Opinion Peblika

Opinion Peblika
Suasana Foto Galian Tanah Tambang C Tanpa Melalui SRKL dan AMDAL di Wakatobi

Kamis, 31 Mei 2012

ARANSEMEN POLITIK LOKAL KENDARI DALAM KONSEPSI TEORITIKAL


 OLEH : ALI HABIU



John Harris dkk (2005) mengatakan bahwa wacana kontemporer tentang politik diberbagai Negara berkembang telah mempertemukan sejumlah orang yang punya pandangan berbeda, Para aktor intelektual dan politik yang idenya berakar dalam nilai-nilai dan asumsi teoritis yang sangat berbeda, berkumpul disekitar pandangan bahwa ada “politik baru” yang mendasar di ruang dan praktek politik lokal. Keadaan itu disebut globalisasi, yakni sejumlah fenomena yang berbeda memasukan, memaukan suatu pelubangan terhadap Negara, Bangsa, yakni bahwa kapasitas pengaturan tertentu telah dikurangi dan dipindahkan ke lembaga-lembaga yang terutama beroperasi pada skala global atau lokal (Jessop 2002, dalam Jon Harries, dkk). Identitas lokal dan identitas politik sekali lagi dikonstruksikan dengan simultan dalam konteks transformasi global (Appadurai,1996). Jadi yang telah diberi label “globalisasi”---- merupakan politik rekonfigurai (Cox, 1977).

Ada pandangan yang berkembang dikalangan LSM dan tokoh politik lokal di daerah ini bahwa untuk memperjuangkan paradigma reformasi dari pada mereka tidak sama sekali berbuat, mendingan mereka secara ramai-ramai dan secara terus menerus melakukan demonstrasi ke kantor-kantor pemerintah agar para pegawai negeri itu dapat memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat. Kalau pegawai negeri dan pejabat ditekan terus menerus oleh mahasiswa, dan mereka akan kehilangan penghasilan tambahan yang lumayan besar yang selama ini mereka terima dari uang sogok, maka pegawai negeri akan melakukan tekanan kepada pemerintah pusat agar menaikkan penghasilan mereka. Dan jika memang tak terpenuhi, maka pegawai negeri akan melakukan mogok kerja di suatu pihak dan membongkar korupsi korupsi besar yang dilakukan “bos’ mereka dipihak lain. “Perlawanan dari dalam” yang dimulai dari perang tehadap “birokrasi” ini dapat menjatuhkan pemerintah (Reformasi Administrasi Pemerintah dalam Samodra Wibawa, 2005).

Dalam kondisi desakan-desakan demonstrasi dengan model semacam ini kelihatannya makin hari semakin tidak menumbuhkan gairah kerja para pegawai negeri yang utamanya sering kali menerima sorotan demontran. Pandangan para demontran bahwa di daerah ini lembaga yang menjadi sarangya koruptor adalah Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara, padahal tidak selamanya kegiatan demontrasi itu bisa menggerakkan pegawai negeri untuk melawan atasan alias “bos”atau bisa berperang melawan “birokrasi.”, malah kejadian sebaliknya para pegawai negeri saat ini lebih memilih melakukan perlawanan dari pada mereka dihina secara terus menerus. Robert T.Geolembiewski dalam Samodra Wibawa (2005), menyatakan bahwa belum saatnya keinginan pada mereka yang punya ilmu dapat merubah konsensus disekitar satu paradigma. Hal ini disebabkan bahwa belum ada argumentasi yang tepat yang dapat menyatukan studi organisasi publik, dimana administrasi publik adalah merupakan bidang studi professional dari pada kemampuan disiplin para cendekiawan ((baca : Mahasiswa) yang seharusnya memfokuskan diri untuk membangun beberapa pendekatan pokok.
Dikhotomi seputar pertentangan antara administrasi dan politik sebetulnya telah berlansung sejak tahun 1960-an (Roberrd.B Derhardt) dan hal ini telah dipisahkan oleh administrasi negara baru.
Creon (1971) mengemukakan gagasan bahwa administrasi negara bukan semata-mata instrument untuk melaksanakan kebijakan politik, tetapi merupakan suatu penentuan cara dimana Negara melihat dunia khususnya dunia politik terhadap posisi mereka sendiri didalamnya. Oleh karena itu apapun namanya gerakan mahasiswa atau gerakan untuk mengatasnakakan gerakan rakyat pencari keadilan untuk merongrong kewibawaan pemerintah didaerah ini, pada dasarnya arsitek penggerak yang berdiri dibelakang layar aksi gerakan itu memiliki kepentingan-kepentingan politik tertentu, pada akhirnya akan hambar begitu saja, mengingat menurut Robert B Denhard bahwa tidak hanya aissue-issue penting yang diputuskan dalam birokrasi (pemerintah), melainkan administrasi negara juga menaruh perhatian terhadap kepentingan publik, berperan signifikan dalam menyusun agenda publik dan membantu menyusun nilai-nilai masyarakat.
Pegawai negeri yang ada di daerah ini dalam bekerja melayani kepentingan publik, dalam bekerja senantiasa mengutamakan efisiensi dan efektivitas pelayanan, dilain pihak penghasilan mereka yang dibayar oleh pemerintah dalam sebulan relative belumlah cukup memuaskan atau mencukupi biaya standard kebutuhan minimal pegawani negeri. Persoalan ini merupakan persoalan Negara yang hingga saat ini pemerintah belum bisa mencari solusi secara bijaksana sehubungan dengan keterbatasan sumber-sumber pendapatan Negara untuk digunakan sebagai belanja pegawai negeri.  

Tood Laporte (1971) mengatakan bahwa tujuan didirikannya organisasi publik (baca:pemerintah) adalah untuk mengurangi masalah-masalah ekonomi, sosial dan politik serta membuka peluang kesempatan kerja bagi mereka yang berada didalam (baca : tenaga magang) maupun diluar organisasi (baca : pencari kerja). Sehingga keberadaan institusi pemerintah pada hakekatnya untuk menciptakan standard etis adminsitrasi Negara secara netral dengan menerapkan kebijakan-kebijakan secara merata, dimana pengelola dituntut untuk menciptakan nilai-nilai partisipasi baik secara internal maupun secara eksternal (David K.Hart, 1974).
Aktivitas demontrasi yang bergejolak dewasa ini sebagai paradigma reformasi dan bergerak pada institusi pemerintah dapat dibendung tentunya dengan cara malakukan tiga pilihan tindakan (Ambar Teguh Sulistiyani, 2002), yakni (a) memonitor perubahan variabel-variabel lingkungan, (b) bereaksi terhadapnya atau menganti-sipasi perubahan-perubahan apa yang terjadi dan (c) merencanakan berbagai tanggapan.
Salah satu cara yang paling ampuh dalam menghalau para demonstran yang berusaha mengganggu ketenteraman lingkungan organisasi pemerintah daerah ini adalah dengan cara melawan atau melakukan reaksi terhadap gerakan mereka. Pegawai negeri sipil yang ada di daerah ini sudah saatnya bersatu dan merubah paradigma pandangan bahwa kita bukanlah pegawai negeri yang selalu diliputi rasa takut atau pengecut karena adanya pretensi Peraturan Pemerintah nomor 30 tahun 1982 tentang Larangan PNS dan Kewajiban PNS---- takut nanti diturunkan pangkat atau dicabut haknya sebagai pegawai negeri. Semestinya pegawai negeri sebagai aparat birokrasi sudah harus mampu mempertahankan jati dirinya sebagai pegawai Negara yang juga dilindungi oleh undang-undang sepanjang secara normatif melaksanakan tugasnya dimana dia bekerja sehingga siapapun saja yang akan mengganggu ketenteraman dalam melaksanakan tugasnya dia berhak untuk melawan dan mempertahankan demi tergaknya hukum yang berlaku di Negara ini.
Weber dalam Boone dan Bowen dalam Samodra Wibawa (2005) mengatakan bahwa Birokrasi yang moderen bertindak atas dasar wewenang yang sah , yang berbasis pada pertimbangan rasional. Dipihak lain apa yang dilakukan birokrasi tehadap masyarakat hanya akan dipatuhi jika ada aturan hukumnya. Olehnya itu kita harus mampu mempertahankan eksistensi pegawai negeri sebagai aparat birokrasi dan bersatu melawan kesewenang-wenangan, ketidak adilan dan keserakahan para politikus avonturir politik yang bercokol di daerah ini. Dengan demikian kita sebagai pemilik organisasi publik sekaligus sebagai pelayan publik dapat menjalankan fungsi dan tugas kita sebaik baiknya kepada masyarakat di daerah ini. Ambar tegus Sulistiyani (2002) mengatakan bahwa keterlibatan pemerintah dalam hubungan kerja misalnya, berupaya untuk memelihara kepentingan masyarakat, Ketelibatan pemerintah dalam hal ini menuntut kepatuhan dan usaha usaha proaktif pegawai negeri untuk meminimumkan konsekwensi konsekwensi organisasional.


------------ oooo OOO oooo -------------


Kesalahan besar yang dimiliki oleh para pemimpin lokal atau publik pigur kita di kendari sebagai ibu kota provinsi sulawesi tenggara selama ini adalah kurangnya kejujuran dalam pengakuan jati dirinya atau zelf correction. Apa sesungguhnya kelebihan yang mereka miliki untuk menjadi andalan jika mereka dipercaya oleh rakyat untuk memimpin daerah ini.dan juga dimana letak kekurangan yang mereka miliki jika mereka dipercaya oleh rakyat untuk memimpin daerah ini. Mereka tidak pernah lebih dulu mau bertanya sama diri sendiri bahwa mampukah mereka itu untuk menduduki jabatan tertentu berdasarkan biografi sederet pengalaman manajerial, leadership dan strata pendidikan yang mereka miliki baik formal maupun politik, sehingga dengan modal itu mereka dapat memimpin dengan baik daerah ini. Tetapi sesungguhnya kalau kita mau jujur saja bahwa para pemimpin kita yang ada di daerah ini sebenarnya belumlah siap secara moral untuk menjadi pejabat publik sehingga ketika mereka diberi kepercayaan oleh rakyat maka mereka tak dapat berbuat apa-apa malah sebaliknya kebanyakan pejabat yang telah menduduki jabatan tertentu cenderung memilih memperkaya diri sendiri dan keluarganya, kurang memperhatikan pembangunan yang menyentuh hati nurani kerakyatan.
Menurut Dr.John Maxwell dalam Hans Pinzel (2002) mengatakan bahwa tipe kepemimpinan yang paling efektif dan otentik adalah didasarkan pada orangnya.
Kita mungkin sudah berfikir bahwa saat ini orang sudah sadar bahwa dalam memimpin itu membutuhkan berbagai macam pengalaman politik, pengetahuan, manajemen, leadership dan keperibadian yang tangguh. Namun ternyata menurut Hans Finzel (2002) saat ini tetap saja muncul masalah dimana masalah ini sudah ada sejak zaman dulu, yaitu kepemimpinan yang dominant, otokratis, memerintah yang mana kebiasaan ini seringkali diberbuat dari generasi ke generasi.
Lebih jauh Hans Finzel (2002) memberikan setidaknya ada lima alasan mengapa banyak orang pemimpin jatuh kedalam sikap kepemimpinan yang memerintah, yakni (1) Sudah Tradisi ; secara histories kepemimpinan yang otokratis, yang memerintah, telah menjadi metode yang paling umumdipraktekan, (2) Paling Umum ; sekalipun telah banyak ditulis tentang bentuk bentuk kepemimpinan lainnya, kepemimpinan yang memeritah tetap paling umum, (3) Paling Mudah ; adalah jauh lebih mudah untuk sekedar meberitahu orang apa yang mereka harus perbuat, ketimbang mencoba gaya gaya kepemimpinan lain yang jauh lebih efektif, (4) Alami ; karena alsasan tertentu, diori yang alami memilih sikap dominan terhadap yang lain, dan berusaha memupuk kekuasaan yang dapat diberlakukan atas oranglain. Tampaknya sikap kepemimpinan aretinya adalah seseorang “diatas” orang lain, (5) Mencerminkan Kejatuhan manusia ; Iblis memulai masalahnya ketika ia ingin keluar dari surga, maka ia memberontak dan memimpin pemberontak-pemberontak menjadi pengikutnya untuk membawa pemberontakan di dunia.
Pada tahun 1960, Douglas Mc.Gregor menerbitkan buku yang berjudul Human Side of Enterprise, dimana ia paparkan apa yang dikenal sebagai gaya kepemimpinan “Teori X versus Teori Y”. Pada dasarnya, Mc.Gregor percaya bahwa orang sesungguhnya ingin melakukan yang terbaik dalam organisasi, dan kalau dengan tepat dipadukan kedalam kepemilikan sasaran sasaran dalam organisasi yang berangkutan, mereka akan mengendalikan diri sendiri dan melakukan yang terbaik.
Buku ini haruslah dipandang dalam konteks zaman ketika buku ini ditulis. Di tahun 1950-an dan 1960-an, ada suatu penentangan yang luar biasa terhadap gaya-gaya kememimpinan yang otoriter, yang terpusat, yang kuat. Mc.Gregor menunggangi gelombang perubahan sikap itu dimasyarakat dan mengembangkan model-model kepemimpinan Teori X dan Teori Y ini didasarkan pada sikap menghargai terhadap para pekerja dan memberi mereka partisipasi yang jauh lebih besar dalam pengawasan serta pengarahan, dengan pengarahan serta pengendalian yang lebih tidak kaku ditangan para pengawas. Teori X adalah sikap kepemimpinan yang memerintah. Hans Finzel tak habis habisnya berpikir dan merasa heran bahwa 30 tahun kesadaran akan Teori Y serta alternative kepemimpinan lainnya belum juga dapat menembus otak para pemimpin yang keras kepala.
Teori X menfokuskan pada taktik memberikan pengarahan serta mengendalikan lewat penggunaan kewenangan. Teori Y, sebaliknya menfokuskan pada sikap hubungan antar manusia----terpadunya sasaran-sasaran pribadi dengan suksesnya perusahaan.
Teori X :
  1. Pada dasarnya pekerja itu tidak disukai oleh kebanyakan orang
  2. Kebanyakan orang tidak ambisius, tidak suka bertanggungjawab, dan me-milih diberikan pengarahan
  3. Kebanyakan orang sedikit kapasitas kreatifnya untuk memecahkan masalah masalah organisasi
  4. Motivasi hanya muncul ditingkat fisio-logi serta keamanan
  5. Kebanyakan orang harus serta dikenda-likan dan seringkali dipaksa untuk men-capai sasaran sasaran organisasi.
Teori Y :

  1. Bekerja itu sama alaminya seperti bermain, kalau kondisi kondisinya menunjang
  2. Pengendalian diri seringkali tak dapat digantikan dalam mencapai sasaran sasaran organisasi
  3. Kapasitas kreatif dalam memecahkan masalah-masalah organisasi sangat tersebar diseluruh tenaga kerja
  4. Selain ditingkat fisiologi seta keamanan, motivasi juga muncul ditingkat sosial, dan aktualisasi diri
  5. Orang bisa mengarahkan dirinya sendiri dan kreatif dalam pekerjaannya kalau dimotivasi dengan benar.

Seandainya saja para pejabat publik yang ada di daerah ini mau mengikuti dan mendalami Teori X dan teori Y yang dikembangkan oleh Mc.Gregor (1960) seperti yang diuraikan di atas sebagai zelf correction----meskipun teori ini tak lebih hanya mengatur pekerja, tetapi makna filosopis teori ini dapat dijadikan pengilhaman pribadi pemimpin, dengan demikian maka postulat dapat dipastikan mereka yang telah mendalami substansi Teori X dan teoti Y adalah pigur-pigur pemimpin yang paling dibutuhkan daerah ini.

------------ oooo OOO oooo -------------

Ketertarikan orang terhadap perilaku pemimpin dan proses kepemimpinan tanpaknya terus bertahan dari waktu kewaktu. Banyak penulis telah membuat biografi sejumlah pemimpin di Negara ini, tapi terlalu sedikit bahkan belum ada penulis yang berani membuat biografi para pemimpin di daerah ini. Sekaligus mencoba untuk menganalisisnya mengapa mereka mempunyai prilaku tertentu dan membuat kebijakan tertentu disuatu priode. Perhatian yang besar terhadap kepemimpinan ini tidaklah mengherankan, karena apa yang dilakukan oleh seorang pemimpin dan segala kebijakan yang diputuskannya telah mempengaruhi nasib banyak orang. Dalam tulisan ini kita coba membahas misalnya seorang Gubernur.
Gubernur dipilih sebagai lokus pembicaraan, karena dia merupakan figure pemimpin organisasi publik yang cukup penting di daerah ini. Selain itu kompleksitas lingkungan yang dihadapinyapun tidak lebih rendah disbanding apa yang dihadapi oleh misalnya , bupati atau menteri.   Menurut Samodra Wibawa (2005) memimpin dapat didefinisikan secara ringkas sebagai proses mempengaruhi orang lain untuk melakukan prilaku tertentu guna mewujudkan keinginan keinginan orang pertama. Jadi dalam proses ini ada dua orang pihak, yakni satu mempengaruhi, sedang yang lain dipengaruhi; dan ada kepentingan yang ingin diperjuangkan-----paling tidak oleh seorang yang mempengaruhi. Selanjutnya dari proses kepemimpinan ini akan muncul motivasi yang kemudian terekpresikan sebagai tindakan atau sikap.
Dengan demikian “memimpin” merupakan aktivitas yang tidak hanya jadi monopoli seorang pemimpin----baik pemimpin formal maupun non formal----melainkan aktivitas yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Seorang pengusaha dapat “memimpin” seorang pejabat dengan cara memberikan susu tante (sumbangan suka rela tanpa tekanan) atau susu denko (sumbangan suka rela dengan kompromi), misalnya agar pejabat tersebut dapat mengeluarkan Surat keputusan untuk kepentingan usahanya. Keadaan ini persis juga sama sepeti seorang pejabat “memimpin” para pengusaha dengan “menghimbau” mereka untuk menjadi bapak angkat bagi industri kecil dan lain sebagainya.
Seorang pemimpin publik, tarulah misalnya Gubernur, dia semestinya harus memiliki kemampuan manajerial dan leadership yang sudah mampu teruji ketangguhanya-----yang dapat diamati melalui proses kepemimpinan partai politik. Penerapan manajemen kepemimpinan juga harsunya bersifat kondisional, dimana seorang pejabat publik harus mampu memainkan peran seni memimpin dari berbagai tipe yang mesti dimunculkan secara apasteriori dalam mengendalikan organisasinya untuk kepentingan publik. Tapi amat disayangkan pada kenyataannya hampir semua pejabat publik yang ada di daerah ini kadang tidak memiliki kemampuan manejerial dan leadership yang memadai, tapi mereka tak mau jujur mengakuinya, malah sebaliknya menutupi segala kekurangannya dan mengejar ambisi untuk menduduki jabatan publik misalnya seperti Gubernur. ; Apa akibat yang kita rasakan bahwa kualitas kepemimpinan mereka kurang memadai untuk membawa arah perkembangan daerah ini kedepan yang tersistem dalam pola program yang lebih baik dari tahun ke tahun, malah sebaliknya proses politik kekuasan yang lebih dominan ketimbang proses pembangunan masyarakat. Beberapa tipe atau model kepemimpinan yang harus dimiliki oleh seorang pejabat publik antara lain : Patrimonial, Otokrasi, Otoriter, Karismathik dan Demokrasi. Kelima model ini bagi misalnya seorang Gubernur harus dapat memainkan seni peran dengan mengkombinasikan dalam setiap aktivitas organisasi pemerintahan yang dipimpinnya sesuai kondisi yang dibutuhkan.
Muncul pertanyaan :”siapakah Publik itu” !.
Kata “Publik”, biasa diterjemahkan sebagai “umum” dan yang sangat sering dipakai terutama pejabat (Samudra Wibawa, 2005).. Terjemahan ini dapat diterima, akan tetapi masih belum tuntas, karena masih dapat dipertanyakan : siapa yang dimaksud dengan “umum” ?
Menurut Samodra Wibawa (2005) mengatakan bahwa “umum” memiliki makna yang tunggal. Beberapa kemungkinan makna dari kata ini adalah :
• Orang banyak dalam arti tidak sedikit;
• Orang kebanyakan dalam arti rakyat yang buka penentu kebijakan;
• Masyarakat luas, dalam arti tidak hanya satu golongan saja;
• Seluruh Masyarakat, dalam arti buka hanya orang yang tinggall disuatu daerah.
Di pihak lain, “umum” bisa pula diartikan sebagai menyangkut hal yang abstrak, bukannya konkret dalam arti orang atau masyarakat di atas. Dalam pemahaman ini, “umum” bisa berarti :
• Suatu yang berkenaan dengan pemerintah atau negara, bukan hal-hal yang bersangkut paut dengan perorangan atau swasta;
• Hal yang luas atau tidak jelas, bukannya khusus dan tegas;
• Sosial bukannya swasta atau pribadi atau bisnis;
• Yang lazim, bukannya aneh.
Seorang pejabat publik beserta birokrasi jajarannya di daerah ini, bilang pada rakyatnya bahwa pembebasan tanah yang terdapat dikelurahan T untuk sebuah konservasi tambang dilakukan demi kepentingan umum, karena itu para warga negara pemilik tanah dengan iklas merima ganti rugi seribu rupiah saja permeter perseginya. Mereka mengira bahwa tanah mereka akan dipakai untuk tempat bangunan pemerintah atau terminal ataupun pasar. Ternyata belakangan baru mereka menyadari bahwa tanah yang dibeli oleh pemerintah tadi adalah milik perorangan  atau kelompok pengusaha tertentu yang juga akan digunakan untuk kepentingan usaha perorangan bukannya untuk kepentingan sosial atau kepentingan umum. Ternyata sang pejabat publik tadi telah melakukan pembohongan publik. Dan hal ini dapat terjadi oleh karena adanya keterlibatan birokrasi secara tidak langsung dalam pembelian sebidang tanah milik rakyat tersebut.
Keterlibatan birokrasi dalam pembuatan kebijakan tempaknya memang tidak terelakan, baik secara praktis maupun secara ideal. Akibatnya birokrasi tidak hanya memegang wewenang teknis administratif melainkan kadang menggenggam kekuasaan politis, yang sering kali malah lebih besar dibanding eksekutif, legislatif maupun yudikatif (Samodra Wibowo, 2005). Para aktivis politik di dalam tubuh legislatif, misalnya harus dipilih dan hanya bertugas untuk jangka waktu tertentu; tetapi birokrasi tidak perlu dipilih melainkan diangkat dan bertugas hampir seumur hidup. Secara demikian dapat dikatakan bahwa birokrat atau aparatur negara atau pegawai negeri adalah “politikus permanent” (Kingsley dalam Albrow, 1989). Tindakan ini menurut Woodrow Wilson (1887) seorang ahli administrasi negara telah mengakui bahwa kekuasaan birokrasi seperti itu tidak berbahaya sepanjang ada mekanisme pertanggungjawaban (Millet dalam Samodra Wibowo, 2005).
Albrow (1989), berpendapat bahwa aparatur atau administrator negara bisa berbenturan dengan demokrasi bila aparatur negara itu tidak mau dikontrol dan beraliansi dengan golongan tertentu serta mempunyai kegiatan seperti kelompok penekan. Dengan demikian untuk dapat mengatasi penekanan-penekanan oleh adanya kepentingan pejabat publik di daerah ini, maka sebaiknya segera dibentuk Public Policy. 

Miftah Toha (2005) menerangkan ruang lingkup Public Policy yakni membang-kitkan adanya partisipasi masyarakat untuk bersama-sama memikirkan cara yang baik untuk mengatasi persoalan persoalan masyarakat. Tanpa adanya partisipasi masyarakat dan rakyat banyak, maka Public Policy kurang bermakna. Dalam masyarakat yang tradisional , pemerintah dan urusan-urusan politik menjadi tanggung jawab elit, masyarakat pada umumnya tidak tahu apa yang dikerjakan oleh pemerintah. Public Policy menjadi urusan elit tersebut. Akan tetapi dalam masyarakat moderen, demokratis, dan kekuasaan teringgi di tangan rakyat, maka partisipasi dari masyarakat sangat penting dalam urusan-urusan pemerintahan temasuk didalamnya urusan Public Policy. Peranan lembaga-lembaga sosial seperti LSM, Paguyuban sangat diperlukan untuk mengartikulasikan peran Public Policy dalam kehidupan sosial, politik dan kemasyarakatan di daerah ini dalam menghalau kekuasaan birokrasi yang sewenang-wenang dan tidak berpihak kepada rakyat.****

Rabu, 30 Mei 2012

MASYARAKAT MAJEMUK INDONESIA





OLEH : SETABASRI







Masyarakat majemuk Indonesia. Sulit dipungkiri, Indonesia ditinjau dari aspek manapun merupakan sebuah bangsa yang majemuk. Ini terlebih jika dikontraskan dengan bangsa-bangsa lain seperti Jepang, Korea, Thailand, ataupun Anglo Saxon (Inggris). Kemajemukan ini tampak dalam manifestasi kebudayaan bangsa Indonesia yang tidak “satu.” Budaya Indonesia dapat dengan mudah dipecah ke dalam budaya Jawa, Sunda, Batak, Minangkabau, atau pun Toraja, sebagai misal.

Kemajemukan juga termanifestasi dalam masalah agama, lokasi domestik, tingkat ekonomi, ataupun perbedaan-perbedaan sikap politik. Sikap politik, secara khusus, paling mudah menampakkan diri ke dalam bentuk partai-partai politik yang bervariasi dan hidup berkembang di bumi Indonesia.

Sebab itu, merupakan suatu kajian menarik guna melihat seperti apa manifestasi kemajemukan struktur masyarakat Indonesia ini. Kemudian penelaahan akan dilakukan seputar kelebihan serta kelemahan dari struktur majemuk masyarakat Indonesia ini.


Keanekaragaman Kultur Indonesia

Selaku pisau analisa, perlu terlebih dahulu dibedah pengertian dari keanekaragaman kultur atau “multikultur”. Kajian mengenai masyarakat majemuk ini signifikan terutama di dalam masyarakat yang memang terdiri atas aneka pelapisan sosial dan budaya yang satu sama lain saling berbeda. Indonesia, sebab itu, mengembangkan slogan Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu). Slogan tersebut bersifat filosofis-politis, oleh sebab tanpa adanya unsure pemersatu, akan mudah kiranya memecah-belah kohesi politik masyarakat yang mendiami sekujur kepulauan nusantara ini.

Mengenai keanekaragaman kultur ini, Bhikhu Parekh membedakannya menjadi 3 yaitu : (1) Keanekaragaman Subkultural, (2) Keanekaragaman Perspektif, dan (3) Keanekaragaman Komunal.1 Ketiga pengertia mengenai keanekaragaman ini memiliki dampak berbedanya titik analisis atas kajian keanekaragaman atau multikultur yang dilakukan.


Keanekaragaman Subkultural

Menurut Parekh, Keanekaragaman Subkultural adalah suatu kondisi dimana para anggota masyarakat memiliki satu kebudayaan umum yang luas dianut, beberapa di antara mereka menjalankan keyakinan dan praktek yang berbda berkenaan dengan wilayah khidupan tertentu atau menempuh cara hidup mereka sendiri yang relative sangat berbeda.

Kini, kelompok-kelompok miskin urban, “punk”, kaum waria, gay, lesbian, dan kelompok-kelompok yang oleh masyarakat umum disebut “menyimpang” merupakan wujud dari keanekaragaman subkultural ini. Termasuk ke dalam contoh ini adalah Komunitas Lia Eden, kelompok-kelompok “sempalan” agama mainstream. 


Masih menurut Parekh, Keanekaragaman Perspektif adalah suatu kondisi di mana beberapa anggota masyarakat sangat kritis terhadap beberapa prinsip atau nilai-nilai sentral kebudayaan yang berlaku dan berusaha untuk menyatakannya kembali di sepanjang garis kelompok yang sesuai. Gerakan-gerakan Feminis dan emansipasi perempuan merupakan perwakilan Keanekaragaman Perspektif ini. Kemudian isu-isu pembentukan masyarakat madani di Indonesia, termasuk ke dalamnya isu-isu pembentukan Negara Islam atau Negara Pancasila, mewakili Keanekaragaman Perspektif ini.


Keanekaragaman Komunal

Terakhir, Keanekaragaman Komunal adalah suatu kondisi di mana sebagian besar masyarakat yang mencakup beberapa komunitas yang sadar diri dan terorganisasi dengan baik. Mereka menjalankan dan hidup dengan sistem keyakinan dan praktek yang berlain antara satu kelompok dengan lainnya.

Misal dari Keanekaragaman Komunal ini adalah para imigran yang baru tiba, komunitas-komunitas Yahudi di Eropa dan Amerika, kaum Gypsi, masyarakat Amish, kelompok-kelompok cultural yang berkumpul secara territorial seperti kaum Basque di Spanyol. Di Indonesia masuk ke dalam kelompok ini misalnya kawasan-kawasan Pecinan (hunian komunitas Cina), wilayah-wilayah yang dihuni suku-suku bangsa di luar wilayahnya (komunitas Batak di Jakarta atau Bandung, misalnya).

Bahasa atas tiga pengeritan keanekaragaman ini membawa kita pada pertanyaan, ke arah mana keanekaragaman Indonesia hendak dialamatkan? Asumsi peneliti akan keanekaragaman Indonesia biasanya langsung ditujukan pada hal-hal seperti keragaman agama, bahasa, suku bangsa, dan wilayah domisili berdasar kepulauan tempat tinggal. Namun, ketika diperhadapkan pada pembagian pengertian keanekaragaman menurut Parekh ini, perlu dilakukan suatu pemilahan yang tepat atas kajian kemajemukan Indonesia selanjutnya.


Kemajemukan di Indonesia

Berdasar argumentasi Parekh, multikulturalisme di Indonesia sesungguhnya lebih kompleks ketimbang Cuma membedakan aspek kesukubangsaan saja. Masalah kesukubangsaan ini lambat-laun mengalami perubahan makna. Sebagai missal, Yusuf Kalla (saat tulisan dibuat adalah wapres RI) yang orang Makassar menikah dengan Mufidah Kalla yang berasal dari Sumatera Barat. Kemungkinan, Yusuf Kalla relative mudah mengidentifikasi diri selaku “orang Makassar” yang mempraktekkan budaya “Makassar.” Demikian pula istrinya, mengidentifikasi diri dan mempraktekkan budaya Sumatera Barat. Namun, bagaimana halnya dengan keturunan mereka? Apakah mereka mengidentifikasi diri selaku “orang Makassar”, “orang Sumatera Barat”, ataukah “orang baru” yang mengidentifikasi diri selaku orang setengah Makassar dan setengah Sumatera Barat.

Terkadang, guna memutus kebingungan identifikasi, seseorang yang merupakan keturunan perkawinan “campur” aneka suku bangsa mengidentifikasi diri selaku “orang Indonesia”. Ditinjau dari sisi ini, konsep integrasi nasional memiliki kekuatannya sendiri sebagai basis identitas mereka yang sulit mengidentifikasi diri dengan suku bangsa tertentu. Terlebih, jika keturunan dari dari perkawinan antar suku bangsa tersebut memperoleh keturunan dari suku bangsa lain yang berbeda dengan asal kedua orang tuanya. Masalah identifikasi akan semakin kompleks, dan ke-Indonesia-an semakin memperoleh signifikansi selaku basis identitas mereka.

Kembali kepada pengertian multikultur menurut Parekh. Subkultur, Perspektif, dan Komunal ketiganya sekaligus merupakan varian keanekaragaman yang dapat saja diterapkan terhadap kajian sistem sosial dan budaya Indonesia. Masuknya aneka budaya baru, perkembangan teknologi, industrialisasi, dan percampuran penduduk membuat kategorisasi keragaman hanya sekadar suku bangsa sebagai analisis sistem sosial dan budaya Indonesia terlihat berkurang signifikansinya.

Aneka subkultur kini pun tengah berkembang di Indonesia. Budaya-budaya Punk, kaum urban miskin kota, penduduk wilayah perbatasan, kelompok-kelompok buruh, kemudian membangun sistem nilai dan cara hidup tersendiri yang kemungkinan berbeda dengan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Kendati berbeda, dalam satu dan lain aspek, mereka masih dapat bersepakatan dengan aturan dan sistem hukum yang berkembang di Indonesia. Ini dengan tidak melupakan fakta, keragaman yang bersifat subkultur ini tetap merupakan “minoritas” dan sulit berkembang menjadi “mayoritas”.

Selain itu, kelompok-kelompok baru yang dapat dianggap selaku representasi dari keanekaragaman perspektif adalah kelompok-kelompok perempuan, kelompok-kelompok keagamaan tertentu, kelompok-kelompok pakar ilmiah, yang kendati tetap hidup dalam budaya mainstream tetapi memiliki sejumlah kritik atas praktek kebudayaan yang berlangsung. Bersama kelompok-kelompok ini hidup, tetapi mereka terus mengupayakan perubahan atas beberapa aspek kebudayaan tertentu yang dipraktekkan.

Keanekaragaman Komunal paling mudah dikenali karena sejumlah manifestasi fisik yang mudah dicerap panca indera semisal bahasa, tata cara berpakaian, warna kulit, dan tata cara hidup. Orang Batak mudah dibedakan dengan Orang Sunda. Orang Papua mudah dibedakan dengan Orang Minangkabau, dan seterusnya. Suku-suku bangsa ini dapat saja hidup kendati berada di luar wilayah domisilinya. Misalnya, orang Batak hidup di perantauan di daerah Cimahi, Bandung. Orang-orang Batak ini kemungkinan menerbitkan suatu “perspektif” yang aneh bagi orang Sunda akibat beberapa perbedaan tata budayanya. Namun, kerap kali orang-orang Batak akan mengadopsi beberapa komponen budaya Sunda (bahasa, makanan, cara bergaul) demi mengintegrasikan diri mereka.

Parsudi Suparlan secara tegas menyebut masyarakat Indonesia sebagai masyarakat majemuk. Hal yang mencolok dari kemajemukan masyarakat Indonesia adalah penekanan pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam bentuk komunitas-komunitas suku bangsa, dan digunakannya kesukubangsaan sebagai acuan utama bagi jati diri bangsa.2 Suparlan menandaskan bahwa masyarakat majemuk ini memiliki kesulitan tersendiri dalam melakukan integrasi nasional.

Sebagai contoh dapat diambil Afrika Selatan tatkala di bawah rezim Apartheid. Kulit putih Eropa (Belanda, Belgia) yang menguasai Afrika Selatan muncul selaku pemerintah dan melakukan tindak diskriminasi sosial terhadap kaum kulit hitam. Pembedaan tidak hanya terjadi di sector politik, tetapi juga meliputi sector sosial dan ekonomi yang dibatasi garis-garis rasial, keyakinan agama, dan jenjang sosial feodalisme.3 Begitu pula, terdapat kesulitan bagi Suriname yang majemuk dalam menerapkan demokrasi akibat konflik kepentingan antara 2 suku bangsa mayoritas di Negara tersebut. Akibatnya, Suriname kerap mengalami Military-Dictatorship demi pengembangan stabilitas nasionalnya.

Namun, ini bukan berarti multikulturalisme menjadi preseden terbentuknya consensus nasional berbangsa. Amerika Serikat, sebagai contoh, pada awal berdirinya adalah cukup “rasis” dengan konsep WASP-nya (White Anglo Saxon Protestant). Pemerintah Amerika Serikat hanya berhak dianggotai oleh orang-orang kulit putih asal Inggris yang beragama Protestan. Kini konsep tersebut lambat-laut mencair dan bahkan, orang keturunan kulit hitam seperti Barack Husein Obama mampu muncul sebagai orang nomor 1 di Negara tersebut.

J.S. Furnivall termasuk orang yang pertama kali menyebut Indonesia selaku bangsa majemuk. Masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat di mana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedfemikian rupa, sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain.4

Ciri dari masyarakat majemuk adalah secara structural memiliki sub-sub kebudayaan yang bersifat diverse. Ia kurang mengalami perkembangan dalam hal sistem nilai atau consensus yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat. Kurang pula ditandai oleh berkembangnya sistem nilai dari kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya dengan penganutan para anggotanya masing-masing secara tegar dalam bentuknya yang relative murni serta oleh sering timbulnya konflik-konflik sosial, atau setidak-tidaknya oleh kurangnya integrasi dan sailng ketergantungan di antara kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya.

Bagi seorang ahli Indonesia lain, Clifford Geertz, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, dalam mana masing-masing subsistem terikat ke dalam ikatan-ikatan yang bersifat primordial.5

Hal yang menarik kemudian dinyatakan Pierre L. van den Berghe seputar ciri dasar dari masyarakat majemuk ini, yaitu :

  1. Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang seringkali memiliki subkebudayaan yang berbeda-beda satu sama lain;
  2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer;
  3. Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar;
  4. Secara relative seringkali mengalami konflik-konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain;
  5. Secara relative integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi; serta
  6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompk atas kelompok-kelompok yang lain.6

Masyarakat majemuk biasanya tersegmentasi ke dalam kelompok yang punya subkebudayaan yang saling berbeda. Ini mirip seperti yang diutarakan Bhikhu Parekh tentang Keanekaragaman Subkultur, Keanekararagaman Perspektif, dan Keanekaragaman Komunal. Misalkan saja, kultur-kultur masyarakat pesisir pantai Indonesia yang terbuka relative berbeda dengan kultur-kultur masyarakat pedalaman (pegunungan). Ini belum lagi ditambah dengan kultur-kultur etnis (Sunda, Batak, Jawa, Makassar) yang memiliki “way of life” spesifik yang berbeda satu dengan lainnya. Sebab itu, konflik-konflik etnis seperti antara Dayak-Melayu-Madura di Kalimantang mudah sekali terpantik.

Tidak hanya Indonesia, Negara-negara lain pun turut “menderita” akibat masalah kemajemukan ini. Srilanka hingga kini didera pertikaian etnis Sinhala dan Tamil, dua suku bangsa besar di Negara tersebut. Spanyol, Negara Eropa, secara laten rentan dilanda pertikaian etnis Catalan dan Basque. Filipina mengalami potensi disintegrasi akibat perbedaan agama, misalnya kasus wilayah Moro yang dihuni penduduk Islam. Sama dengan Filipina, Thailand pun wilayah Pattani yang dihuni penduduk Islam hendak memisahkan diri.

Untuk mengatasi kemajemukan Indonesia ini, secara historis founding fathers merumuskan Pancasila. Lima kalimat singkat dalam Pancasila digunakan sebagai basis consensus yang diyakini merupakan common will dari subkultur-subkultur yang hidup di masyarakat majemuk Indonesia. Sulit dibayangkan jika consensus dasar (Pancasila) ini kemudian berubah.

Nasikun menandaskan keragaman ini kemudian mengimbas pada aspek-aspek kehidupan lainnya. Dengan mengkontraskan antara apa yang ia sebut sebagai “masyarakat majemuk” (plural society) dengan “masyarakat homogen” (homogeneus society), Nasikun mengetengahkan beberapa konflik yang muncul akibat ketiadaan “common will” (kehendak bersama). Pada masyarakat homogeny, common will relative ada. Ini akibat serupanya asal usul etnis, agama, dan tata adat istiadat. Sementara pada masyarakat plural, common will menjadi suatu yang jarang akibat adanya perbedaan asal usul etnis, agama, dan tata adat istiadat (budaya).

Untuk lebih menjelaskan seputar kemajemukan Indonesia ini, ada baiknya dihaturkan table komposisi penduduk berdasarkan provinsi Indonesia sebagai berikut :7





Data yang digunakan adalah hasil sensus tahun 2000. Dapat dilihat persentase terbesar orang Indonesia tinggal di Provinsi Jawa Barat dengan 17,36% (35.724.092), disusul Jawa Timur dengan 16,89% (34.765.998), kemudian Jawa Tengah dengan 15.17% (31.223.259). Sementara, provinsi terjarang penduduknya adalah Maluku Utara dengan 0,36% (732.453).

Namun, komposisi di atas hanya merujuk pada wilayah domisili, bukan berdasar etnisitas. Studi yang dilakukan oleh Leo Suryadinata, Evi Nurvidya Arifin dan Aris Ananta menunjukkan populasi penduduk Indonesia berdasarkan 101 etnis, yang tampak pada table di bawah ini :1






Tabel di atas hanya menunjukkan 102 etnis saja. Padahal, menurut BPS, total etnis dan subetnis yang tersebar di Indonesia adalah 1.072. Dapat dibayangkan betapa bervariasinya budaya dan seberapa tinggi tingkat kemajemukan di Indonesia.

Delapan etnis “besar” dalam populasi penduduk Indonesia adalah Jawa, Sunda, Madura, Minangkabau, Betawi, Bugis, Banten, dan Banjar. Ini dengan memperhatikan ketersebaran etnis-etnis tersebut di wilayah provinsi Indonesia.

Selain itu, faktor yang turut menentukan besaran komposisi etnis di Indonesia adalah natalitasnya. Tidak seluruh etnis memiliki perkembangan tingkat kelahiran yang sama, seperti tampak pada table di bawah ini yang melukiskan tingkat pertambahan penduduk menurut etnis dari tahun 1930 hingga 2000:







Melayu merupakan etnis yang paling cepat mengalami pertumbuhan penduduk, disusul Betawi, Batak, Sunda, dan seterusnya. Namun, pertumbuhan jumlah ini tidak menjamin ketersebaran etnis yang bersangkutan di seluruh provinsi Indonesia.


Persebaran Etnis di Indonesia

Sekadar sebagai gambaran, baiklah di sini kami muat komposisi etnis dari beberapa provinsi di Indonesia. Gambaran ini lebih untuk menunjukkan bahwa wilayah tinggal etnis tidak melulu mengikuti daerah asal dari etnis yang bersangkutan. Misalnya, etnis Jawa tidak melulu ada di Jawa Tengah, Yogyakarta, ataupun Jawa Timur belaka, melainkan ia pun terdapat di Nanggroe Aceh Darussalam bahkan Sumatera Barat.


Nanggroe Aceh Darussalam. (1) Aceh - 871.944 atau 50.32%; (2) Jawa - 274.926 atau 15,87%; (3) Etnis lain - 164.678 atau 9.50%; (4) Gayo Lut - 117.509 atau 6.78%; (5) Gayo Luwes - 81.172 atau 4,68%; (6) Alas – 67.424 atau 3.89%; (7) Singkil – 44.153 atau 2.55%; (8) Simeulu – 42.803 atau 2.47%; (9) Batak – 28.146 atau 2.26%; (10) Minangkabau – 18.811 atau 1.09%; (11) Sunda – 5.936 atau 0.34%; (12) Banjar – 1.726 atau 0.10%; (13) Banten – 1.321 atau 0.08%; (14) Madura – 471 atau 0.03%; (15) Bugis – 316 atau 0.02%; (16) Betawi - 291 atau 0.02%.


Sumatera Utara. (1) Batak – 4.827.264 atau 41.95%; (2) Jawa – 3.753.947 atau 32.62%; (3) Lainnya – 1.118.487 atau 9.72%; (4) Nias, Kono Niha – 741.620 atau 6.36%; (5) Melayu – 566.139 atau 4.92%; (6) Minangkabau – 306.550 atau 2.66%; (7) Banjar – 111.886 atau 0.97%; (8) Banten – 48.495 atau 0.42%; (9) Sunda – 30.756 atau 0.27%; (10) Betawi – 5.119 atau 0.04%; (11) Bugis – 3.665 atau 0.03%; (12) Madura – 2.649 atau 0.02%.


Sumatera Barat. (1) Minangkabau – 3.747.343 atau 88.35%; (2) Batak – 187.656 atau 4.42%; (3) Jawa – 176.023 atau 4.15%; (4) Mentawai – 54.419 atau 1.28%; (5) Lainnya – 27.097 atau 0.64%; (6) Melayu – 21.654 atau 0.51%; (7) Cina – 15.029 atau 0.35%; (8) Sunda – 10.993 atau 0.26%; (9) Betawi – 672 atau 0.02%; (10) Madura – 370 atau 0.01.


Riau. (1) Melayu – 1.792.558 atau 37.74; (2) Jawa – 1.190.015 atau 25.05%; (3) Minangkabau – 534.854 atau 11.26%; (4) Batak – 347.450 atau 7.31%; (5) Lainnya – 329.817 atau 6.94%; (6) Banjar – 179.380 atau 3.78%; (7) Cina – 176.853 atau 3.72%; (7) Cina – 176.853 atau 3.72%; (8) Bugis – 107.648 atau 2.27%; (9) Sunda – 80.282 atau 1.69%; (10) Madura – 5.338 atau 0.11%; (11) Betawi – 3.941 atau 0.08%; (12) Banten – 1.932 atau 0.04%.


Jambi. (1) Melayu – 910.832 atau 37.87%; (2) Jawa – 664.931 atau 27.64%; (3) Kerinci – 254.125 atau 10.56%; (4) Lainnya – 230.854 atau 9.60%; (5) Minangkabau – 131.609 atau 5.47%; (6) Banjar – 83.458 atau 3.47%; (7) Sunda – 62.956 atau 2.62%; (8) Bugis – 62.185 atau 2.59%; (9) Madura – 1.854 atau 0.08%; (10) Betawi – 1.601 atau 0.07%; (11) Banten – 973 atau 0.04.

Sumatera Selatan. (1) Melayu – 2.142.523 atau 31.25%; (2) Lainnya – 1.965.462 atau 28.67%; (3) Jawa – 1.851.589 atau 27.01%; (4) Komering – 389.267 atau 5.68%; (5) Musi Banyuasin – 213.918 atau 3.12%; (6) Sunda – 168.278 atau 2.45%; (7) Minangkabau – 64.215 atau 0.94; (8) Bugis – 26.785 atau 0.39%; (9) Banten – 15.925 atau 0.23%; (10) Madura – 9.248 atau 0.13%; (11) Betawi – 7.927 atau 0.12%; (12) Banjar – 921 atau 0.11%.

Bengkulu. (1) Jawa – 348.505 atau 22.31%; (2) Rejang – 333.635 atau 21.36%; (3) Serawai – 279.154 atau 17.87%; (4) Lainnya – 278.766 atau 17.85%; (5) Melayu – 123.868 atau 7.93%; (6) Lembak – 77.241 atau 4.95%; (7) Minangkabau – 66.861 atau 4.28%; (8) Sunda – 46.991 atau 3.01%; (9) Bugis – 3.196 atau 0.20%; (10) Madura – 1.857 atau 0.12%; (11) Betawi – 1.188 atau 0.08%; (12) Banten – 468 atau 0.03%; (13) Banjar – 122 atau 0.01%.


Lampung. (1) Jawa – 4.113.731 atau 61.89%; (2) Lainnya – 663.026 atau 9.97%; (3) Sunda – 583.453 atau 8.78%; (4) Peminggir – 426.723 atau 6.42%: (5) Pepadun – 280.247 atau 4.22%; (6) Melayu – 236.292 atau 3.55%; (7) Banten – 166.113 atau 2.50%; (8) Abung Bunga Mayang – 85.342 atau 1.28%; (9) Minangkabau – 61.480 atau 0.92%; (10) Bugis – 16.471 atau 0.25%; (11) Betawi – 7.451 atau 0.11%; (12) Madura – 6.208 atau 0.09%; (13) Banjar – 353 atau 0.01%.


Bangka Belitung. (1) Melayu – 646.194 atau 71.89%; (2) Cina – 103.736 atau 11.54%; (3) Jawa – 52.314 atau 5.82%; (4) Lainnya – 49.628 atau 5.52%; (5) Bugis – 24.162 atau 2.69%; (6) Madura – 9.985 atau 1.11%; (7) Sunda – 8.316 atau 0.93%; (8) Minangkabau – 3.047 atau 0.34%; (9) Betawi – 1.043 atau 0.12%; (10) Banten – 279 atau 0.03%; (11) Banjar – 185 atau 0.02%.

Jakarta – (1) Jawa – 2.927.340 atau 35.16; (2) Betawi – 2.301.587 atau 27.65%; (3) Sunda – 1.271.531 atau 15.27%; (4) Lainnya – 539.529 atau 6.48%; (5) Cina – 460.002 atau 5.53%; (6) Batak – 300.562 atau 3.61%; (7) Minangkabau – 264.639 atau 3.18%; (8) Melayu – 134.477 atau 1.62%; (9) Bugis – 49.426 atau 0.59%; (10) Madura – 47.055 atau 0.57%; (11) Banten – 20.582 atau 0.25%; (12) Banjar – 7.977 atau 0.10%.

Melihat dari sebagian komposisi penduduk di beberapa provinsi Indonesia, mudah terlihat suatu etnis dapat tersebar wilayah domisilinya di luar daerah basis etnis yang bersangkutan. Misalnya, etnis Betawi yang berasal dari Jakarta, juga terdapat di Bangka-Belitung, Sumatera Selatan, bahkan di Nanggroe Aceh Darussalam kendati tidak terlampau besar. Di sisi lain, etnis Jawa relative punya persebaran dan komposisi yang besar di hampir seluruh provinsi yang disebut di atas.

Dari paparan di atas, Indonesia memiliki tingkat keragaman cultural yang sedemikian tinggi. Keragaman ini tidak lagi dibatasi oleh wilayah asal basis etnis. Keragaman telah meliputi hampir seluruh wilayah yang berada di bawah NKRI. Dengan demikian, upaya-upaya serius seputar manajemen hubungan antaretnis menjadi signifikan dengan adanya realitas ini.

Hal menarik pula perlu dinyatakan, yaitu pertumbuhan kuantitas etnis tidaklah tetap antarperiode. Dapat saja suatu etnis menurun atau meningkat kemampuan pertumbuhannya jika dilihat dalam dua periode sensus. Ini misalnya tampak pada Sensus 1930 dan Sensus 2000 seperti terlihat pada diagram cookie di bawah ini :1







Dari diagram di atas, terlihat bahwa etnis jawa mengalami penurunan pertumbuhan dari 47,02% total populasi Indonesia menjadi 41,71%, Sunda dari 14,53% naik jadi 15,41%, Melayu dari 1,61% naik jadi 3.45%, Madura dari 7.28% turun jadi 3.37%, Minangkabau dari 3.36% turun jadi 2.72%, Bugis dari 2.59% turun jadi 2.49%, Batak dari 2.04% naik jadi 3.02%, Bali dari 1.88% turun jadi 1.51%, Betawi dari 1.66% naik jadi 2.51%, atau Aceh dari 1.41% turun jadi 0.43%.

Penaikan ataupun penurunan jumlah penduduk menurut etnis ini kemudia dapat ditesuri pada beberapa factor seperti pola perkawinan adat, status pekerjaan, hubungan etnis itu dengan etnis lain, kemampuan adaptasi etnis bersangkutan, dan tak kalah penting factor pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan di suatu etnis, ada kemungkinan mereka mengendalikan tingkat kelahiran.

Keragaman etnis di Indonesia ini sangat kontras jika dibandingkan dengan beberapa Negara lain. Misalnya Jepang yang hanya memiliki beberapa etnis semisal Yamato yang dominan, Okinawa (minoritas), Burakumin (minoritas), dan Ainu (minoritas).1 Etnis Jepang didominasi etnis Yamato yang meliputi lebih dari 90% komposisi penduduk Jepang. Sementara etnis minoritas yang ada dianggotai oleh Okinawa, Burakumin, dan Ainu, yang persentase ketiganya hanya meliputi 3-4%. Kemudian di Jepang pun ada etnis dari Negara lain dengan angka minoritas seperti Korea 0.5%, Cina 0.4%, dan lainnya 0.6%. Termasuk ke dalam etnis lainnya ini adalah orang-orang Brasil yang bekerja di Jepang sejumlah 230.000 orang.

-------------------------------------------

Senin, 21 Mei 2012

LA ODE MUHAMMAD JAFAR DINOBATKAN SEBAGAI SULTAN BUTON


|

Share on facebook Share on twitter Share on email Share on print More Sharing Services 3

http://www.kendarikita.com/2012/05/la-ode-muhammad-jafar-dinobatkan.html

Prosesi pelantikan siolimbona. Setelah dilantik siolimbona, maka selanjutnya siolimbona yang memproses / menyeleksi calon sultan dengan kreteria yang ketat, termasuk disembahyangi, dan proses magis lainnya. Kemudian siolimbona memutuskan 1 orang yang terpilih sebagai sultan buton.  Foto : Sultan Darampa/Kendarikita.com  
BAUBAU- KK- Setelah cukup lama vakum, sekitar 52 tahun, sejak mangkatnya Sultan Buthuuni yang ke-37, La Ode Muhammad Falihi pada tahun 1960, keluarga Keraton Kesultanan Buton, Sulawesi kembali menggelar penobatan H.La Ode Muhammad Jafar SH sebagai Sultan Buton ke-39. 

Acara penobatan yang dikenal dengan istilah Bulilingiyana Pau Laki Wolio itu bertempat di Baruga Keraton Kesultanan Buton, Kota Baubau pada tanggal 19 Mei 2012 lalu. 

Ketua Panitia Penobatan Sultan Buton (Bulilingiyana Pau Laki Wolio), La Ode Ahmad Manise, S.Pd, dan sekretarisnya Ir Asrun Addin mengurai, Kerajaan Buthuuni (Buton) adalah kerajaan yang berdaulat sejak abad ke-13, dan kemudian mengubah status pemerintahannya menjadi Kesultanan Buthuuni pada 1 Ramadhan 948 hijriyah (1540 masehi), ketika itu agama Islam resmi menjadi agama kesultanan.

Kesultanan Buhtuni telah menetapakan sistem pemerintahan yang modern, struktur pemerintahan yang lengkap dengan mencakup segala bidang, pembagian wilayah antara pusat dan daerah dengan masing-masing memiliki kedaulatan sendiri-sendiri selama 7 abad. Namun pada akhirnya,Sultan Buton ke-37, La Ode Muhammad Falihi mangkat tahun 1960, dan sejak itu Kesultanan kekosongan pucuk pemimpinan.

Akhirnya, pada tanggal 12 Pebruari 2011 tahun lalu, tokoh adat dan budaya se-Kesultanan Buthuuni menggagas pertemuan di Baruga Keraton Buthuuni dengan menghasilkan kesepakatan bersama. Mereka sepekat membentuk kembali perangkat Kesultanan Buthuuni dan nama Lembaga Adat Kesultanan Buton yang diawali dengan pembentukan Siolimbona.

Lalu pada tanggal 22 Mei 2011,  juga pada tempat yang sama, telah dikukuhkan Siolimbona yang disaksikan langsung oleh Pitu Puluh Rua Kadie dan Pata Barata wilayah kesultanan. Selanjutnya, Siolimbona bertugas untuk memilih, menentapkan dan melantik Laki Wolio (Sultan Buthuuni).

Tahapan adat Siolimbona dalam pemilihan, penetapan dan pelantikan Laki Wolio (Sultan Buthuuni) adalah (1) Tiliki, (2) Buataka Katange, Kambojai, dan Paso, (3) Fali, dan Sokiana Pau, (4) Bulilingiyana Pau Laki Wolio (penobatan Sultan).

Berdasarkan prosedur adat pelaksanaan penobatan Sultan Buthuuni dilaksanakan 120 hari setelah Sokayana Pau (penobatan Sultan), sehingga tepat 19 Mei 2012 , bertempat di Baruga Keraton Buthuuni telah dilakukan Ritual Sokayana Pau Laki Wolio . (Sultan Darampa). sehingga tepat 19 Mei 2012 , bertempat di Baruga Keraton Buthuuni telah dilakukan Ritual Sokayana Pau Laki Wolio . (Sultan Darampa).Laki Wolio . (Sultan Darampa).
   
 

Minggu, 20 Mei 2012

LEMBAGA PENGEMBANGAN JASA KONSTRUKSI DAERAH SULAWESI TENGGARA BERSAMA ASOSIASI MENYUSUN USULAN DRAFT RANCANGAN PERUBAHAN UU NO.18/1999 TENTANG JASA KONSTRUKSI

Oleh : Ali Habiu *)




*). Baju Safari Warna Biru Bergaris.
Ketua Bidang Profesi, Penelitian dan Pengembangan, Mediasi dan Arbitrase (PROLIMA) Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Daerah Sulawesi Tenggara.




Mulai hari senen tanggal 11 Juli 2010 sampai tanggal 12 Juli 2010 Dewan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara bersama-sama para Asosiasi Jasa Kontraktor dan Asosiasi Jasa Konsultan membahas draft usulan Rancangan Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi. Alhamdulillah pembahasan tidak begitu berjalan alot mengingat Ketua Bidang PROLIMA LPJKD Sultra mulai tanggal 8 Juli 2010 sudah mulai mempersiapkan materi rancangan perubahan undang-undang tersebut, sehingga ketika terjadi pembahasan selama 2 (dua) hari  secara aklamasi forum sudah dapat menerima diskripsi yang di ajukan.

Dalam pasal-pasal serta ayat/alenia pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi dalam rancangan perubahannya sudah semakin akomodir bagi semua kepentingan daerah termasuk pemberian sanksi antara Pemberi Jasa dan Pengguna Jasa secara berimbang. Demikian pula usia layanan konstruksi harus segera dikeluarkan dan ditetapkan oleh Pemerintah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Usia Layanan Konstruksi di Indonesia atas adanya revisi undang-undang ini.  Hal ini diebabkan karena yang menjadi pasal dalam penafsiran pasal 25 ayat (2) tentang kegagalan bangunan yang terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan sampai dengan usia 10 tahun, adalah pasal karet. Dipandang belum proporsional dalam konteks pembinaan konstruksi di Indonesia, mengingat sesuai dengan pedoman dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk berbagai macam jenis konstruksi bangunan di Indonesia termasuk bidang elektrik memiliki usia layanan konstruksi yang berbeda-beda sehingga perlu ada ketegasan pemerintah dalam menentukan berbagai macam dan/atau tipe maupun jenis konstruksi bangunan termasuk elektrik tersebut sebagai penunjang revisi atas Undang-undang Nomor : 18 Tahun 1999 ini sehingga produk hukum yang dihasilkan oleh revisi dimaksud benar-benar sesuai trend globalisasi dan arah dan kebijakan Pengembangan Konstruksi Nasional Indonesia sampai tahun 2030. Sebagai contoh : usia layanan konstruksi bangunan jembatan terbuat dari rangka baja memiliki ketahanan sampai dengan usia 50 tahun (tergantung kualitas baja pubrikan), usia layanan konstruksi bangunan jeembatan dari bahan beton bertulang dengan mutu beton K-400 memiliki ketahanan konstruksi sampai dengan 50 tahun. Sedangkan Konstruksi bangunan jembatan memakai mutu beton K-300 s/d K-350 memiliki ketahanan konstruksi sampai 35 tahun. Jika jalan raya dibangun dengan design trafic LHR s/d 150.000 memiliki ketahanan konstruksi minimal 30 tahun (misalnya jalan TOL), sedangkan desain trafic LHR sampai dengan 50.000 memiliki ketahanan konstruksi sampai 15 tahun. Bangunan gedung lantai 3 dengan menggunakan konstruksi dari bahan beton bertulang dengan mutu beton K-300 memiliki ketahanan konstruksi 35 tahun, bangunan tembok penahan tanah (retaining wall) dengan menggunakan bahan dari beton bertulang dengan mutu beton K-350 memiliki ketahanan konstruksi sampai 35 tahun. Penembokan pantai penahan gelombang menggunakan bahan dari pasangan batu kali/gunung memiliki ketahanan konstruksi sampai 25 tahun dan lain sebagainya. 
Ketahanan konstruksi identik dengan usia layanan konstruksi, sehingga pemerintah harus segera menerbitkan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang klasifiksi ketahanan konstruksi dari masing-masing macam dan/atau jenis konstruksi di Indonesia guna menetapkan usia layanan konstruksi sebagaimana yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Dengan terbitnya peraturan pemerintah tentang usia layanan konstruksi ini maka sekaligus akan memperbaiki sistem pembangunan konstruksi di Indonesia yang dimulai dari reformasi sistem perencanaan, sistem penawaran, sistem pelaksanaan pekerjaan, sistem pengawasan dan sistem evaluasi kinerja dalam rangka menuju pengembangan konstruksi Indonesia sampai 2030. 
Berikut ini akan di uraikan berdasarkan warna atas adanya usulan draft revisi perubahan undang-undang Nomor : 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, sebagai berikut :



USULAN DRAFT
RANCANGAN PERUBAHAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 1999
TENTANG
JASA KONSTRUKSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


Menimbang  : cukup jelas
Mengingat    : cukup jelas


Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :


Menetapkan : cukup jelas

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Cukup jelas
2. Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural , sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain dengan ketahanan konstruksi sesuai dengan usia layanan konstruksi yang telah ditetapkan;
3. Cukup jelas
4. Cukup jelas
5. Cukup jelas
6. Kegagalan bangunan adalah keadaan bangunan yang setelah diserahterimakan oleh Penyedia Jasa kepada Pengguna jasa, menjadi tidak berfungsi baik sebagian atau secara keseluruhan dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi atau pemanfaatannya yang menyimpang dan/atau bangunan yang tidak berfungsi baik dan/atau mengalami kegagalan atau kerusakan selama masa usia layanan konstruksi yang telah ditetapkan berlangsung sebagai akibat kesalahan Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa
7. Cukup jelas
8. Cukup jelas
9. Perencana Konstruksi adalah Penyedia Jasa orang perseorangan atau badan Usaha yang dinyatakan ahli yang professional di bidang perencanaan jasa konstruksi berupa survei, perencanaan umum, studio makro dan studio mikro, studi kelayakan proyek, industri dan produksi, perencanaan teknik, operasi dan pemeliharaan serta penelitian dilakukan secara terintegrasi, mampu mengembangkan dan mewujudkan dalam bentuk dokumen pekerjaan bangunan atau bentuk fisik lain.
10. Cukup jelas
11. Pengawas konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi dan pengawasan keyakinan mutu dan ketepatan waktu dalam proses pekerjaan dan hasil pekerjaan konstruksi dilakukan secara terintegrasi, mampu mengembangkan dan melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan
12. Perencana Konstruksi, Pelaksana Konstruksi dan Pengawas Konstruksi harus memiliki Klasifikasi, Kualifikasi dan Sertifikasi Badan Usaha yang telah ditetapkan.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2
Pengaturan jasa konstruksi berlandaskan pada asas profesionalitas dan keahlian, kejujuran dan keadilan, manfaat, keserasian, kemandirian, keterbukaan, kemitraan, keamananan dan keselamatan demi kepentingan umum, masyarakat, bangsa dan Negara.

Pasal 3
Pengaturan jasa konstruksi bertujuan :
a. Memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, handal dan berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas dengan mencapai usia layanan konstruksi sesuai yang telah ditetapkan.
b. Cukup jelas
c. cukup jelas .

BAB III
USAHA JASA KONSTRUKSI

Bagian Pertama
Jenis, Bentuk, dan Bidang Usaha

Pasal 4

(1) cukup jelas
(2) Usaha perencanaan konstruksi memberikan layanan jasa perencanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari kegiatan mulai dari studi pengembangan yang meliputi : survei; perencanaan umum; studi makro dan studi mikro; studi kelayakan proyek, industri dan produksi; perencanaan teknik, operasi dan pemeliharaan dan penelitian, studi integrasisasi sampai dengan penyusunan dokumen-dokumen kerja konstruksi yang mana hasil perencanaan mampu menjamin ketahanan konstruksi sesuai usia layanan konstruksi yang telah ditetapkan.
(3) Usaha pelaksana konstruksi memberikan layanan jasa pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari kegiatan mulai dari penyiapan lapangan, pelaksanaan pekerjaan sampai dengan penyerahan akhir hasil pekerjaan konstruksi yang mana hasil pekerjaan konstruksi mampu menjamin ketahanan konstruksi sesuai dengan usia layanan konstruksi yang telah ditetapkan.
(4) Usaha pengawasan konstruksi meliputi pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan pengawasan keyakinan mutu dan ketepatan waktu serta pengembangannya, memberikan layanan jasa pengawasan baik sebagian atau keseluruhan pekerjaan pelaksanaan konstruksi dan pengawasan keyakinan mutu dan kepepatan waktu mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil konstruksi yang dapat menjamin bahwa hasil pengawasan yang dilakukan mampu memberikan ketahanan konstruksi sesuai dengan usia layanan konstruksi yang telah ditetapkan.
(5) Usaha pengembangan layanan jasa perencanaan konstruksi dan layanan jasa pengawasan konstruksi meliputi : manejemen proyek, manajemen konstruksi dan penilaian kualitas, kuantitas dan biaya pekerjaan serta Perencanaan konstruksi harus mampu menciptakan batas harga terendah untuk menyelesaikan konstruksi sesuai sistem nilai (value engineering) yang bertujuan mampu menciptakan ketahanan usia layanan konstruksi sesuai dengan usia layanan konstruksi yang telah ditetapkan.
(6) Batas usia layanan konstruksi masing-masing tipe, jenis, macam bangunan termasuk elektrik dan lingkungan akan ditetapkan lebih lanjut oleh peraturan pemerintah. 

Pasal 5
(1) cukup jelas
(2) cukup jelas
(3) Bentuk usaha yang dilakukan oleh orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selaku perencana konstruksi atau pengawas konstruksi hanya dapat melaksanakan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahliannya dan spesialisasinya.
(4) cukup jelas.

Pasal 6

Bidang usaha jasa konstruksi mencakup pekerjaan arsitektural dan/atau sipil dan/atau mekanikal dan/atau elektrikal dan/atau tata lingkungan dan/atau pekerjaan konstruksi lainnya, masing-masing beserta kelengkapannya.

Pasal 7

………………….……………………….. cukup jelas ……..………………………………………


Bagian Kedua
Persyaratan Usaha, Keahlian dan Keterampilan

Pasal 8

……..……………….…………………….. cukup jelas ………………….…………………………

Pasal 9

(1) Perencana konstruksi dan pengawas konstruksi orang perorangan harus memiliki sertifikasi keahlian dibidang perencanaan dan pengawasan.
(2) Pelaksana konstruksi orang perseorangan harus memiliki sertifikasi keterampilan kerja, sertifikasi keahlian kerja pekerjaan konstruksi.
(3) cukup jelas
(4) Tenaga kerja yang melaksanakan pekerjaan keteknikan yang bekerja pada pelaksanan konstruksi harus memeiliki sertifikat keterampilan dan/atau sertifikat keahlian/spesialisasi.

Pasal 10

Ketentuan mengenai penyelenggaraan perizinan usaha, klasifikasi usaha, kualifikasi usaha, sertifikasi keterampilan, sertifikasi keahlian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9 di atur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Tangggung Jawab Profesional

Pasal 11

(1) cukup jelas
(2) cukup jelas
(3) cukup jelas

Bagian Keempat
Pengembangan Usaha

Pasal 12

(1) cukup jelas
(2) cukup jelas
(3) cukup jelas
(4) Bagi penyedia jasa konsultansi golongan non kecil hanya dapat mengerjakan pekerjaan di atas 1 (satu) Milyar dan bagi penyedia jasa pelaksana konstruksi golongan non kecil hanya dapat mengerjakan pekerjaan di atas 2,5 (dua setengah) Milyar.

Pasal 13

Untuk mengembangkan usaha jasa konstruksi diperlukan dukungan dari mitra kerja usaha melalui :
a. cukup jelas
b. cukup jelas

BAB IV
PENGIKATAN PEKERJAAN KONSTRUKSI

Bagian Pertama
Para Pihak

Pasal 14

Para pihak dalam pekerjaan konstruksi terdiri atas :
a. cukup jelas
b. cukup jelas.

Pasal 15

(1) cukup jelas
(2) cukup jelas
(3) cukup jelas
(4) cukup jelas
(5) cukup jelas

Pasal 16

(1) cukup jelas
(2) cukup jelas
(3) cukup jelas


Pasal 17

(1) cukup jelas
(2) cukup jelas
(3) cukup jelas
(4) cukup jelas
(5) cukup jelas
(6) cukup jelas
(7) Setiap informasi tentang rencana penyediaan jasa konstruksi pengguna jasa wajib untuk mengumumkan secara terbuka kepada masyarakat jasa konstruksi melalui media informasi secara penuh pada papan pengumuman, media cetak dan media elektronik.

Pasal 18

(1) cukup jelas
(2) cukup jelas
(3) cukup jelas
(4) cukup jelas

Pasal 19

Jika pengguna jasa mengubah atau membatalkan penetapan tertulis, atau penyedia jasa mengundurkan diri setelah diterbitkannya penetapan tertulis sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1) huruf b, dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak, maka pihak yang mengubah atau membatalkan penetapan, atau mengundurkan diri dikenakan ganti rugi sebesar 5 % (lima perseratus) dari nilai penawaran yang ditawarkan atau dikenakan pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara

Pasal 20

……………………..……………………… cukup jelas ………..………………………………………

Pasal 21

(1) cukup jelas
(2) cukup jelas
Bagaian Ketiga
Kontrak Kerja Konstruksi

Pasal 22

(1) cukup jelas
(2) Kontrak kerja konstruksi sekurang kurangnya harus mencakup uraian mengenai :
a. Cukup jelas
b. Rumusan pekerjaan yang memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan, batasan waktu pelaksanaan, serta usia layanan konstruksi sesuai dengan yang telah ditetapkan.
c. Cukup jelas
d. Tenaga ahli yang memuat ketentuan tentang jumlah klasifikasi dan kualifikasi tenaga ahli untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi
e. Cukup jelas
f. Cukup jelas
g. Cukup jelas
h. Cukup jelas
i. Cukup jelas
j. Cukup jelas
k. Kegagalan bangunan yang memuat ketentuan tentang kewajiban penyedia jasa dan/atau pengguna jasa atas kegagalan bangunan sampai dengan batas usia layanan konstruksi yang telah ditetapkan.
l. Cukup jelas
m. Cukup jelas

(3) Cukup jelas
(4) Cukup jelas
(5) Cukup jelas
(6) Cukup jelas
(7) Cukup jelas
(8) Cukup jelas

BAB V
PENYELENGGARAAN
PEKERJAAN KONSTRUKSI

Pasal 23

(1) Cukup jelas
(2) Cukup jelas
(3) Cukup jelas
(4) Cukup jelas
(5) Kebijakan penyelenggaraan jasa konsultansi dan jasa pelaksana konstruksi senantiasa melakukan adanya perimbangan antara kepentingan pusat dan daerah (provinsi) dalam bentuk kerja sama opersaional
(6) Pelaku jasa konsultansi dan pelaksana konstruksi yang menangani pekerjaan di daerah (provinsi) lain harus melakukan koordinasi dan pelaporan kepada Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi dan asosiasi perusahaan di daerah setempat.
(7) Penentuan kemampuan dasar penyedia jasa dinilai berdasarkan pada pengalaman kerja minimal 1 (satu) buah paket pekerjaan selama kurun waktu 4 (empat) tahun.

Pasal 24

(1) Cukup jelas
(2) Cukup jelas
(3) Cukup jelas
(4) Cukup jelas

Pasal 25

(1) Cukup jelas
(2) Kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi sampai dengan batas usia layanan konstruksi yang telah ditetapkan.
(3) Kegagalan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh pihak ketiga selaku penilai ahli.
(4) Penetapan pihak ketiga selaku penilai ahli dilakukan melalui peraturan pemerintah.

Pasal 26

(1) Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan perencana atau kesalahan pengawas konstruksi, dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka perencana atau pengawas atau pengawas konstruksi wajib bertanggungjawab sesuai dengan bidang profesi dan dikenakan ganti rugi sebagaimana di atur dalam kitab undang-undang ini dan/atau kitab hukum pidana dan/atau kitab undang-undang hukum perdata.
(2) Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan pelaksana konstruksi, dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka pelaksana konstruksi wajib bertanggungjawab sesuai dengan bidang profesi dan dikenakan ganti rugi sebagaimana di atur dalam undang-undang ini dan/atau kitab undang-undang hukum pidana dan/atau kitab undang-undang hukum perdata.

Pasal 27

Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan kesalahan pengguna jasa dalam pengelolaan bangunan dan hal tersebut menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka pengguna jasa wajib bertanggungjawab dan dikenakan ganti rugi sebagaimana di atur dalam undang-undang ini dan/atau kitab undang-undang hukum pidana dan/atau kitab undang-undang hukum perdata.

Pasal 28

…………………………………………… cukup jelas …………….…………………………………


BAB VII
PERAN MASYARAKAT
Bagian Pertama
Hak dan Kewajiban Masyarakat

Pasal 29

Masyarakat berhak untuk :
a. Cukup jelas
b. Cukup jelas

Pasal 30

Masyarakat berkewajiban :
a. Cukup jelas
b. Cukup jelas

Bagian Kedua
Masyarakat Jasa Konstruksi,
Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi
Dan Forum Jasa Konstruksi

Pasal 31

(1) Cukup jelas
(2) Cukup jelas
(3) Penyelenggaraan peran Masyarakat Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan pengembangan jasa konstruksi dilakukan melalui Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi.
(4) Kedudukan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi untuk tingkat nasional di ibu kota Negara dan tingkat daerah berkedudukan di masing-masing ibu kota provinsi di seluruh wilayah republik Indonesia.

Pasal 32

(1) Cukup jelas
(2) Cukup jelas
(3) Tata cara pendirian Forum Jasa Konstruksi dan pembebanan biaya operasionalnya di tetapkan oleh peraturan pemerintah.

Pasal 33

(1) Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi beranggotakan wakil-wakil dari :
a. Cukup jelas
b. Cukup jelas
c. Cukup jelas
d. Cukup jelas
(2) Tugas Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. Melakukan atau mendorong profesionalisme, penelitian dan pengembangan jasa konstruksi
b. Cukup jelas
c. Melakukan registrasi tenaga kerja konstruksi, yang meliputi klasifikasi, kualifikasi dan sertifikasi keterampilan , sertifikasi keahlian
d. Cukup jelas
e. Cukup jelas
(3) Untuk mendukung kegiatannya Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengusahakan perolehan dana dari masyarakat jasa konstruksi yang berkepentingan dan/atau perolehan dana dari pemerintah pusat bagi daerah-daerah yang sumber perolehan dana dari Masyarakat Jasa Konstruksi rendah.

Pasal 34

Ketentuan mengenai Forum Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 32 akan di atur dalam peraturan pemerintah dan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 33 telah di atur oleh Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
PEMBINAAN

Pasal 35

(1) Cukup jelas
(2) Cukup jelas
(3) Cukup jelas
(4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap penyelenggaraan pekerjaan perencananaan, pengawasan dan konstruksi, untuk menjamin terwujudnya ketertiban jasa konstruksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan bersama-sama dengan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi dan Forum Masyarakat Jasa Konstruksi serta Masyarakat Jasa Konstruksi
(6) Cukup jelas

BAB IX
PENYELESAIAN SENGKETA
Bagian Pertama
U m u m

Pasal 36

(1) Cukup jelas
(2) Cukup jelas
(3) Cukup jelas
Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

Pasal 37

(1) Penyelesaian sengketa jasa konstruksi di luar pengadilan dapat ditempuh untuk masalah-masalah yang timbul dalam kegiatan peningkatan, pembangunan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi serta dalam hal terjadi kegagalan bangunan sebelum batas waktu usia layanan konstruksi yang telah ditetapkan.
(2) Penyelesaian sengketa jasa konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan jasa Badan Arbitrase Nasional Indonesia atau pihak ketiga yang disepakati oleh para pihak.
(3) Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibentuk oleh Masyarakat Jasa Konstruksi.

Bagian Ketiga
Gugatan Masyarakat

Pasal 38

(1) Cukup jelas
(2) Cukup jelas

Pasal 39

…………………………………………… cukup jelas …………………………………………….

Pasal 40

……………………………………………… cukup jelas …………………………………………….


BAB X
S A N K S I
Pasal 41

Penyelenggara pekerjaan baik pengguna jasa maupun penyedia jasa dapat dikenai sanksi administratif dan/atau pidana atas pelanggaran undang-undang ini.

Pasal 42

(1) Cukup jelas
a. Cukup jelas
b. Penghentian sementara pekerjaan konstruksi sesuai dengan bidang usaha yang melakukan pelanggaran
c. Cukup jelas
d. Cukup jelas
e. Cukup jelas
(2) Cukup jelas
a. Cukup jelas
b. Cukup jelas
c. Cukup jelas
d. Cukup jelas
e. Cukup jelas

(3) Cukup jelas.

Pasal 43

(1) Barang siapa yang melakukan perencanaan pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan spesifikasi teknik dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi sebelum batas usia layanan konstruksi yang telah ditetapkan dan/atau kegagalan bangunan sebelum berakhir usia layanan konstruksi yang telah ditetapkan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10 % (sepuluh perseratus) dari nilai kontrak.
(2) Barang siapa yang melakukan pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan spesifikasi teknik dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi sebelum batas usia layanan konstruksi yang telah ditetapkan dan/atau kegagalan bangunan sebelum berakhir usia layanan konstruksi yang telah ditetapkan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10 % (sepuluh perseratus) dari nilai kontrak.
(3) Barang siapa yang melakukan pengawasan pekerjaan konstruksi dengan sengaja memberi kesempatan kepada orang lain yang melaksanakan pekerjaan konstruksi melakukan penyimpangan terhadap ketentuan spesifikasi teknik dan mengakibatkan timbulnya kegagalan pekerjaan konstruksi sebelum batas usia layanan konstruksi yang telah ditetapkan dan/atau kegagalan bangunan sebelum berakhir usia layanan konstruksi yang telah ditetapkan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10 % (sepuluh perseratus) dari nilai kontrak.

BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 44

(1) Cukup jelas
(2) Cukup jelas

BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 45

…………………………………………… cukup jelas ……………………………………………….

Pasal 46

…………………………………………… cukup jelas ……………………………………………….

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di   :    Jakarta
Pada tanggal :                        2010

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
                                   Ttd.

DR.H. SOESILO BAMBANG YOEDOYONO, M.Sc


Diundangkan di    :  Jakarta
Pada tanggal        :                    2010

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR …..
---------------------------------------------------------------------------------


TIM KERJA
LEMBAGA PENGEMBANGAN JASA KONSTRUKSI DAERAH
BERSAMA ASOSIASI JASA KONSTRUKSI SULTRA
TENTANG
PENYUSUNAN USULAN DRAFT
RANCANGAN PERUBAHAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 1999
TENTANG JASA KONSTRUKSI


1. DRS. IR. YUSUF HAMILU                         KOORDINATOR      1. …………..
2. BANDUNG L,S.P                                         KETUA                       2. …………..
3. IR. L.M.ALI HABIU,AMts., M.Si                 SEKRETARIS         3. …………….
4. IR.SAIFUDDIN, S.Sos.,M.Si                       ANGGOTA                        4. …………..
5. ARMAN FA’SLIH, ST.,MT                           ANGGOTA          5. …………….
6. IR. WAWAN SETIAWAN                            ANGGOTA                        6. …………..
7. SYAWAL RIGAY, ST                                 ANGGOTA           7. ……………
8. IR. GAMAL HASIM                                    ANGGOTA                      8. …………..
9. ADMAN NUHUNG                                     ANGGOTA          9. …………..
10. M. YAHYA                                             ANGGOTA                     10. …………
11. DRS. MUHAMMAD YAHYA                        ANGGOTA         11. …………
12. ASIKIN, SE                                            ANGGOTA                       12. ………….
13. IR. ILHAM                                             ANGGOTA        13. ………….
14. RUJUWANI,ST                                       ANGGOTA                      14. ………….
15. JUMRIATI, ST                                        ANGGOTA        15. ………….

CATATAN :

HARAP USULAN DRAFT PERUBAHAN ATAS UU NO.18/1999 DI ATAS MENJADI MASUKAN KONSTRUKTIF DALAM RANGKA PENYEIMBANGAN ANTARA KEPENTINGAN PUSAT DAN DAERAH, PEMBANGUNAN KONSTRUKSI INDONESIA SAMPAI TAHUN 2030 DAN PEMBENAHAN SISTEM JASA KONSTRUKSI DI INDONESIA. TERIMA KASIH................

*) Pemerhati Masalah-masalah Sosial, Politik dan Pembangunan