Opinion Peblika

Opinion Peblika
Suasana Foto Galian Tanah Tambang C Tanpa Melalui SRKL dan AMDAL di Wakatobi

Jumat, 26 Desember 2014

KASUS REKENING GENDUT, NUR ALAM SIAP DIHUKUM MATI



Oleh : REZA ADITYA
               Kamis, 25 Desember 2014 | 06:06 WIB



 Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam. 


TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam mengatakan siap dihukum mati dengan cara ditembak apabila terbukti melakukan penyalahgunaan wewenang dalam dugaan kepemilikan rekening gendut. Syaratnya, kata dia, Kejaksaan Agung dan penegak hukum harus bisa membuktikan ihwal dugaan rekening gendut miliknya itu.

"Tapi harus ada pengadilan terbuka, saya ingin diadili di pengadilan terbuka, meski ditembak mati saya siap," kata Nur Alam di Universitas Negeri Jakarta, Rabu, 24 Desember 2014. (Baca: Kasus Rekening Gendut, Nur Alam Tunjuk Para Bupati)

Dia juga mengatakan, jika nantinya dijebloskan ke penjara, penegak hukum tidak melibatkan sanak familinya. "Biarkan saya yang menanggung," ujarnya. "Tapi, sejujurnya, saya tidak mau masuk penjara atau dihukum mati."

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menyetorkan laporan hasil analisis sepuluh kepala daerah kepada Kejaksaan Agung pada akhir 2012. Pada 2 Desember 2014, Kepala PPATK Muhammad Yusuf mendatangi Jaksa Agung H.M. Prasetyo untuk memperbarui data laporan tersebut. (Baca: Tiga Modus Pejabat 'Sembunyikan' Rekening Gendut)

Salah satu nama yang dilaporkan adalah Nur Alam. Seorang penegak hukum di Kejaksaan menyebutkan Nur Alam menerima uang US$ 4,5 juta dari rekening perusahaan tambang di Hong Kong pada 2010. Tim penyelidik sudah menuju Hong Kong untuk mendatangi perusahaan tambang tersebut.
REZA ADITYA

Sumber :

LA ODE MINTA KEJAGUNG PANGGIL PAKSA NUR ALAM



Oleh : FAS (Media On Line, jppn.Com)
               Kamis, 25 Desember 2014 , 22:28:00





JAKARTA - Mantan Wakil Ketua DPD RI, La Ode Ida mengingatkan para kepala daerah pemilik rekening gendut jangan merasa sudah aman dulu dari proses hukum di Kejaksaan Agung (Kejagung). Sebab menurut Ida, Jaksa Agung yang baru M Prasetyo pasti akan melakukan sesuatu untuk menegakkan hukum.

Sementara pejabat lainnya di bawah Jaksa Agung, ujar Ida, mulai Jampidus sampai bawahannya mungkin saja sebelumnya sudah tahu dan bahkan berurusan dengan salah seorang pemiliki rekening gendut seperti Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam (NA) sejak sekitar tiga tahun lalu.

"Patut dicurigai NA sudah melakukan semacam transaksi untuk mengamankan dirinya. Jika tidak, maka NA rasanya tidak akan mungkin mangkir dari panggilan Kejagung," kata La Ode Ida, saat dihubungi JPNN, Kamis (25/12).

Dikatakannya, barangkali NA sudah yakin akan keampuhan cara-cara transaksi kasus selama ini. Atau, barangkali juga NA mencari alasan yang meyakinkan untuk menyelamatkan dirinya, termasuk memperoleh advis informal dari sebagian oknum penegak hukum itu.

"Sekali lagi, penyelesaian rekening gendut kepala daerah ini taruhan utama dari kredibilitas Jaksa Agung sekarang," tegas Ida.

Disarankannya, Kejagung harus memanggil paksa NA.
"Jangan biarkan dia bebas mencari berbagai cara termasuk menyembunyikan sebagian hartanya dan segera lakukan cekal terhadap NA dan keluarganya, serta optimalkan peran intel Kejagung untuk medeteksi pergerakan NA dan keluarganya," saran dia.

Sebagai informasi lanjutnya, sebenarnya indikasi korupsi NA bukan hanya rekening tambun itu. Tukar guling gedung KNPI dan Pramuka di Kendari yang kini jadi mal patut juga dicurigai. Pembangunan Masjid di tengah laut di Teluk Kendari yang sudah menghabiskan dana puluhan milyar itu juga didiamkan saja.

"Maklum, pihak Kejaksaan, Polri dan juga KPK sebelumnya tidak peduli atau barangkali sudah satu persatu oknum pejabatnya diamankan. Itu semua juga agaknya tidak bisa dilepaskan dengan proteksi kekuasaan rezim lalu, sehingga NA selalu selamat dari jeratan hukum," imbuhnya.

NA ujar mantan senator asal Sultra itu, memang dianggap selalu ampuh melunakkan para oknum penegak hukum yang mengincar kasusnya. "Bahkan Pada tingkat lokal pun ia tak segan-segan mengerahkan oknum-oknum preman ketika ada pihak yang menyorotnya atau mendemonya. Sehingga tak heran akhir-akhir ini kelompok masyrakat dan mahasiswa yang berdemo selalu dipatahkan oleh 'pasukan liarnya'," ujarnya

Sementara media massa lokal lanjutnya, sangat diam terhadap kasus NA itu, sehingga ada yang menyatakan bahwa NA sudah mengamankan semua lini untuk mengamankan indikasi kasus yang dalam kondisi wajar tak mungkin lagi bisa diselamatkan.

Terakhir dikatakan Ida, penting pengusutan masalah ini karena Ketua PPATK sudah tegas menyatakan bahwa pihaknya sudah sampaikan data akurat ke KPK dan Kejagung berupa Laporan Pemeriksaan diperkuat dengan bukti-buktinya.

"Maka, sekali lagi Kejagung harus tunjukkan taringnya, untuk tidak dianggap sebagai pelindung pejabat rampok," pungkas La Ode Ida.(fas/jpnn)

Sumber :

Kamis, 25 Desember 2014

KASUS REKENING GENDUT, NUR ALAM TUNJUK PARA BUPATI



Oleh : REZA ADITYA (Media on Line Tempo.co)
              Rabu, 24 Desember 2014 | 20:00 WIB




TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, mengatakan semua perizinan tambang di provinsinya tidak melulu atas rekomdenasi dari dirinya. Menurut Nur, izin pertambangan itu langsung diatur dan disetujujui pemerintah Kabupaten dan menjadi tanggung jawab bupati meski wilayanya berada dalam Sulawesi Tenggara.
"Sehingga jika ada rekening atau transfer yang mencurigakan, maka harusnya yang diselidiki para bupati itu, bukan malah gubernur," kata Nur, di Universitas Negeri Jakarta, Rabu, 24 Desember 2014. "Karena izin tambang itu saat ini sesuai peraturan merupakan kewenangan bupati." (Baca: PATK: Kami Telisik Rekening Gendut dari 2009)
Nur membantah sama sekali tidak memiliki rekening gendut. Justru sebaliknya, Nur menuding beberapa bupati di Provinsinya itu yang diduga memiliki rekening gendut atas izin lahan pertambangan.
Di Sultra, kata Nur, terdapat 12 kabupaten yang dipimpin oleh bupati. Nur mengatakan perizinan alih lahan tambang, diatur sedemikian rupa oleh Bupati di setiap daerahnya. Bahkan, kata Nur, banyak dari para Bupati itu yang melamapui dan menyalahgunakan wewenang. (Baca: Pro-Kontra Dugaan Rekening Gendut Nur Alam


Nur Alam menjadi sorotan media perihal dugaan kepemilikan rekening gendut. Kejaksaan Agung bahkan sampai mengutus tim khusus untuk mendatangi Richcorp International Limited di Hong Kong, dua pekan lalu.
Ini untuk memastikan bahwa perusahaan pertambangan, yang mengaku berbasis di Hong Kong, itu pernah mentransfer uang sebesar US$ 4,5 juta atau sekitar Rp 50 miliar ke rekening Nur Alam, Gubernur Sulawesi Tenggara, pada akhir 2010.
Kejaksaan menduga uang tersebut berhubungan dengan perizinan sebuah perusahaan tambang di Sulawesi Tenggara, kongsi bisnis Richcorp.


Sumber :

Selasa, 23 Desember 2014

REKENING GENDUT PEJABAT, FUNGSI PENGAWASAN DEWAN TIDAK BERFUNGSI



OLEH : ARIEF TURATNO, WARTAWAN SENIOR)



Publik sepertinya terkaget-kaget ketika PPATK menemukan dan mengumumkan tentang rekening gendut sejumlah pejabat daerah. Mereka umumnya para oknum kepala daerah baik yang masih menjabat maupun yang sudah lengser. Dan kabarnya yang dianggap cukup fenomenal adalah rekening gendut yang dimiliki Foke atau mantan Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo. Mungkin saja selain Foke masih ada pejabat lain yang memiliki rekening gendut setara, atau bahkan lebih dari yang dimilikinya, Hanya saja PPATK belum menemukannya, atau sudah mendapatkannya, tetapi belum sempat mengeksposnya. Pertanyaan dan persoalannya adalah mengapa mereka bisa punya rekening gendut? Kemudian apakah harta yang dimilikinya hasil korupsi?

Tentang rekening gendut yang dimiliki para pejabat apakah hasil halal atau lewat korupsi pihak terkait masih belum menjelaskannya. Hanya yang muncul ke permukaan barulah dugaan, bahwa rekening raksasa yang dimiliki mereka mungkin saja hasil kejahatan korupsi. Untuk ini PPATK bersama KPK masih menelusuri asal-usul rekening itu, dan merekam jejak mengapa para pejabat dapat memiliki uang sebanyak itu. Sekarang pertanyaannya adalah mengapa baru sekarang masalah semacam itu dipersoalkan? Dan mengapa para anggota dewan di daerah mereka diam, atau mendiamkan permasalahan tersebut?

Seperti kita ketahui, bahwa fungsi pokok anggota dewan ada tiga macam, yakni Pertama, fungsi legislasi (bersama eksekutif membuat peraturan daerah), Kedua, fungsi budgetering (membuat atau mengesahkan APBD), dan yang Ketiga adalah fungsi pengawasan, yakni mengawasi jalannya pemerintahan yang dilakukan eksekutif. Dalam slogan selalu didengungkan tentang pengawasan melekat (Waskat) yang mereka lakukan. Kenyataannya? Inilah yang membuat public kerap bertanya-tanya, dan sering dibuat kecewa terhadap kinerja dewan. Sebab fungsi pengawasan yang mestinya harus mereka jalankan dengan benar dan maksimal, kenyataannya fungsi itu hanya sekedar melekat di baju atau papan nama.

Mungkin saja mereka—para anggota dewan—- berdalih bahwa perbuatan menyimpang yang dilakukan oknum eksekutif sangat tertutup alias rahasia, sehingga sulit mendeteksinya. Benarkan? Tentu saja pernyataan dan dalih seperti itu perlu pembuktian lebih lanjut. Mengapa? Lihat saja kasus dugaan korupsi yang melibatkan Ketua DPD I Partai Golkar Jawa Barat (Jabar) Riyanto MS Syafiuddin atau yang akrab dipanggil Yance, yang sekarang ditangani Kejaksaan. Kasus itu sebenarnya sangat terbuka karena soal mark up pembebasan lahan untuk proyek PLTU di Indramayu, yang dikenal dengan sebutan kasus Sumur Adem hampir semua orang tahu.Dan anggota dewan sebagai pengawas eksekutif di daerahnya, mestinya  mereka harus lebih tahu daripada orang biasa. Nyatanya?

Kasus tersebut terjadi tahun 2004, di saat Yance masih menjadi Bupati Indramayu, faktanya baru dieksekusi kejaksaan dengan menahannya baru-baru ini. Dan selama itu pula kalangan dewan diam. Pertanyaannya adalah apakah diamnya mereka karena sudah sama-sama tahu? Entahlah, tetapi dengan kejadian tersebut public telah memberi stigma jelek kepada kalangan dewan di daerah, dan menuding mereka tidak mampu menjalankan fungsi pengawasan dengan baik. Dan kasus Yance, hanyalah salah satu contoh saja. Kasus serupa pastinya sangat banyak, dan lagi-lagi public menuding dewan di daerah kerjanya hanya tidur saja.Sebab kalau mereka melek maka PPATK tidak akan mudah menemukan para pejabat berkening gendut.

Juga, sekiranya dewan sudah  menjalankan funsinya dengan baik dan benar pemerintah tentu tidak perlu repot-repot membentuk KPK. Bahkan polisi dan kejaksaan tidak perlu blusukan mengorek borok-borok pejabat. Pokoknya, jika fungsi pengawasan telah berjalan semustinya, maka tidak akan banyak kita temukan pejabat berekening gendut. Dan seandainya kerja dewan hanya tidur di kantor, tentu tidak banyak lagi kasus korupsi yang melibatkan eksekutif. (Arief Turatno, wartawan senior)

Sumber :