OLEH : WINDU TIASTUTI
Juru
Kamera : Joni Suryadi
indosiar.com, Buton - Pulau Buton. Nama yang selalu dihubungkan
dengan pertambangan aspal alam. Tak banyak yang tahu, di pulau ini ada satu
kesultanan, yang berperan mengisi sejarah Indonesia. Juga tak tercantum dalam
buku pelajaran sejarah sekolah dasar. Kesultanan Buton seakan berdiri sendiri,
diluar hiruk pikuk pentas sejarah kerajaan-kerajaan di Indonesia.
Datanglah
ke Kota Bau-bau. Di kota kecil inilah komplek Kesultanan Buton berada. Terletak
di puncak bukit dan menghadap ke Selat Buton. Penduduk setempat menyebutnya
keraton. Aura kemegahannya masih terasa nyata.
Dari
arah laut, tiang bendera setinggi dua puluh satu meter, adalah tanda pertama
yang akan terlihat oleh kapal yang datang. Tiang megah dari kayu jati ini
didirikan tahun 1712 tepat dihalaman depan benteng. Seolah memberi isyarat,
anda sedang memasuki wilayah kota raja. Di tiang ini juga pernah dikibarkan
bendera kerajaan Belanda, Jepang
sebelum
akhirnya dikibarkan sang merah putih.Kerajaan Buton diperkirakan berdiri pada
abad empat belas, dua abad kemudian berubah menjadi kesultanan. Kompleks
keraton dikelilingi oleh benteng sepanjang dua ribu tujuh ratus empat puluh
meter. Benteng ini dibangun dalam kurun waktu lima puluh tahun, melampaui tiga
masa sultan yang berbeda.
Benteng
berbentuk huruf 'dal' dalam aksara Arab ini, disusun dari batu kapur dan pasir.
Benteng ini dilengkapi dua belas pintu masuk dan enam belas kubu pertahanan. Banyaknya
meriam yang ditempatkan di tiap sisi benteng, menunjukkan masa Kesultanan Buton
tidaklah mudah. Ada musuh, ada tamu asing, dan juga ada kerajaan tetangga, yang
setiap saat datang sebagai lawan.
Disisi
tebing yang sekaligus pembatas benteng bagian belakang, terdapat sebuah ceruk.
Letaknya tepat di bawah tanah keraton. Gua ini menjadi tempat persembunyian
Arupalaka, Raja Bone, saat melarikan diri dari kejaran tentara Sultan Hasanudin
dari Kerajaan Gowa. Berkat sumpah Sultan Buton yang menyatakan Arupalaka tidak
berada di atas tanah Buton, maka selamatlah Raja Bone itu. Konon Arupalaka
masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan petinggi Kesultanan Buton.
Perubahan
sistem kerajaan menjadi Kesultanan Buton, tidak lepas dari nama besar Sultan
Murhum. Dialah yang menorehkan sejarah di atas tanah Buton. Raja terakhir dari
enam raja, sekaligus sultan pertama dari tiga puluh delapan sultan. Ia
memerintah dari tahun 1538 hingga 1584, dengan gelar Murhum Kaimuddin
Khalifatul Hamis. Makamnya hingga saat ini masih terawat dengan baik di dalam
kompleks keraton. Orang Buton tidak melupakannya. Nama sang sultan diabadikan
menjadi nama pelabuhan laut, udara dan nama jalan.
Dalam
komplek keraton, kediaman sultan tampak jauh lebih sederhana dibanding dengan
istana raja-raja di tanah lain. Rumah panggung yang pernah didiami sejumlah
sultan dari era yang berbeda, masih tersisa hingga kini. Rumah-rumah itu
disebut kamali atau malige. Didalamnya, berbagai benda bersejarah juga masih
disimpan, seperti bendera kerajaan yang pernah berkibar megah ratusan tahun
lalu.
Kesederhanaan
ini seperti cermin dari iklim demokrasi yang telah tercipta di Kesultanan
Buton, jauh sebelum Indonesia lahir. Meski ada tiga golongan yang berbeda
tugas, Sultan Buton tidak selalu diangkat dari keturunan sebelumnya, melainkan
tergantung pada rapat anggota dewan legislatif yang berada di tangan golongan
Walaka. Beberapa sultan konon dicopot dan dihukum karena di nilai melakukan
pelanggaran.
Nuansa
Islami amat lekat dengan Kesultanan Buton. Ddalam setiap pengangkatan sultan
baru, ada sejumlah ritual yang telah menjadi tradisi. Ada sebuah batu berbentuk
tonggak tempat menyimpan air, yang akan dipakai mandi sang calon sultan,
sebelum diambil sumpahnya di Masjid Agung dalam kompleks keraton. Sehabis
diambil sumpahnya, sang sultan baru dibawa ke batu pengangkatan. Diatas batu
yang menyerupai alat kelamin perempuan ini, sang sultan di upacarai seolah-olah
baru terlahir kembali. Bentuk batu ini mengingatkan pada lingga yoni, dalam
konsep ajaran Hindu.
Masjid
Agung keraton. Bangunan segi empat berbentuk tumpeng ini, didirikan pada awal
abad delapan belas, pada masa pemerintahan Sultan Sakiuddin Durul Alam. Meski
menjadi bagian dari kompleks keraton dalam Kesultanan Buton, wujud bangunan ini
tetap terlihat sederhana. Namun sebaliknya, setiap komponen bangunan masjid ini
penuh dengan simbol yang kaya akan makna.
Pengaruh
Islam masuk ke Buton secara resmi pada tahun 948 hijriah, dibawa oleh Syeikh
Abdul Wahid bin Sulaiman. Syeikh ini berasal dari Semenanjung Tanah Melayu.
Namun baru dua abad kemudian Masjid Agung keraton dibangun. Untuk mendirikan
masjid ini konon menghabiskan tiga ratus tiga belas potongan kayu, yang sama
jumlahnya dengan potongan tulang-tulang tubuh manusia.
Dilengkapi
dengan dua belas pintu, masjid ini mampu menampung hingga lima ratus orang
jemaah. Jumlah pintu merupakan simbol jumlah lubang dalam tubuh manusia.
Pengaruh
demokrasi dalam sistem kesultanan, juga berlaku pada anggota pengurus Masjid
Agung, yang berjumlah lima puluh enam orang. Namanya Sarakidina. Mereka datang
dari keturunan bangsawan maupun rakyat jelata. Tugas mereka terdiri dari satu
orang lakina agama, satu orang imam, empat orang khatib, sepuluh orang moji dan
empat puluh orang anggotanya.
Di
era Indonesia modern, pengurus masjid tidak diperbolehkan berpolitik, karena
dapat mengganggu indepedensi dewan masjid. Mereka juga setiap saat bisa dicabut
wewenang dan jabatannya, ketika membuat kesalahan. Mereka sama sekali tidak boleh
melakukan kesalahan prosedur, dalam melaksanakan tugasnya. Sebagai penganut
kesetaraan, proses penggantian salah satu pengurus masjid, dilakukan melalui
musyawarah bersama.
Hari
Jumat adalah saat tersibuk bagi para anggota dewan masjid. Pada hari itu, bedug
akan dipukul sebanyak lima kali, sejak pukul enam pagi, hingga pukul sebelas,
yakni menjelang Shalat Jumat. Petugas pemukul bedug atau tungguna ganda, tidak
boleh melebihi atau mengurangi jumlah pukulan, dan irama yang telah ditetapkan.
Pakaian mereka merupakan kain khas Buton. Berbeda dengan lakina agama dan
petugas lain yang memakai pakaian berwarna putih. Beban mental yang ditanggung
semua anggota pengurus masjid cukup berat.
Ada banyak kebiasaan yang menjadi hal istimewa dari masjid ini. Menjelang shalat, para pengurus masjid datang dan menyandarkan tongkat jabatannya, berderet di tempat khusus. Tongkat tampaknya mewakili sesuatu yang penting. Tongkat khusus untuk pengkotbah, diikat sejajar tiang mimbar. Kesungguhan tercermin dari keseriusan imam yang duduk berkonsentrasi, sebelum memimpin shalat.
Jamaah
mulai berdatangan. Imam melakukan shalat terlebih dulu, sebelum melangkahkan
kaki di sepanjang kain putih, menuju ke depan mimbar. Ada empat orang yang
bertugas mengumandangkan adzan. Kesan sakral tampak kuat dalam ritual sebelum
shalat di mulai. Ritual sebelum shalat di mulai memang terlihat rumit. Namun
semua yang dilakukan merupakan tradisi turun temurun, yang penuh dengan makna
simbolis. Makna yang di coba untuk dipertahankan demi nilai-nilai luhur bagi
orang Buton.
Keberadaan
para pengurus masjid ini begitu penting bagi masyarakat di lingkungan keraton.
Ada orang yang khusus
bertugas
untuk mengurus jenasah dan upacara kematian. Tugas lakina agama dan imamu jauh
lebih berat, karena setiap hari harus berzikir dan mendoakan keselamatan, serta
kesejahteraan rakyat Buton.
Petugas
juga wajib mendaraskan zikir setiap hari, yang digilir setiap satu minggu.
Uniknya, jika banyak bencana dan wabah yang menimpa, masyarakat mempertanyakan
upaya para pengurus masjid dalam mendoakan keselamatan mereka. Beban
kepercayaan itu begitu besar. terkadang sulit untuk dicerna.
Sayangnya
denyut nadi kehidupan dan budaya masyarakat Buton yang begitu elok, seperti
terisolasi dari pengetahuan nasional. Ceritanya hanya bergaung lewat
artikel-artikel sederhana dalam koran. Padahal, dengan sedikit polesan tangan
terampil, Pulau Buton bisa menjadi surga wisata.(Idh)
Sumber : http://www.indosiar.com/ragam/jejak-sejarah-kesultanan-buton_39318.html