OLEH : ALI HABIU
I. SEKILAS EKSISTENSI PP NO.8/2003
Sebelum kita menyoal lebih jauh mengenai deskripsi kualitatif tentang PP No.41/2007, ada baiknya sekilas kita menyoroti eksistensi PP No.8/2003 yang mengatur Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, bahwa latar belakang dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini ketika itu tepatnya pada tanggal 17 Februari 2003 tidak lain dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan pasal 68 ayat (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mana sebelumnya telah dikeluarkan peraturan yang sama yakni Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organiasi Perangkat Daerah. Akan tetapi ternyata setelah dievaluasi selama berjalan tiga tahun dipandang peraturan ini tidak lagi relevan dengan keadaan dan perkem-bangan penataan pememerintah daerah saat itu. Oleh karenanya setelah diterbitkannya PP No.8/2003 maka dengan sendirinya PP No.84/2000 tidak lagi berlaku. Selain hal tersebut di atas juga tak kalah menariknya untuk didiskusikan bahwa pada adasarnya eksistensi PP No.8/2003 dalam materi seluruh diktum pasal yang dihasilkan merupakan refleksi formal dari penafsiran dan penjabaran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang nota bene jika kita mau jujur sebetulnya dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan penyempurnaan dari Undang-undang yang telah terbit sebelumnya, seluruh atau katakanlah hampir sebagian besar materi diktumnya sudah sangat berubah atau sama sekali berbeda dengan kondisi actual penyelenggaraan pemerintahan saat ini , sehingga pada hakekatnya keberadaan PP No.8/2003 pada konteksi kebutuhan otonomi daerah saat ini pada hakekatnya sudah dapat dikatakan relatif ketinggalan zaman. Oleh karena demikian itulah secara postulat, mengapa para Kepala Daerah ; Gubernur, Bupati, Wali Kota ataupun para kepala jawatan dinas/kantor atau badan di daerah-daerah saat ini banyak yang seolah-olah mengabaikan PP No.8/2003 ini-------karena sesungguhnya nuansa kogniktif yang terkandung dalam pasal demi pasal pada dasarnya sudah tidak lagi sesuai dengan konteks kebutuhan perkembangan pemerintahahan saat ini. Persoalan pokok yang menjadi dasar pemikiran pemerintah memunculkan PP No. 84/2000 juncto PP No.8/2003 adalah masalah momentum krisis moneter nasional yang berkepanjangan yang sampai tahun 2003 lalu juga kondisi perekonomian Negara belum stabil dan pulih sementara pemerintah pusat sangat terbatas devisanya untuk menyediakan konstribusi Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK) kepada daerah-daerah sebagai konsekuensi Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah pusat dan Daerah. Sedangkan di lain pihak daerah-daerah yang telah diberi hak otonom untuk mengembangkan pemerintahan daerahnya sendiri banyak terjadi dikhotomis dalam mengembangkan organisasinya sendiri-sendiri padahal dampak pembentukan organisasi perangkat daerah memiliki konsekuensi penge-luaran biaya yang tidak sedikit, utamanya dalam membayar tunjangan esselon, gaji pegawai, biaya umum, perjalanan dinas, fasilitas kantor dan lain sebagainya, yang sebagian besar dibiayai oleh pemerintah pusat melalui DAU dan DAK. Memang persoalan tarik menarik kepentingan antara pusat dan daerah dalam era tranformasi baru pemerintahan dengan orientasi pemenuhan tuntutan reformasi diibidang organisasi pemerintahan adalah bukan lagi bersifat rahasia, akan tetapi dimana-mana juga masyarakat umum bahkan sampai msyarakat awampun sudah mengetahui bahwa orde reformasi yang kita dengun-dengunkan awal jatuhnya pemerintahan Soeharto ternyata sesungguhnya gagal dalam implementasinya atau dapat dikatakan sebagai rona hayal sebab kenyataannya sistem pemerintahan Negara saat ini dengan segala perangkat-perangkatnya mulai dari pusat sampai ke daerah pada kenyataannya tidak bisa memberikan konstribusi pelayanan optimal kepada rakyat. Bahkan rakyat kita saat ini sudah sangat menderita, tingkat kemiskinan makin meningkat, daya beli masyarakat makin rendah, tingkat pengangguran makin tinggi demikian yang dapat kita baca dari berbagai buletin laporan lembaga pemantau internasional atau berbagai hasil survey dari kalangan LSM yang ada di negeri ini. Oleh karena itu bila pemerintah ingin memaksakan untuk dapat diterapkan PP No.8/2003 berarti bisa jadi premis berdampak akan makin banyaknya lagi pengangguran pegawai yang semula menduduki esselon menjadi pegawai biasa atau tidak ada sama sekali peluang lagi menduduki esselon tertentu karena jumlah dinas/kantor atau badan sudah sangat dibatasi sehingga dengan demikian juga akan menimbulkan pengangguran intelektual baru atau prustrasi mantan-mantan pejabat, yang bisa menimbulkan conflict of interest dalam batang tubuh organisasi pemerintahan daerah. Selain itu harus pula kita akui bahwa potensi SDM yang ada di daerah-daerah khususnya dalam kalangan PNS juga sangat terbatas, jika tadinya esselon dalam satu bidang ada empat seksi kemudian PP No.8/2003 mengharuskan untuk diciutkan menjadi dua seksi atau dua sub bidang saja, berarti secara organisatoris ada perangkapan jabatan oleh seorang pejabat kepala seksi atau sub bidang menjadi ambivalen. Pada kondisi demikian ini sangat absurditas, mengingat bahwa satu jabatan kepala seksi saja yang dikelolah oleh seorang PNS kadang sudah kewalahan dalam menaktualisasikan tugas pokok dan fungsinya apalagi dia merangkap menjadi ambivalen pada bidang tugas akibat penciutan seksi atau sub bidang lain yang sudah barang tentu akan membuat pejabatnya semakin kewalahan artinya dia akan semakin sulit dalam mengatur tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan sesuai dengan Tupoksi yang dimilikinya. Konteksi paradigma semacam inilah yang perlu menjadi telahaan mendalam oleh para pakar dibidang pemerintahan dan para akademisi untuk menyoal dan mendiskusikan secara telaten apakah memang organisasi pemerintahan kita yang terdapat di daerah-daerah perlu dibatasidengan jumlah tertentu, kemudian juga tingkat esselonisasi juga perlu dibatasi dengan jumlah tertentu pada masing-masing organisasi perangkat daerah otonom atau tidak sama sekali !? Kemudian tak kalah pentingnya bahwa apakah dengan penciutan esselonisasi tersebut, seorang pejabat setingkat esselon tiga dan empat akan otomatis juga dinaikkan kemahalan tunjangan jabatannya yang mana selama ini tunjangan jabatan esselon tiga dan empat relatif kurang jika dibandingkan dengan beban tugas dan tanggungjawab yang mereka harus emban sebagai ujung tombak terdepan operasionalisasi organisasi tempat mereka bekerja. Hal ini sudah barang tentu untuk menjawabnya diperlukan diskusi serta kajian-kajian mendalam melalui hasil penelitian secara ilmiah yang diharapkan dapat ditindaklanjuti pada pembahasan PP No.41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah yang baru saja dipublikasikan secara nasional dalam pertenagahan bulan Agustus ini.
II. PENGETAHUAN TENTANG PP No.41/2007
PP No. 41/2007 mulai berlaku secara resmi setelah di undangkan oleh Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia pada tanggal 23 Juli 2007 dan tercatat dalam lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 89 tahun 2007, dengan demikian pada pasal 52 ditegaskan bahwa dengan telah diundangkannya PP No.41/2007 ini, maka PP No.8/2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Adapun latar belakang munculnya PP No.41/2007 sebagai pengganti PP No.8/2003 dapat diamati secara jelas pada konsideran menimbang sebagai berikut a. bahwa untuk penyelenggaraan pemerintah daerah, kepala daerah perlu dibantu oleh perangkat daerah yang dapat menyelenggarakan seluruh urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah; b. bahwa berdasarkan pasal 128 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Susunan dan Pengendalian Organisasi Perangkat Daerah dilakukan dengan berpedoman pada peraturan pemerintah; c. bahwa PP No.8/2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah belum cukup memberikan pedoman yang menyeluruh bagi penyusunan dan pengendalian organisasi perangkat daerah yang dapat menangani seluruh urusan pemerintahan, sehingga perlu dicabut dan dibentuk peraturan pemerintah yang baru. Pada penjelasan PP No.41/2007 disebutkan bahwa dasar utama penyu-sunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah adanya urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan, namun tidak berarti bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk dalam organi-sasi tersendiri. Dengan perubahan terminologi pembagian urusan pemerintahan yang bersifat konkuren berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, maka dalam implementasi kelembagaan setidaknya terwadahi fungsi-fungsi pemerintahan tersebut pada msing-masing tingkatan pemerintahan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib, diselenggarakan oleh seluruh provinsi, kabupaten dan kota, sedangkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat pilihan hanya dapat diselenggarakan oleh daerah yang memiliki potensi unggulan dan kekhasan daerah, yang dapat dikembangkan dalam rangka pengem-bangan otonomi daerah. Hal ini dimaksudkan untuk efisiensi dan memunculkan sektor unggulan masing-masing daerah sebagai upaya optimalisasi pemanfaatan sumber daya daerah dalam rangka mempercepat proses peningkatan kesejahteraan rakyat.
PP No. 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan arah dan pedoman yang jelas kepada daerah dalam menata organisasi yang efisien, efektif dan rasional sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing serta adanya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplikasi serta komunikasi kelembagaan antara pusat dan daerah. Besaran organisasi perangkat daerah sekurang-kurangnya memper-timbangkan faktor keuangan, kebutuhan daerah, cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan, jenis dan banyaknya tugas, luas wilayah kerja dan kondisi geografis, jumlah dan kepadatan penduduk, potensi daerah yang bertalian dengan urusan yang akan ditangani, sarana dan prasarana penunjang tugas. Oleh karena itu kebutuhan akan organisasi perangkat daerah bagi masing-masing daerah di Indonesia tidak senantiasa sama atau seragam. PP No.41/2007 telah menetapkan kreteria untuk menentukan jumlah besaran organisasi perangkat daerah masing-masing pemerintah daerah dengan variabel jumlah penduduk, luas wilayah dan jumlah APBD, yang kemudian ditetapkan pembobotan masing-masing variable ; yaitu 40 % untuk variabel jumlah penduduk, 35 % untuk variabel luas wilayah dan 25 % untuk variabel jumlah APBD, serta menetapkan variabel tersebut dalam beberapa kelas interval, sebagaimana ditetapkan dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini. Demikian juga mengenai jumlah susunan organisasi disesuaikan dengan beban tugas masing-masing perangkat daerah. Perubahan nomen klatur Bagian Tata Usaha pada Dinas atau Badan menjadi Sekretariat dimaksudkan untuk lebih menfungsikannya sebagai unsur staf dalam rangka koordinasi penyusunan program dan penyelenggaraan tugas-tugas bidang secara terpadu dan tugas pelayanan administratif. Bidang pengawasan sebagaimana disebutkan dalam PP No.8/2003, sebagai salah satu fungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, pada PP No.41/2007 dalam rangka akuntabilitas dan obyektivitas hasil pemeriksaaan, maka nomen klaturnya menjadi Inspektorat Provinsi, Inspektorat Kabupaten/Kota dan dipimpin oleh Inspektur, yang dalam perlaksanaan tugasnya bertanggungjawab langsung kepada kepala daerah. Selain itu esselon Kepala Bidang pada Dinas dan Badan perangkat daerah Kabupaten/Kota pada PP No.8/2003 ditetapkan menjadi eselon IIIA, namum kemudian dalam PP No.41/2007 telah diturunkan menjadi eselon IIIb, dimaksudkan dalam rangka penerapan pola pembinaan karier, efisiensi dan penerapan koordinasi sesuai dengan perundang-undangan di bidang kepegawaian, Dalam pelaksanaan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah, Pemerintah pusat senantiasa melakukan fasilitasi melalui asistensi, pemberian arahan, pedoman, bimbingan, supervise, pelatihan serta kerja sama, sehingga senkronisasi dan simplikasi dapat tercapai secara optimal dalam kerangka NKRI. Dalam PP No.41/2007 telah diatur pula mengenai pembentukan lembaga lain dalam rangka melaksanakan kebijakan Pemerintah sebagai bagian dari perangkat daerah, seperti Sekretariat Badan Narkoba Provinsi, Kabupaten/Kota, Sekretariat Komisi Penyiaran serta Lembaga lain untuk mewadahi penanganan tugas-tugas pemerintahan umum yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah, namun untuk pengen-daliannya, pembentukannya harus dengan persetujuan pemerintah pusat atas usul kepala daerah. Selain dari pada itu juga Badan Pengawas Daerah telah dig anti menjadi Inspektorat, Pembagian klasifikasi rumah sakit umum daerah sudah semakin jelas dan pada susunan organiosasi Dinas sudah tidak ada lagi Kepala Bagian Tata Usaha dan diganti mernjadi Sekretaris Dinas, juga Lembata teknis Daerah sudah lebih jelas pembagiaannya menjadi Dinas, Badan atau Rumah Sakit yang selama telah diterbitkannya dua Peraturan Pemerintah sebelumnya ayang mengatur pedoman otrganisasi perangkat daerah, yakni PP No.84/2000 dan PP No.8/2003 tidak disinggung ataupun diuraikan masalah tersebut. Selain itu, PP No.41/2007 juga menegaskan bahwa implementasi pelaksanaan kelembagaan perangkat daerah harus menerapkan prinsip-prinsip organisasi, antara lain visi, misi yang jelas, perkembangan fungsi staf dan fungsi lini, fungsi pendukung secara tegas, efisiensi dan efektivitas dan rentang kendali serta tata kerja yang jelas.
III. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN PP 41/2007
A. KELEBIHAN
1. PP No.41/2007 diterbitkan berdasarkan tuntutan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dipandang secara relative sebagai pedoman yang sudah dapat mengakomodir kebutuhan organisasi perangkat daerah saat ini, 2. Kedudukan, tugas dan fungsi perangkat daerah provinsi serta Kabupaten dan Kota dipandang sudah cukup paripurna dalam konteksitas kebutuhan penataan kelembagaan daerah, 3. Tugas pokok Sekretaris Daerah, Sekretaris Dewan, Kepala Dinas, Badan, Kantor serta Unit Pelaksana teknis Dinas, Lembaga teknis Daerah, Camat, Lurah relative sudah semakin jelas, 4. Lembaga Teknis Daerah rentang organisasinya sudah semakin jelas, yakni bisa berbentuk Inpektorat, Badan, Kantor dan Rumah Sakit. 5. Badan Pengawasan Daerah dikembalikan kehabitat semula menjadi Inspektorat Provinsi, Kabupaten dan Kota yang spesifikasi tugas pokoknya lebih jelas lagi jika dibanding sebelumnya, 6. Pembagian klasifikasi rumah sakit pada tingkat provinsi sudah semakin jelas, yakni rumah sakit umum daerah kelas A,B,C dan khusus, yang mana rumah sakit khusus daerah masih lagi dibagi menjadi rumah sakit khusus daerah kelas A dan B. Sedangkan pada tingkat Kabupaten/Kota rumah sakit umum daerah hanya menjadi empat kelas yaitu kelas A,B,C dan D.dan dua rumah sakit khusus kelas A dan B. 7. Penentuan jumlah besaran organisasi perangkat daerah juga sudah semakin jelas dengan ditetapkan berdasarkan variable : jumlah penduduk, luas wilayah dan jumlah APBD yang mana bisa mengambil salah satu yang menguntunkan dari ketiga variable ini. 8. Penentuan julah proporsi sekretarias darah, sekretaris dewan, asisten, dinas (badan atau kantor), Lembaga Teknis Daerah (badan, kantor dan rumah sakit) sudah lebih jelas kreterianya tergantung dari besaran organisasi yang diperoleh berdasarkan hasil perhitungan variable butir 7 di atas yang pembagiannya disebutkan pada pasal 19, 20 dan 21. 9. Perumpunan urusan yang diwadahi dalam bentuk dinas atau bisa juga dikatakan penamaan dinas sudah semakin jelas. Demikian pula perumpunan urusan yang diwadahi dalam bentuk Badan, Kantor, Inspektorat dan Rumah Sakit, tinggal masing-masing daerah mengembangkan atau menciutkannya (menggabungkan beberapa urusan yang relevan).berdasarkan pertimbangan adanya urusan yang secara nyata ada atau tidakl ada sesuai dengan kondiosi, kekhasan dan potensi unggulan daerah. 10. Pelaksanaan tugas-tugas Gubernur pada pada Peraturan Pemerintah yang sudah terbit sebelumnya tidak jelas, tetapi pada PP 41/2007 telah ditegaskan harus dibantu oleh 5 (lima) staf ahli asal PNS yang dapat diangkat dan didatangkan dari lembaga pemerintah mana saja baik dalam daerah maupun luar daerah . Staf ahli pada Gubernur jabatan structural esselon IIa dan pada Bupati/Wali Kota jabatan structural esselon IIb. Tugas-tugas ataf ahli dibuat oleh Gubernur atau Bupati/Wali Kota diluar tugas dan fungsi perangkat daerah. 11. Jumlah bidang pada Badan atau Dinas yang melaksanakan beberapa bidang urusan pemerintahan bisa lebih dari 4 (empat) bidang dengan paling banyak 7 (tujuh) bidang. 12. Kelebihan PP No.41/2007 terletak pula susunan perangkat organisasi dan esselonisasi mulai dari Sekretariat, Dinas, Badan, Inspektorat, Direktur, Asisten, Biro, Bagian, Camat, Lurah dlsb yang tidak disebutkan secara rinci pada PP No.8/2003 sebagai berikut : a. Dalam tugas secretariat daerah, sudah jelas pembantu masing-masing Asisten, yakni paling banyak 3 (tiga) Biro, masing-masing Biro terdiri 4 (empat) bagian dan dan Msing-masing Bagian terdiri 3 (tiga subbagian. Sedangkan secretariat DPRD paling banyak 4 (empat) bagian dan masing-masing bagian terdiri 3 (tiga) sub bagian. Demikian pula untuk Kabupaten/Kota, masing-masing asisten terdiri dari 4 (empat) bagian dan masing-masing bagian terdiri dari 3 (tiga) subbagian, dengan susunan perangkat secretariat DPRD sama dengan provinsi. b. Pada Organisasi Dinas, terdiri dari 1 (secretariat) terdiri dari 3 (tiga) subbagian, dan 4 (empat) bidang, yang masing-masing terdiri dari 3 (tiga) seksi hakl ini sama dengan kedudukan perangkat organisasi dinas Kabupaten/Kota. Demikian pula UPTD terdiri 1 (satu) subbagian tata usaha dan kelompok jabatan fungsional. Bagi UPTD yang belum ada kelompok jabatan fungsioalnnya, dapat dibentuk 2 (dua) seksi. UPTD pada dinas Kabupaten/Kota terdiri 1 (satu) bagian tata usaha dan kelompok jabatan fungsional. c. Lembaga Teknis daerah Provinsi, terdiri dari : 1). Inspektorat yang memiliki 1 (satu) secretariat dan 4 (empast) inspektur pembantu. Sekretarist terdiri dari 3 (tiga) sub bagian dan kelmpok jabatan fungsional. Hal ini sama dengan Inpektorat kabuopate/Kota 2) Badan terdiri dari 1 (satu) sekreriat dan paling banyak 4 (empat) bidang. Sekretariat terdiri dari 3 (tiga) subbagian dan masing-masing bidang terdiri dari 2 (dua) subbidang atau kelompok jabatan fungsional. Hal ini sama dengan Kabupaten/Kota. 3) Kantor terdiri dari 1 (satu) sub bagian tata usaha dan 3 (tiga) seksi. Hal ini sama dengan Kabupaten/Kota 4) UPT pada badan terdiri dari 1 satu) subbagian tata usaha dan kelompok jabatan fungsional UPT badan yang belum memiliki jabatan fungsdional dapat dibentu 2 (dua) seksi. Pada Kabupaten/Kota terdiri dari 1 (satu) subbagian tata usaha dan kelompok jabatan fungsional. 5) Rumah sakit umum daerah kelas A terdiri paling banyak 4 (empat) wakil direktur yang masing-masing terdiri dari 3 (tiga) bagian/bidang, dan masing-masing bidang terdiri dari 2 (dua) seksi atau kelompok jabatan fungsional. Khusus wakil direktur yang membidangi admin istrasi umum terdiri 4 (empat) bagian dan masing-masing bagian terdiri dari 3 (tiga) subbagian. Hal ini juga sama dengan Kabupaten/Kota. 6) Rumah sakit umum kelas B terdiri dari 3 (tiga) akil direktur…dst, sedangkan rumah sakit umum daerah kelas C terdiri dari 1 (satu) bagian terdiri dari 3 (tiga) subbagian dan paling banyak 3 A(tiga) bidang masing-masing terdiri 2 (dua) seksi atau kelompok jabatan fungsional. Sedangkan rumah sakit khusus daerah kela A terdiri dari 2 (dua) wakil direktur…dst dan rumah sakit khusus daerah kelas B terdiri dari 1 (satu) subbagaian tata usaha dan 3 (tiga) seksi. Hal ini sama dengan Kabupaten/ Kota, 7) Rumah sakit umum daerah kabupaten/Kota kelas D terdiri dari 1 (satu) subbgaian tata usaha dan 2 (dua) seksi. d. Kecamatan terdiri dari 1 (satu) secretariat membawahi 3 9tiga) subbagian dan paling banyak 5 (lima) seksi.. e. Kelurahan terdiri dari 1 (satu) secretariat dan paling banyak 4 (empat) seksi. F Esselon jabatan perangkat daerah Provinsi dan Kabuopatan/Kota Sekretaris daerah Provinsi esselon Ib dan Kabupaten/Kota esselon IIa g. Asisten, Sekretaris DPRD, Kepala Dinas, Kepala Badan, Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kelas A esselon IIa, sedangkan Kabupaten/Kota esselon IIb. h. Kepala Biro, Direktur RSUD kelas B, Wakil Direktur RSUD kelas A dan Direktur RSUK esselon IIb, sedangkan Kabupaten/Kota esselon IIIa. i. Kepala Kantor, kepala Bagian, Sekretaris pada Dinas, Badan dan Inspektorat, Kepala Bidang dan Isnpektur Pembantu, Direktur RSUD kelas C Direktur RSKD kelas B, Wakil Direktur RSUD kelas B, Wakil Direktur RSKD kelas A da Kepala UPTD dan Badan esselon IIIa. Sedangkan Pada kabupaten/Kota antara lain Kepala Bidang pada Dinas dan Badan, Kepala Bagian dan Bidang pada RSUD, Direktur RSUD kelas D dan sekretaris camat esselon IIIb. k. Kepala Bagian dan Kepala Bidang pada RSUD esselon IIIb. l. Kepala Seksi, Kepala Sub Bagian, Kepala Sub Bidang, Lurah dan Kepala UPTD Kabupaten/Kota esselon IVa. m. Sekretaris kelurahan, Kepala Seksi Kelurahan, Kepala Sub Bagian pada UPTD, Kepala Tata Usaha sekolah Kehjuruan dan Kepala Sub Bagianpada sekretaris Kecamatan Kabupaten/Kota esselon IVb. n. Kepala Tata Usaha SLTP dan dan kepala Tata Usaha SLTA esselon Va.
B. KELEMAHAN
Pengurangan jumlah seksi dan sub bidang atau sub bagian dari semula berdasarkan peraturan lama (bukan PP No.8/2003) dari semula 4 seksi (sub bidang atau sub bagian) akan berdampak disatu pihak terjadi penumpukan pegawai karena banyak pegawai yang tidak lagi memiliki jabatan. Katakalnlah Di Pemerintah Kota kendari terbentuk 14 lembaga terdiri dari Dinas, Badan, Inspektorat yang mana diestimasi tarulah 1 Dinas, Badan, Inspektorat terdiri dari 4 Bidang dan 1 sekretariat, berarti pada organisasi lama terdapat 5 x 4 = 20 seksi/sub bagian. Pada PP No.41/2007 ditentukan maksimum 3 seksi/sub bagian berarti dalam 1 Dinas kehilangan 5 orang pejabat esselon IV. Jika terbentuk 15 Dinas/Badan/Inspektorat bearti ada mantan pejabat yang menganggur sebanyak 14x5 = 70 orang. Kondisi demikian ini akan menimbulkan dampak phisikologis bagi mantan pejabatnya yang bisa jadi menjadi pengangguran intelektual dalam lingkup lembaga atau premis bisa lebih para menjadi provokator lembaga. Kondisi demikian ini mungkin pada perangkat organisasi pemerintah Kota Kendari tidak akan terjadi seperti ini sebab hampir pada umumnya Dinas, Badan, kantor system perangkat organisasinya sudah merujuk PP No.8/2003 lalu yang secara signifikan justru terjadi penambahan 1 (satu) buah jabatan kepala seksi atau kepala sub bagian pada masing-masing organisasi sesuai PP No.41/2007.***