Oleh: Ito Prajna-Nugroho, S.S[i]
Pengantar: Problem Modernitas sebagai Titik Tolak
Dalam
dunia kehidupan sehari-hari, kita larut dan hanyut dalam berbagai
kesibukan dunia modern: mulai dari kerja rutin di kantor, memakai kompor
dan listrik di rumah, memakai mobil dan motor, jalan-jalan ke pusat
perbelanjaan, asyik berkutat dengan perangkat teknologi-komunikasi
termutakhir, sampai ikut berpartisipasi dalam debat politik terkini
tentang demokrasi. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa saat ini
modernitas dan teknologi telah menjadi totalitas horizon yang melingkupi
seluruh hidup kita, dan darinya tidak dapat kita lepas. Tetapi di
tengah-tengah semua hingar-bingar hidup modern itu kita perlu sedikit
bertanya: Apakah semua hal yang sekarang kita geluti-hidupi sehari-hari
itu muncul dan terjadi begitu saja? Apakah dunia modern itu begitu
berkuasa sehingga kita tidak bisa lain kecuali tertawan-tersandera dalam
horizonnya yang total? Ataukah sebenarnya modernitas itu sendiri
sebenarnya tidak lebih dari sebuah cara-pandang dunia tertentu, sebuah model tertentu tentang cara berada manusia, yang juga memiliki sebab-musabab serta asal-usulnya?
Jika
kita melangkah sedikit lebih jauh ke dalam sejarah pemikiran manusia
(sejarah filsafat) sejak Zaman Antik-Klasik sampai dengan Zaman Modern,
dengan segera kita akan melihat bahwa apa yang terealisasikan dalam
hidup praktis sehari-hari manusia ternyata pada mulanya berasal dari
dunia ide-ide dan gagasan. Idea atau gagasan yang menjelma menjadi
realitas inilah yang telah membentuk peradaban bangsa-bangsa dan
menggerakkan jalannya sejarah umat manusia. Demikian juga munculnya
revolusi industri, kemajuan teknologi, dan system demokrasi-liberal,
semuanya tidak lepas dari cara-pandang dunia modern yang muncul di
antara abad ke 16 sampai abad ke 18, lewat pemikiran para filsuf seperti
Francis Bacon, Berkeley, René Descartes, John Locke, dan Immanuel Kant.
Sebagai sebuah reaksi serta kritik-radikal terhadap cara-pandang dunia
sebelumnya yang Teosentris (Abad Pertengahan), Zaman Modern menekankan
pada kebebasan, otonomi, dan rasionalitas manusia yang khas sebagai
individu. Penekanan pada kekhasan manusia sebagai makhluk individual
yang rasional dan otonom, inilah yang disebut sebagai cara-pandang dunia
modern yang Antroposentris. Segala problematika hidup sehari-hari yang
kita geluti saat ini, mulai dari problem tatanan politik trias-politica
sampai dengan telpon genggam yang kita pakai, memiliki asal-usulnya di
dalam antroposentrisme Zaman Modern dan memperoleh nafasnya dari
cita-cita kemajuan Modernisme.
Apa
yang pada mulanya adalah gagasan tentang kemajuan manusia yang
rasional, setelah menjelma menjadi realitas aktual yang massif-global,
ternyata membawa begitu banyak dampak yang tidak pernah diperkirakan
sebelumnya. Apa yang pada mulanya merupakan kisah indah tentang
rasionalitas, otonomi, dan kebebasan manusia, ternyata justru berakhir
dengan tragedi tentang irrasionalitas, kedangkalan (banalitas) hidup,
dan ketergantungan manusia pada teknologi. Inilah yang oleh seorang
tokoh Aliran (Mazhab) Frankfurt di tahun 1960an, yaitu Max Horkheimer,
disebut sebagai dilemma manusia rasional. Artinya, manusia yang
rasional itu dengan semakin berambisi mewujudkan rasionalitasnya,
alih-alih menjadi semakin rasional justru sebaliknya malah menjadi
semakin tidak-rasional (irrasional). Modernitas ternyata tidak membuat
manusia menjadi semakin bebas dan utuh, melainkan justru menjadikan
manusia semakin terserak-serak, tanpa-makna, dan begitu tergantung
dengan teknologi.
Jauh
sebelum Mazhab Frankfurt lewat tokoh seperti Horkheimer, Adorno, dan
Habermas, merumuskan problem dunia modern, di awal abad ke-20 (sekitar
tahun 1900-1920) dua orang pemikir besar Jerman telah melihat potensi
‘bahaya’ yang terkandung dalam cara-pandang dunia modern. Kandungan
bahaya yang melekat di dalam cara-pandang modern inilah yang membuat dua
pemikir tersebut menggagas apa yang disebut sebagai Fenomenologi.
Fenomenologi, bagi kedua pemikir ini merupakan sebuah terobosan (breakthough)
untuk keluar dari keterbatasan jerat kungkungan cara-pandang modern
yang bahkan di saat itu telah berpengaruh dengan begitu kuatnya dalam
mentalitas manusia modern. Kedua pemikir besar sekaligus fenomenolog itu
tidak lain adalah Edmund Husserl (1850-1938) dan Martin Heidegger
(1889-1976). Melalui Edmund Husserl dan kemudian diteruskan oleh Martin
Heidegger, dapat dikatakan bahwa fenomenologi untuk pertama kalinya
tampil sebagai kritik sistematis terhadap Modernisme dengan
bertolak dari dalam asumsi-asumsi dasar modernisme itu sendiri. Lewat
Husserl dan Heidegger fenomenologi berhasil menunjukkan jalan keluar
serta membuka berbagai ruang kemungkinan untuk bergerak melampaui
kungkungan dunia modern.
Persoalan Dasar (Grundprobleme) dalam Fenomenologi Husserl dan Heidegger
a. Persoalan Dasar dalam Fenomenologi Husserl
Pada
1900/01 di Jerman terbit suatu karya filsafat yang cukup tebal (2
jilid) yang menyuntikkan semacam nafas baru bagi dunia filsafat dan
kebudayaan ketika itu. Karya itu adalah buku Edmund Husserl berjudul Logische Untersuchungen (Penyelidikan-penyelidikan
Logika). Sejak terbitnya karya itu, dunia filsafat tidak lagi dengan
sebelumnya. Bahkan di Jepang, karya itu segera diterjemahkan ke dalam
bahasa Jepang di tahun 1920. Hampir seluruh pemikir besar di abad ke-20,
khususnya para pemikir Jerman dan Prancis, dari yang berposisi politik
kiri/Marxis (seperti Karl Löwith, Theodor Adorno, Jürgen Habermas, dan
Jean-Paul Sartre) ataupun berposisi politik kanan (seperti Carl Schmitt,
Heidegger, dan Ernst Jünger), maupun para pemikir besar kontemporer
lainnya (Max Scheler, Karl Jaspers, Hans Jonas, Jan Patôcka, Emmanuel
Levinas, Hannah Arendt, Merleau-Ponty, Jacques Derrida), semuanya pernah
membaca, mengritik, dan mendalami fenomenologi Husserl.
Kekhasan
fenomenologi Husserl terletak dari ketajamannya dalam memperlihatkan
dua hal penting: 1) ketajaman Husserl dalam menunjukkan akar
permasalahan yang terdapat dalam dunia modern dan ia menembak persis
pada asal-muasal munculnya persoalan itu, yaitu: kesalahpahaman dalam
memahami sifat dasar dunia dan sifat dasar manusia; 2) ketajaman Husserl
dalam memperlihatkan kemungkinan jalan keluar dari segala permasalahan
modern tersebut, yaitu melalui apa yang disebutnya sebagai sikap fenomenologis di hadapan realitas.
Dalam buku Logische Untersuchungen (Penyelidikan-penyelidikan Logika) dan Philsophie als strenge Wissenschaft (Filsafat sebagai ilmu yang ketat-rigorus), Husserl memperlihatkan apakah sebetulnya akar/pokok persoalan dari seluruh modernisme. Husserl melihat bahwa Filsafat Modern terjebak ke dalam pembedaan kategoris yang salah-kaprah antara Subjek dan Objek.
Di
satu sisi, bagi Husserl Filsafat Modern mengalami gerak subjektivisasi
yang kemudian kebablasan. Maksudnya, bagi Husserl Filsafat Modern
merupakan sebuah penggelembungan subjektivitas manusia yang kemudian
dikemas dengan konsep-konsep seperti ‘rasio’ dan ‘subjek’. Dalam
pandangan Husserl, seluruh gerak pemikiran modern sejak Descartes sampai
dengan Hegel dan juga John Stuart Mill tidak lain merupakan gerak
psikologisasi (subjektivisasi) terhadap seluruh realitas, dan kemudian
mendudukkan manusia sebagai Subjek Rasional di atas segala-galanya
sebagai pusat seluruh realitas (pengetahuan). Pandangan Husserl ini
menjadi dasar baginya untuk menyebut Filsafat Modern sebagai
Psikologisme. Psikologisme menjadikan manusia yang sadar itu sebagai
awal dari segala sesuatu, dan kemudian seluruh realitas itu pada
akhirnya akan kembali kepada kesadaran manusia sendiri. Inilah semangat
optimisme modern yang bermaksud menegakkan kedudukan manusia sebagai
manusia, namun terjebak ke dalam pemutlakkan atas manusia dan rasionya.
Di
sisi lain, Modernisme melepaskan alam dari daya
magis-religius-spiritualnya, dan kemudian melihat alam semata-mata
sebagai Objek yang dapat dikuasai serta ditundukkan oleh nalar (rasio)
manusia. Pandangan Modern yang melihat alam semata-mata sebagai objek,
dan objek itu bekerja/bergerak menurut hukum-hukum sebab-akibat yang
dapat dikuasai rasio manusia, inilah yang disebut Husserl sebagai
Naturalisme. Kecenderungan inilah yang disebut Husserl sebagai gerak
objektivisasi (naturalisasi) yang kebablasan dalam Modernisme. Seluruh
ilmu pengetahuan dan teknologi modern sebenarnya digerakkan oleh prinsip
objektivisasi yang sama. Setiap hal di seluruh ala mini, mulai dari
yang paling kecil sampai yang paling besar, dari yang paling privat
sampai yang paling publik, semuanya bekerja menurut prinsip sebab-akibat
yang dapat dikuasai sepenuhnya oleh nalar manusia, dan dipergunakan
demi kepentingan-diri manusia itu sendiri. Pengandaian dasar inilah yang
kemudian memunculkan percabangan dan spesialisasi ilmu-ilmu ke dalam
berbagai ruang lingkupnya yang sangat spesifik, seperti: ekonomi makro,
psikologi, keuangan (akuntansi), manajemen, teknik, dan sebagainya.
Bagi
Husserl, tidak ada yang keliru dengan semua ilmu-ilmu tersebut, kecuali
jika ilmu-ilmu itu memutlakkan cara kerjanya yang khusus (partikular)
menjadi suatu metode yang dianggap berlaku umum (general) dan
seolah-olah dapat dipakai kepada bidang lain di luar bidangnya sendiri.
Menurut Husserl, pemutlakan modernism atas metodenya sendiri inilah yang
disebut sebagai “kesalahpahaman kategoris” (Kategorienmissdeutung)
dalam membedakan antara: 1) yang partikular dengan yang universal, 2)
yang faktual dengan yang ideal, 3) pengada-pengada yang sifatnya
berubah-ubah/tidak tetap dengan Ada yang sifatnya mendasar /
fundamental.
Lewat
cara baca Husserl atas seluruh gerak pemikiran modern, maka kita dapat
melihat di mana persisnya letak persoalan dasar dalam Modernisme.
Modernisme bertolak dari pembedaan tegas-keras antara Subjek dan Objek.
Pembedaan tegas-keras ini dilakukan pada mulanya untuk memperlihatkan
kekhasan dan prioritas atas dimensi Subjektif-individual-personal
manusia. Namun, bertolak dari pembedaan ini, Modernisme justru terjebak
dalam kecenderungan untuk memutlakkan salah satu kutub saja dari dua
kutub Subjek-Objek itu. Entah kemudian terjadi pemutlakkan atas dimensi
subjektif manusia (yang membawa pada Subjektivisme/Psikologisme), atau
terjadi pemutlakkan atas dimensi objektif alam/dunia (yang membawa pada
Materialisme/Naturalisme).
Kecenderungan absolutisasi dan relativisasi inilah yang oleh Husserl di dalam karyanya yang lain (karya akhirnya) yaitu buku Krisis der europäishen Wissenschaften und die phänomenologie Transendentale (1936) disebut sebagai Krisis orientasi (ketidakmampuan) dalam ilmu-ilmu dan dunia modern tidak hanya untuk menentukan arah-tujuannya ke depan (telos-nya),
tetapi juga krisis orientasi (ketidakmampuan) dalam menetapkan dasar
legitimasi yang mendasar (fundamental) bagi ilmu-ilmu dan seluruh dunia
modern itu sendiri. Krisis orientasi inilah yang
juga menyebabkan mengapa proyek modernitas seluruhnya berubah menjadi
suatu bangunan realitas yang tanpa-dasar (Grundloss) dan tanpa-makna (Sinnloss). Bagi Husserl, ke-tanpadasar-an (Grundlossigkeit) dan ketidakbermaknaan (Sinnlossigkeit)
modernitas inilah yang juga telah merasuk meresap ke dalam diri serta
mentalitas manusia modern sedemikian rupa sehingga bahkan banyak dari
manusia modern yang bahkan tercerabut terasing dari dirinya sendiri.
Mengikuti
pandangan Husserl, kita dapat mengatakan bahwa krisis orientasi inilah
yang menyebabkan mengapa kita selalu melihat adanya fenomena
‘kebablasan’ dalam seluruh proyek modernitas, entah itu dalam hal ilmu
pengetahuan, teknologi (lewat teknologisasi ke dalam semua bidang
kehidupan), ekonomi (dengan globalisasi dan liberalisasi tanpa batas),
ataupun dalam hal politik (lewat demokratisasi yang tanpa reserve) dan
kebudayaan (lewat masifikasi budaya yang menghilangkan keberakaran
masing-masing kebudayaan).
b. Persoalan Dasar dalam Fenomenologi Heidegger
Ketajaman
dan keampuhan fenomenologi Husserl dalam menunjuk dan memperlihatkan
dasar persoalan modernitas inilah yang menjadi salah satu daya tarik
terkuat fenomenologi bagi para pemikir, ahli politik, kaum religius,
maupun para budayawan di seluruh kawasan Eropa, Amerika, dan Asia. Di
masa awal kemunculannya, pemikiran fenomenologis Husserl ini ternyata
telah menarik minat seorang pemuda-pemikir yang ketika itu, pada 1911,
masih terdaftar sebagai mahasiswa filsafat di Universitas Freiburg.
Pemuda-mahasiswa itu kurang dari limabelas tahun kemudian akan
menegaskan diri sebagai salah satu pemikir-filsuf paling mendalam,
paling sering dibahas, sekaligus juga paling kontroversial dalam Sejarah
Filsafat. Pemuda itu tidak lain adalah Martin Heidegger.
Keterpesonaan Heidegger pada fenomenologi Husserl menyebabkan karya Husserl “Penyelidikan-penyelidikan Logika” (Logische Untersuchungen)
yang dipinjam dari perpustakaan Universitas Freiburg selama dua tahun
lebih tersimpan erat di meja studi Heidegger, dan menjadi monopoli,
hanya dibaca, oleh Heidegger sendiri. Bagi Heidegger, karya Husserl ini
telah berhasil meretas kebuntuan metodologis dalam cara pandang dunia
modern yang terlalu subjektif-rasionalistik.
Kita
telah melihat bahwa bagi Husserl, seluruh dasar persoalan Modernisme
terletak pada kesalahpahaman/kekeliruan dalam melihat hubungan antara
manusia (sebagai Subjek) dengan dunia (sebagai Objek). Kesalahpahaman
ini bertolak dari salah-kaprah mendasar dalam memahami sifat dasar
manusia dan juga sifat dasar manusia. Singkatnya, bagi Husserl problem
dunia modern terletak pada persoalan seputar cara bagaimana manusia dan dunia itu dilihat serta dipahami. Persoalan tentang cara bagaimana sesuatu itu dipahami, dalam bidang filsafat, termasuk ke dalam problem epistemologi
(pembahasan sistematis tentang struktur dan hakikat pengetahuan).
Epistemologi berkaitan erat dengan metodologi, sebab dalam epistemologi
kebenaran dari pengetahuan berkaitan erat dengan cara bagaimana kita memahami realitas. Oleh sebab itu, dengan menekankan pada cara bagaimana sifat dasar manusia dan dunia dapat dipahami, Husserl mengarahkan fenomenologi kepada bidang epistemologi.
Martin
Heidegger, dengan mengikuti prinsip-prinsip dasar Husserl, akan
meradikalkan persoalan fenomenologi kepada problem ontologi. Ontologi
berkenaan dengan persoalan seputar dasar paling mendasar dan menyeluruh
dari segala yang ada (dalam bahasa Yunani, to on berarti ‘yang
ada’). Maka ontologi berkaitan erat dengan persoalan seputar struktur
paling mendasar (fundamental) dari realitas sebagai suatu
totalitas/keseluruhan dari segala yang ada. Martin Heidegger akan
melihat bahwa bukan hanya Modernisme (sebagaimana dipahami Husserl) yang
sebenarnya bermasalah, melainkan lebih dari itu seluruh sejarah
filsafat sendiri sejak Sokrates dan Platon sampai dengan Hegel memuat
kesalahpahaman mendasar tentang kesejatian dari realitas. Kesalahpahaman
mendasar sepanjang sejarah filsafat dalam melihat kesejatian dari
realitas inilah yang kemudian menyebabkan manusia modern tidak lagi
dapat melihat realitas yang sesungguhnya. Modernisme, bagi Heidegger
menyamaratakan begitu saja secara banal (dangkal) antara: 1) realitas
sebagaimana yang dipikirkan dengan realitas sebagaimana adanya, 2) Apa yang bersifat boleh-jadi/berubah-ubah/kontingen (dalam bahasa Heidegger disebut “pengada”/ seienden / beings) dengan apa yang paling mendasar atau fundamental (dalam bahasa Heidegger disebut sebagai Ada / Sein / Being).
Perbedaan
derajat kualitas yang terdapat di dalam struktur dasar keseluruhan
realitas antara apa yang paling mendasar dan apa yang sekadar merupakan
konstruksi sementara pemahaman manusia, inilah yang oleh Heidegger
disebut sebagai Perbedaan Ontologis (ontologische Differenz).
Bagi Heidegger, seluruh pemahaman dan pengetahuan kita tentang dunia
mengandaikan bahwa realitas itu sendiri memiliki suatu Dasar (Grund)
yang fundamental dan menyeluruh, yang melaluinya pemahaman kita
terbentuk. Dasar paling menyeluruh dan paling mendasar dari realitas
sebagai suatu keseluruhan inilah yang oleh Heidegger disebut sebagai Ada atau Being/Sein.
Bagi Heidegger, manusia selalu hanya menangkap atau mengetahui satu
aspek saja dari keseluruhan realitas itu, dan tidak pernah bisa
mengetahui seluruhnya secara total. Satu aspek tertentu/terbatas yang
selalu kita tangkap dalam persepsi dan pengetahuan kita itulah yang
disebut sebagai pengada-pengada atau beings / seienden. Maka bagi Heidegger, realitas dalam dirinya sendiri selalu memuat Perbedaan Ontologis (ontologische Differenz) antara Ada (Being/Sein) dengan pengada-pengada (beings/seienden). Inilah sifat dasar realitas/dunia yang selalu kita hidupi dan geluti.
Persoalannya
bagi Heidegger, filsafat dan juga ilmu-ilmu pengetahuan, selalu
mengandaikan bahwa pikiran kita, nalar kita, kehendak kita, kesadaran
kita, semuanya seolah-olah bersifat menyeluruh dan cukup-diri (self-sufficient).
Maka manusia (khususnya manusia modern) selalu mengandaikan bahwa
pikiran dan kesadaran kita bisa menguasai atau mencaplok seluruh
realitas dengan sepenuh-penuhnya. Padahal, pikiran dan nalar manusia
sendiri hanya merupakan satu bagian kecil dari keseluruhan realitas yang
tidak terbatas itu. Persis di sinilah Heidegger akan menghantam telak
Modernisme dan seluruh sejarah pemikiran-peradaban Barat.
Heidegger
melihat bahwa pemikiran-peradaban Barat sejak Zaman Antik-Klasik
memiliki kecenderungan untuk menjadikan nalar (rasio) yang sifatnya
terbatas dan subjektif itu sebagai titik pusat (titik Archimedes) dalam
memahami seluruh realitas. Dengan menganggap nalar atau ratio sebagai
sesuatu yang cukup-diri dan sempurna, manusia telah memutlakkan apa
yang terbatas dan sementara menjadi sesuatu yang tidak-terbatas dan
abadi. Maka kecenderungan di Zaman Modern untuk menjatuhkan seluruh
realitas semata-mata ke dalam kesadaran subjektif manusia sebenarnya
tidaklah mengherankan. Sebab, sejak awal peradaban-pemikiran Barat
manusia telah selalu cenderung menyempitkan seluruh realitas semata-mata
ke dalam kesadarannya sendiri saja. Akibatnya, manusia modern tidak
lagi dapat membedakan antara: 1) cara-pandang dunia yang
terbatas-tertentu dengan dunia itu sendiri yang tidak terbatas, 2) metode dalam memahami realitas dengan realitas yang sesungguhnya itu sendiri, 3) pikiran/anggapan kita tentang apa yang ada dengan apa yang ada itu sendiri, 4) pengada-pengada yang bersifat mentak dengan Ada itu sendiri yang bersifat mendasar.
Ketidakmampuan untuk membedakan antara pengada-pengada dengan Ada itu sendiri, inilah yang oleh Heidegger disebut sebagai pelupaan akan Ada (Seinsvergesenheit).
Maka, mengikuti cara pandang Heidegger, manusia modern termasuk juga
diri kita yang hanyut dalam kesementaraan gemerlap dunia modern,
sebenarnya telah selalu melupakan perbedaan antara apa yang hanya sekadar sementara sia-sia dengan apa yang sejati dan sesungguhnya ada.
Singkatnya, manusia selalu mengabadikan apa yang sifatnya sementara dan
sia-sia, tetapi justru melupakan apa yang sesungguhnya-sejatinya
mendasar dan abadi. Bagi Heidegger, di atas pelupaan inilah kita manusia dengan bangga dan yakin membangun kemanusiaan kita.
Melalui
kekuatan kritik dan hantamannya terhadap Modernisme dan seluruh
Filsafat Barat, juga melalui penekanannya pada dimensi ‘perbedaan’ (Difference) dalam konsep Perbedaan Ontologis (Ontological Difference),
Heidegger telah memberikan roh baru serta membukakan jalan bagi
munculnya gerakan pemikiran baru yang saat ini sedang hangat-hangatnya
dan disebut sebagai Posmodernisme (postmodernism).
Fenomenologi sebagai suatu Cara Melihat dan Sikap Hidup
Setelah
cukup panjang melihat persoalan dasar yang dihadapi oleh (dan menjadi
titik tolak) fenomenologi Husserl dan Heidegger, kita dapat bertanya
lalu apakah fenomenologi itu sendiri?
Di bagian ‘Pengantar’ karyanya Logische Untersuchungen, Husserl sendiri menyebut fenomenologi sebagai suatu kajian deskriptif atas apa yang tampak dan memberikan dirinya (Erscheinungen und die Selbst-gegebenheit)
sebagai sesuatu itu sendiri, dengan maksud untuk menyingkapkan
struktur-strukturnya yang paling mendasar. Dengan memberikan penekanan
pada konsep ‘deskriptif’, ‘yang tampak’, dan ‘memberikan-dirinya’,
fenomenologi seperti kata Husserl sendiri menekankan pada dimensi yang
paling mendalam dari melihat (Schau).
‘Melihat’
dalam fenomenologi Husserl maupun Heidegger memiliki artinya yang
mendalam. ‘Melihat’ bagi Husserl pertama-tama (1) memiliki arti pasif,
artinya dengan ‘melihat’ seseorang menunda atau menangguhkan segala
pra-sangka, pra-anggapan, pra-konsepsi, dan muatan nilai-nilai yang
telah tersimpan di dalam benak serta kesadarannya. Sebab, dengan
menunda-menangguhkan segala pra-konsepsi kita tentang sesuatu berarti
kita membiarkan sesuatu (realitas) itu sendiri
memberikan-diri/menyingkapkan-dirinya bagi kita. Dalam istilah Husserl,
sikap pasif seperti ini disebut juga sebagai Epoche atau dalam istilah Jermannya disebut Einklammerung (menempatkan sesuatu di dalam kurung). Sikap ini penting sebab memuat asumsi dasar bahwa kesadaran kita telah selalu terarah (dengan sendirinya) kepada sesuatu (consciousness of something). Inilah yang disebut Husserl sebagai Intensionalitas kesadaran atau sifat dasar kesadaran manusia yang telah selalu terarah pada sesuatu yang lain selain dirinya.
Maka, bagi Husserl, kesadaran kita sebenarnya selalu terbatas (bersifat perspektif / perspectival),
sebab realitas selalu hadir bagiku hanya dalam sisinya/dimensinya yang
tertentu saja. Realitas atau sesuatu itu selalu lebih luas dan lebih
tidak terbatas dari kesadaranku sendiri. Kesadaran manusia merupakan
kesadaran akan sesuatu yang selalu lebih dari sesuatu itu sendiri (consciousness of something mora / plus ultra).
Tetapi kesadaran kita juga cenderung mau memutlakkan sesuatu/realitas
itu semata-mata pada apa yang dapat diketahui oleh nalar saja. Oleh
sebab itulah, bagi Husserl, perlu suatu sikap pasif (Epoche)
yang menangguhkan terlebih dulu kesadaran nalar kita di hadapan sebuah
fakta, sesuatu, atau realitas itu sendiri. Maka ‘melihat’ dalam
pengertian Husserl pertama-tama mengandaikan pasivitas kesadaran.
Tetapi
‘melihat’ juga tidak semata-mata pasif, sebab kesadaran yang terarah
pada sesuatu itu juga mengandaikan bahwa kesadaran dapat menyingkapkan (Erschlossen)
struktur-struktur realitas yang paling mendasar. Kesadaran yang
menyingkapkan struktur dasar dari sesuatu dan masuk ke dalam lapisan
realitas yang paling mendalam, inilah yang disebut sikap aktif kesadaran atau aktivitas kesadaran. Dalam aktivitasnya ini, penglihatan kita menerobos masuk ke dalam lapisan paling dasar dari sesuatu (Wesen), lapisan paling dasar dari sesuatu yang hanya karenanya sesuatu itu disebut sebagai sesuatu. Cara ‘melihat’ seperti inilah yang disebut sebagai penglihatan yang bersifat langsung-mendasar-intuitif (Wesen-anschauung).
Maka dalam fenomenologi Husserl, ‘melihat’ selalu secara bersamaan mengandaikan artinya yang pasif maupun aktif.
‘Melihat’ dalam fenomenologi Husserl berkaitan erat dengan sifat
intensional kesadaran manusia yang selalu sudah terarah pada sesuatu
yang lain selain dirinya. ‘Melihat’ dalam fenomenologi Husserl berarti
membiarkan (lassen) sesuatu memberikan-dirinya melalui caranya yang tertentu (manner of givenness). Sebab, dunia-kehidupan (Life-world / Lebenswelt)
selalu dialami dan dihayati secara berbeda-beda oleh setiap orang
sesuai dengan situasi, posisi, cara-berada, pola pikir, dan horizon
waktu (temporalitas) dari setiap orang yang juga berbeda-beda. Situasi,
posisi, cara berada, pola pikir, dan horizon waktu yang berbeda-beda
inilah yang membedakan cara bagaimana realitas itu hadir memberikan-diri (self-given / Selbst-gegeben) bagi setiap orang.
Dalam istilah Husserl sendiri, dunia-kehidupan (Lebenswelt)
itu kita alami begitu saja mendahului segala konsepsi, rasionalisasi,
refleksi kita atasnya. Ini membuktikan satu hal penting, yaitu: manusia
telah selalu terlibat atau melibati-diri di dalam
dunianya yang tertentu, suka atau tidak suka, sadar atau tidak sadar.
Maka nalar atau kesadaran manusia tidak pernah sungguh-sungguh mutlak
dan dapat berkuasa atas segalanya. Kesadaran atau kehidupan manusia
telah selalu mengandaikan saling-keterkaitan antara berbagai hal yang membentuk horizon pemahaman manusia (Zusammenhang der Verhaltnis).
Horizon yang tidak terbatas yang selalu berada di belakang setiap
penglihatan/pemahaman manusia inilah yang oleh Husserl disebut sebagai Pra-refleksivitas.
Maka,
bagi Husserl, dengan memperlihatkan dimensi pra-reflektif hidup manusia
ini, ia mau memperlihatkan bahwa kekhasan manusia terletak bukan pada
kemampuan (daya) nalar-rasionalnya belaka, melainkan juga pada kemampuan
(daya) manusia untuk menegaskan-diri dan memaknai hidupnya di hadapan
hamparan realitas yang tidak terbatas itu. Saat atau momen di mana
manusia menegaskan-diri itulah yang disebut dengan Refleksi. Dalam
refleksi manusia memaknai rentang hidup dan rentang waktunya yang
tertentu, meskipun ia sadar bahwa momen penegasan-diri dan momen
pemaknaan-diri itu bersifat sementara saja. Ia sadar bahwa di hadapan
arus waktu dan gempuran realitas yang menerpa kesadarannya itu (Erlebnisstrom)
ia tidak lebih dari sebuah titik yang terbatas di tengah-tengah samudra
waktu yang tidak terbatas. Dalam fenomenologi, refleksi selalu telah
mengandaikan pra-refleksivitas. Demikian juga pra-refleksivitas selalu
telah mengandaikan kemampuan refleksi yang tertentu.
Dengan
demikian, dalam fenomenologi Husserl, persoalannya tidak terletak pada
bagaimana manusia dapat mengetahui dan mencari sebab-akibat dari
realitas. Fenomenologi Husserl lebih menekankan pada kemampuan manusia
untuk memaknai hidupnya dengan bersikap ‘tepat’ di hadapan realitas.
Dengan memaknai manusia memberikan dasar bagi seluruh cara beradanya,
sesuai dengan cara bagaimana realitas dan kehidupan itu sendiri
memberikan diri bagi si manusia yang bersangkutan. Maka manusia
dalam fenomenologi Husserl adalah: 1) manusia yang menyadari bahwa ia
sendiri bersifat terbatas namun terarah pada suatu cakrawala
ketidakterbatasan, 2) manusia yang menyadari bahwa ia selalu mengalir di
dalam arus waktu dan peristiwa (Erlebnisstrom) namun juga
telah selalu dituntut untuk memutuskan dan menegaskan-diri, 3) manusia
yang menyadari bahwa penegasan-diri/keputusan dan pemaknaan merupakan
titik pusat yang menentukan kualitas dirinya sebagai manusia.
Pengandaian
yang kurang lebih sama juga sebenarnya termuat di dalam fenomenologi
Heidegger. ‘Melihat’ dalam pengertian Heidegger berarti juga membiarkan
Ada (realitas) itu sendiri menyingkapkan-dirinya. Hanya apa yang pada
Husserl semata-mata dipahami sebagai momen pemaknaan, pada Heidegger
lebih diartikan dengan lebih eksplisit sebagai penafsiran (Auslegung).
Bagi Heidegger, manusia di hadapan dunia telah selalu menafsirkan
dunianya sebagai sesuatu, dan inilah cara berada manusia yang paling
mendasar. Dengan menfsirkan ia menegaskan diri, dunia, dan cara
beradanya yang tertentu. Sebab, manusia telah selalu
berada-di-dalam-dunia (Being-in-the world / In-der-Welt-sein) yang tertentu, dan hanya manusia juga yang dapat menamai/memaknai/menafsirkan dunia sebagai ‘dunia’.
Bagi Heidegger,manusia adalah sesuatu yang tergeletak-di-sana (Da-sein).
Manusia selalu sudah menemukan dirinya menjadi satu dengan dunia, dan
terlibat di dalam dunia yang hadir bagi dirinya untuk
dimanfaatkan/dilibati (Zuhandenes). Inilah yang olehnya disebut sebagai Faktisitas manusia. Faktisitas manusia menunjukkan dua hal penting: 1) manusia telah selalu mengandaikan keberakarakan (Bodenstandigkeit) pada darah (Blut) dan tanah (Böden) yang tertentu, 2) manusia telah selalu terarah kepada masa depan yang paling niscaya bagi dirinya, yaitu kematiannya (Sein zum Tode).
Dua
dimensi penting inilah yang telah selalu dilupakan oleh modernitas
dengan segala kebaruan, gemerlap, dan kecanggihan yang ditawarkannya.
Bagi Heidegger, dua dimensi mendasar manusia ini sangatlah penting,
sebab memperlihatkan fakta bahwa manusia selalu bertolak dari suatu
ketersituasian/keterbatasan yang tertentu (Befindlichkeit), dan terarah kepada cakrawala kemungkinan di depannya yang tidak terbatas (Möglichkeit).
Bagi
Heidegger, modernitas lewat teknologinya telah membuat manusia terlupa
akan keterbatasan sekaligus ketidakterbatasannya ini. Modernitas
membatasi cara pandang manusia sedemikian rupa, sehingga ia tidak lagi
menyadari keberakarannya dan keterarahannya pada ketidakterbatasan
makna. Manusia modern, bagi Heidegger, adalah manusia yang tercerabut
dari akarnya, sekaligus juga buta akan arah langkahnya ke depan.
Penutup
Dari
sedikit uraian terbatas tentang Husserl dan Heidegger di atas, maka
kita dapat melihat bahwa fenomenologi menekankan pentingnya relasi di
antara keterbatasan dan ketidakterbatasan, relasi di antara
keterserakan-diri dan penegasan-diri, relasi di antara pra-refleksivitas
dan refleksivitas, relasi di antara keterbukaan dan keberakaran, relasi
di antara pergulatan-diri dan pemaknaan-diri. Singkatnya, bagi
fenomenologi, apa yang penting tidaklah terletak entah pada diri manusia
itu sendiri, ataupun pada dunia itu sendiri. Bagi fenomenologi yang
lebih penting adalah relasi kemungkinan dan pemaknaan di antara manusia dengan dunia.
Dengan menekankan pada dimensi relasional tersebut, fenomenologi lebih menekankan sikap (attitude/Einstellung)
dan bentuk penghayatan/pemaknaan kita di hadapan realitas. Sebab, sikap
atau kemampuan pemaknaan yang tertentu di hadapan realitas itulah yang
menentukan kualitas diri kita masing-masing sebagai manusia.
Sebagai catatan akhir, perlu disebutkan bahwa dengan menekankan pada sikap dan pola penghayatan di depan realitas, fenomenologi dapat dikatakan telah mengarahkan kembali problem filsafat
dari sekadar persoalan mengenai metode pengetahuan yang bersifat
khusus, teknis, dan spesialistik (seperti terjadi dalam Filsafat
Modern/Modernisme) kepada persoalan mengenai cara berada dan sikap hidup (way-of-Life) seperti yang dipahami dalam Filsafat Antik-Klasik mulai dari Phytagoras, Platon, Aristoteles, hingga ke Stoisisme. ***
[i] Ito
adalah Sarjana Filsafat lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara,
Jakarta. Ia menulis skripsi mengenai persoalan-persoalan pokok
fenomenologi Husserl di tahap awalnya dengan judul Logika dalam Fenomenologi Husserl (2009),
di bawah bimbingan Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, SJ. Ia mempertahankan
skripsi tersebut dengan hasil ‘Sempurna’ di hadapan pembimbingnya dan
Prof. Dr. Alex Lanur, OFM. Ia telah mempublikasikan berbagai hasil
penelitiannya antara lain di Jurnal Filsafat Driyarkara dan Majalah
Kebudayaan BASIS. Tulisan terakhirnya dimuat dalam buku
kumpulan tulisan mengenai filsuf Prancis Jean-Paul Sartre, dengan judul
“Diri dan Ketiadaan dalam Filsafat Sartre” (Lihat A Setyo Wibowo (ed.), Filsafat Eksistensialisme Jean-Paul Sartre,
Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2011). Saat ini selain mengajar mata
kuliah Sejarah Filsafat di Sekolah Tinggi Teologi Apostolos, ia juga
sedang menyelesaikan Tesis Magisternya dengan tema seputar fenomenologi
dan problem transendensi. Pada Semester Genap 2011-212 ia, bersama
dengan Dr. A. Setyo Wibowo, ditugaskan untuk memberikan kuliah mengenai
“Stoisisme dan Problem Askese” di almamaternya STF Driyarkara.
Sumber :
http://www.pergerakankebangsaan.org/?p=1073