagian besar pengusaha kaya juga dipegang oleh ethnis Wanci (Wangi-Wangi Induk) disamping ethnis Mandati. Diluar ke dua ethnis ini, kehidupan sosial ekonomi ethnis lainnya relatif masih sangat terbelakang dan termarginalkan.

Saat ini kita sebagai masyarakat Wangi-Wangi yang berdomisili di Sulawesi Tenggara telah memiliki sumber daya manusia yang domain dimana jumlah Doktor (S-3) sampai saat ini telah terdapat sebanyak 13 orang, sementara ethnis Kaledupa hanya terdapat 3 orang saja. Namun sayang seribu sayang...., dijajaran pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara ethnis Kaledupa justru mampu menempatkan 3 orang menduduki esselon II. Sementara ethnis wang-wangi tidak ada satupun yang bisa dihandalkan. Padahal kalau mau kita pikir jernih bahwa ternyata jumlah penduduk kepulauan wangi-wangi berada kisaran 54 % dari total penduduk total ke 3 pulau (Kaledupa, Tomia dan Binongko) di wilayah Kabupaten Wakatobi.

Oleh karena itu sudah saatnya semua kekuatan komunitas sosial yang ada di pulau ini mulai dari ethnis : Wanci (Longa, Waha, One, padha), Kapota, Mandati, dan Liya (Wakamali) segera melakukan rekonsiliasi dan segera membangun paradigma tata krama baru kemasyarakatan. Sebagai landasan idealnya ialah memperkuat hubungan emosional antar ethnis dimana masing-masing kelompok ethnis harus dapat saling kerja sama bantu-membantu satu dengan yang lainnya. Sudah saatnya merubah sikap laku yang buruk dan memulai tata krama baru yang normatif dalam pergaulan sesama dengan saling menghormati perbedaan heterogenitas budaya antar ethnis.

Sudah tiba saatnya untuk segera membenahi kontroversial tata pergaulan kemasyarakatan yang terjadi selama ini. Persoalan heterogenitas budaya ini disinggung oleh Soetandyo Wignjosoebroto guru besar sosiologi Undip dalam artikel berjudul “Tata Krama” (Jawa Pos : 1990) mengatakan bahwa heterogenitas budaya sebenarnya merupakan suatu kekayaan sumber yang akan bisa memberikan banyak kemungkinan untuk melakukan pilihan-pilihan guna menentukan mana diantara yang lebih baik untuk dikembangkan dan diangkat dalam fungsinya sebagai tradisi panutan. Pilihan-pilihan tidak selamanya mudah. Dalam hal pengembangan budaya baru dan moral baru yang berfungsi sebagai landasan normatif tata krama baru dalam kehidupan bermasyarakat----pilihan yang hendak mendahulukan dengan beranjak secara sengaja dari satu kekayaan ethnis tertentu akan sering menimbulkan tuduhan telah terjadi etnosentrisme yang kurang patut.
Semestinya kita diinsyafkan oleh kenyataan bahwa kita kini hidup dalam sebuah masyarakat massa, massa itu tak dapat diatur atau diperintah tanpa serangkaian inovasi dan penyempurnaan serangkaian tekhnologi sosial, ekonomi dan politik. Yang dimaksud dengan tekhnologi sosial disini adalah berbagai metode yang digunakan orang bertujuan mempengaruhi sikap laku sesamanya.
Kehidupan sosial masa sekarang memungkinkan ditempatkannya segala proses psychology dibawa kontrol publik yang dimasa lalu masih bersifat pribadi. Emile Durkheim (1926) dalam bukunya “De la Division du Frovoil Social” mengatakan : bahwa hanya masyarakat yang primitif yang dapat hidup berdasarkan homogenitas dan berkelit dalam kelompok wangkul.
Oleh karena itu rasa tenggang (verdroog zamheid) berarti bahwa setiap insan berhak menggunakan pendapat di dalam masyarakat guna mencapai mufakat, bukannya setiap individu secara ngotot membenarkan pendapat masing-masing.
Semua pihak sangat mengharapkan mulai tahun depan tidak lagi terulang anekdot kisah pantai Toronipa yang memilukan beberapa tahun lalu itu melainkan dimungkinkan akan terjadi suatu gradualisme tingkah laku baru dan tata krama baru dalam pola pergaulan antar ethnis Wangi-wangi pada tataran masyarakat moderen yang heteroganistik dengan menghormati segala perbedaan budaya dan menjadikan suatu kekuatan sosial terpandang dikemudian hari. Mungkinkah rekonsiliasi kelompok ethnis di pulau Wangi-wangi ini bisa terwujud mengingat konflik sosial budaya antar ethnis sudah berlangsung cukup lama. Semua sangat tergantung dari sejauhmana kesadaran semua pihak----mampukah merubah moralitas, prilaku dan tata krama.sosialnya ? Sebagai jawabnya adalah tergantung sejauhmana konsistensi para Lintas Tokoh Wangi-Wangi yang saat ini sudah terbentuk ; "mampukah mereka merubah keadaan itu ?!
 hee... hee... hee... bahakonto La Ode....Meanae aii anedo omotutu akabalinto !! ****

Tidak ada komentar: