Opinion Peblika

Opinion Peblika
Suasana Foto Galian Tanah Tambang C Tanpa Melalui SRKL dan AMDAL di Wakatobi

Jumat, 23 Mei 2014

KPK SEDANG MENDALAMI DAN AKAN MENGUSUT DUGAAN KORUPSI PULUHAN MILIAR BUPATI WAKATOBI



Korupsi Bupati Wakatobi

OLEH : DETIKDOTCOM



IR. HUGUA




Berdasarkan berita dari sumber media on line http://forum.detik.com/korupsi-bupati-wakatobi-t689621.html tertanggal 16 Mei 2013, terkait dugaan Tindak Pidana Korupsi Bupati Wakatobi  yang diduga dilakukan oknum Bupati Wakatobi, Sulawesi Tenggara, IR. HUGUA, kini pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang mendalami dan akan mengusut dugaan korupsi yang berpotensi merugikan keuangan negara puluhan miliar yang dilakukan Sang Bupati. 

Pihak pelapor yang anggota DPRD Wakatobi (mantan Ketua DPRD Th 2004-2009), merasa geram melihat semakin meningkatnya eskalasi penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan Negara di daerah Wakatobi oleh Sang oknum Bupati tersebut.

Adapun indikasi penyelewengan yang berpotensi merugikan keuangan negara dimaksud antara lain; Penyalahgunaan Insetif Pajak dari Pemerintah Pusat pada TA 2006 sebesar Rp. 1.694.506.24, Belanja Subsidi Penerbangan dari dana APBD Wakatobi pada th 2009–2011 sebesar Rp. 9.422.994.000.


Indikasi korupsi lain terkait Proyek Pengadaan Kapal Ikan pada Ta 2007 dengan Penunjukkan Bupati Kepada Nursalam (Adik Ipar Bupati) dengan anggaran Rp. 7 Miliar. Kapal tersebut tidak pernah dipakai oleh nelayan sebagai tujuan proyek, Karena sebelum serah terima kepada nelayan kapal-kapal tersebut telah rusak.


Belum lagi pengadaan pipa untuk air minum sebesar Rp. 30 Miliar yang dianggarkan pada dua APBD (APBD Kabupaten dan APBD Propinsi). Juga tidak adanya pertanggung jawaban atas dana sharing PNPM yang setiap tahunnya mencapai Rp. 3 S/D 4 miliar.
Diduga secara akumulatif kekayaan IR. HUGUA selama menjabat Bupati Wakatobi dua periode mencapai ratusan miliar rupiah. Ini dapat terlihat dari peningkatan kekayaan dan asset pribadi dan keluarga bupati yang spektakuler menjadi sisi lain yang dapat ditelusuri.



IR HUGUA menguasai lahan lebih kurang 40 Ha di Kendari, Resort untuk menjamu artis dan tamu asing. Sebuah rumah di Sidney, Australia dapat menjadi bagian lain dari penelusuran meningkatnya harta kekayaan dari pejabat Bupati Wakatobi. “Semua itu siap saya tunjukan di lapangan, kepada KPK. Termasuk beberapa pemilik rekening yang digunakan untuk melakukan transaksi-transaksi tersebut,” ujar Daryono Muane kepada situs berita Suara LSM Online belum lama ini di Jakarta.


Dalam kesempatan terpisah, Kordinator Badan Pekerja Nasional/Ketua Umum Indonesian Corruption Investigation (ICI), HELMY THAHIR menanggapi maraknya korupsi di daerah yang ‘merampok’ uang APBD, pihak KPK diminta agar segera bereaksi mengusut tuntas kasus-kasus semacam ini. “Sebagai lembaga penegak hukum yang diharapkan rakyat sebagai ujung tombak untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, KPK seharusnya segera melakukan pengusutan,” tegas HELMY THAHIR kepada Suara LSM Online baru-baru ini di Jakarta.- (POLO)

Berikut ini Kutipan Lengkap Laporan Daryono Moane kepada KPK (Tanda Bukti Penerimaan Laporan/Informasi Dugaan Tindak Pidana Korupsi No: 2012-4-000035 dan No: 2012-12-000190)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Daryono Moane, dengan ini melaporkan keterlibatan Bupati Wakatobi dalam tindak pidana korupsi. Sehubungan dengan semakin meningkatnya eskalasi penyalahgunaan keuangan Negara di Kabupaten WAKATOBI bersama ini saya sampaikan informasi sekaligus laporan indikasi korupsi di pemerintahan Daerah WAKATOBI.


1. PENYALAHGUNAAN INSETIF PAJAK DARI PEMERINTAH PUSAT


Pada TA 2006, Kabupaten Wakatobi memperoleh insetif pajak Rp. 1.694.506.241,-. Sesuai peraturan, insetif pajak tersebut seharusnya tercatat dalam APBD Wakatobi sebagai pos pemasukan untuk pembangunan. Namun insetif tersebut justru didistribukan kepada jumlah pejabat termasuk BUPATI didukung SK Bupati No 973/334, 28/12/2006.
Pada tahun 2007 dalam APBD Wakatobi insetif pajak kemudian tercatat pada pos belanja dispenda sebesar Rp. 1.694.506.241. pencatatan tesebut merupakan upaya menutupi penyalahgunaan anggaran untuk memperkaya diri oleh Bupati melalui SK yang dbuatnya sendiri. Karena sejatinya anggaran tesebut tidak pernah ada pada TA tersebut.


2. BELANJA SUBSIDI PENERBANGAN


Pada tahun 2009 – 2011 melalui APBD Wakatobi tercatat belanja sebesar Rp. 9.422.994.000. Pengeluaran tersebut tidak pernah mendapat persetujuan dari DPRD, namun PEMDA melakukan kontrak sepihak dengan PT. SUSI AIR dan PT. EXPRESS AIR yang tidak dapat di kontrol kebenaran materi maupun besarnya karena dilakukan di bawah tangan.


Dalam kontrak subsidi tersebut, BUPATI WAKATOBI menunjukan PT. PATAPULO TOUR & TRAVEL ( Milik BUPATI/Keluarga) sebagai agen tunggal penjualan tiket atas nama PEMDA WAKATOBI. Hasil penjualan tiket lebih kurang Rp. 3 miliar tidak disetor ke kas Pemda Wakatobi. Padahal, modal disetor atau subsidi dikeluarkan dari Kas PEMDA WAKATOBI.
Subsidi penerbangan untuk tahun 200 9 – 2011 tersebut tidak dibayarkan melalui Rekening PEMDA ke perusahaan penerbangan, tapi justru ditransfer melalui Rekening PT. PATAPULO. Hubungan antara PEMDA dengan PT. PATAPULO harus menjadi perhatian dalam laporan ini yang dapat ditelusuri melalui laporan transfer PT. Patapulo pada tahun tersebut.



3. BEBERAPA CONTOH INDIKASI KORUPSI LAIN YANG BIDA DITUNJUKKAN SECARA FISIK

  1.  Proyek pengadaan kapal Ikan pada TA 2007 dengan penunjukkan BUPATI kepada Nursalam (Adik Ipar BUPATI) dengan anggaran Rp. 7 miliar. Kapal tersebut tidak pernah dipakai oleh nelayan sebagai tujuan proyek, karena sebelum serah terima kepada nelayan kapal-kapal tersebut telah rusak.
  2. Pengadaan pipa untuk air minum sebesar Rp. 30 miliar yang dianggarkan pada dua APBD (APBD Kabupaten dan ABPD Propinsi).
  3. Tidak adanya pertanggung jawaban atas dana sharing PNPM yang setiap tahunnya mencapai Rp. 3 s/d 4 miliar.

Selain indikator diatas, saya menyertakan dalam laporan ini HASIL PANTAUAN TINDAK LANJUT ATAS HASIL PEMERIKSAAN BPK RI, per-2008,2009 dan 2011 yang sampai saat ini tidak dapat ditindaklanjuti. Padahal, nilainya secara kumulatif mencapai ratusan miliar.
Keengganan untuk tidak menyelesaikan persoalan temuan BPK RI yang sudah berlangsung beberapa tahun ini, bukan saja menunjukkan itikad buruk, tapi juga telah menjadi preseden buruk bagi penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan keuangan yang sehat. Absennya tindakan hukum atas penyalahgunaan dan salah kelola keuangan ini bisa membahayakan citra pemberantasan di tanah air yang saat ini dikomandoi oleh KPK.


Di sisi lain, lolosnya aparat Pemda dari jerat hukum dengan kemampuannya untuk mengulur waktu penyelesaian keuangan ini, menjadi APBD menjadi semakin semeraut dikelola dan ”dirampok” karena ada upaya menyelesaikannya “di bawah tangan”. BUPATI dan aparat Pemda mendapat kesan kebal terhadap sanksi hukum.


Sebagai Wakil Rakyat yang mendapat mandat dari konstituennya untuk melakukan kontrol dan penyelamatan pengelolaan keuangan KABUPATEN WAKATOBI, saya melaporkan hal ini kepada KPK. Saya ingin membantu KPK melaksanakan tugas mulianya menyelamatkan keuangan negara.


Saya menyadari bahwa untuk bukti materil dari laporan ini, selain data yang masih terbatas saya sampaikan, saya siap menunjukkan bukti fisik atas proyek-proyek fiktif yang telah memperkaya BUPATI WAKATOBI dengan sejumlah kejanggalannya.


Peningkatan kekayaan dan asset pribadi dan keluarga Bupati yang spektakuler menjadi sisi lain yang dapat ditelusuri. Pembelian dan penguasaan tanah lebih kurang 40 Ha di Kendari, resort untuk menjamu artis dan tamu asing dan sebuah rumah di Sidney Australia dapat menjadi bagian lain dari penelusuran meningkatnya harta kekayaan dari pejabat Bupati Wakatobi. Semua itu siap saya tunjukan, termasuk beberapa pemilik rekening yang digunakan untuk melakukan transaksi tersebut, tapi tentu saja dengan bantuan KPK.*****




KPK DALAMI DUGAAN KORUPSI BUPATI WAKATOBI



 OLEH : SUGENG TRIONO



JOHAN BUDI


Liputan6.com, Jakarta : Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami sejumlah kasus dugaan korupsi yang dilakukan Bupati Wakatobi, Sulawesi Tenggara, IR Hugua.


Hal itu menyusul laporan dari mantan Ketua DPRD Wakatobi Tahun 2004-2009 Daryono Moaen ke kantor KPK beberapa waktu lalu.


"Laporan tersebut akan terus ditelaah apakah ditemui indikasi dugaan tindak pidana korupsi atau tidak," kata Juru Bicara KPK, Johan Budi, Rabu (15/5/2013).


Laporan Daryono Moaen yang tertuang dalam Nomor laporan KPK : 2012-4-000035 dan No: 2012-12-000190 terungkap sejumlah dugaan korupsi sang bupati yang berpotensi merugikan keuangan negara.
Di antara kasus yang dilaporkan adalah, penyalahgunaan Insetif Pajak dari Pemerintah Pusat pada TA 2006 sebesar Rp 1.694.506.24, Belanja Subsidi Penerbangan dari dana APBD Wakatobi pada th 2009–2011 sebesar Rp 9.422.994.000.


Indikasi korupsi lain terkait Proyek Pengadaan Kapal Ikan pada Ta 2007 dengan Penunjukkan Bupati Kepada Nursalam (Adik Ipar Bupati) dengan anggaran Rp 7 Miliar.


Informasi dihimpun, kapal tersebut tidak pernah dipakai oleh nelayan sebagai tujuan proyek, Karena sebelum serah terima kepada nelayan kapal-kapal tersebut telah rusak.


Selain itu, pengadaan pipa untuk air minum sebesar Rp 30 Miliar yang dianggarkan pada dua APBD (APBD Kabupaten dan APBD Propinsi), serta tidak adanya pertanggung jawaban atas dana sharing PNPM yang setiap tahunnya mencapai Rp 4 miliar. (Ein)



Kamis, 15 Mei 2014

MASYARAKAT PUBLIK WAKATOBI SECARA INTENSIF PERLU MENGAWASI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DIWILAYAHNYA

OLEH : LA ODE SARUHU



Meskipun Bupati sebagai penyelenggara negara di daerah dalam praktek konseptualnya telah diatur oleh Undang-Undang 32 Tahun 2004 dan berbagai peraturan pemerintah lainnya, Namun sering dijumpai di lapangan dalam praktek penyelenggaraan negara sering kali konsepsi Undang-Undang tersebut dan berbagai peraturan pemerintah sebagai pedoman bagi para penyelenggara negara masih banyak mengabaikannya. Hal ini dapat terjadi postulat disatu sisi para Bupati khususnya pada daerah-daerah yang baru mekar sering merasa diri sebagai penguasa tunggal yang tak ada lagi tandingnya dimana kekuasaan bagi dirinya dianggapnya mutlak diatas segalanya tanpa dia sadari bahwa negara kita adalah negara hukum (recth staat) yang harus patuh pada perintah undang-undang yang telah dikeluarkan oleh negara. Sedangkan dipihak lain masyarakat Publik di daerah ini masih kebanyakan belum mengetahui hak-haknya secara individu dan komunitas untuk turut serta dalam melaksanakan pengawasan terhadap pemerintahan dan pembangunan. Selain itu juga karena masyarakat publik seringkali merasa tertekan dan ketakutan akibat terlalu dominan mereka menerima intimidasi dari para preman bayaran sehingga mereka secara otomatis kehilangan sebagian haknya sebagai warga negara untuk berpartisipasi dalam pembangunan nasional. 

Kalau kita mau jujur tidak ada satupun manusia di daerah ini yang akan menyangkal bahwa secara de facto wilayah pemerintahan Wakatobi itu adalah merupakan gugusan pulau-pulau Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia dan Binngko yang disela oleh lautan diantara wilayah pemerintahan lainnya di Sulawesi Tenggara dan merupakan bagian Pemerintahan Sulawesi Tenggara dalam bingkai NKRI. Aksesibilitas transfortasi satu-satunya hanya bisa ditempuh sementara ini melalui laut dan pada musim timur dan musim barat memiliki tingkat resiko yang tinggi disebabkan oleh besarnya gelombang laut yang terjadi diwilayah perairan kepulauan ini. Pada kondisi demikian lantas jangan masalah ini diplesetkan menjadi komoditas politik dimana para politsi lokal memberi pemahaman bahwa kabupaten Wakatobi merupakan daerah khusus. Hal ini amat keliru yang akan menjadi preseden buruk bagi pemahaman politik masyarakat awam pada umumnya di daerah ini, padahal semua orang tahu bahwa secara de jure Kabupaten Wakatobi adalah merupakan pemerintahan kabupaten tanpa ada perlakuan khusus sebagaimana kabupaten pada umumnya di Indonesia.
Oleh karena itu bertolak dari pemahaman yang keliru ini yang sengaja dihembus dari sebagaian elit politik lokal di daerah ini, maka berbuah pada pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Wakatobi jadi asal asalan tanpa harus patuh pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan pengamatan penulis, dalam konteksi kacamata publik, secara relatif banyak produk pembangunan fisik yang telah dibangun di daerah Kabupaten Wakatobi asal jadi saja tanpa harus mengindahkan kreteria pencapaian kualitas tertentu sebagaimana yang telah diatur dalam standardisasi bidang pekerjaan umum. Hal ini dapat diamati dalam pelaksanaan pekerjaan misalnya peningkatan jalan. Pekerjaan peningkatan jalan dengan menggunakan lapis aus Lasbutag (Lapisan Aspal Buton Agregat), dalam standardisasi AASHTO T168-82 Bina Marga, jika campuran dan pelaksanaannya benar sesuai persyaratan maka usia layanan konstruksi ini harus tahan minimal 5 tahun kemudian jika dapat dipelihara rutin dan berkala maka usia layanan konstruksi bisa mencapai nominal 10 tahun. Tetapi yang terjadi disana bila kita amati pekerjaan peningkatan jalan yang sudah dikerjakan, produk ketahanan konstruksi relatif rendah baru usia 6 bulan konstruksi sebagian sudah mengalami kerusakan hebat bahkan pada usia 3 tahun pada umumnya jalan sudah mengalami kegagalan konstruksi. Hal ini dapat terjadi karena peran technician laboratorium (quality control) belum dilibatkan dalam melaksanakan pengendalian kualitas pekerjaan ini Belum lagi jika kita menoleh pembangunan prasarana jalan kampung dengan konstruksi dari pasangan batu ditutup dengan beton Rabat atau diplester, banyak dijumpai baru berumur 5 bulan sudah mengalami pecah-pecah, berlubang bahkan ambruk. Demikian pula konstruksi penembokan pantai desa Waha asal dibangun tanpa mengindahkan ketahanan dan estetika konstruksi. Belum lagi publik menyoal pembangunan Bandara Matahora yang berdasarkan informasi dari Pejabat Pembuat Komitmen Pembangunan Terminal Bandara ini yang diperoleh pada tanggal 23 oktober 2008 lalu, Terminal ini telah dikontrakkan pada bulan Juli 2008 dan berakhir November 2008 ternyata pembangunannya sejak awal oktober 2008 telah dihentikan sementara dengan alasan menunggu formasi eksisting ring road yang juga belum terselesaikan hingga awal oktober 2008. Material dinding bangunan yang akan dipakai untuk bangunan Terminal adalah dari batu bata yang memenuhi syarat sesuai dengan Peraturan Bahan Bangunan Indonesia, namur dijumpai di lapangan adalah batako cetak ditempat yang kualitasnya sangat rendah dan bukan batako hasil cetak industri. Demikian pula pada akhir oktober 2008 pekerjaan pengaspalan landasan pacu bandara (ring road) belum juga ada tanda-tanda akan dikerjakan sebab peralatan hot mix berupa Automatic Mechine Plant (AMP) belum tanpak terlihat di Wanci juga material agregat batu pecah bahan pencampur aspal yang rencana didatangkan dari Sulawesi Tengah juga belum tiba di lokasi Matahora. Sehingga masyarakat publik perlu mempertanyakan kepada Pemerintah Wakatobi sebetulnya kapan tepatnya selesai pekerjaan Bandara Matahora ini. Berdasarkan statemen Bupati Wakatobi yang telah dimuat di berbagai media lokal seperti Kendari Pos kamis 5 November 2008 dan Media Sultra jumat 7 November 2008 mengatakan bahwa Bandara Matahora akan diuji coba pada tanggal 28 November 2008 padahal realitasnya sampai akhir Oktober 2008 di lapangan belum ada tanda-tanda pekerjaan pengaspalan akan mulai dikerjakan. Apakah statemen Bupati Wakatobi dalam media lokal adalah informasi politik yang sekedar menyenangkan hati publik masyarakat Wangi-wangi yang kemudian kenyatannya tidak sedemikian itu. Pelaksanaan Kontrak Bandara Matahora mestinya secara normatif ikut melibatkan Bidang Perhubungan Udara Dinas Perhubungan Provinsi Sultra supaya bagus dalam koordinasi pengawasan dan pengendalian manajemen pekerjaan, tetapi yang terjadi adalah Kontrak bandara ini hanya dilakukan antara Pemerintah Wakatobi dengan Direktorat Perhubungan Udara Departemen Perhubungan yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan good governance dalam era manajemen otonomi daerah saat ini.
Oleh karena itu demi kepentingan semua pihak, maka sudah saatnya masyarakat publik Wakatobi harus secara intensif mengawasi pelaksanaan pembangunan diwilayahnya sebab tugas ini merupakan amanah undang-undang agar pemerintah daerah tidak semena-mena dalam melaksanakan pembangunan karena kekuasaaanya. Teori-teori pemerintahan masa kini tentu bukanlah pengembangan konsep Weberian dimana Rakyat sangat tergantung pada pejabat yang memiliki sifat birokratis penuh karena kekuasaannya bisa semena-mena. Tetapi lebih jauh ialah konsep pemerintahan seperti yang dikemukakan oleh Heckscher dan Donellon dengan organisasi pemerintahan masa depan lewat konsep Post Bureaucratic Organization yang mana kekuasaan bukanlah satu satunya alat yang ampuh untuk melaksanakan mekanisme birokrasi namun harus dapat diimbangi dengan kewenangan melalui persuasi dan dialog kepada publik. Pelaksanaan pengawasan publik terhadap pembangunan telah di atur oleh Undang-Undang 18/1999 tentang Jasa Konstruksi dan Peraturan Pemerintah 28/2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi sebagai pedoman dalam melaksanakan pengawasan kepada pemerintahan Wakatobi. Hal ini bukan berarti bahwa dengan adanya pedoman tersebut akan mengebiri fungsi dan peranan DPRD Wakatobi sama sekali tidak, namun sebaliknya rakyat tahu bahwa peranan DPRD Wakatobi saat ini lebih dominan hanya membicarakan kepentingan partai dan individu para anggota dewan saja ketimbang membicarakan kepentingan publik sebagaimana amanah UU 32/2004, sehingga rakyat Wangi-Wangi saat ini sudah sangat tidak lagi percaya terhadap kinerja DPRD Wakatobi.
Dalam UU 18/1999 tentang Jasa Konstruksi, pada Bab VII tentang Peran Masyarakat, pada bagian pertama Hak dan Kewajiban yang terdapat pada pasal 29 disebutkan bahwa Masyarakat (publik) berhak untuk : a.Melakukan pengawasan untuk mewujudkan tertib pelaksanaan jasa konstruksi, b.Memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialami secara langsung sebagai akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Kemudian masyarakat berkewajiban : a). Menjaga ketertiban dan memenuhi ketentuan yang berlaku dibidang pelaksanaan jasa konstruksi, b). Turut mencegah terjadinya pekerjaan konstruksi yang membahayakan kepentingan umum. Gugatan oleh masyarakat (publik) telah diatur dalam pasal 18 Undang-undang tersebut, yakni bisa perorangan, pemberian kuasa dan/atau kelompok orang tidak dengan kuasa perwakilan. Adapun secara pidana berlaku sanksi hukum dengan kurungan 5 (lima) tahun penjara bagi perencana, pelaksana dan pengawas yang dengan sengaja tidak memenuh kewajibannya mengakibatkan kegagalan bangunan. Pada PP 28/2000, pada Bab IV Peran Masyarakat Jasa Konstruksi, ayat (2). Masyarakat umum, masyarakat jasa konstruksi, dan dunia usaha yang berkepentingan dengan jasa konstruksi dapat menyampaiakan aspirasinya kepada forum : Masyarakat Intelektual, Organisasi kemasyarakatan yang berkaitan dengan kepentingan di bidang jasa konstruksi atau LSM yang mewakili konsumen jasa konstruksi dan Unsur-unsur lain yang dianggap perlu.
Selain itu pada pasal 8 dalam UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN, disebutkan bahwa peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan tanggungjawab masyarakat untuk ikut mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN, yang mana hak-haknya di atur dalam pasal 9 Undang-undang ini antara lain ialah hak untuk mencari memperoleh dan memberikan informasi , hak untuk menyampaikan saran dan pendapat serta hak untuk mendapat perlindungan hukum.
Ternyata benar kata orang bahwa masyarakat kita di Wakatobi khususnya Wangi-wangi masih buta politik, yang sudah sepantasnya saat ini para elite politik memberikan pendidikan politik kepada mereka dalam upaya penyadaran akan kewajiban dan hak-hak politiknya sebagai warga negara yang baik sehingga pada akhirnya diharapkan masyarakat publik di daerah ini memiliki keberanian untuk mengawasi jalannya pemerintahan diwilayahnya. ***)

Kamis, 01 Mei 2014

MENGGAGAS REKONSILIASI ETHNIS MASYARAKAT PULAU WANGI-WANGI WAKATOBI DAN PERANAN LINTAS TOKOH

 OLEH : ALI HABIU


Beberapa tahun lalu yang sempat saya ingat ada sebuah kisah yang perlu dicermati yakni tepatnya terjadi pada hari Minggu 11 syawal 1426 H bertepatan tanggal 13 November 2005 telah dilaksanakan Halal bi Halal masyarakat Wangi-wangi yang berasal dari beberapa paguyuban arisan tergabung dalam Kerukunan Keluarga Wangi-wangi (Kekarwangi) Kendari. Kegiatan Halal bi Halal ini berlangsung di pantai Toronipa kabupaten Konawe adalah merupakan hasil kesepakatan bersama para tokoh-tokoh masyarakat daerah tersebut untuk memenuhi permintaan para ibu-ibu yang tergolong dalam paguyuban arisan Wanci (Arisan Wangi-Wangi Induk) dan arisan Liya-Mandati (Arisan Wangi-Wangi Selatan)  pulau Wangi-wangi. Adapun kisah nyata atau anekdot yang kemudian terjadi dalam kegiatan Halal bi Halal ini, yakni ternyata bahwa para tokoh masyarakat pulau Wangi-wangi yang pada umumnya telah mengetahui dan menyetujui pelaksanaan kegiatan ini tak ada yang muncul satupun dengan berbagai alasan kontroversial.


Tokoh-tokoh kalangan papan atas pulau ini (Wanci dan Mandati dan Liya) yang diharapkan dapat tatap muka untuk silaturrahim secara langsung dengan masyarakatnya tak tampak hadir sehingga membuat kekecewaan tersendiri pada semua masyarakat yang menghadiri acara tersebut.. Sementara itu dilain pihak pada waktu yang bersamaan ditempat yang berbeda, masyarakat yang tergabung dalam Kerukunan Keluarga Kaledupa melaksanakan juga kegiatan Halal bi Halal dengan suasana yang dibuat cukup meriah bertempat di pantai Nambo dimana acara Arisan dibuka sendiri oleh Bapak Drs.H.Yusran Silondae,MSi selaku Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara pada waktu itu yang atas nama mewakili Pemerintah Daerah Sulawesi Tenggara sekaligus memberikan kata sambutannya sebagai motivasi positif bagi kalangan masyarakat Kaledupa yang domisili di Kota Kendari. Turut hadir pada kesempatan itu para tokoh-tokoh masyarakat Kaledupa dari berbagai tingkat golongan mulai dari anggota DPRD sultra, plt. Bupati Wakatobi, Kepala Dinas, Kepala Biro, Asisten III pemerintah provinsi sultra, Dekan, Dosen dan sejumlah Tokoh Pemuda, para Pengusaha serta seluruh masyarakat Kaledupa yang berdomisili di Kota Kendari. Kejadian di pantai Nambo ini patut dicontoh karena meraka telah menggambarkan kepada kita semua betapa solidaritas dan kompaknya ethnis ini. Suatu pembuktian bahwa berbagai heterogenitas budaya antar ethnis Kaledupa saat ini tidak terdapat lagi konflik tata krama budaya. Mereka saat ini sudah berubah begitu jauh-----mereka semua tidak kepingin lagi mau memetingkan atau menonjolkan keakuan masing-masing kelompok ethnis melainkan mereka telah menjalin humanisme hubungan internalitas kelompok sosial dengan menghormati segala perbedaan prilaku ethnis, melengkapi segala kekurangan antara kelompok ethnis dan menjadikannya suatu kekuatan sosial komunitas baru dalam tataran striotipik masyarakat moderen abad ini.


Kisah yang terjadi di pantai Toronipa beberapa tahun lalu tentu sangat jauh dari harapan kita semua sebagai suatu komunitas sosial yang terbanyak di wilayah Wakatobi jika dibanding kisah yang terjadi di pantai Nambo. Kisah di pantai Toronipa telah menggambarkan secara tak langsung kepada kita semua bahwa sebenarnya ada kerapuhan...., ada kegelisahan..., ada keangkuhan....., ada kemunafikan diantara berbagai lapis depan tataran para tokoh-tokoh masyarakat Wangi-wangi sehingga telah terjadi perbedaan prilaku tata karma yang begitu prinsipil menimbulkan striotipik prilaku sosial yang sangat berbeda sebagaimana yang kita harapkan selama ini------ternyata mereka semua boleh dikata munafik tidak pernah menjalin hubungan kerja sama yang harmonis diantara sesama warga masyarakatnya di kepulauan wangi-wangi. Disharmonisasi ini terjadi postulat bisa disebabkan oleh adanya perbedaan penafsiran budaya dalam suatu kelompok masyarakat tertentu akibat desakan perubahan stratifikasi sosial ekonomi dimana kehidupan sebagian warganya yang telah mapan tingkat sosial ekonominya sangat mencolok. Juga budaya kolonialisme, feodalisme yang berlebihan membentuk watak tentatif, sementara dilain pihak banyak warga dari kelompok ethnis marginal dalam lingkungan semua ethnis di kepulauan wangi-wangi yang kehidupannya masih relatif miskin dengan berbagai stratifikasi sosial tidak pernah mendapat perhatian serius, malah kelompok ini cenderung terisolasi dalam berbagai aktivitas sosial..

Patut amat disayangkan ketidak hadiran para tokoh masyarakat yang mewakili antar ethnis di pulau Wangi-wangi ini, mengingat momen ini hanya terjadi sekali setahun dan merupakan wadah sambung rasa dalam mempererat tali silaturrahmi antar ethnis sekaligus sebagai wadah bearing storming antara individu para tokoh papan atas daerah ini dalam upaya mengikis habis distorsi perbedaan tata krama budaya yang telah mengakar selama ini dengan memperkokoh uhuwa islamiah dan amar ma’ruf nahi mungkar.

Rupanya polarisasi paham separatisme atas produk penjajahan Belanda serta culture pattern ketika resim distrik yang berpusat di wanci yang sudah diterapkan oleh pemerintahan Kesultanan Buton pada zamannya telah ikut andil dalam membentuk prilaku tata krama budaya amburadul sebagaian masyarakat di daerah ini. Bisa jadi sebagai balas dendam dimana dalam pergaulan sehari-hari pembentukan prilaku ini diwujudkan dengan selalu ingin menonjolkan diri dalam kelompok sosialnya. Keadaan ini akan nampak sekali terlihat pada aktivitas pergaulan sosial kemasyarakatan antar ethnis pada daerah-daerah tertentu cenderung lebih kelompokisme. Gejalanya bisa diamati dalam berbagai aspek kehidupan kemasyarakatan, yang kemudian akan menimbulkan distinksi kelompok kaya, kelompok miskin, kelompok pejabat, kelompok pedagang, kelompok politikus, kelompok pejabat dlsb. Kondisi semacam ini tidak mampu dihapuskan oleh pengaruh intelektualitas seseorang. Malah justru sebaliknya dalam tata krama pergaulan sehari-hari yang terjadi adalah semakin tinggi pendidikan seseorang ataupun integritas pribadi seseorang semakin jauh jurang pemisah antar simiskin dan sikaya, Fenomena ini tak mungkin bisa di hilangkan tanpa ada rasa kesadaran dan kepedulian semua pihak untuk merubahnya. Hendaknya semua pihak diharapkan dapat instrospeksi diri masing-masing untuk lebih terbuka dengan berani merubah sifat dan prilaku domain dan tata krama (moralitas) sosial yang buruk secara kolektif dan mulai membangun humanisme yang lebih baik.
Pengangkatan jati diri ethnis dengan melakukan perubahan-perubahan budaya prilaku karena merasa sebagai orang hebat, merasa sebagai pejabat, merasa sebagai orang terkaya atau terpandang karena telah sukses dalam kehidupan ini, merasa sebagai politikus handal karena telah menjadi ketua partai atau anggota DPRD, merasa sebagai orang terpintar karena telah menyandang gelar Doktor atau Professor dan lain sebagainya-----lantas mereka merasa sebagai satu-satunya individu atau golongan ethnis tertentu yang bisa merubah paradigma sejarah budaya. Sangatlah mustahil hal itu bisa dilakukan sebab bisa jadi penggelapan sejarah budaya dan penciptaan degradasi konflik psikologis antar ethnis semakin hari semakin berkepanjangan.

Penciptaan kelas-kelas (class action) dalam tata pergaulan sosial kemasyarakatan kepulauan wangi-wangi akan menimbulkan semakin jauhnya jurang pemisah antar yang kaya dan miskin, antar yang berpendidikan tinggi dengan masyarakat biasa dan antar pejabat dan pegawai rendahan serta antara pedagang kaya dan pedagang asongan. Kondisi ini bila dibiarkan terus berkembang, kelak akan membuahkan kontinuitas konflik sosial yang dapat meruntuhkan idealisme komunitas ethnis dalam seluruh lingsup sosial di kepulaua wangi-wangi.
Sejarah budaya telah mencatat bahwa pada masa kejayaan kesultanan Buton hanya satu-satunya penguasa yang mendapat 3 (tiga) gelar kekuasaan pada pulau Wangi-wangi ini yakni terdapat pada penguasa desa Liya Togo. Adapun gelar yang dianugrahkan oleh Sultan Buton kepada penguasa di desa ini, yakni sebagai : Raja Liya (meantu’u Liya), Lakina Liya dan Bobeto Mancuana. Oleh karena itu konon diriwayatkan dalam sejarah bahwa ketika terjadi acara-acara rapat pemerintahan pada zamannya yang bertempat di dalam benteng keraton Liya, masing-masing utusan baik dari Kaledupa, Tomia, Binongko, Wanci, Mandati dan Kapota karena meraka hanya memiliki 1 (satu) gelar yakni Meantu’u atau Lakina, maka semua utusan duduk bersilah di bawah altar sementara Raja Liya (meantu’u liya) duduk pada tempat yang lebih tinggi bersamaan dengan sultan Buton atau utusannya. Berdasarkan sinopsis ini semestinyalah ethnis Liya ini bisa jadi suri tauladan dilingkungannya karena memiliki hirarkhi genetikal kepemimpinan yang baik. Namun patut disayangkan bahwa dalam kehidupan kemasyarakatan kelompok sosial ethnis ini kurang begitu mapan tingkat ekonominya sehingga mereka kurang terkenal. Akibatnya jumlah kader sangat terbatas dalam semua strata bidang kehidupan, khususnya dalam konteks kehidupan sosial politik dan sosial kemasyarakatan di Sulawesi Tenggara.
Secara realitas, ethnis yang lebih menonjol kehidupan sosial ekonomi di Sulawesi Tenggara ialah ethnis Wanci (Wangi-Wangi Induk).  Hampir sebagian jabatan strategis di pemerintahan ketika itu mulai wakil Wali Kota Bau-Bau, Wakil Bupati Buton, Asisten II Pemerintah provinsi Sultra, Dekan fakultas Pertanian Unhalu, Pembantu rektor Unidayan dan saat ini para guru besar di Universitas Halu Oleo dan Angoota DPRD Provinsi dlsb dipegang oleh ethnis ini. Selain itu hampir sebagian besar pengusaha kaya juga dipegang oleh ethnis Wanci (Wangi-Wangi Induk) disamping ethnis Mandati. Diluar ke dua ethnis ini, kehidupan sosial ekonomi ethnis lainnya relatif masih sangat terbelakang dan termarginalkan.

Saat ini kita sebagai masyarakat Wangi-Wangi yang berdomisili di Sulawesi Tenggara telah memiliki sumber daya manusia yang domain dimana jumlah Doktor (S-3) sampai saat ini telah terdapat sebanyak 13 orang, sementara ethnis Kaledupa hanya terdapat 3 orang saja. Namun sayang seribu sayang...., dijajaran pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara ethnis Kaledupa justru mampu menempatkan 3 orang menduduki esselon II. Sementara ethnis wang-wangi tidak ada satupun yang bisa dihandalkan. Padahal kalau mau kita pikir jernih bahwa ternyata jumlah penduduk kepulauan wangi-wangi berada kisaran 54 % dari total penduduk total ke 3 pulau (Kaledupa, Tomia dan Binongko) di wilayah Kabupaten Wakatobi.

Oleh karena itu sudah saatnya semua kekuatan komunitas sosial yang ada di pulau ini mulai dari ethnis : Wanci (Longa, Waha, One, padha), Kapota, Mandati, dan Liya (Wakamali) segera melakukan rekonsiliasi dan segera membangun paradigma tata krama baru kemasyarakatan. Sebagai landasan idealnya ialah memperkuat hubungan emosional antar ethnis dimana masing-masing kelompok ethnis harus dapat saling kerja sama bantu-membantu satu dengan yang lainnya. Sudah saatnya merubah sikap laku yang buruk dan memulai tata krama baru yang normatif dalam pergaulan sesama dengan saling menghormati perbedaan heterogenitas budaya antar ethnis.

Sudah tiba saatnya untuk segera membenahi kontroversial tata pergaulan kemasyarakatan yang terjadi selama ini. Persoalan heterogenitas budaya ini disinggung oleh Soetandyo Wignjosoebroto guru besar sosiologi Undip dalam artikel berjudul “Tata Krama” (Jawa Pos : 1990) mengatakan bahwa heterogenitas budaya sebenarnya merupakan suatu kekayaan sumber yang akan bisa memberikan banyak kemungkinan untuk melakukan pilihan-pilihan guna menentukan mana diantara yang lebih baik untuk dikembangkan dan diangkat dalam fungsinya sebagai tradisi panutan. Pilihan-pilihan tidak selamanya mudah. Dalam hal pengembangan budaya baru dan moral baru yang berfungsi sebagai landasan normatif tata krama baru dalam kehidupan bermasyarakat----pilihan yang hendak mendahulukan dengan beranjak secara sengaja dari satu kekayaan ethnis tertentu akan sering menimbulkan tuduhan telah terjadi etnosentrisme yang kurang patut.
Semestinya kita diinsyafkan oleh kenyataan bahwa kita kini hidup dalam sebuah masyarakat massa, massa itu tak dapat diatur atau diperintah tanpa serangkaian inovasi dan penyempurnaan serangkaian tekhnologi sosial, ekonomi dan politik. Yang dimaksud dengan tekhnologi sosial disini adalah berbagai metode yang digunakan orang bertujuan mempengaruhi sikap laku sesamanya.
Kehidupan sosial masa sekarang memungkinkan ditempatkannya segala proses psychology dibawa kontrol publik yang dimasa lalu masih bersifat pribadi. Emile Durkheim (1926) dalam bukunya “De la Division du Frovoil Social” mengatakan : bahwa hanya masyarakat yang primitif yang dapat hidup berdasarkan homogenitas dan berkelit dalam kelompok wangkul.
Oleh karena itu rasa tenggang (verdroog zamheid) berarti bahwa setiap insan berhak menggunakan pendapat di dalam masyarakat guna mencapai mufakat, bukannya setiap individu secara ngotot membenarkan pendapat masing-masing.
Semua pihak sangat mengharapkan mulai tahun depan tidak lagi terulang anekdot kisah pantai Toronipa yang memilukan beberapa tahun lalu itu melainkan dimungkinkan akan terjadi suatu gradualisme tingkah laku baru dan tata krama baru dalam pola pergaulan antar ethnis Wangi-wangi pada tataran masyarakat moderen yang heteroganistik dengan menghormati segala perbedaan budaya dan menjadikan suatu kekuatan sosial terpandang dikemudian hari. Mungkinkah rekonsiliasi kelompok ethnis di pulau Wangi-wangi ini bisa terwujud mengingat konflik sosial budaya antar ethnis sudah berlangsung cukup lama. Semua sangat tergantung dari sejauhmana kesadaran semua pihak----mampukah merubah moralitas, prilaku dan tata krama.sosialnya ? Sebagai jawabnya adalah tergantung sejauhmana konsistensi para Lintas Tokoh Wangi-Wangi yang saat ini sudah terbentuk ; "mampukah mereka merubah keadaan itu ?!
 hee... hee... hee... bahakonto La Ode....Meanae aii anedo omotutu akabalinto !! ****